Share

2

Author: Widia
last update Last Updated: 2025-10-02 13:29:00

Setelah menerima penjelasan dari dokter, Caelyn keluar dari rumah sakit dengan kepala penuh beban. Pikirannya kalut. Ia mencoba menghubungi beberapa kenalan, tapi tak ada yang bisa membantu. Beberapa bahkan hanya membalas dengan permintaan maaf klise.

Akhirnya, dengan berat hati, ia memutuskan mendatangi seseorang. Sahabat lama Ether yang dulu pernah begitu dekat.

Caelyn kini duduk di ruang kantor milik Saga. Ruangan itu gelap dan dingin. Lampunya tidak terlalu terang, seolah sengaja dibuat redup untuk menjaga suasana tetap tegang. Beberapa pria bertubuh besar dan berwajah dingin berdiri di sekitar ruangan, menjaga dalam diam. Mata mereka menatap tajam seperti sedang menakar bahaya.

Saga duduk di seberang meja, mengenakan kemeja gelap yang digulung sampai siku, dan jam tangan mahal melingkar di pergelangannya. Di depan Caelyn, ekspresinya datar. Tatapannya seperti bukan lagi sahabat Ether yang dulu ramah.

"Ada apa tiba-tiba menghubungiku?" tanya Saga datar, matanya menatap Caelyn tajam.

Pertanyaan itu membuat Caelyn gugup. Ia melirik ruangan di sekelilingnya. Semua terasa asing, penuh tekanan. Ia menelan ludah, lalu berkata pelan, "Aku... aku butuh bantuanmu, Saga."

Saga tersenyum tipis, tapi nadanya sinis saat menjawab, "Kenapa butuh bantuan pria lain, Cael? Bukannya kamu punya tunangan? Ah... aku lupa kalau dia gak berguna!"

Caelyn langsung menatapnya tak percaya. “Saga, jaga ucapan kamu,” bentaknya kesal.

“Itu fakta, Cael. Kamu sendiri pasti merasa begitu, kan?” balas Saga dengan santai. “Sudah setahun lebih sejak kecelakaan itu, kamu mati-matian rawat dia yang bahkan mungkin... sudah nggak mau bertahan hidup.”

Caelyn berdiri dari kursinya. “Ether itu sahabat kamu, Saga! Bisa-bisanya kamu bicara kayak gitu!”

Saga ikut berdiri. Wajahnya serius. “Kamu seharusnya bisa dapat pria yang lebih baik. Usia kamu masih terlalu muda buat kamu sia-siakan merawat mayat hidup seperti dia. Kamu bakal nyesel nanti, Cael. Percaya sama aku.”

PLAK!

Tamparan keras dari Caelyn mendarat di pipi Saga. Suaranya nyaring, membuat para pria di ruangan itu sedikit terkejut, meski tetap tidak bergerak.

“Aku seharusnya gak perlu datang ke sini apalagi berharap bantuan pada orang seperti kamu!” ucap Caelyn dengan mata memerah dan suara bergetar. “Karna itu hal yang lebih aku sesali!”

Ia berlari keluar dari ruangan, meninggalkan Saga yang terpaku di tempat dengan wajah merah dan rahang mengeras.

"Sial..." gumam Saga pelan, menendang kursi di depannya dengan geram. Kursi itu terseret beberapa sentimeter ke belakang.

Ruangan itu mendadak hening. Ketegangan masih terasa di udara, meskipun Caelyn telah pergi. Para pria bertubuh besar hanya diam di tempat, saling pandang tanpa suara.

Lalu...

Klik… clak… klik... clak...

Suara pemantik logam dimainkan pelan oleh seseorang yang duduk tenang di sudut ruangan.

Bunyi itu berulang.

Suara gesekan logam yang khas, ritmis dan mengganggu ketenangan, seperti sinyal bahwa ia merasa terganggu dengan kebisingan yang telah Saga ciptakan.

Pria itu duduk menyilangkan kaki, wajahnya setengah tertutup bayangan. Api kecil menyala dari pemantik. Ia tersenyum tipis.

***

Caelyn melangkah masuk ke rumah sakit dengan langkah lelah. Matanya sembab, wajahnya terlihat kosong dan sedih. Begitu tiba di lantai ruang perawatan Ether, ia melihat Alea sedang duduk di kursi ruang tunggu, memainkan ponselnya sambil sesekali melirik ke arah pintu ruang rawat.

Alea langsung berdiri saat melihat Caelyn datang.

“Gimana?” tanya Alea cepat, nada suaranya penuh harap tapi juga khawatir.

Caelyn hanya menggeleng pelan, lalu duduk di sebelahnya. Ia menunduk, menatap tangannya sendiri yang mengepal di pangkuan. “Saga udah beda banget sekarang... Dia berubah total. Gak kayak dulu.”

“Berubah gimana?” Alea mengernyit bingung sambil kembali duduk.

Caelyn menoleh padanya, matanya mulai memerah lagi. “Dia bahkan tega bilang Ether... mayat hidup.”

Alea membelalak. “Saga bilang gitu? Loe yakin gak salah denger?”

“Dengan sangat jelas gue dengar, Ale. Dia ngomong gitu ke gue langsung. Di depan muka gue.”

Alea terdiam beberapa saat. Ia mencoba mencerna ucapan Caelyn sambil menahan rasa kecewa yang mulai muncul terhadap sosok yang dulu juga ia percaya. “Terus... loe mau gimana sekarang, Cael?”

Caelyn menggeleng pelan. “Gue juga gak tahu...”

Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Lalu Alea membuka tasnya dan mengeluarkan dompet kecil. Ia mengeluarkan kartu ATM dan menyerahkannya ke Caelyn.

“Saldo di ATM gue ada tujuh puluh lima juta. Gue rela pinjemin semua ke loe,” katanya pelan. “Tapi... gue gak bisa bantuin cari sisanya. Loe tahu sendiri bos gue rese banget.”

Caelyn menatap kartu itu dengan mata berkaca-kaca. “Iya, Alea... Gue juga gak maksa. Gue ngerti banget kondisi loe. Gue justru bersyukur loe selalu ada buat bantu jagain Ether pas gue gak bisa.”

Alea menepuk lembut bahu Caelyn. “Jangan terlalu keras sama diri sendiri ya, Cael. Kalau emang loe cuma mampu sebatas ini... gue yakin kok, Ether juga pasti bisa ngerti. Gue yakin dia lihat pengorbanan loe selama ini buat dia.”

Caelyn menghela napas panjang. Ia menatap lurus ke depan, lalu menggenggam kartu ATM yang diberikan Alea.

“Tapi gue tetap akan usaha... Gue akan lakuin apa aja yang bisa gue lakuin. Gue gak mau nyerah. Gue harus dapetin uangnya biar Ether bisa segera dioperasi.”

Alea hanya bisa mengangguk, walau di dalam hatinya juga ikut resah. Ia tahu, keputusan yang akan Caelyn ambil mungkin bukan hal mudah.

"Ya udah gue berangkat kerja dulu ya, besok pagi gue datang lagi ke sini"

"Jangan lupa bawain seragam kerja gue ya dan jangan datang kesiangan nanti gue telat berangkat kerjanya," kata Caelyn, sedikit mengomel.

"Iya, bawel. Bye... bye..." jawab Alea santai, melambaikan tangan dan berjalan menjauh dengan langkah ringan seperti biasa.

Begitu Alea menghilang dari pandangan, Caelyn menghela napas panjang, lalu membalikkan badan. Ia bersiap masuk ke ruang perawatan Ether. Namun baru satu langkah, tubuhnya langsung terpaku.

"Astaga!" seru Caelyn kaget.

Di depannya, berdiri seorang pria bertubuh tinggi. Tegap. Dan terlalu dekat. Ekspresi wajahnya tidak menunjukkan rasa bersalah karena membuat orang kaget. Justru... pria itu malah tersenyum lebar seolah sedang menyambut teman lama.

"Gue kira kita bakal tabrakan kaya di drama-drama," katanya dengan santai, suara riangnya begitu asing di lorong rumah sakit.

Caelyn mengernyit, menatap pria asing itu dari atas ke bawah. Gaya bicaranya terlalu akrab. Entah siapa dia, tapi yang jelas Caelyn tidak tertarik untuk berlama-lama ngobrol. Namun perhatiannya mendadak teralihkan. Di tangan pria itu, ia melihat sebuah paperbag. Dan dari celah terbukanya, terlihat tumpukan uang tunai.

Langkah Caelyn tertahan.

Mungkin dia sadar tatapan Caelyn sedikit berubah, karena pria itu langsung menimpali dengan nada main-main.

“Kenapa ngeliatin isi paperbag gue? Loe mau nyuri ya?”

“Hei!!” bentak Caelyn, tersinggung. “Ngomong jangan sembarangan!”

“Neil. Bukan Hei,” jawab pria itu cepat.

“Hah?”

“Nama gue Neil. Bukan Hei,” ulangnya sambil tersenyum menyebalkan.

Caelyn menggeleng pelan, bingung dan malas meladeni. “Gak peduli siapa nama loe. Tapi gue sama sekali gak punya niat kayak yang loe tuduh tadi.”

Neil mengangkat bahu. “Ya terus kenapa loe liatin paperbag gue terus? Cewek lain biasanya lebih terpukau sama ketampanan gue.” Nadanya tetap ringan, tapi mengandung nada menggoda yang jelas bikin Caelyn semakin tidak nyaman.

“Loe narsis banget sih,” gumam Caelyn pelan, mencoba menepis rasa penasaran yang makin mengusik. Tapi matanya tetap terpaku ke paperbag itu.

"Jumlahnya kira-kira dua ratus juta. Lo mau?"

Nada suara Neil terdengar santai, seolah sedang menawarkan gorengan, bukan segepok uang tunai dalam paperbag yang ia sodorkan ke arah Caelyn.

Caelyn menelan ludah. Tangannya refleks mengepal di sisi tubuh, matanya terpaku pada isi tas kertas itu. Ia menatap Neil, mencoba membaca gelagatnya, tapi yang ia lihat hanya senyum seenaknya—tanpa beban, tanpa maksud jelas.

"Ambil aja kalau mau. Kebetulan tadi gue mungut di jalan," lanjut Neil enteng.

Caelyn menyipitkan mata. “Mana mungkin.”

"Ya udah, kalau gak percaya. Gak maksa juga." Neil mengangkat bahu, seperti orang yang baru saja menawarkan permen.

Caelyn diam sejenak. Ada banyak pertanyaan yang mendesak di dalam kepalanya. Akalnya berkata ini aneh. Nalarnya berkata jangan terjebak. Tapi hatinya, yang dikuasai panik dan harapan, mulai membuka celah.

“Lo siapa sebenernya?” tanyanya akhirnya.

“Neil. Kan tadi gue udah kasih tahu.”

“Kenapa tiba-tiba ngelakuin ini ke gue? Siapa yang nyuruh lo?”

Neil tersenyum kecil. “Gak ada. Cuma...” ia menggantung ucapannya, sengaja.

Caelyn menunggu, merasa jawabannya belum selesai. “Cuma apa?” desak Caelyn.

“Cuma random aja.”

Caelyn mendengus. “Dasar cowok gak jelas.”

“Tapi duitnya jelas, kan?” balas Neil cepat. “Gue niat baik nih. Tapi kalau lo gak mau, ya udah.”

Caelyn menunduk sebentar. Kepalanya sibuk berhitung—dana dari Alea, tabungannya sendiri, dan jika uang Neil itu nyata, mereka bisa nyaris menutupi semua biaya operasi Ether. Rumah sakit mungkin bisa memberi tenggang waktu untuk sisanya.

Setidaknya, Ether bisa segera dapat penanganan. Itu yang lebih penting dari apapun.

Neil menepuk-nepuk paperbag di tangannya, lalu membalikkan badan. “Gue pergi, ya,” katanya santai.

“Tunggu!” Caelyn cepat menahan. “Gue mau itu.” Tatapannya tertuju pada paperbag.

Neil menoleh, kembali berjalan ke arahnya sambil tersenyum puas. Ia mengulurkan paperbag itu sekali lagi.

Tapi, detik sebelum tangan Caelyn menyentuh pegangan tas, Neil menariknya mundur.

“Ada satu syarat,” katanya pelan.

Caelyn menatapnya, waspada. “Apa?”

Neil menatapnya lekat-lekat. “Tidur sama gue.” Ucapannya terdengar menggoda

Plak!

Tamparan keras itu terdengar nyaring di lorong rumah sakit, membuat beberapa orang yang sedang duduk di ruang tunggu spontan menoleh.

"Aww! Sakit tahu!" keluh Neil sambil memegangi pipinya yang kini memerah.

“Gue tau lo sakit... sakit jiwa!” bentak Caelyn penuh emosi.

Neil tetap berdiri di tempatnya. Tak marah, malah seperti menahan tawa.

“Gue masih waras, kok. Buktinya gue masih bisa bernegosiasi sama lo,” katanya tenang.

“Negosiasi apaan? Gue bukan barang yang bisa lo nego sembarangan!”

Neil mengangkat tangan, mengisyaratkan menyerah. “Ya udah sih, kalau gak mau. Gak usah ditampar juga. Gue kan gak maksa.”

Lalu, begitu saja, ia berbalik dan pergi dengan langkah santai.

Caelyn berdiri mematung. Dadanya sesak oleh amarah, malu, juga rasa frustrasi yang menggumpal. Tapi, itu bukan waktunya untuk larut. Ia segera masuk ke ruangan perawatan Ether.

Dan di sana ia langsung terpaku. Tubuh Ether kembali kejang. Selang infusnya bergerak. Monitor berdetak tak teratur. Ia panik.

“Suster! Dokter!” teriaknya sambil berlari ke luar ruangan.

Tidak ada waktu.

Tidak ada pilihan.

Tanpa pikir panjang, Caelyn berlari menyusuri lorong rumah sakit, matanya menyapu setiap sudut, mencari pria menyebalkan itu.

Neil.

Mau tidak mau, ia harus menemukannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jeratan SANG MAFIA   9

    Neil kembali menuju markas setelah keluar dari kantor Satresnarkoba. Langkahnya yang mantap membuat para anak buah langsung menoleh, lalu dengan sigap mereka bersiap memberi tanda hormat atas kembalinya bos mereka. Neil tersenyum puas, bangga melihat pengabdian setia mereka.“Kami senang bos kembali lagi ke sini,” ucap salah satu anak buah dengan suara penuh hormat.“Kami sempat khawatir, Bos,” tambah yang lain.Neil membalas senyum dan menepuk pundak anak buahnya. “Gue baik-baik saja. Kalian semua udah makan?”“Sudah, Bos,” jawab mereka serempak.“Kalau belum, gue traktir sebagai perayaan kepulangan gue. Tapi kalau udah…” Neil terdiam sesaat, berpikir, “Pesan minuman aja, kita party malam ini. Biar gue yang bayar semuanya. Tapi ingat! Jangan ada yang pakai narkoba. Gue gak mau kalian terlibat masalah. Ngerti kalian?”“Siap, Bos! Kami mengerti,” jawab mereka serentak.“Ayo-ayo, pesan biar kita bisa party,” seru mereka dengan semangat.Neil kemudian duduk di kursi kantor miliknya. Ia m

  • Jeratan SANG MAFIA   8

    Raka menghentikan mobil tepat di depan pintu masuk Hotel Winner. Begitu mesin dimatikan, Zephyr langsung turun, diikuti Raka yang membawa map berisi surat permintaan resmi. Mereka berjalan cepat melewati pintu kaca otomatis menuju meja resepsionis.Di meja resepsionis, seorang wanita berambut bob menyapa ramah.“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?”Zephyr menyodorkan kartu identitasnya dengan singkat. “Kami perlu akses fisik ke server internal hotel. Terkait penyelidikan.”Mata resepsionis itu sedikit membesar. Namun kemudian ia mengangguk dan meraih telepon meja. “Baik, saya hubungi supervisor IT kami dulu, Pak.”Zephyr dan Raka menunggu di dekat area lounge lobi. Raka berdiri bersandar pada pilar, sementara Zephyr memperhatikan sekitar. Pandangannya tak lepas dari lift utama yang pintunya terbuka dan tertutup bergantian, membawa tamu ke berbagai lantai.Zephyr nampak mengagumi desain mewah hotel tersebut "Waah! hidup Neil terlalu sempurna!" Gumamnya lirih.Beberapa menit berlalu

  • Jeratan SANG MAFIA   7

    Zephyr menjatuhkan diri ke kursi dan membuka laptop kerja. Map laporan operasi semalam masih kosong dari hasil berarti. Ia menatap layar tanpa ekspresi lalu mulai mengetikkan ulang data yang ia terima dari awal. Ia butuh melihatnya lagi—dari awal—dengan kepala yang lebih jernih.Neil White. Usia 34 tahun.Data asli menyebut Neil adalah pemilik salah satu hotel mewah dan klub malam paling prestisius di pusat kota. Hotel Winner di bilangan Menteng dan klub malam eksklusif bernama Velvet room. Tempat para pesohor dan politisi muda sering terlihat berpesta larut malam.Zephyr mengangkat alis. Aneh. Ia mengetikkan lebih dalam, menggali berkas profile tentang Neil. Tak butuh waktu lama sampai matanya berhenti di satu bagian kecil yang sebelumnya lolos dari perhatiannya, tentang hubungan personal.Nama Sea Alverdine muncul.Zephyr menajamkan pandangannya. Ia tahu nama itu. Bukan dari dunia kriminal. Tapi dari papan iklan, majalah fashion, dan berita sosialita.Sea Alverdine, seorang model ke

  • Jeratan SANG MAFIA   6

    Caelyn meraih lengan Neil yang hampir mendorong pintu kamar. Jemarinya dingin, dan genggamannya lemah, namun cukup untuk menghentikan langkah pria itu."Loe yakin sama semua ini?" suaranya nyaris seperti bisikan, tapi terdengar jelas di antara keheningan lorong hotel yang mewah.Neil menatapnya dalam. Untuk sesaat, waktu seperti melambat.Caelyn tidak siap. Tidak sekarang. Tidak pernah, sebenarnya.Tidur dengan Neil, lelaki yang nyaris asing baginya di saat Ether terbaring koma di rumah sakit. Rasanya seperti mengkhianati segalanya. Bahkan hanya membayangkan kemungkinan itu pun membuat dadanya sesak. Tapi ia takut. Takut akan sikap Neil yang tidak bisa ditebak. Takut pada uang yang sudah telanjur digunakannya dan tak bisa ia kembalikan. Haruskah ia benar-benar melangkah sejauh ini, saat hatinya sendiri belum siap?“Kita udah sampai sini, loe ragu?” tanya Neil, serius. Wajahnya kini tak menampilkan sedikit pun sikap santainya. Sorot matanya gelap, tajam, seperti membawa gravitasi yang

  • Jeratan SANG MAFIA   5

    Pagi itu udara terasa sejuk. Langit masih kelabu, tapi lorong rumah sakit sudah mulai ramai oleh lalu lalang para perawat dan keluarga pasien. Di salah satu bangsal, Alea datang dengan langkah cepat, membawa tas jinjing berisi seragam kerja yang diminta Caelyn.“Hari ini gue gak kesiangan kan, Cael?” tanyanya sambil tersenyum kecil, mengeluarkan pakaian dari dalam tas.Caelyn yang sedang duduk di tepi ranjang Ether menoleh dan tersenyum samar. Rambutnya terikat seadanya, dan wajahnya tampak sedikit letih.“Iya, makasih ya, Al,” balas Caelyn lembut, tangannya langsung meraih baju itu.Pandangan Alea kemudian tertuju pada tubuh Ether yang masih terbaring lemah di ranjang. Selang oksigen masih menempel di hidungnya, dan mesin pemantau detak jantung terus berbunyi dengan irama stabil.“Gimana kondisi Ether? Ada perkembangan?” tanya Alea, suaranya pelan tapi terdengar jelas.Caelyn menggeleng pelan. “Belum ada kemajuan... tapi setidaknya dia udah gak mengalami kejang lagi. Gue ganti pakaia

  • Jeratan SANG MAFIA   4

    Pukul 19.40 – Area parkir kawasan industri lama.Zephyr berdiri di balik mobil hitam tanpa tanda. Jaket kulit gelap membungkus tubuhnya, dan earpiece di telinga kirinya terus menyala."Semua tim, posisi. Neil terdeteksi masuk lokasi pukul 19.16. Kita lakukan penyergapan saat jarum menunjuk pukul 20.00 tepat. Jangan ada tembakan kecuali gue perintahkan," ucapnya tegas lewat radio.Empat tim disebar.Tim Alfa: menyusup dari pintu utama.Tim Bravo: menunggu di pintu samping barat.Tim Charlie: berjaga di ventilasi dan jalur pembuangan.Tim Delta: cadangan, menyamar di sekitar area luar.Zephyr sendiri memilih ikut dengan Tim Alfa. Matanya menatap jam tangan. 19.59. Tangannya mengangkat isyarat tiga jari—hitung mundur.Tiga... dua... satu..."Eksekusi!"Mereka bergerak cepat. Pintu didobrak. Ruangan megah di lantai basement itu nampak kosong. Hanya suara langkah kaki berderap di seluruh penjuru.Zephyr memasuki ruangan target lebih dulu. Pandangannya menyapu cepat, suntikan bekas di lanta

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status