Caelyn berdiri terengah-engah di depan rumah sakit. Napasnya masih memburu akibat berlari mengejar pria menyebalkan itu. Ia mengedarkan pandangan, berharap bisa menangkap sosoknya, tapi hasilnya nihil. Entah memiliki jurus apa, Neil bisa bergerak secepat itu. Seperti menghilang.
Caelyn berbalik, berniat kembali masuk ke rumah sakit, tapi pandangannya tiba-tiba menangkap sosok Neil di halte bus seberang jalan. Ia berdiri santai, seolah tak terjadi apa-apa, sambil menikmati permen gulali berwarna merah muda di tangannya. Tanpa pikir panjang, Caelyn kembali berlari ke arahnya. “Kesepakatan tadi, gue setuju!” katanya cepat, setibanya di depan pria itu. Neil menoleh, senyum lebar menghiasi wajahnya. “Kesepakatan yang mana? Gue udah lupa.” “Isi paperbag itu. Dan tidur sama loe,” ucap Caelyn tegas, tanpa berputar-putar. Neil tertawa kecil. “Duh, gue gak inget pernah ngomong begitu. Apa jangan-jangan lo salah orang?” Caelyn mengerang kesal. “Tolonglah, jangan bercanda. Keadaannya mendesak sekarang!” “Tadi loe bilang gue sakit jiwa. Ngapain bikin kesepakatan sama orang yang loe anggap gak waras?” Caelyn mendesah panjang. Tentu saja dia tidak berharap banyak dari Neil. Orang asing, sok nyentrik, dan jelas punya selera humor aneh. Lagipula, siapa orang waras yang bersedia memberikan uang pada perempuan yang baru dia kenal, apalagi dengan syarat seperti itu? “Kalau gitu, gue tunggu loe di Hotel Winner. Jam tujuh malam,” ujar Neil tiba-tiba, menahan langkah Caelyn yang hendak pergi. Caelyn menatapnya, setengah tidak percaya. “Uangnya gimana?” “Maksud loe minta upah duluan sebelum kerja? Emang ada sistem begitu?” sahut Neil sambil tetap menjilat gulalinya. “Tapi gue butuh uang itu sekarang” Neil mengangkat bahu. “Gue butuh jaminan. Supaya loe nggak kabur.” Caelyn terdiam. Jaminan? Apa yang bisa ia berikan? Ia tidak punya apa-apa lagi. Tidak ada barang berharga, kecuali… Pandangan Caelyn jatuh pada cincin di jari manisnya. Cincin pertunangan dari Ether. Tangan Caelyn gemetar saat melepas cincin itu. Tapi tak ada pilihan lain. Ia menyerahkannya pada Neil. “Ini satu-satunya benda paling berharga yang gue punya. Selama cincin ini ada sama loe, gue gak akan kabur.” Neil mengambil cincin itu, memutarnya perlahan di antara jari-jarinya. “Cuma ini?” “Kalau gue punya yang lebih berharga, gue gak akan setuju dengan tawaran gila loe.” "Kalau yang itu gimana?" Neil menunjuk kalung berbandul bulan yang melingkar di leher Caelyn. "Gak bisa. Lagipula emangnya kalung ini keliatan berharga buat loe?" Neil mengangguk pelan, seraya merentangkan bibirnya, tampak mempertimbangkan. Lalu ia tersenyum. “Oke. Setuju. Soalnya bis-nya udah datang, gue males ketinggalan.” Ia menyerahkan paperbag itu ke Caelyn, lalu naik ke dalam bus yang baru saja berhenti. Caelyn hanya bisa berdiri terpaku. Tangannya mencengkeram erat paperbag tersebut. Masih belum percaya dengan semua yang baru saja terjadi. Dia bingung, bukan hanya karena keputusannya sendiri, tapi juga karena pria bernama Neil itu. Sikapnya kekanakan, penuh teka-teki, dan benar-benar... gila. Tanpa membuang waktu, Caelyn berbalik menuju rumah sakit, berharap tidak terlambat untuk keselamatan Ether. *** Alea datang terburu-buru, napasnya masih memburu ketika tiba di ruang tunggu rumah sakit. Wajahnya tampak cemas melihat Caelyn berdiri dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Kenapa manggil gue mendadak banget? Ada apa? Ether kenapa?!" tanya Alea cepat, matanya menatap wajah Caelyn lekat-lekat. "Dia mau dioperasi malam ini," jawab Caelyn pelan. Alea mengangguk, lalu buru-buru mendekat ke jendela kaca yang memisahkan mereka dari ruang perawatan. "Terus... kenapa pakaian loe kayak orang yang mau pergi jauh?" Caelyn terdiam sejenak. "Gue harus pergi sebentar." Alea menoleh cepat. "Pergi? Sekarang? Ether mau dioperasi, Cael! Biasanya loe gak akan ninggalin dia dalam kondisi seperti ini bahkan semenit pun!" "Alea, tolong... temenin dia demi gue. Cuma sampai nanti dokter selesai. Gue janji setelah semua urusan selesai gue akan langsung balik," suara Caelyn nyaris seperti bisikan, nyaris putus harapan. Alea menatap sahabatnya itu dalam-dalam, mencoba membaca rahasia di balik raut wajahnya yang tak seperti biasanya. Tapi Caelyn menghindari tatapan itu, memalingkan wajah sambil mengambil tas kecilnya. "Lo mau ke mana, Caelyn?" desaknya lagi. Caelyn hanya menggeleng, seolah tak sanggup berkata jujur. "Maafin gue, Alea. Tolong jagain Ether" Tanpa memberi kesempatan lebih jauh untuk bertanya, Caelyn berbalik pergi. Suara langkah kakinya bergema di koridor rumah sakit yang sunyi, meninggalkan Alea yang masih berdiri terpaku dengan tatapan tak percaya. *** Langit sudah gelap ketika Caelyn tiba di hotel Winner. Hatinya berdebar, bahkan telapak tangannya dingin. Kamar 708—ia mengulang-ulang nomor itu dalam kepalanya seperti mantra. Dia membuka pintu dengan kartu akses yang sudah disiapkan oleh Neil. Ruangan itu elegan, terlalu mewah untuk pertemuan yang terasa begitu kotor dalam benaknya. Lampu redup, aroma ruangan mahal, dan ranjang besar yang tampak tak bersalah di tengah kamar. Semuanya terasa asing dan menyesakkan. Caelyn berdiri di dekat jendela, menatap keluar dengan harap-harap cemas. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh. Tak ada kabar. Tak ada suara pintu diketuk. Hanya kesunyian dan kecemasan yang makin menumpuk dalam pikirannya. "Ya Tuhan... seharusnya aku ada di samping Ether sekarang, tapi apa yang sedang aku lakukan di sini," bisiknya lirih. Ia duduk di ujung ranjang, menggenggam ponselnya erat-erat. Tangannya sempat bergetar ingin menghubungi Neil—tapi nomor pria itu pun ia tidak memilikinya. Tiba-tiba, suara ketukan di pintu membuatnya tersentak. Ia bangkit cepat, detak jantungnya melonjak. "Neil?" Caelyn membuka pintu perlahan. Namun bukan Neil yang berdiri di sana. Melainkan seorang resepsionis perempuan muda menunduk sopan dan menyodorkan sebuah amplop kecil. "Ada pesan untuk Anda, Nona" ucapnya singkat, lalu pergi begitu saja. Dengan tangan gemetar, Caelyn membuka amplop itu. Sebuah kertas kecil terlipat rapi di dalamnya. Ia menarik napas panjang sebelum membacanya. Sayang sekali, malam ini rencana kita harus batal. Maaf ngecewain loe, WBS! Gue akan kabari kalau udah tiba waktunya nanti. Jangan sedih ya – Neil. Caelyn terpaku. Dahinya berkerut, matanya menatap tulisan itu tak percaya. "Ah, sial!" desisnya. "Rupanya dia memang pria gila yang senang bermain-main!" Sementara itu di tempat lain, Neil melemparkan jaket ke sofa, mengendurkan kerah kemejanya, lalu berjalan menuju meja di sudut ruangan. Napasnya berat. Perih itu datang lagi—menusuk dari belakang perut hingga ke punggung bawah. Rasa panas, seperti bara yang menyebar ke seluruh rongga tubuhnya. Namun jika melihatnya dari luar, tak ada yang akan mengira bahwa tubuh pria itu sedang dihancurkan penyakit. Bahunya masih bidang. Otot-otot di lengannya masih tampak mengeras setiap kali ia menggenggam erat. Tulang rahangnya masih tegas, membingkai wajah yang nyaris tak menunjukkan tanda-tanda penderitaan. Tapi hanya Neil yang tahu betapa keras ia berusaha menjaga citra itu. Ia membuka kotak kecil dari kayu mahoni, mengambil suntikan yang sudah ia isi sebelumnya. Cairan bening itu bukan kesenangan, bukan pelarian—itu satu-satunya hal yang mampu membuatnya bertahan dalam diam, ketika dunia tak tahu betapa tubuhnya sedang dimakan dari dalam. Ia duduk di sofa, menggulung satu sisi lengan bajunya. Meski nadinya tak semudah dulu ditemukan, kulitnya masih kencang, urat-uratnya masih menonjol. Tangannya tetap stabil saat menyuntikkan cairan fentanyl ke dalam vena. Beberapa detik… hanya beberapa detik. Dan kemudian datanglah kelegaan yang tak bisa dijelaskan. Nyeri menusuk itu mulai memudar. Bukan hilang sepenuhnya, tapi seolah ada kabut lembut yang menyelimuti rasa sakit itu, mengaburkannya cukup jauh agar ia bisa kembali bernapas tanpa meringis. Otot-otot punggungnya yang tegang perlahan mengendur. Dahi yang tadi mengerut kini lebih tenang. Jantungnya masih berdetak cepat, tapi bukan karena penderitaan—melainkan karena lega, karena untuk sementara ia bisa merasa… seperti manusia lagi. Di bawah cahaya kuning redup, Neil bersandar ke sofa dengan pelan. Pandangannya menerawang ke langit-langit, membiarkan tubuh kekar itu menyatu dengan ketenangan singkat. Fisiknya masih tampak kuat, meski itu kekuatan semu. Kekuatan yang sedang menunggu waktu untuk runtuh. Ia tidak menikmati obat itu seperti pecandu. Ia tidak tertawa, tidak melayang, tidak memejamkan mata dengan kepuasan palsu. Tidak. Yang ia cari hanyalah kebebasan dari rasa sakit, meski hanya untuk beberapa jam. Neil menatap jarum kosong yang kini tergeletak di sampingnya. Ia menarik napas panjang, lalu bergumam, pelan, seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri: "Sial! Harusnya gue bisa bertemu wanita bodoh itu lagi sekarang!" Gumamnya pelan seraya tersenyum miris.Zephyr menjatuhkan diri ke kursi dan membuka laptop kerja. Map laporan operasi semalam masih kosong dari hasil berarti. Ia menatap layar tanpa ekspresi lalu mulai mengetikkan ulang data yang ia terima dari awal. Ia butuh melihatnya lagi—dari awal—dengan kepala yang lebih jernih.Neil White. Usia 34 tahun.Data asli menyebut Neil adalah pemilik salah satu hotel mewah dan klub malam paling prestisius di pusat kota. Hotel Winner di bilangan Menteng dan klub malam eksklusif bernama Velvet room. Tempat para pesohor dan politisi muda sering terlihat berpesta larut malam.Zephyr mengangkat alis. Aneh. Ia mengetikkan lebih dalam, menggali berkas profile tentang Neil. Tak butuh waktu lama sampai matanya berhenti di satu bagian kecil yang sebelumnya lolos dari perhatiannya, tentang hubungan personal.Nama Sea Alverdine muncul.Zephyr menajamkan pandangannya. Ia tahu nama itu. Bukan dari dunia kriminal. Tapi dari papan iklan, majalah fashion, dan berita sosialita.Sea Alverdine, seorang model ke
Caelyn meraih lengan Neil yang hampir mendorong pintu kamar. Jemarinya dingin, dan genggamannya lemah, namun cukup untuk menghentikan langkah pria itu."Loe yakin sama semua ini?" suaranya nyaris seperti bisikan, tapi terdengar jelas di antara keheningan lorong hotel yang mewah.Neil menatapnya dalam. Untuk sesaat, waktu seperti melambat.Caelyn tidak siap. Tidak sekarang. Tidak pernah, sebenarnya.Tidur dengan Neil, lelaki yang nyaris asing baginya di saat Ether terbaring koma di rumah sakit. Rasanya seperti mengkhianati segalanya. Bahkan hanya membayangkan kemungkinan itu pun membuat dadanya sesak. Tapi ia takut. Takut akan sikap Neil yang tidak bisa ditebak. Takut pada uang yang sudah telanjur digunakannya dan tak bisa ia kembalikan. Haruskah ia benar-benar melangkah sejauh ini, saat hatinya sendiri belum siap?“Kita udah sampai sini, loe ragu?” tanya Neil, serius. Wajahnya kini tak menampilkan sedikit pun sikap santainya. Sorot matanya gelap, tajam, seperti membawa gravitasi yang
Pagi itu udara terasa sejuk. Langit masih kelabu, tapi lorong rumah sakit sudah mulai ramai oleh lalu lalang para perawat dan keluarga pasien. Di salah satu bangsal, Alea datang dengan langkah cepat, membawa tas jinjing berisi seragam kerja yang diminta Caelyn.“Hari ini gue gak kesiangan kan, Cael?” tanyanya sambil tersenyum kecil, mengeluarkan pakaian dari dalam tas.Caelyn yang sedang duduk di tepi ranjang Ether menoleh dan tersenyum samar. Rambutnya terikat seadanya, dan wajahnya tampak sedikit letih.“Iya, makasih ya, Al,” balas Caelyn lembut, tangannya langsung meraih baju itu.Pandangan Alea kemudian tertuju pada tubuh Ether yang masih terbaring lemah di ranjang. Selang oksigen masih menempel di hidungnya, dan mesin pemantau detak jantung terus berbunyi dengan irama stabil.“Gimana kondisi Ether? Ada perkembangan?” tanya Alea, suaranya pelan tapi terdengar jelas.Caelyn menggeleng pelan. “Belum ada kemajuan... tapi setidaknya dia udah gak mengalami kejang lagi. Gue ganti pakaia
Pukul 19.40 – Area parkir kawasan industri lama.Zephyr berdiri di balik mobil hitam tanpa tanda. Jaket kulit gelap membungkus tubuhnya, dan earpiece di telinga kirinya terus menyala."Semua tim, posisi. Neil terdeteksi masuk lokasi pukul 19.16. Kita lakukan penyergapan saat jarum menunjuk pukul 20.00 tepat. Jangan ada tembakan kecuali gue perintahkan," ucapnya tegas lewat radio.Empat tim disebar.Tim Alfa: menyusup dari pintu utama.Tim Bravo: menunggu di pintu samping barat.Tim Charlie: berjaga di ventilasi dan jalur pembuangan.Tim Delta: cadangan, menyamar di sekitar area luar.Zephyr sendiri memilih ikut dengan Tim Alfa. Matanya menatap jam tangan. 19.59. Tangannya mengangkat isyarat tiga jari—hitung mundur.Tiga... dua... satu..."Eksekusi!"Mereka bergerak cepat. Pintu didobrak. Ruangan megah di lantai basement itu nampak kosong. Hanya suara langkah kaki berderap di seluruh penjuru.Zephyr memasuki ruangan target lebih dulu. Pandangannya menyapu cepat, suntikan bekas di lanta
Caelyn berdiri terengah-engah di depan rumah sakit. Napasnya masih memburu akibat berlari mengejar pria menyebalkan itu. Ia mengedarkan pandangan, berharap bisa menangkap sosoknya, tapi hasilnya nihil. Entah memiliki jurus apa, Neil bisa bergerak secepat itu. Seperti menghilang.Caelyn berbalik, berniat kembali masuk ke rumah sakit, tapi pandangannya tiba-tiba menangkap sosok Neil di halte bus seberang jalan. Ia berdiri santai, seolah tak terjadi apa-apa, sambil menikmati permen gulali berwarna merah muda di tangannya.Tanpa pikir panjang, Caelyn kembali berlari ke arahnya.“Kesepakatan tadi, gue setuju!” katanya cepat, setibanya di depan pria itu.Neil menoleh, senyum lebar menghiasi wajahnya. “Kesepakatan yang mana? Gue udah lupa.”“Isi paperbag itu. Dan tidur sama loe,” ucap Caelyn tegas, tanpa berputar-putar.Neil tertawa kecil. “Duh, gue gak inget pernah ngomong begitu. Apa jangan-jangan lo salah orang?”Caelyn mengerang kesal. “Tolonglah, jangan bercanda. Keadaannya mendesak sek
Setelah menerima penjelasan dari dokter, Caelyn keluar dari rumah sakit dengan kepala penuh beban. Pikirannya kalut. Ia mencoba menghubungi beberapa kenalan, tapi tak ada yang bisa membantu. Beberapa bahkan hanya membalas dengan permintaan maaf klise.Akhirnya, dengan berat hati, ia memutuskan mendatangi seseorang. Sahabat lama Ether yang dulu pernah begitu dekat.Caelyn kini duduk di ruang kantor milik Saga. Ruangan itu gelap dan dingin. Lampunya tidak terlalu terang, seolah sengaja dibuat redup untuk menjaga suasana tetap tegang. Beberapa pria bertubuh besar dan berwajah dingin berdiri di sekitar ruangan, menjaga dalam diam. Mata mereka menatap tajam seperti sedang menakar bahaya.Saga duduk di seberang meja, mengenakan kemeja gelap yang digulung sampai siku, dan jam tangan mahal melingkar di pergelangannya. Di depan Caelyn, ekspresinya datar. Tatapannya seperti bukan lagi sahabat Ether yang dulu ramah."Ada apa tiba-tiba menghubungiku?" tanya Saga datar, matanya menatap Caelyn taja