MasukPukul 19.40 – Area parkir kawasan industri lama.
Zephyr berdiri di balik mobil hitam tanpa tanda. Jaket kulit gelap membungkus tubuhnya, dan earpiece di telinga kirinya terus menyala. "Semua tim, posisi. Neil terdeteksi masuk lokasi pukul 19.16. Kita lakukan penyergapan saat jarum menunjuk pukul 20.00 tepat. Jangan ada tembakan kecuali gue perintahkan," ucapnya tegas lewat radio. Empat tim disebar. Tim Alfa: menyusup dari pintu utama. Tim Bravo: menunggu di pintu samping barat. Tim Charlie: berjaga di ventilasi dan jalur pembuangan. Tim Delta: cadangan, menyamar di sekitar area luar. Zephyr sendiri memilih ikut dengan Tim Alfa. Matanya menatap jam tangan. 19.59. Tangannya mengangkat isyarat tiga jari—hitung mundur. Tiga... dua... satu... "Eksekusi!" Mereka bergerak cepat. Pintu didobrak. Ruangan megah di lantai basement itu nampak kosong. Hanya suara langkah kaki berderap di seluruh penjuru. Zephyr memasuki ruangan target lebih dulu. Pandangannya menyapu cepat, suntikan bekas di lantai, tapi tidak ada Neil di sana. "Kosong. Target lolos. Cari jalur alternatif sekarang!" Tim Charlie melapor dari kanal radio: "Saluran ventilasi bagian timur terbuka. Ada bekas jejak baru." Zephyr mendekat. Ia menelusuri lubang sempit yang cukup dilewati satu orang dewasa. Napasnya mulai tidak sabar. "Dia sudah pantau kita. Ada kemungkinan sistem kamera tersembunyi di lorong-lorong. Periksa dan bongkar semuanya." Pencarian meluas ke permukaan. Tapi semuanya terlambat. Neil berhasil kabur. 20.23 – Area parkir, lokasi yang sama. Zephyr berdiri bersandar ke kap mobil, menatap kosong ke bangunan di depannya. Timnya satu per satu kembali tanpa hasil. “Tak ada jejak kendaraan keluar. Mungkin dia dibantu dari dalam sistem,” ujar salah satu petugas. Zephyr menahan amarah. Rahangnya mengeras. "Sial! Gue kehilangan buruan besar!" Gumamnya lirih. Ia menoleh ke seluruh tim. "Besok kita revisi strategi. Buka semua arsip digital tentang jejak komunikasi terakhir Neil. Panggil tim cyber. Dan mulai cari koneksi dia. Satu pun gak boleh ada yang luput." Suaranya dingin, tegas. "Kita gagal malam ini. Tapi itu cuma awal. Kali berikutnya, gak ada ruang untuk meleset. Tangkap dia hidup-hidup." Zephyr masuk ke dalam mobil, diam, membuka tablet di dashboard dan mulai meninjau ulang footage CCTV di area luar. Operasi malam itu gagal. Dan Zephyr tidak akan membiarkan kegagalan itu terulang dua kali. *** Villa itu sunyi. Tak ada suara selain pemantik flip yang dimainkan oleh Neil dan hembusan angin yang mengayun pelan tirai jendela. Ia duduk membungkuk di tepi ranjang, satu tangan menopang kepalanya yang berat oleh banyak hal, bukan hanya oleh efek sisa fentanyl di tubuhnya, tapi oleh kabut curiga yang mulai menyusup perlahan ke dalam pikirannya. Penyergapan itu terlalu rapi. Terlalu mendadak. Terlalu tepat sasaran. Hanya dia yang jadi target. Dan yang lebih membuatnya terdiam bukanlah bahaya itu sendiri, tapi bagaimana polisi tahu dia akan ada di sana. Tempat itu bukan persembunyian sembarangan. Terlalu tersembunyi untuk bisa ditemukan tanpa bantuan. Terlalu steril untuk disusupi begitu saja. Ia tahu persis siapa saja yang pernah menginjakkan kaki di sana. Dan jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Neil menunduk, menatap bekas suntikan yang samar di lengan kirinya. Luka kecil, tapi cukup untuk membuatnya berdiri tadi malam. Sakit di perutnya masih kadang datang seperti gelombang. Penyakit itu—seperti karma yang perlahan menyayat dari dalam. Tapi itu bukan yang paling menyakitkan. Yang lebih menyesakkan justru rasa curiga yang menyelinap dalam sunyi. Wajah-wajah itu datang silih berganti di benaknya. Nama-nama yang ia percayai kini berderak pelan di kepalanya. Saga sebagai orang kepercayaannya. Kaki tangan yang selama ini selalu setia. Tapi justru karena itu, Neil tahu persis betapa dalamnya Saga masuk ke dalam sistem mereka. Jika ada seseorang yang tahu semua hal tentang dirinya dan tempat rahasia... itu Saga. Namun, Neil tidak bisa mengabaikan satu nama lain yang justru lebih mengganggunya. Sea, kekasihnya. Wanita yang selama ini berada di sisinya. Lagipula akhir-akhir ini banyak yang berubah dari cara Sea memperlakukannya. Senyumannya seolah dibuat-buat. Dan ketika Neil diam-diam memeriksa ponsel Sea malam itu, ia menemukan sesuatu yang tidak ia harapkan, pesan-pesan terhapus, panggilan keluar tengah malam, dan nama-nama asing dalam log. Dia belum tahu dengan siapa Sea berselingkuh. Tapi pengkhianatan yang terlihat kecil itu mulai menumbuhkan retakan yang lebih besar. Apalagi Sea tahu di mana tempat dia biasa 'menghilang' untuk memakai. Kalau memang ada yang membocorkan keberadaannya... Sea adalah pelaku utamanya. "Wanita sialan itu" Neil tersenyum sinis sebelum akhirnya meraih hoodie dan berlalu meninggalkan villanya. Mesin mobil menderu rendah saat Neil menyalakan kendaraan. Malam belum sepenuhnya hilang dari langit, meski fajar mulai menyelinap dari balik awan. Suara ranting terinjak saat ban mobil menyentuh jalan setapak yang membawanya keluar dari vila tersembunyi itu. Tangannya mengarah ke ponsel, jari-jarinya dengan cepat menekan sebuah nama. Nada sambung berdering hanya sekali sebelum suara berat itu menjawab. “Halo, Bos?” Neil menarik napas pelan. "Saga. Gue butuh laporan kondisi di sekitar gudang barang. Masih aman?" Beberapa detik hening. Lalu suara Saga terdengar lagi, terdengar percaya diri namun berhati-hati. “Semua Aman, Bos.” Neil menyipitkan mata menatap jalanan kosong di depannya. "Loe yakin?" “Yakin bos. Tidak ada tanda-tanda mencurigakan. Semua CCTV juga sudah di cek.” Neil mengangguk kecil meski tak bisa terlihat. "Oke. Pastikan semuanya tetap waspada" Saga kembali bertanya, kali ini dengan nada cemas yang ditahan. “Apa ada sesuatu yang sudah terjadi bos? Dan kalau boleh tahu… anda sekarang di mana? Tadi malam saya ke tempat biasa, tapi di sana kosong.” Neil mengerem pelan saat sebuah tikungan muncul di depannya. Pandangannya tajam. “Gue hampir ditangkap semalam.” Saga terdengar mengumpat pelan. "Bagaimana bisa bos? tapi anda baik-baik saja kan sekarang?” “Loe gak perlu khawatir. Gue baik-baik aja!" Suara Saga jadi serius. “Anda, tolong berhati-hati. Untuk saat ini sebaiknya anda bersembunyi di tempat yang aman, bos" Neil menyeringai tipis. “Gue tahu, Saga. Gue bukan orang baru.” “Maaf, Bos. Saya cuma khawatir.” Neil mengangguk sekali, lalu mengakhiri dengan suara rendah. “Gue percayain gudang barang sama loe. Pastikan semua aman, Oh ya... kalau Sea datang jangan beritahu apapun tentang kondisi gue sekarang” "Baik bos!" Klik. Sambungan terputus. Mobil melaju lebih cepat. Udara pagi yang dingin terasa menggigit meski jendela tertutup. Neil bersandar sejenak, membiarkan kepalanya menengadah sambil berpikir. Bukan Saga. Nada suara, respons, dan detail yang disampaikan terlalu spesifik untuk sebuah rekayasa. Jika Saga yang melaporkannya, dia tidak akan bertanya dan khawatir akan keadaan Neil saat ini. Yang membuat Neil terusik adalah sosok yang justru tak menghubunginya sejak kemarin. Tangan Neil menggenggam setir lebih erat. Pandangannya tertuju ke arah tikungan besar di depan. Sekarang, ia harus bergerak lebih cepat menuju Caelyn. Perannya sangat dibutuhkan.Keesokan harinya, Neil membuka matanya perlahan. Cahaya lembut yang menembus tirai rumah sakit menusuk retinanya yang masih berat. Napasnya tersengal, tubuhnya terasa lemah, dan setiap tarikan oksigen membuat dadanya perih.Saat pandangannya mulai fokus, ia mendapati sosok Caelyn duduk di kursi dekat ranjangnya. Wajah perempuan itu dipenuhi gurat khawatir, matanya sembab. Sepertinya, semalaman tidak tidur.“Neil… akhirnya kamu siuman,” ucap Caelyn dengan suara bergetar. Ia segera berdiri, lalu menggenggam tangan Neil erat-erat, seakan takut tangan itu akan terlepas lagi.Neil berusaha mengulas senyum tipis. “Eh… si bodoh ada di sini,” katanya dengan nada lemah, mencoba meledek.Namun senyum itu hanya bertahan sekejap. Tiba-tiba perutnya bergejolak hebat. Tubuhnya menunduk, tangannya menekan ulu hati. “Ugh…” desahnya lirih."Kamu kenapa?" Caelyn panik. “Tunggu sebentar, aku panggil dokter!” Ia segera berlari ke pintu, suaranya pecah memanggil bantuan. “Dokter! Suster! Tolong! Cepat!”P
“Loe mau bawa mobil ini ke arah mana sih?” tanya Zephyr dengan suara bergetar. Matanya beberapa kali terpejam dan tubuhnya menegang.Neil mengendarai mobil seperti orang kesetanan. Di setiap tikungan tajam, ban mobil itu sampai terangkat sebelah, membuat Zephyr hanya bisa berpegangan kuat pada handle pintu.“Ke kawasan pertokoan lama. Gue yakin Saga bawa Caelyn ke sana,” jawab Neil tenang, matanya fokus pada jalan.“Kenapa loe bisa yakin banget? Belum tentu mereka bisa sampai sejauh ini,” sahut Zephyr, masih berusaha menahan rasa panik.“Ayah Saga dulu punya toko di sana. Sekarang pertokoan itu udah terbengkalai, dan itu satu-satunya tempat yang menurut dia aman dan gak akan terjangkau sama orang yang dia kenal karena sejarah itu cuma dia dan orang tuanya yang tahu.”Zephyr hendak membalas, tapi matanya tiba-tiba menangkap dua sosok di sisi trotoar. “Itu… itu mereka bukan?” serunya sambil menunjuk.Neil spontan menoleh. Begitu mengenali Caelyn dan Saga, ia langsung menginjak rem keras
"Aku kan udah bilang, kali ini aku gak akan melepaskan kamu!" ucap Saga, suaranya rendah penuh ancaman, langkah kakinya berputar mengitari Caelyn yang terikat erat di salah satu pilar bangunan pertokoan terbengkalai itu."Apa kamu akan puas kalau semua yang kamu inginkan didapat dengan cara memaksa?" balas Caelyn lantang, sorot matanya tajam menembus gelap. "Wanita itu bahkan gak pernah mencintai kamu! Ah, iya... kamu juga harus tahu, dia bahkan jijik buat sekadar ngelihat kamu!"Rahang Saga mengeras. Dalam sekejap, ia menjambak rambut Caelyn kasar, memaksa wajah gadis itu mendongak menatapnya."Kamu yakin dengan ucapan kamu?" bisiknya dengan nada getir. Senyum miring tersungging di wajahnya. "Nyatanya, wanita itu sedang menatapku sekarang..."Cuih!Caelyn meludah tepat di wajahnya.Sejenak hening. Lalu suara tawa Saga pecah, berat, menyeramkan. Ia mengusap ludah itu perlahan, matanya berkilat dingin.Plaaakk!Tamparan keras mendarat di pipi Caelyn hingga kepalanya terhempas ke sampin
Seorang pria paruh baya berjalan mendekat lalu duduk di samping Bu Elsya. Perempuan itu menoleh, menatap sosok asing yang memilih memandang lurus ke depan, seakan tak peduli pada kehadirannya.“Anda pasti tidak mengenal saya,” ucap Tuan Chao datar.Ia berhenti sejenak, “Apa Anda tahu bahwa Neil tertangkap polisi atas kasus penembakan seorang Kapolri?” Tanyanya tenang.Mata Bu Elsya membesar. “Apa? Neil tertangkap polisi?” suaranya gemetar. “Tidak mungkin Neil melakukan penembakan!”Tuan Chao tersenyum pahit. “Anda benar. Neil memang tidak mungkin melakukannya. Dia hanya melindungi seseorang… dan ini bukan kali pertama ia melakukan hal yang sama.”Sejenak keheningan turun, hanya menyisakan desau angin yang berhembus perlahan di udara sore itu.“Awalnya saya tidak habis pikir dengan anak nakal itu,” lanjut Tuan Chao. “Mengapa ia rela menanggung hukuman berkali-kali hanya demi melindungi anak buahnya? Namun pada akhirnya saya mengerti. Ia bukan sedang melindungi anak buahnya, melainkan i
"Lepasin!" Caelyn memberontak kasar, berusaha menarik lengannya dari cengkeraman Saga.Saga akhirnya melepaskannya, lalu mengangkat kedua tangannya sendiri seakan menantang."Kenapa kamu ngelakuin itu? Kenapa kamu biarin Neil ketangkap polisi?" bentak Caelyn frustasi, matanya berkaca-kaca."Oh iya aku tahu, karna kamu mencintai Sea? Jadi dengan membiarkan Neil masuk penjara kamu bebas pacaran sama Sea iyakan?" sambungnya dengan suara bergetar menahan amarah.Saga bergeming. Ia hanya menatap, tatapannya menusuk tanpa satu kata pun keluar, membiarkan Caelyn terbakar emosi sendirian."Kamu setega itu ya sama sahabat-sahabatmu, kenapa kamu selalu begitu, hah? Kenapa?" Caelyn menghentak dada Saga dengan kedua tangannya. Tubuhnya gemetar penuh amarah."Setelah kamu tinggalin Ether saat terbaring koma, sekarang kamu tinggalin Neil yang tertangkap polisi karena ulah kamu." Bibirnya melengkung sinis, "Aku bahkan gak pernah bermimpi bisa kenal dengan orang picik seperti kamu.""Kamu buat Neil t
“Yakin kau tak akan menyesal nantinya? Aku takut nanti kau akan menangis darah sambil memohon padaku untuk mengubah keputusan,” ucap Charles, suaranya lirih namun penuh jebakan, seakan racun yang dibungkus dengan rayuan.Neil tersenyum tipis, lalu mencondongkan tubuhnya. “Untuk apa aku menyesali? Semua sabu yang sudah anda curi saja tidak pernah aku tangisi. Anda tahu sendiri jumlahnya bernilai miliaran, bukan? Seharusnya aku bisa tidur di atas tumpukan uang, alih-alih berdiri di gudang kotor ini sekarang.”Ucapan itu baru saja jatuh ketika sebuah sosok muncul tergopoh dari lorong samping gudang. Caelyn, dengan wajah terluka dan napas terengah, mematung mendengar setiap kata yang diucapkan Neil.“Jadi benar kamu bandar narkoba, Neil?”Neil tersentak, tubuhnya kaku seketika. Pandangannya membeku melihat Caelyn, lebih terkejut pada luka di wajahnya daripada pertanyaan yang keluar. Namun sebelum ia sempat menjawab, seorang penjaga melompat dari belakang, hendak meringkus Caelyn. Refleks,







