Share

3. Bapak Nggak Berjasa dalam Hidupmu

“Bapakmu kencing mulu, Bang! Aku capek!”

Aku menghela napas sambil berusaha tetap mempertahankan posisi ponsel di dekat telinga. Di siang yang terik tanpa orderan ini, telepon keluhan dari Eda membuat keletihan semakin menumpuk.  

“Kan Bapak pakai popok, Da.”

“Pakai sih pakai, tapi mesti digantiin mulu! Udah tiga kali kugantiin popoknya. Apa nggak habis duit kita belinya?!”

“Jangan ngomong gitu. Itu bapakku, Eda. Kalau habis bakal kucari lagi duitnya.” 

“Ya udah, cari aja sampai mampus! Kerja keras sampai kamu bisa beli sepuluh popok tiap hari buat bapakmu!”

Telepon terputus begitu saja. Dulu Eda menyebut Bapak tanpa embel-embel ‘bapakmu’. Sekarang Eda bahkan menganggap Bapak hanyalah orang tuaku saja. 

“Kenapa, Mar?”

Kali ini Aziz yang tinggal menemaniku. Hari ini orderannya juga sulit masuk. Di antara aku, Parwo, dan Aziz, hanya aku yang selalu sepi penumpang setiap hari. 

“Rezeki selalu sempit, Ziz. Mau ngerokok aja susah.” Aku sangat jarang berpikir soal rokok lagi. Untuk makan sehari-hari saja sudah sulit, apalagi mesti meladeni keinginan merokokku. 

“Kalau gitu ngopi dulu, mayan biar pikiran nggak sepat-sepat amat.” Aziz menyodorkan gelas kopiku yang masih tersisa setengah.  

Aziz menjulurkan kaki panjangnya melewati gazebo lalu bersandar di dinding yang terbuat dari kayu. Kulirik sebentar temanku itu. Jika Parwo berperut buncit, maka Aziz berperut rata dan bertubuh tinggi. Perawakannya besar dengan rambut agak panjang dan mata yang melengkung tajam. 

“Padahal sudah merawat orang tua, aku berusaha keras agar Bapak nggak kekurangan. Obat, susu, popok, semuanya coba penuhin. Kebutuhan anak-anak pun juga setengah mati kucarikan duitnya. Apanya lagi yang salah?” 

“Ya nggak ada yang salah, Mar. Lu udah berusaha. Meskipun kita udah usaha keras, belum tentu hasilnya bakal keliatan saat itu juga. Terkadang Tuhan mau liat seberapa lama lu tahan dibanting sana-sini.”

Aku terdiam. 

“Ya udah, itu aja.” Aziz mengangguk santai. 

Aziz termasuk orang yang tenang menghadapi setiap masalah. Karena dia berpikir bahwa semua masalah itu adalah rumus kehidupan. Bukan hidup namanya kalau tanpa masalah. Yah, diterima dan dijalani saja katanya. Akan tetapi menjalaninya tidak semudah itu. 

“Tapi aku perlu hasilnya, Ziz. Mau makan apa kalau nggak ada hasil?”

“Lah, emang selama ini lu nggak pernah makan?"

“Ya makan.”

“Berarti ada hasilnya.”

Aku menghela napas. Hasil yang kuinginkan jelas berbeda dengan hasil yang dimaksud Aziz.

“Lu sehat nggak?” tanya Aziz.

Aku mengangguk. 

“Keluarga lu lengkap? Orang tua, anak, istri yang harus dikasih makan.”

Aku mengangguk lagi. 

Aziz menepuk pahanya. “Ya udah, itu hasilnya. Itu rejeki.”

Aku terhenyak. Sehat dan punya keluarga yang lengkap. Aziz benar. Itu adalah rezeki yang paling mahal. Aku terlalu banyak menuntut kepada Tuhan. Sudah diberi modal badan yang sehat untuk bekerja dan punya keluarga yang setiap hari kutemui di rumah. 

Rezeki bukan cuma soal uang. Kulirik ponsel yang sepi notif. Serta merta aku berdiri dengan tekad yang kuat. 

“Aku cari penumpang biasa aja kalau gitu. Eh, rumah Pak Arief masih direnovasi, ‘kan?”

“Masih.” Aziz menatapku santai sambil menyeruput kopinya. 

“Mau bantu-bantu, buat beli popoknya Bapak.”

Aziz mengangguk, membiarkanku pergi dengan sepeda motor yang jarang diservis. Kendati siang sedang terik-teriknya, tetap kucari siapa saja yang berdiri di tepi jalan menunggu kendaraan umum. 

“Ojek, Mbak? Ojek, Mas! Ojek, Dek!” Aku berputar-putar, menyusuri jalan demi jalan. Mumpung masih sehat, mumpung masih ada keluarga yang dicarikan duit. 

***

Aku pulang dengan senyum semringah. Dengan uang 30 ribu hasil narik sana-sini dan 50 ribu pemberian dari Pak Arief karena aku membantu mengangkat barang-barang pindahannya.

Hari ini aku diberikan rezeki berlipat ganda. Dengan salam seperti biasa, aku memasuki rumah. Bapak sedang bermain dengan Radit di ruang tengah, merakit mobil-mobilan dari kulit jeruk. Bapak duduk di atas kursi roda, berusaha menyambungkan kulit jeruk itu dengan lidi, sedangkan Radit memainkannya di lantai. 

Radit langsung berlari menghampiriku dengan mata berbinar. Pasti menunggu oleh-oleh seperti biasanya. Bapak pun begitu. Dengan bola matanya yang cekung, Bapak menyuratkan harapan yang sangat besar. 

“Bapak nggak sempat beli jajanan, Nak. Nih, duit. Beliin jajan buat hari ini, sekalian buat Kakek juga. Beliin yang enak.”

Radit menerima tiga lembar uang dua ribuan dariku lalu berseru senang sambil menunjukkannya pada Bapak. 

“Kek, kita beli es krim, yuk!”

Bapak mengangguk-angguk antusias dengan senyum polosnya yang memperlihatkan gusi yang hanya menyisakan tiga buah gigi.  

Bapak kembali menjadi anak kecil. Dulu kuingat Bapak memberiku lebih dari itu untuk membeli jajanan di pasar karena rumah kami berdekatan dengan pasar. Pekerjaan Bapak adalah sebagai ojek sepeda dan membawakan barang-barang orang dengan sepeda bututnya. 

Dulu saat usiaku menginjak remaja, Bapak membawaku ke pasar. Aku duduk di depan, sementara adik perempuanku–Unur–dibonceng di belakang. Lalu saat Bapak hendak mengantar penumpangnya, kami diberikan uang jajan dan disuruh jajan sepuasnya di dalam pasar. Saat-saat Bapak pergi bekerja adalah hari-hari yang kami sukai, apalagi di hari Minggu saat libur sekolah, aku dan Unur akan puas berkeliling pasar. 

Lalu di siang hari, kami akan membuka bekal dari Ibu, memakannya bersama di emperan-emperan pasar sambil minum es yang kami beli. Setelah itu, Bapak akan mengantarku dan Unur pulang untuk tidur siang, sementara beliau tetap melanjutkan pekerjaannya. 

Bapak hanya memiliki kami berdua. Tak ada tempat untuk menitipkan Bapak pada kerabat atau keluarga. Sudah sejak lama mereka menjauhi keluarga kami. Mana bisa kuberikan Bapak kepada mereka?

Unur, adikku yang saat ini berusia 28 tahun sedang menjalankan pendidikannya dan pasti sangat sibuk. Pelajaran Unur akan terganggu, terlebih dia hanya mengandalkan beasiswa. Karena itu, aku bersikeras merawat Bapak sendirian. Tidak ada yang bisa kuandalkan selain Eda. Jika Eda juga menyerah membantuku, maka pupuslah harapanku.

Aku masuk, menjumpai Eda yang sedang melipat pakaian. Kuperhatikan punggung dasternya yang memudar dan kerah yang benang-benangnya sudah mencuat keluar. Aku bahkan tidak sanggup membelikan daster untuk Eda. 

“Assalamu’alaikum.”

Eda menjawab salamku tanpa menoleh. Meski mau marah, kupikirkan jika Eda juga lelah mengurus kedua anak kami dan merawat Bapak sambil membersihkan seluruh rumah. 

Kami sama-sama lelah. Ternyata kehidupan rumah tangga tidaklah semudah kubayangkan dulu. Setiap hari terasa seperti melaju ke medan perang. Kami mesti berjuang mati-matian. 

“Eda, ini ada rejeki sedikit. Dibelikan beras, ya.” Kuulurkan uang biru yang sudah lecek ke tangan Eda. 

Barulah Eda mulai mengalihkan perhatiannya padaku. “Hasil narik semua?”

 

“Cuma 30 ribu, 50 ribunya dari Pak Arif.” 

“Terus sisanya mana?” Eda mengambil uang itu dan memasukkannya ke dalam kantong dasternya. 

“Kukasih buat jajan Radit, beli bensin, sama buat popoknya Bapak.”

Eda langsung menghela napas. 

“Yang sabar, ya, Sayang. Insya Allah besok aku usaha cari tambahan lagi."

Kedua bahu Eda lunglai. “Bukannya aku nggak senang dengan hasil hari ini, tapi sampai kapan Bapak kamu bakal pakai popok, minum obat, dan beli susu? Aku ini capek ngatur keuangan kita yang nggak seberapa. Kontrakan sudah nunggak tiga bulan, Bang. Listrik dan air kalau nggak dibayar bulan ini bakal diputus.” 

“Maafin Abang, Da. Besok Abang cari kerjaan sampingan yang lain.”

“Lagian bapakmu ‘kan nggak berjasa dalam hidupmu. Buat apa kamu berjuang keras merawat dia?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status