Share

3

Penulis: Widia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-02 13:29:26

Caelyn berdiri terengah-engah di depan rumah sakit. Napasnya masih memburu akibat berlari mengejar pria menyebalkan itu. Ia mengedarkan pandangan, berharap bisa menangkap sosoknya, tapi hasilnya nihil. Entah memiliki jurus apa, Neil bisa bergerak secepat itu. Seperti menghilang.

Caelyn berbalik, berniat kembali masuk ke rumah sakit, tapi pandangannya tiba-tiba menangkap sosok Neil di halte bus seberang jalan. Ia berdiri santai, seolah tak terjadi apa-apa, sambil menikmati permen gulali berwarna merah muda di tangannya.

Tanpa pikir panjang, Caelyn kembali berlari ke arahnya.

“Kesepakatan tadi, gue setuju!” katanya cepat, setibanya di depan pria itu.

Neil menoleh, senyum lebar menghiasi wajahnya. “Kesepakatan yang mana? Gue udah lupa.”

“Isi paperbag itu. Dan tidur sama loe,” ucap Caelyn tegas, tanpa berputar-putar.

Neil tertawa kecil. “Duh, gue gak inget pernah ngomong begitu. Apa jangan-jangan lo salah orang?”

Caelyn mengerang kesal. “Tolonglah, jangan bercanda. Keadaannya mendesak sekarang!”

“Tadi loe bilang gue sakit jiwa. Ngapain bikin kesepakatan sama orang yang loe anggap gak waras?”

Caelyn mendesah panjang. Tentu saja dia tidak berharap banyak dari Neil. Orang asing, sok nyentrik, dan jelas punya selera humor aneh. Lagipula, siapa orang waras yang bersedia memberikan uang pada perempuan yang baru dia kenal, apalagi dengan syarat seperti itu?

“Kalau gitu, gue tunggu loe di Hotel Winner. Jam tujuh malam,” ujar Neil tiba-tiba, menahan langkah Caelyn yang hendak pergi.

Caelyn menatapnya, setengah tidak percaya. “Uangnya gimana?”

“Maksud loe minta upah duluan sebelum kerja? Emang ada sistem begitu?” sahut Neil sambil tetap menjilat gulalinya.

“Tapi gue butuh uang itu sekarang”

Neil mengangkat bahu. “Gue butuh jaminan. Supaya loe nggak kabur.”

Caelyn terdiam. Jaminan? Apa yang bisa ia berikan? Ia tidak punya apa-apa lagi. Tidak ada barang berharga, kecuali…

Pandangan Caelyn jatuh pada cincin di jari manisnya. Cincin pertunangan dari Ether.

Tangan Caelyn gemetar saat melepas cincin itu. Tapi tak ada pilihan lain. Ia menyerahkannya pada Neil.

“Ini satu-satunya benda paling berharga yang gue punya. Selama cincin ini ada sama loe, gue gak akan kabur.”

Neil mengambil cincin itu, memutarnya perlahan di antara jari-jarinya. “Cuma ini?”

“Kalau gue punya yang lebih berharga, gue gak akan setuju dengan tawaran gila loe.”

"Kalau yang itu gimana?" Neil menunjuk kalung berbandul bulan yang melingkar di leher Caelyn.

"Gak bisa. Lagipula emangnya kalung ini keliatan berharga buat loe?"

Neil mengangguk pelan, seraya merentangkan bibirnya, tampak mempertimbangkan. Lalu ia tersenyum. “Oke. Setuju. Soalnya bis-nya udah datang, gue males ketinggalan.”

Ia menyerahkan paperbag itu ke Caelyn, lalu naik ke dalam bus yang baru saja berhenti.

Caelyn hanya bisa berdiri terpaku. Tangannya mencengkeram erat paperbag tersebut. Masih belum percaya dengan semua yang baru saja terjadi. Dia bingung, bukan hanya karena keputusannya sendiri, tapi juga karena pria bernama Neil itu. Sikapnya kekanakan, penuh teka-teki, dan benar-benar... gila.

Tanpa membuang waktu, Caelyn berbalik menuju rumah sakit, berharap tidak terlambat untuk keselamatan Ether.

***

Alea datang terburu-buru, napasnya masih memburu ketika tiba di ruang tunggu rumah sakit. Wajahnya tampak cemas melihat Caelyn berdiri dengan ekspresi yang sulit dibaca.

"Kenapa manggil gue mendadak banget? Ada apa? Ether kenapa?!" tanya Alea cepat, matanya menatap wajah Caelyn lekat-lekat.

"Dia mau dioperasi malam ini," jawab Caelyn pelan.

Alea mengangguk, lalu buru-buru mendekat ke jendela kaca yang memisahkan mereka dari ruang perawatan. "Terus... kenapa pakaian loe kayak orang yang mau pergi jauh?"

Caelyn terdiam sejenak. "Gue harus pergi sebentar."

Alea menoleh cepat. "Pergi? Sekarang? Ether mau dioperasi, Cael! Biasanya loe gak akan ninggalin dia dalam kondisi seperti ini bahkan semenit pun!"

"Alea, tolong... temenin dia demi gue. Cuma sampai nanti dokter selesai. Gue janji setelah semua urusan selesai gue akan langsung balik," suara Caelyn nyaris seperti bisikan, nyaris putus harapan.

Alea menatap sahabatnya itu dalam-dalam, mencoba membaca rahasia di balik raut wajahnya yang tak seperti biasanya. Tapi Caelyn menghindari tatapan itu, memalingkan wajah sambil mengambil tas kecilnya.

"Lo mau ke mana, Caelyn?" desaknya lagi.

Caelyn hanya menggeleng, seolah tak sanggup berkata jujur. "Maafin gue, Alea. Tolong jagain Ether"

Tanpa memberi kesempatan lebih jauh untuk bertanya, Caelyn berbalik pergi. Suara langkah kakinya bergema di koridor rumah sakit yang sunyi, meninggalkan Alea yang masih berdiri terpaku dengan tatapan tak percaya.

***

Langit sudah gelap ketika Caelyn tiba di hotel Winner. Hatinya berdebar, bahkan telapak tangannya dingin. Kamar 708—ia mengulang-ulang nomor itu dalam kepalanya seperti mantra.

Dia membuka pintu dengan kartu akses yang sudah disiapkan oleh Neil. Ruangan itu elegan, terlalu mewah untuk pertemuan yang terasa begitu kotor dalam benaknya. Lampu redup, aroma ruangan mahal, dan ranjang besar yang tampak tak bersalah di tengah kamar. Semuanya terasa asing dan menyesakkan.

Caelyn berdiri di dekat jendela, menatap keluar dengan harap-harap cemas. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh. Tak ada kabar. Tak ada suara pintu diketuk. Hanya kesunyian dan kecemasan yang makin menumpuk dalam pikirannya.

"Ya Tuhan... seharusnya aku ada di samping Ether sekarang, tapi apa yang sedang aku lakukan di sini," bisiknya lirih. Ia duduk di ujung ranjang, menggenggam ponselnya erat-erat. Tangannya sempat bergetar ingin menghubungi Neil—tapi nomor pria itu pun ia tidak memilikinya.

Tiba-tiba, suara ketukan di pintu membuatnya tersentak. Ia bangkit cepat, detak jantungnya melonjak.

"Neil?" Caelyn membuka pintu perlahan.

Namun bukan Neil yang berdiri di sana. Melainkan seorang resepsionis perempuan muda menunduk sopan dan menyodorkan sebuah amplop kecil.

"Ada pesan untuk Anda, Nona" ucapnya singkat, lalu pergi begitu saja.

Dengan tangan gemetar, Caelyn membuka amplop itu. Sebuah kertas kecil terlipat rapi di dalamnya. Ia menarik napas panjang sebelum membacanya.

Sayang sekali, malam ini rencana kita harus batal. Maaf ngecewain loe, WBS! Gue akan kabari kalau udah tiba waktunya nanti. Jangan sedih ya – Neil.

Caelyn terpaku. Dahinya berkerut, matanya menatap tulisan itu tak percaya.

"Ah, sial!" desisnya. "Rupanya dia memang pria gila yang senang bermain-main!"

Sementara itu di tempat lain, Neil melemparkan jaket ke sofa, mengendurkan kerah kemejanya, lalu berjalan menuju meja di sudut ruangan. Napasnya berat. Perih itu datang lagi—menusuk dari belakang perut hingga ke punggung bawah. Rasa panas, seperti bara yang menyebar ke seluruh rongga tubuhnya.

Namun jika melihatnya dari luar, tak ada yang akan mengira bahwa tubuh pria itu sedang dihancurkan penyakit. Bahunya masih bidang. Otot-otot di lengannya masih tampak mengeras setiap kali ia menggenggam erat. Tulang rahangnya masih tegas, membingkai wajah yang nyaris tak menunjukkan tanda-tanda penderitaan.

Tapi hanya Neil yang tahu betapa keras ia berusaha menjaga citra itu.

Ia membuka kotak kecil dari kayu mahoni, mengambil suntikan yang sudah ia isi sebelumnya. Cairan bening itu bukan kesenangan, bukan pelarian—itu satu-satunya hal yang mampu membuatnya bertahan dalam diam, ketika dunia tak tahu betapa tubuhnya sedang dimakan dari dalam.

Ia duduk di sofa, menggulung satu sisi lengan bajunya. Meski nadinya tak semudah dulu ditemukan, kulitnya masih kencang, urat-uratnya masih menonjol. Tangannya tetap stabil saat menyuntikkan cairan fentanyl ke dalam vena.

Beberapa detik… hanya beberapa detik.

Dan kemudian datanglah kelegaan yang tak bisa dijelaskan.

Nyeri menusuk itu mulai memudar. Bukan hilang sepenuhnya, tapi seolah ada kabut lembut yang menyelimuti rasa sakit itu, mengaburkannya cukup jauh agar ia bisa kembali bernapas tanpa meringis. Otot-otot punggungnya yang tegang perlahan mengendur. Dahi yang tadi mengerut kini lebih tenang. Jantungnya masih berdetak cepat, tapi bukan karena penderitaan—melainkan karena lega, karena untuk sementara ia bisa merasa… seperti manusia lagi.

Di bawah cahaya kuning redup, Neil bersandar ke sofa dengan pelan. Pandangannya menerawang ke langit-langit, membiarkan tubuh kekar itu menyatu dengan ketenangan singkat. Fisiknya masih tampak kuat, meski itu kekuatan semu. Kekuatan yang sedang menunggu waktu untuk runtuh.

Ia tidak menikmati obat itu seperti pecandu. Ia tidak tertawa, tidak melayang, tidak memejamkan mata dengan kepuasan palsu. Tidak. Yang ia cari hanyalah kebebasan dari rasa sakit, meski hanya untuk beberapa jam.

Neil menatap jarum kosong yang kini tergeletak di sampingnya. Ia menarik napas panjang, lalu bergumam, pelan, seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri:

"Sial! Harusnya gue bisa bertemu wanita bodoh itu lagi sekarang!" Gumamnya pelan seraya tersenyum miris.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jeratan SANG MAFIA   58

    Keesokan harinya, Neil membuka matanya perlahan. Cahaya lembut yang menembus tirai rumah sakit menusuk retinanya yang masih berat. Napasnya tersengal, tubuhnya terasa lemah, dan setiap tarikan oksigen membuat dadanya perih.Saat pandangannya mulai fokus, ia mendapati sosok Caelyn duduk di kursi dekat ranjangnya. Wajah perempuan itu dipenuhi gurat khawatir, matanya sembab. Sepertinya, semalaman tidak tidur.“Neil… akhirnya kamu siuman,” ucap Caelyn dengan suara bergetar. Ia segera berdiri, lalu menggenggam tangan Neil erat-erat, seakan takut tangan itu akan terlepas lagi.Neil berusaha mengulas senyum tipis. “Eh… si bodoh ada di sini,” katanya dengan nada lemah, mencoba meledek.Namun senyum itu hanya bertahan sekejap. Tiba-tiba perutnya bergejolak hebat. Tubuhnya menunduk, tangannya menekan ulu hati. “Ugh…” desahnya lirih."Kamu kenapa?" Caelyn panik. “Tunggu sebentar, aku panggil dokter!” Ia segera berlari ke pintu, suaranya pecah memanggil bantuan. “Dokter! Suster! Tolong! Cepat!”P

  • Jeratan SANG MAFIA   57

    “Loe mau bawa mobil ini ke arah mana sih?” tanya Zephyr dengan suara bergetar. Matanya beberapa kali terpejam dan tubuhnya menegang.Neil mengendarai mobil seperti orang kesetanan. Di setiap tikungan tajam, ban mobil itu sampai terangkat sebelah, membuat Zephyr hanya bisa berpegangan kuat pada handle pintu.“Ke kawasan pertokoan lama. Gue yakin Saga bawa Caelyn ke sana,” jawab Neil tenang, matanya fokus pada jalan.“Kenapa loe bisa yakin banget? Belum tentu mereka bisa sampai sejauh ini,” sahut Zephyr, masih berusaha menahan rasa panik.“Ayah Saga dulu punya toko di sana. Sekarang pertokoan itu udah terbengkalai, dan itu satu-satunya tempat yang menurut dia aman dan gak akan terjangkau sama orang yang dia kenal karena sejarah itu cuma dia dan orang tuanya yang tahu.”Zephyr hendak membalas, tapi matanya tiba-tiba menangkap dua sosok di sisi trotoar. “Itu… itu mereka bukan?” serunya sambil menunjuk.Neil spontan menoleh. Begitu mengenali Caelyn dan Saga, ia langsung menginjak rem keras

  • Jeratan SANG MAFIA   56

    "Aku kan udah bilang, kali ini aku gak akan melepaskan kamu!" ucap Saga, suaranya rendah penuh ancaman, langkah kakinya berputar mengitari Caelyn yang terikat erat di salah satu pilar bangunan pertokoan terbengkalai itu."Apa kamu akan puas kalau semua yang kamu inginkan didapat dengan cara memaksa?" balas Caelyn lantang, sorot matanya tajam menembus gelap. "Wanita itu bahkan gak pernah mencintai kamu! Ah, iya... kamu juga harus tahu, dia bahkan jijik buat sekadar ngelihat kamu!"Rahang Saga mengeras. Dalam sekejap, ia menjambak rambut Caelyn kasar, memaksa wajah gadis itu mendongak menatapnya."Kamu yakin dengan ucapan kamu?" bisiknya dengan nada getir. Senyum miring tersungging di wajahnya. "Nyatanya, wanita itu sedang menatapku sekarang..."Cuih!Caelyn meludah tepat di wajahnya.Sejenak hening. Lalu suara tawa Saga pecah, berat, menyeramkan. Ia mengusap ludah itu perlahan, matanya berkilat dingin.Plaaakk!Tamparan keras mendarat di pipi Caelyn hingga kepalanya terhempas ke sampin

  • Jeratan SANG MAFIA   55

    Seorang pria paruh baya berjalan mendekat lalu duduk di samping Bu Elsya. Perempuan itu menoleh, menatap sosok asing yang memilih memandang lurus ke depan, seakan tak peduli pada kehadirannya.“Anda pasti tidak mengenal saya,” ucap Tuan Chao datar.Ia berhenti sejenak, “Apa Anda tahu bahwa Neil tertangkap polisi atas kasus penembakan seorang Kapolri?” Tanyanya tenang.Mata Bu Elsya membesar. “Apa? Neil tertangkap polisi?” suaranya gemetar. “Tidak mungkin Neil melakukan penembakan!”Tuan Chao tersenyum pahit. “Anda benar. Neil memang tidak mungkin melakukannya. Dia hanya melindungi seseorang… dan ini bukan kali pertama ia melakukan hal yang sama.”Sejenak keheningan turun, hanya menyisakan desau angin yang berhembus perlahan di udara sore itu.“Awalnya saya tidak habis pikir dengan anak nakal itu,” lanjut Tuan Chao. “Mengapa ia rela menanggung hukuman berkali-kali hanya demi melindungi anak buahnya? Namun pada akhirnya saya mengerti. Ia bukan sedang melindungi anak buahnya, melainkan i

  • Jeratan SANG MAFIA   54

    "Lepasin!" Caelyn memberontak kasar, berusaha menarik lengannya dari cengkeraman Saga.Saga akhirnya melepaskannya, lalu mengangkat kedua tangannya sendiri seakan menantang."Kenapa kamu ngelakuin itu? Kenapa kamu biarin Neil ketangkap polisi?" bentak Caelyn frustasi, matanya berkaca-kaca."Oh iya aku tahu, karna kamu mencintai Sea? Jadi dengan membiarkan Neil masuk penjara kamu bebas pacaran sama Sea iyakan?" sambungnya dengan suara bergetar menahan amarah.Saga bergeming. Ia hanya menatap, tatapannya menusuk tanpa satu kata pun keluar, membiarkan Caelyn terbakar emosi sendirian."Kamu setega itu ya sama sahabat-sahabatmu, kenapa kamu selalu begitu, hah? Kenapa?" Caelyn menghentak dada Saga dengan kedua tangannya. Tubuhnya gemetar penuh amarah."Setelah kamu tinggalin Ether saat terbaring koma, sekarang kamu tinggalin Neil yang tertangkap polisi karena ulah kamu." Bibirnya melengkung sinis, "Aku bahkan gak pernah bermimpi bisa kenal dengan orang picik seperti kamu.""Kamu buat Neil t

  • Jeratan SANG MAFIA   53

    “Yakin kau tak akan menyesal nantinya? Aku takut nanti kau akan menangis darah sambil memohon padaku untuk mengubah keputusan,” ucap Charles, suaranya lirih namun penuh jebakan, seakan racun yang dibungkus dengan rayuan.Neil tersenyum tipis, lalu mencondongkan tubuhnya. “Untuk apa aku menyesali? Semua sabu yang sudah anda curi saja tidak pernah aku tangisi. Anda tahu sendiri jumlahnya bernilai miliaran, bukan? Seharusnya aku bisa tidur di atas tumpukan uang, alih-alih berdiri di gudang kotor ini sekarang.”Ucapan itu baru saja jatuh ketika sebuah sosok muncul tergopoh dari lorong samping gudang. Caelyn, dengan wajah terluka dan napas terengah, mematung mendengar setiap kata yang diucapkan Neil.“Jadi benar kamu bandar narkoba, Neil?”Neil tersentak, tubuhnya kaku seketika. Pandangannya membeku melihat Caelyn, lebih terkejut pada luka di wajahnya daripada pertanyaan yang keluar. Namun sebelum ia sempat menjawab, seorang penjaga melompat dari belakang, hendak meringkus Caelyn. Refleks,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status