“Bapakmu kencing mulu, Bang! Aku capek!”
Aku menghela napas sambil berusaha tetap mempertahankan posisi ponsel di dekat telinga. Di siang yang terik tanpa orderan ini, telepon keluhan dari Eda membuat keletihan semakin menumpuk.
“Kan Bapak pakai popok, Da.”
“Pakai sih pakai, tapi mesti digantiin mulu! Udah tiga kali kugantiin popoknya. Apa nggak habis duit kita belinya?!”
“Jangan ngomong gitu. Itu bapakku, Eda. Kalau habis bakal kucari lagi duitnya.”
“Ya udah, cari aja sampai mampus! Kerja keras sampai kamu bisa beli sepuluh popok tiap hari buat bapakmu!”
Telepon terputus begitu saja. Dulu Eda menyebut Bapak tanpa embel-embel ‘bapakmu’. Sekarang Eda bahkan menganggap Bapak hanyalah orang tuaku saja.
“Kenapa, Mar?”
Kali ini Aziz yang tinggal menemaniku. Hari ini orderannya juga sulit masuk. Di antara aku, Parwo, dan Aziz, hanya aku yang selalu sepi penumpang setiap hari.
“Rezeki selalu sempit, Ziz. Mau ngerokok aja susah.” Aku sangat jarang berpikir soal rokok lagi. Untuk makan sehari-hari saja sudah sulit, apalagi mesti meladeni keinginan merokokku.
“Kalau gitu ngopi dulu, mayan biar pikiran nggak sepat-sepat amat.” Aziz menyodorkan gelas kopiku yang masih tersisa setengah.
Aziz menjulurkan kaki panjangnya melewati gazebo lalu bersandar di dinding yang terbuat dari kayu. Kulirik sebentar temanku itu. Jika Parwo berperut buncit, maka Aziz berperut rata dan bertubuh tinggi. Perawakannya besar dengan rambut agak panjang dan mata yang melengkung tajam.
“Padahal sudah merawat orang tua, aku berusaha keras agar Bapak nggak kekurangan. Obat, susu, popok, semuanya coba penuhin. Kebutuhan anak-anak pun juga setengah mati kucarikan duitnya. Apanya lagi yang salah?”
“Ya nggak ada yang salah, Mar. Lu udah berusaha. Meskipun kita udah usaha keras, belum tentu hasilnya bakal keliatan saat itu juga. Terkadang Tuhan mau liat seberapa lama lu tahan dibanting sana-sini.”
Aku terdiam.
“Ya udah, itu aja.” Aziz mengangguk santai.
Aziz termasuk orang yang tenang menghadapi setiap masalah. Karena dia berpikir bahwa semua masalah itu adalah rumus kehidupan. Bukan hidup namanya kalau tanpa masalah. Yah, diterima dan dijalani saja katanya. Akan tetapi menjalaninya tidak semudah itu.
“Tapi aku perlu hasilnya, Ziz. Mau makan apa kalau nggak ada hasil?”
“Lah, emang selama ini lu nggak pernah makan?"
“Ya makan.”
“Berarti ada hasilnya.”
Aku menghela napas. Hasil yang kuinginkan jelas berbeda dengan hasil yang dimaksud Aziz.
“Lu sehat nggak?” tanya Aziz.
Aku mengangguk.
“Keluarga lu lengkap? Orang tua, anak, istri yang harus dikasih makan.”
Aku mengangguk lagi.
Aziz menepuk pahanya. “Ya udah, itu hasilnya. Itu rejeki.”
Aku terhenyak. Sehat dan punya keluarga yang lengkap. Aziz benar. Itu adalah rezeki yang paling mahal. Aku terlalu banyak menuntut kepada Tuhan. Sudah diberi modal badan yang sehat untuk bekerja dan punya keluarga yang setiap hari kutemui di rumah.
Rezeki bukan cuma soal uang. Kulirik ponsel yang sepi notif. Serta merta aku berdiri dengan tekad yang kuat.
“Aku cari penumpang biasa aja kalau gitu. Eh, rumah Pak Arief masih direnovasi, ‘kan?”
“Masih.” Aziz menatapku santai sambil menyeruput kopinya.
“Mau bantu-bantu, buat beli popoknya Bapak.”
Aziz mengangguk, membiarkanku pergi dengan sepeda motor yang jarang diservis. Kendati siang sedang terik-teriknya, tetap kucari siapa saja yang berdiri di tepi jalan menunggu kendaraan umum.
“Ojek, Mbak? Ojek, Mas! Ojek, Dek!” Aku berputar-putar, menyusuri jalan demi jalan. Mumpung masih sehat, mumpung masih ada keluarga yang dicarikan duit.
***
Aku pulang dengan senyum semringah. Dengan uang 30 ribu hasil narik sana-sini dan 50 ribu pemberian dari Pak Arief karena aku membantu mengangkat barang-barang pindahannya.
Hari ini aku diberikan rezeki berlipat ganda. Dengan salam seperti biasa, aku memasuki rumah. Bapak sedang bermain dengan Radit di ruang tengah, merakit mobil-mobilan dari kulit jeruk. Bapak duduk di atas kursi roda, berusaha menyambungkan kulit jeruk itu dengan lidi, sedangkan Radit memainkannya di lantai.
Radit langsung berlari menghampiriku dengan mata berbinar. Pasti menunggu oleh-oleh seperti biasanya. Bapak pun begitu. Dengan bola matanya yang cekung, Bapak menyuratkan harapan yang sangat besar.
“Bapak nggak sempat beli jajanan, Nak. Nih, duit. Beliin jajan buat hari ini, sekalian buat Kakek juga. Beliin yang enak.”
Radit menerima tiga lembar uang dua ribuan dariku lalu berseru senang sambil menunjukkannya pada Bapak.
“Kek, kita beli es krim, yuk!”
Bapak mengangguk-angguk antusias dengan senyum polosnya yang memperlihatkan gusi yang hanya menyisakan tiga buah gigi.
Bapak kembali menjadi anak kecil. Dulu kuingat Bapak memberiku lebih dari itu untuk membeli jajanan di pasar karena rumah kami berdekatan dengan pasar. Pekerjaan Bapak adalah sebagai ojek sepeda dan membawakan barang-barang orang dengan sepeda bututnya.
Dulu saat usiaku menginjak remaja, Bapak membawaku ke pasar. Aku duduk di depan, sementara adik perempuanku–Unur–dibonceng di belakang. Lalu saat Bapak hendak mengantar penumpangnya, kami diberikan uang jajan dan disuruh jajan sepuasnya di dalam pasar. Saat-saat Bapak pergi bekerja adalah hari-hari yang kami sukai, apalagi di hari Minggu saat libur sekolah, aku dan Unur akan puas berkeliling pasar.
Lalu di siang hari, kami akan membuka bekal dari Ibu, memakannya bersama di emperan-emperan pasar sambil minum es yang kami beli. Setelah itu, Bapak akan mengantarku dan Unur pulang untuk tidur siang, sementara beliau tetap melanjutkan pekerjaannya.
Bapak hanya memiliki kami berdua. Tak ada tempat untuk menitipkan Bapak pada kerabat atau keluarga. Sudah sejak lama mereka menjauhi keluarga kami. Mana bisa kuberikan Bapak kepada mereka?
Unur, adikku yang saat ini berusia 28 tahun sedang menjalankan pendidikannya dan pasti sangat sibuk. Pelajaran Unur akan terganggu, terlebih dia hanya mengandalkan beasiswa. Karena itu, aku bersikeras merawat Bapak sendirian. Tidak ada yang bisa kuandalkan selain Eda. Jika Eda juga menyerah membantuku, maka pupuslah harapanku.
Aku masuk, menjumpai Eda yang sedang melipat pakaian. Kuperhatikan punggung dasternya yang memudar dan kerah yang benang-benangnya sudah mencuat keluar. Aku bahkan tidak sanggup membelikan daster untuk Eda.
“Assalamu’alaikum.”
Eda menjawab salamku tanpa menoleh. Meski mau marah, kupikirkan jika Eda juga lelah mengurus kedua anak kami dan merawat Bapak sambil membersihkan seluruh rumah.
Kami sama-sama lelah. Ternyata kehidupan rumah tangga tidaklah semudah kubayangkan dulu. Setiap hari terasa seperti melaju ke medan perang. Kami mesti berjuang mati-matian.
“Eda, ini ada rejeki sedikit. Dibelikan beras, ya.” Kuulurkan uang biru yang sudah lecek ke tangan Eda.
Barulah Eda mulai mengalihkan perhatiannya padaku. “Hasil narik semua?”
“Cuma 30 ribu, 50 ribunya dari Pak Arif.”“Terus sisanya mana?” Eda mengambil uang itu dan memasukkannya ke dalam kantong dasternya.
“Kukasih buat jajan Radit, beli bensin, sama buat popoknya Bapak.”
Eda langsung menghela napas.
“Yang sabar, ya, Sayang. Insya Allah besok aku usaha cari tambahan lagi."
Kedua bahu Eda lunglai. “Bukannya aku nggak senang dengan hasil hari ini, tapi sampai kapan Bapak kamu bakal pakai popok, minum obat, dan beli susu? Aku ini capek ngatur keuangan kita yang nggak seberapa. Kontrakan sudah nunggak tiga bulan, Bang. Listrik dan air kalau nggak dibayar bulan ini bakal diputus.”
“Maafin Abang, Da. Besok Abang cari kerjaan sampingan yang lain.”
“Lagian bapakmu ‘kan nggak berjasa dalam hidupmu. Buat apa kamu berjuang keras merawat dia?”
“Kita nikah pun dia nggak datang dan nggak nyumbang duit sepeser pun. Kita gelar resepsi dari hasil tabungan kamu dan sebagian lagi minjam di bank. Setelah nikah, kamu malah nyusahin diri sendiri dan nyusahin aku juga.”Jantungku tersentak mendengar celotehan Eda. Suaranya cukup keras. Aku khawatir Bapak yang ada di luar bisa mendengarnya. “Jangan ngomong begitu, Eda. Dia tetap bapakku bagaimanapun juga.”“Dia nggak punya peran dalam hidupmu dan membantu dalam masa-masa sulit. Kamu juga cerita kalau bapakmu sudah nikah lagi setelah meninggalkan keluargamu. Terus mana istri barunya? Katanya dia punya anak tiri, ‘kan? Kok nggak keliatan batang hidungnya?”Suasana yang tadi sempat tenang kini berubah tegang. Dulu sebelum aku membawa Bapak, Eda cukup tenang dan jarang protes meski penghasilanku sedikit. Semenjak ada Bapak, Eda berubah drastis. Setiap hari mengeluh dan protes terus. “Aku sudah kasih lebih banyak dari biasanya, Eda. Kamu harusnya bersyukur. Allah bisa persempit rezeki kita
“Amar, hari ini jajan ciloknya seribu aja, ya? Yang tiga ribunya kita bawa pulang buat ibu dan adekmu.”Aku mengangguk. Diriku yang masih kecil dan lugu menuruti omongan Bapak. Usia sepuluh tahun adalah kenangan yang paling banyak kuingat bersama Bapak. Bapak punya kebiasaan. Dia selalu tertawa dengan suara renyah dan lembut lalu mengacak rambutku. “Adek umur berapa sih, Pak?” tanyaku. “Tiga tahun.”“Emang udah bisa makan cilok.”Bapak tertawa lagi. “Bisa. Yang penting jangan pedis-pedis, nanti perutnya meletus kayak gunung merapi.”Aku tertawa, Bapak pun begitu. Lalu aku bertanya apa itu gunung merapi, seperti apa bentuknya dan kenapa bisa meledak. Bapak menjelaskannya sambil membentuk gunung dengan lengannya. Di tepi jalan yang dipenuhi asap kendaraan, kami duduk dengan sepeda Bapak yang berdiri sambil menunggu penumpang. Cuaca tidak begitu panas. Di tanganku ada setusuk cilok yang kecapnya menetes ke kerikil. Di sore hari menjelang Maghrib, Bapak mengayuh sepeda untuk membawak
Aku berpindah ke kamar Bapak. Ruangan itu dua kali lebih sempit dari kamarku dan Eda. Hanya ada kasur yang sudah lembek, lemari plastik kecil, dan meja kecil untuk meletakkan obat-obatan serta barang yang lain.Bapak tertidur pulas sampai mendengkur. Dadanya bergerak naik turun dengan teratur. Aku tidak tahu apa saja yang dialami Bapak sejak pergi meninggalkan kami. Bapak menghilang sejak umurku 15 tahun dan kami baru bertemu enam bulan yang lalu.Ah, ternyata selama itu kami tidak pernah bertemu. Dua puluh tahun berpisah dengan Bapak membuatku terkejut hebat ketika kutemukan Bapak yang berbaring lemas di samping truk pembuangan sampah di pinggir jalan.Bapak punya riwayat sakit jiwa yang menurun dari orang tuanya. Terkadang dia linglung dan seperti orang yang kehilangan ingatan. Sampai akhirnya suatu hari, Bapak tiba-tiba menghilang dan meninggalkan utang yang banyak.
“Mau diangkutin barangnya, Bu? Kayaknya banyak banget ini.”Seorang ibu berjilbab cokelat dan kewalahan membawa tiga kardus yang cukup besar menurunkan barang bawaannya. “Capek banget ini, Mas. Tukang angkut, ya?” Ibu dengan tahi lalat besar di hidung itu menunjukku.Aku tersenyum ramah. “Iya, Bu. Sampingan habis ngojek.”Si ibu mengusap peluh di keningnya sambil mengerutkan hidung. “Saya mau diangkutin, Mas. Berapa ongkosnya?”“Kalau segini goceng bisa, Bu.”“Tiga ribu aja, ya? Duit saya di dompet sisa ongkos angkot sama tiga rebu itu.”Aku menghela napas tanpa memudarkan senyum. Itu adalah rezeki pertamaku sebagai buruh angkut. “Boleh, Bu. Sini saya bawain semua.” Total ada t
Motor yang sudah butut ini mengelilingi jalan poros, masuk ke gang-gang, dan mencari alamat sana-sini. Aku hanya mengandalkan ingatan puluhan tahun yang lalu soal letak rumah kerabat-kerabat Bapak yang dulu sering meminjam uang dan tidak dikembalikan.Sarung yang kuikat di punggung agar Bapak tidak terjatuh kulepas lalu membantunya turun dari motor. Kugendong Bapak di punggung lalu menyusuri lorong perumahan yang bersih. Setiap rumahnya bercat hijau dengan pagar hitam yang cukup tinggi. Sepertinya kerabat Bapak hidup sangat layak setelah memanfaatkan semua tabungan Bapak.Sambil menenteng tas berisi pakaian Bapak, aku mengingat-ingat nomor rumah Bik Ntun, salah satu sepupu jauh Bapak yang dulu meminjam uang cukup banyak. Aku bisa menitipkan Bapak dengan jaminan utang itu. Mudah-mudahan Bik Ntun masih tinggal di sekitar sini.“Permisi, Bu!” Aku melihat gerombolan i
“Sudah kujamu kau, kusambut dengan baik, tapi ternyata niatmu tidak bagus.” Mata Bik Ntun melotot. Segala keramahan yang tadi diperlihatkannya langsung sirna. “Mak, sudah. Nanti dadanya sakit lagi.” Nunu mengurut dada Bik Ntun sambil menatap kami penuh peringatan.“Tampaknya kau tak ikhlas membantu aku dulu, itu pun kau anggap utang, Kazim.”Aku menghela napas kasar. Bukan tak ikhlas, aku hanya ingin meminta tolong untuk mengurus Bapak selama beberapa hari saja. Bukan maksudku mengungkit, aku berharap Bik Ntun mengingat segala kebaikan Bapak. Jika tak ingin dilunasi, tak apa. Aku perlu menitipkan Bapak saja ke mereka. “Bapak saya sudah seringkali dihutangi, Bik Ntun. Uang dipinjam itu Bapak ambil dari tabungannya. Hampir tidak ada yang membayar sampai Bapak rugi besar. Kami pun anaknya jadi sengsara.” Dada Bik Ntun naik turun dengan cepat.“Bukan maksud saya menagih utang, saya ikhlas. Ambil saja untuk Bik Ntun, tapi tolong Bapak saya juga perlu bantuan. Dibantu sedikit saja.”“Mem
Aku tertegun. Itu adalah kalimat terpanjang yang pernah diucapkan Bapak selama ini. Jantungku berdenyut keras, dipenuhi harapan yang sangat besar, bahwa Bapak bisa sembuh. Bapak akan kembali sehat seperti dulu.Langsung kuambil tangan Bapak dan menggenggamnya erat. “Bapak bilang apa tadi?”“Pha pha!” Bapak membuka dan menutup bibirnya dengan keras sampai mengeluarkan bunyi letusan-letusan kecil.Aku semakin antusias meski kali ini Bapak bermain-main. “Pak, ayo kita ke rumah sakit. Kita bilang ke dokter kalau Bapak sudah bisa bicara.”“Jangan lebay kamu, Bang. Bapak itu cuma asal ngeluarin suara. Mau habis-habisin duit beli obat lagi? Bensin kamu kepenuhan?!” Eda berkacak pinggang.Semangatku merosot seketika. “Beli obat untuk Bapak
Setelah meninggalkan toko, aku kepikiran ucapan Pak Nurman. Selama ini Bapak tidak pernah meminta sesuatu padaku. Apa pun yang kubawakan untuknya, senyum Bapak selalu lebar layaknya anak kecil yang menerima mainan baru.Dalam perjalanan pulang, aku menoleh ke sana kemari. Apa yang bisa kubawakan untuk Bapak? Ini hari ulang tahunnya. Meski hanya hadiah kecil, aku ingin melihat tawa Bapak yang lebar.Mataku menangkap seorang anak kecil yang berdiri di pinggir jalan, membawa banyak topi dalam gantungan kecil. Beberapa tergantung di leher dan pundaknya.Aku menepikan motor. “Topinya berapa, Dek?”Anak laki-laki kecil berkaos gombrong yang kerahnya sudah robek-robek itu menatapku polos. “Sepuluh ribu, Bang.” Suaranya cempreng. Kutaksir usianya sepantaran Radit.Apa dia tidak bersekolah?&l