"Halo Ndra..."
Di dalam, Kirana menatap layar ponsel yang masih menyala. Nafasnya berat. Jemarinya gemetar ketika menyentuh layar tadi. Kirana terpaku beberapa detik sebelum akhirnya masuk ke apartemennya.
Di balik pintu, Haris masih berdiri di ambang pintu yang belum tertutup rapat. Ia tidak segera pergi. Haris yang tak sengaja mendengar sebagian percakapan itu mengepalkan tangan. Ia sebenarnya penasaran dengan pembicaraan mereka selanjutnya, tapi ia memilih melangkah pergi sambil diam-diam menutup pintu apartemen Kirana.
“Hai yank…” Suara di ujung sana terdengar pelan, penuh tekanan. "Sorry... gue harus nikah, Ran. Tapi bukan karena gue mau."
Kirana membeku. Suaranya tercekat. "Maksud lo? Lo gak harus minta maaf Ndra. Kita udah putus…”
"Gue mabuk, Ran. Gue ngelakuin hal bodoh. Dia hamil. Keluarganya maksa gue tanggung jawab. Tapi hati gue masih di lo... Gue cuma pengen kita balik. Gue... gue nyesel."
Kirana tak langsung menjawab. Kata-kata Andra seperti menghantamnya. Tapi yang lebih menyakitkan adalah kenangan-kenangan yang muncul bersamaan.
Dulu, Andra sering membujuk Kirana untuk menginap. Selalu dengan cara yang lembut, pelan-pelan, mencium bibir dan leher Kirana dengan penuh rayu. Membelai pipinya dengan sabar hingga menyentuh payudaranya, menahan tangan Kirana saat tangannya ia mencoba menjamah ke bawah. Andra berbisik, "Nggak apa-apa, aku sayang kamu kok...Aku suka banget wangi tubuh kamu Ran…". Tapi Kirana selalu menahan diri. Ia mencintai Andra, tapi ia juga tahu kapan harus berhenti. Beberapa kali Kirana mengancam putus karena Andra sudah hampir kelewatan. Tapi Andra selalu meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya. Namun kenyataannya sebaliknya. Begitulah tujuh tahun lamanya. Kirana selalu bercita-cita kalau ciuman pertamanya adalah suaminya. Makanya, ia begitu bertahan dengan Andra.
Dan sekarang, semua keraguan itu jadi nyata. Ternyata bukan karena dia gak bisa, tapi karena dia memilih untuk tidak menahan diri dengan orang lain. Kirana mengangkat dagunya. Matanya berkaca-kaca tapi tidak lagi lemah. Tapi suaranya bergetar. "Waw! Gue hampir beli tiket pesawat tadi siang balik ke Bandung.”
“Maksudnya ? Lo jadi mau balikan sama gue Ran ?" Andra tampak excited di ujung sana.
“Makasih banget Ndra udah telfon gue. Selamat atas calon anak lo Ndra…Lo-lo gak berubah ya…Sorry…cita-cita gue masih panjang Ndra…Gue capek. Mau istirahat…Congrats ya Ndra. Semoga lo happy… "
“Ran…tapi…”
Klik.
Kirana lalu meletakkan ponselnya di meja. Nafasnya panjang. Berat, tapi ada semacam lega. Tapi tetap sakit sekali dadanya seperti ditusuk-tusuk. Kirana runtuh dan menangis lepas sendiri di apartemennya.
***
Hari-hari selanjutnya berlalu cepat. Kirana mulai sibuk dengan kuliah S2-nya di jurusan Game Management. Universitasnya terletak di area urban yang artistik, penuh mural dan kedai kopi indie. Kelas pertamanya membuatnya gugup—semua dalam bahasa Prancis. Jalanannya dipenuhi mural, grafiti surealis, dan kedai kopi yang menawarkan lebih banyak zine daripada menu.
Jurusan Game Management adalah salah satu program baru di kampus itu. Ruang kelasnya modern, dindingnya bisa dipakai menampilkan presentasi interaktif. Tapi suasananya dingin—bukan karena AC, tapi karena tatapan para mahasiswa lain. Kirana menyadari bahwa hanya ada dua perempuan di kelas itu, termasuk dirinya. Sisanya mayoritas laki-laki, dan kebanyakan berbicara cepat dalam bahasa Prancis.
Ia berusaha menyimak dosen yang membahas tentang "Pipeline Produksi Narrative Games." Tapi telinganya kaku. Kata-kata teknis berhamburan seperti peluru yang tak bisa ia tangkap. Sesekali ia mencatat, sesekali ia mencubit lengannya sendiri. Fokus Kiran. Lo pasti bisa.
Di tengah rasa kikuk itu, muncul Louis. Cowok Prancis dengan rambut keriting acak-acakan dan hoodie robek yang sepertinya mahal. Ia duduk di sebelah Kirana dan langsung tersenyum lebar.
"Salut! Kamu dari Indonesia ya? Aku suka banget rendang."
Kirana mengangguk sopan. "Oh nice."
"Namaku Louis. Kamu cantik banget... I love Asian!"
Kirana mulai tertawa dingin. Ia merasa malas sekali menghadapi lelaki macam Louis. Ini yang Haris pernah bilang dulu ternyata. Selamat Kiran, selamat merasakan culture shock selanjutnya.
Kirana memalingkan wajah, mencoba fokus pada catatan. Tapi tangan Louis bergerak menyentuh lengan bajunya sambil bercanda, "Eh, ini sweater kamu dari mana? Lembut banget."
Kirana menepis pelan. "It’s just a sweater. Tolong sopan ya."
Louis tertawa nyeleneh "Relax girl, I’m just being friendly."
"Gue juga bisa friendly, tapi tetap punya batas."
Suasana menjadi agak tegang. Beberapa mahasiswa lain mulai melirik.
Saat itulah Amir muncul dari barisan belakang. Dengan suara tenang namun jelas, ia berkata dalam bahasa Prancis yang fasih, "Louis, stop. Kamu bikin dia gak nyaman."
Louis mengangkat tangan. "Okay, okay. Chill…Relax… Gue cuma bercanda."
Amir menatap Kirana. "You okay?"
Kirana mengangguk. "Merci (makasih), Amir."
Amir duduk tak jauh darinya, dan sejak hari itu, keduanya jadi sering berdiskusi. Amir adalah mahasiswa pertukaran dari Tunisia. Pendiam tapi penuh perhatian dan sopan. Amir selalu membantunya menghadapi Louis.
***
Suatu sore, Kirana menuju ruang dosen untuk konsultasi. Tapi dari kejauhan, ia melihat sosok yang sangat ia kenal: Haris.
Ia sedang berbicara santai dengan Prof. Thérèse, dosen muda dan cantik favorit Kirana di koridor kampus. Mereka tampak akrab. Haris mengenakan jaket kulit, rambutnya sedikit berantakan, tapi senyumnya tipis dan manis seperti biasa. Ada ketenangan yang menyebar dari gesturnya. Mereka tampak…cocok. Tapi sedikit percikan kesal muncul dalam diri Kirana.
Kirana berdiri mematung di koridor, lalu mundur perlahan, memilih untuk tidak mengganggu. Ia tak tahu kalau Haris melihatnya pergi dari kejauhan.
***
Malamnya, Kirana duduk di depan laptop. Tugas menumpuk, pikirannya tak fokus. Di layar, satu pesan masuk.
Dari : Haris
Hei, dah tidur?
Kirana menatap layar beberapa detik. Tangan kirinya menyentuh dada. Senyum kecil muncul tanpa ia sadari. Entah kenapa, hatinya lebih berisik dari biasanya. Apa Kirana rindu dengan Haris?
Proyek "Healing Through Memory" resmi berjalan. Ruang kerja tim kreatif mulai terbentuk, dengan layar-layar besar dan dinding penuh dengan konsep art, storyboard, dan flow interaktif. Haris dan Kirana makin sering bekerja berdua, membahas narasi, alur emosi pemain, dan bagaimana membangun pengalaman yang bukan hanya cantik, tapi juga menyentuh."Gimana keadaan lo Ran? Dah move on?”Kirana tertawa kecil. "Gue nggak bilang udah bisa 100%. Yah...masih belajar lah."“Ooh…pasti sih…”, Haris mengangguk sambil mengusap dagunya.“Kenapa emang Ris?”, Kirana menengok ke arah Haris.“Enggak apa-apa…”Mereka saling menatap lebih lama dari biasanya. Tangan mereka bersandar pada meja yang sama tapi kelingking mereka yang bertemu cukup membuat detak jantung Kirana dan Haris berdegup kencang. Tapi sebelum momen itu terlalu lama, suara pintu dibuka mengganggu.Louis masuk dengan langkah santai. "Sorry, telat. Gue ada perlu dulu tadi."Ia meletakkan bukunya di meja. Sebuah sketsa separuh terbuka menunju
Langit Paris mulai memutih oleh awan ketika Kirana melangkah masuk ke ruang kelas yang dipenuhi layar interaktif dan meja-meja kelompok. Ia belum sepenuhnya pulih dari kegugupan awal-awal kembali jadi mahasiswa.Prof. Thérèse, seperti biasa dengan balutan coat sleek dan riasan minimalis, berdiri di depan.“Hari ini, saya akan umumkan proyek kolaborasi khusus…,” ujarnya dalam bahasa Prancis yang pelan dan jelas. “Kerja sama seniman dan kreator game dari luar kampus. Kita akan buat instalasi game interaktif bertema ‘Healing Through Memory’. Dan game ini akan dipamerkan di Musée Art Ludique Paris.”Kirana menegakkan punggung. Galeri seni digital itu adalah salah satu yang paling bergengsi di Paris.“Tiga mahasiswa dari kelas ini akan kami libatkan langsung dalam tim kreatif. Mereka adalah: Louis, Amir, dan Kirana.”Louis mengangkat dua tangan ke udara, berseru, “Yes! Bonjour, fame!”Amir hanya menunduk sopan. Kirana tersenyum lebar. Ia sangat bersemangat untuk terlibat di proyek ini.Pro
"Halo Ndra..."Di dalam, Kirana menatap layar ponsel yang masih menyala. Nafasnya berat. Jemarinya gemetar ketika menyentuh layar tadi. Kirana terpaku beberapa detik sebelum akhirnya masuk ke apartemennya.Di balik pintu, Haris masih berdiri di ambang pintu yang belum tertutup rapat. Ia tidak segera pergi. Haris yang tak sengaja mendengar sebagian percakapan itu mengepalkan tangan. Ia sebenarnya penasaran dengan pembicaraan mereka selanjutnya, tapi ia memilih melangkah pergi sambil diam-diam menutup pintu apartemen Kirana.“Hai yank…” Suara di ujung sana terdengar pelan, penuh tekanan. "Sorry... gue harus nikah, Ran. Tapi bukan karena gue mau."Kirana membeku. Suaranya tercekat. "Maksud lo? Lo gak harus minta maaf Ndra. Kita udah putus…”"Gue mabuk, Ran. Gue ngelakuin hal bodoh. Dia hamil. Keluarganya maksa gue tanggung jawab. Tapi hati gue masih di lo... Gue cuma pengen kita balik. Gue... gue nyesel."Kirana tak langsung menjawab. Kata-kata Andra seperti menghantamnya. Tapi yang lebi
Siang itu, Paris terasa lebih ramah. Langit biru bersih tanpa awan, dan sinar matahari menyinari bangunan-bangunan tua dengan cahaya keemasan yang lembut. Suasana kota seperti memberi ruang bernapas untuk Kirana.Bukan Menara Eiffel, bukan rue de Champs-Élysées, yang terkenal... Haris menggenggam tangan Kirana dan membawanya ke tempat yang tidak terkenal tapi tetap punya pesona. Menyusuri pasar jalanan yang penuh dengan toko keju, roti, dan buah segar. Haris berjalan setengah langkah di depan, tangan di saku jaket, sesekali menoleh memastikan Kirana tak terlepas dari genggamannya dan tertinggal. Ia tidak banyak bicara, tapi kehadirannya terasa hangat."Hmmm wangi banget!," ujar Kirana sambil menghirup udara di depan sebuah boulangerie."Emang ! Croissant di sana emang recommended banget! Lo lapar, sedih, atau jetlag—pasti sembuh dengan satu almond croissant anget. Percaya sama gue," jawab Haris.Kirana manja. "Pingin cobaa…”Haris melirik, senyumnya terbit sejenak. “Boleh…”“Itu apa?
Ombak bergulung pelan. Langit senja di pantai terlihat seperti lukisan. Tawa Andra terdengar dekat di telinga Kirana. Kirana terbangun dari tidurnya di pinggir pantai yang indah.“Yank, happy anniversary,” kata Andra.Tidak ada orang satu pun di sana kecuali meja, dua bu ada dua gelas anggur, dan sebuah TRIPOD DILENGKAPI KAMERA menghadap Andra dan Kirana.Kirana mengerutkan dahi melihatnya. “Ini buat apa Ndra?”, Kirana mendapati tangannya terikat ke bingkai kasur dan ia sudah memakai baju renang two pieces dengan warna kesukaan Andra, merah.Andra memeluk lembut Kirana dari belakang sambil menciumi leher Kirana. “Pulau ini udah aku sewa spesial buat kita berdua…buat anniversary lima tahun kita, yank. Tenang aja. Kita bisa bebas ngapa-ngapain sekarang yank. Gak kan ada yang denger…”Tubuh Kirana mematung, tidak berdaya.“Cantik banget kamu yank. Bagus lo kamu pake baju gitu…I like it! Oia, aku sengaja pasang kamera itu biar aku selalu inget momen mesra kita berdua yank.“Aku gak mau ya
“Nanti lo mau ke mana abis ini?”Haris menatap Kirana dengan senyum santai. “Gue tahu kafe kecil yang cozy banget di Montorgueil. Cheesecake-nya lo banget. Dan baguette-nya gak keras kayak alat fitness.”Kirana tertawa pelan. “Gas!”***Paris sibuk seperti biasa. Tapi di antara manusia-manusia sibuk itu, waktu seolah melambat di meja sudut luar sebuah kafe kecil—tepat di tempat Kirana dan Haris duduk, berbagi cerita, tawa, dan kenangan yang sudah dua dekade tertinggal.Haris dan Kirana sebenarnya sudah saling mengikuti di Instagram sejak lama. Tapi ini, ini adalah kali pertama mereka benar-benar bertemu langsung setelah sekian lama. Bukan sekadar like atau emoji di story. Bukan komentar basa-basi. Ini nyata. Suara. Mata. Tawa. Napas.“Udah berapa lama lo di sini?” tanya Haris.“Baru mendarat tadi pagi. Jet lag, pegal, lapar, semua rasa bercampur. Tapi gue nekat aja—kuliah lagi. Kebetulan gue dapet beasiswa juga…”Haris mengangkat alis. “Masih jadi Kirana yang dulu ya. Spontan dan biki