Hidup Itu Pilihan

Langit Bandung berubah ungu keabu sore itu, seperti cat air yang menolak kering.

Lapangan tempat festival film ditutup sudah mulai sepi; banner, kabel, dan kursi lipat berserakan, sebagian besar panitia sudah pulang.

Kirana duduk di ujung bangku panjang dekat panggung yang kini gelap.

Di tangannya masih ada buku catatan rundown penuh coretan spidol dan bekas kopi.

Selesai.

Setidaknya begitu kata semua orang hari ini. Tapi untuk Kirana, rasanya belum ada yang benar-benar selesai.

Andra masih bergema di kepalanya — suara marahnya, tuduhan-tuduhannya, dan kalimat terakhir yang ia pakai untuk memutuskan:

“Aku capek, Ndra. Aku mau pilih diri aku dulu.”

Ia menghela napas panjang.

Sore Bandung turun perlahan menjadi malam, dengan angin membawa wangi tanah dan suara anak-anak motor di kejauhan.

Kirana menatap langit, mencoba membiarkan pikirannya kosong, ruangan di depannya sangat luas.

“Masih di sini aja Ran?”

Suara Donni datang dari belakang. Ia masih mengenakan jaket panitia, wajahnya letih tapi matanya lembut.

Kirana menoleh, tersenyum samar. “Gak apa-apa, Don. Lagi nikmatin Bandung kalau lagi gak ribut.”

Donni duduk di sampingnya. “Tadi gue sempet liat… lo dan—”

Kirana cepat menyela. “Udah ya, Don. Jangan bahas itu dulu. Please...”

Donni mengangguk. Ia tahu batas. Tapi matanya seperti ingin mengatakan sesuatu yang lain.

Beberapa detik hening. Angin membawa aroma tanah basah dan wangi roti bakar dari tenda yang baru ditutup.

“Kir,” Donni akhirnya bicara, pelan. “Lo tau gak, dari dulu gue—”

Sebelum suasana makin canggung, sebuah suara lain memotong dari arah belakang:

“Excusez-moi, mademoiselle?”

Mereka berdua menoleh.

Seorang pria paruh baya berkacamata bundar berdiri dengan map besar di tangan, jaket wol abu-abu di pundak. Logatnya jelas bukan lokal.

“You are Kirana, right? The coordinator for the short film section?”

Kirana berdiri cepat. “Ah—yes, sir. That’s me.”

“Pierre Dufresne,” katanya dengan logat Prancis yang kental. “I was one of the guest speakers earlier—about interactive storytelling and game narrative. You managed the translation, didn’t you?”

“Oh! Yes. Sorry, I didn’t recognize you without the headset, Monsieur.”

Pierre tertawa kecil. “That’s good. It means you were focusing on the story, not on me.”

Donni menatap mereka, sedikit kebingungan tapi ikut tersenyum.

Pierre melanjutkan dengan nada ramah:

“I must say, you have good instincts. I lihat you improvised, calm, quick thinking. We need people like that in our creative program.”

Kirana mengerutkan dahi. “Program?”

Pierre mengeluarkan brosur biru dari map-nya. “Universitas kami di Paris...kuliah? A school where film meets game, story meets interactivity. We’re opening applications for a scholarship next month.”

Kirana menerima brosur itu perlahan. Di sampulnya tertulis:
Master in Game Narrative & Creative Management

dengan gambar siluet seseorang yang menatap layar penuh kode dan storyboard.

Pierre menatap Kirana lekat-lekat, seolah sedang menilai bukan hanya kemampuan, tapi juga luka di matanya.

“You said during the panel that ‘every story deserves a second chance’,” katanya. “I liked that.

In games, we do that all the time — we give players new choices, new endings. Maybe you deserve one, too.”

Kirana terdiam. Kata-kata itu seperti menembus pelan tapi dalam.

Pierre tersenyum kecil, menyodorkan kartu namanya. “Send your portofolio, to this email. If the committee likes it, they’ll reach out. I’ll put in a good word.”

Lalu ia melangkah pergi, meninggalkan aroma kopi dan parfum hangat di udara.

Donni hanya bisa menatap Kirana yang masih menunduk memandangi brosur itu.

“Gila, Kir,” katanya pelan. “Itu kayak... kesempatan sekali seumur hidup.”

Kirana tersenyum samar. “Iya. Tapi lucu, ya, Don? Baru hari ini gue bilang gue mau berhenti, eh dunia malah nawarin babak baru.”

“Kayak game,” kata Donni pelan. “Begitu lo kalah, muncul tulisan Continue? di layar.”

Kirana tertawa kecil. “Iya juga. Mungkin gue cuma harus pencet Yes kali ini.”

Mereka diam beberapa detik.

Angin malam membawa dingin. Kirana menggenggam brosur itu lebih erat, seolah takut menguap seperti mimpi.

“Don...” katanya pelan. “Kalau gue beneran pergi, jangan kangen ya hahahhaa....”

Donni menatapnya lama, lalu tersenyum tanpa paksaan. “Susah Ran...”

Kirana tertawa, kali ini lebih lepas. “Susah cariin pengganti gue di kantor ini kaan? hahaha pasti lah!”

Donni menatapnya Kirana semakin lekat dan serius “Bukan Ran...Bukan itu...”

Kirana sedikit kikuk mendengarnya...tapi ia pura-pura tidak mendengar itu kali ini. Ia langsung berteriak di hall, "PARIIISS~!! Gue bakal ke Paris!!!!"