Bzzzt... Bzzzt...
Sudah lima belas menit ia terlalu fokus dengan laptop dan daftar rundown pameran film internasional yang akan digelar besok. Sebagai penanggung jawab acara, Kirana masih punya daftar ratusan hal yang belum ia cek. Kirana sedang melakukan briefing dengan rekan kerjanya, Donni. Donni masih berceloteh soal panggung yang miring dan tenda sponsor yang tiba-tiba batal di sampingnya.
“Kiran… santai dikit napa. Gue yakin lo bisa beresin ini semua nanti kita bantu kalau udah lebih lowong,” kata Donni sambil menyodorkan snack box yang sudah dari beberapa jam yang lalu dibagikan, tapi Kirana belum juga menyentuhnya sedikit pun.
Kirana mengangkat alis. “Astaga! Gue bahkan gak tahu terakhir kali makan kapan, Don…Thanks ya…”. Kirana akhirnya memakan makanan pertamanya hari itu. Kirana tidak menyadari bahwa perutnya sudah kosong sejak kemarin malam sampai sekarang jam menunjukkan pukul 20.00 WIB ini dan ponselnya di saku celana tidak berhenti berdering sejak satu jam yang lalu.
Di balik semua kesibukannya, ia tidak sadar kalau seseorang sudah memperhatikannya dari kejauhan.
Andra.
Berdiri di seberang taman, dengan ponsel menempel di telinga dan wajah mengeras. Ia memandangi Kirana yang tertawa kecil bersama pria lain—yang bahkan tidak ia kenal. Kirana terlihat nyaman. Terlalu nyaman.
Andra mengepalkan tangannya. Nafasnya memburu. Pikirannya melesat:
“Dia nggak sadar udah tiga jam nggak bales chat gue?!”Ia menekan tombol panggil lagi.
Bzzzt… Bzzzt…
Sepertinya asupan makanan membuat otak dan syarafnya berfungsi sempurna dan membuatnya sadar bahwa ponselnya sedang bergetar. Ia merogoh saku celananya dan menatap layar ponsel.
50 panggilan tak terjawab. Dari Andra.
Sial.
Jantungnya berdegup kencang. Ia berdiri dengan gelisah dan buru-buru menjauh dari Donni sambil menekan tombol "panggil balik".
Nada sambung pertama belum selesai, suara Andra sudah meledak.
“Seneng, ya? Lupa punya pacar?”
Kirana menahan napas. “Sorry yank… Hp aku ditaro di saku. Gak kedengeran. Sibuk banget aku dari pagi sampe lupa gak cek WA…”
“Udah, gak usah akting bego, Kiran. Jelas-jelas gue sering liat lo online tapi gak bales WA gue. Bisa bisanya ya…”
“Yank, maaf iya aku buka wa-nya cuma buat kontak vendor-vendor. Bukan bales WA kamu…”
“Oh. Gue jadi gak sepenting vendor-vendor lo? Gak sepenting laki di sebelah lo?”
“Eh, gak gitu yank!”, Kirana mencoba mengklarifikasi. “Aku lagi kerja, Andra. Brief buat event besok. Kamu tahu itu…”
“Bales chat dari gue gak bisa, tapi kamu ketawa-tawa sama cowok bisa ya ? Enak, ya? Gue WA dari siang, gak dibales. Gue telponin berkali-kali, dicuekin. Tapi kamu ada waktu buat cengengesan sama laki?”
Sakit. Kata-kata Andra seperti tamparan. Tapi Kirana menahannya. Ia belum mau terbawa emosi. “Cengengesan sama laki? Maksudnya?”, Kirana penasaran dengan lelaki yang dimaksud Andra.
“Kamu pikir aku bodoh? Gue liat kamu. Sekarang juga. Di taman ini. Kamu ketawa sama cowok itu. Siapa dia, hah?”, suara Andra merendah, dingin.
Kirana menoleh pelan. Dan benar. Andra duduk di bangku seberang, menatapnya lekat dengan pandangan menusuk. Ia tertegun. Bahkan tubuhnya terasa dingin meski udara Bandung cukup panas hari ini.
Donni mencoba mendekat. Mulutnya seolah berkata “Lo nggak papa, Kiran?”
Tanpa menjawab, Kirana mulai berjalan pelan menuju Andra. Setiap langkahnya seperti menyeret satu ton rasa lelah. Bukan cuma karena lapar atau capek. Tapi karena hatinya yang semakin berat ditarik ke dasar.
“Takut ketauan kamu selingkuh, ya?” Andra berdiri. Sorot matanya penuh amarah dan rasa dikhianati. “Kita udah tujuh tahun pacaran loh, kamu tega ya…”
Kirana berhenti di hadapannya. “Sejak kapan kamu di sini?”
“Jam setengah enam. Pulang kerja, gue langsung ke sini. Mau kasih kamu kejutan. Tapi ternyata… kejutan balik, ya. Kamu lagi happy-happy dengan cowok lain.”
Kirana menarik napas panjang. Suaranya mulai goyah, tapi tetap berusaha tenang. “Donni itu rekan kerja. Kamu tahu event film internasional besok penting buat aku…”
“Penting sampe ngelupain aku? Lo bisa ketawa sama dia, tapi gak bisa bales chat gue? Semudah itu ya? Gue udah segak penting itu?”
Dalam hatinya, Kirana ingin marah. Tapi bibirnya membisu.
“Selama ini gue selalu prioritasin lo ! Selalu luangin tiap weekend sama lo ! Karena gue pingin bareng lo terus! Tau?!”
Kirana menunduk. Ia mendengar semuanya.
“Apa coba yang belum gue lakuin buat lo? Lo cantik sekarang—siapa yang support? Gue, Kiran! Gue beliin lo make up biar lo cantik! Baju! Gue ajak lo ke klinik kecantikan…gue beliin lo catokan…”
Kirana masih membiarkan Andra bicara meluapkan emosinya. Tapi dalam dadanya, ada kalimat yang ingin keluar sejak lama. Kalimat yang selalu ia tahan, tapi Kiran kali ini mencoba berpendapat, “Tapi aku pernah gak minta itu semua loh yank…itu semua kamu yang mau…kamu yang minta aku ini itu gitu…pake lipstick ini pake baju itu…”
Andra melanjutkan, lebih pelan tapi menusuk, “Ohh gitu? Lo inget gak siapa yang talangin kuliah lo waktu bokap nyokap lo kepepet?”
Deg.
Kirana mendongak. Matanya berkaca-kaca. Kali ini ia tidak bisa tinggal diam.
“Oh, jadi sekarang semua itu hutang, ya? Aku harus patuh gara-gara itu? Harus jadi milik kamu, 24/7? Gak boleh capek? Gak boleh sibuk ngejar mimpi aku?”
Andra terdiam.
Kirana menghapus air matanya yang mulai jatuh. Ia melangkah lebih dekat. Pandangannya tajam.
“Andra... selama ini aku sabar. Kamu selalu nuntut waktu aku. Tapi pernah gak kamu tanya aku bahagia gak? Kamu dengerin cerita aku tentang kerjaan? Tentang mimpi aku?”
“Sekarang, aku capek. Capek banget. Dan kamu tahu kenapa aku gak bales chat kamu tadi?”
Andra tidak menjawab.
Kirana melanjutkan, lebih lirih, “Karena aku terlalu sibuk nahan perut kosong, nahan ngantuk, aku masih ngecek rundown, sambil mikirin kenapa aku masih terus ngalah buat kamu yang gak pernah ngerti...”
Ia berhenti sejenak. Menatap mata Andra yang kini mulai bergetar. Tangannya yang bergetar mengepal, bukan untuk melawan Andra, tapi untuk menahan dirinya sendiri agar tidak runtuh.
“Andra, sorry gue gak bisa lanjutin ini semua. Andra, gue mau putus.”
Sunyi.
Bahkan suara klakson di jalan pun terasa jauh. Orang-orang sibuk berlalu lalang sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Napas Andra yang terdengar memburu, dan wajahnya yang perlahan berubah dari marah menjadi… hancur.
“Kiran…lo…”
Tapi membalikkan badannya sambil bicara dengan nada lirih, “Hutang-hutang gue tujuh tahun ini nanti gue transfer Ndra…Thanks…”
Kirana gemetar tapi mencoba melangkah tegap dan tidak menoleh lagi. Tapi tak ada yang menarik kata-katanya kembali. Tidak ada yang bisa.
Untuk pertama kalinya, ia memilih dirinya sendiri.
Proyek "Healing Through Memory" resmi berjalan. Ruang kerja tim kreatif mulai terbentuk, dengan layar-layar besar dan dinding penuh dengan konsep art, storyboard, dan flow interaktif. Haris dan Kirana makin sering bekerja berdua, membahas narasi, alur emosi pemain, dan bagaimana membangun pengalaman yang bukan hanya cantik, tapi juga menyentuh."Gimana keadaan lo Ran? Dah move on?”Kirana tertawa kecil. "Gue nggak bilang udah bisa 100%. Yah...masih belajar lah."“Ooh…pasti sih…”, Haris mengangguk sambil mengusap dagunya.“Kenapa emang Ris?”, Kirana menengok ke arah Haris.“Enggak apa-apa…”Mereka saling menatap lebih lama dari biasanya. Tangan mereka bersandar pada meja yang sama tapi kelingking mereka yang bertemu cukup membuat detak jantung Kirana dan Haris berdegup kencang. Tapi sebelum momen itu terlalu lama, suara pintu dibuka mengganggu.Louis masuk dengan langkah santai. "Sorry, telat. Gue ada perlu dulu tadi."Ia meletakkan bukunya di meja. Sebuah sketsa separuh terbuka menunju
Langit Paris mulai memutih oleh awan ketika Kirana melangkah masuk ke ruang kelas yang dipenuhi layar interaktif dan meja-meja kelompok. Ia belum sepenuhnya pulih dari kegugupan awal-awal kembali jadi mahasiswa.Prof. Thérèse, seperti biasa dengan balutan coat sleek dan riasan minimalis, berdiri di depan.“Hari ini, saya akan umumkan proyek kolaborasi khusus…,” ujarnya dalam bahasa Prancis yang pelan dan jelas. “Kerja sama seniman dan kreator game dari luar kampus. Kita akan buat instalasi game interaktif bertema ‘Healing Through Memory’. Dan game ini akan dipamerkan di Musée Art Ludique Paris.”Kirana menegakkan punggung. Galeri seni digital itu adalah salah satu yang paling bergengsi di Paris.“Tiga mahasiswa dari kelas ini akan kami libatkan langsung dalam tim kreatif. Mereka adalah: Louis, Amir, dan Kirana.”Louis mengangkat dua tangan ke udara, berseru, “Yes! Bonjour, fame!”Amir hanya menunduk sopan. Kirana tersenyum lebar. Ia sangat bersemangat untuk terlibat di proyek ini.Pro
"Halo Ndra..."Di dalam, Kirana menatap layar ponsel yang masih menyala. Nafasnya berat. Jemarinya gemetar ketika menyentuh layar tadi. Kirana terpaku beberapa detik sebelum akhirnya masuk ke apartemennya.Di balik pintu, Haris masih berdiri di ambang pintu yang belum tertutup rapat. Ia tidak segera pergi. Haris yang tak sengaja mendengar sebagian percakapan itu mengepalkan tangan. Ia sebenarnya penasaran dengan pembicaraan mereka selanjutnya, tapi ia memilih melangkah pergi sambil diam-diam menutup pintu apartemen Kirana.“Hai yank…” Suara di ujung sana terdengar pelan, penuh tekanan. "Sorry... gue harus nikah, Ran. Tapi bukan karena gue mau."Kirana membeku. Suaranya tercekat. "Maksud lo? Lo gak harus minta maaf Ndra. Kita udah putus…”"Gue mabuk, Ran. Gue ngelakuin hal bodoh. Dia hamil. Keluarganya maksa gue tanggung jawab. Tapi hati gue masih di lo... Gue cuma pengen kita balik. Gue... gue nyesel."Kirana tak langsung menjawab. Kata-kata Andra seperti menghantamnya. Tapi yang lebi
Siang itu, Paris terasa lebih ramah. Langit biru bersih tanpa awan, dan sinar matahari menyinari bangunan-bangunan tua dengan cahaya keemasan yang lembut. Suasana kota seperti memberi ruang bernapas untuk Kirana.Bukan Menara Eiffel, bukan rue de Champs-Élysées, yang terkenal... Haris menggenggam tangan Kirana dan membawanya ke tempat yang tidak terkenal tapi tetap punya pesona. Menyusuri pasar jalanan yang penuh dengan toko keju, roti, dan buah segar. Haris berjalan setengah langkah di depan, tangan di saku jaket, sesekali menoleh memastikan Kirana tak terlepas dari genggamannya dan tertinggal. Ia tidak banyak bicara, tapi kehadirannya terasa hangat."Hmmm wangi banget!," ujar Kirana sambil menghirup udara di depan sebuah boulangerie."Emang ! Croissant di sana emang recommended banget! Lo lapar, sedih, atau jetlag—pasti sembuh dengan satu almond croissant anget. Percaya sama gue," jawab Haris.Kirana manja. "Pingin cobaa…”Haris melirik, senyumnya terbit sejenak. “Boleh…”“Itu apa?
Ombak bergulung pelan. Langit senja di pantai terlihat seperti lukisan. Tawa Andra terdengar dekat di telinga Kirana. Kirana terbangun dari tidurnya di pinggir pantai yang indah.“Yank, happy anniversary,” kata Andra.Tidak ada orang satu pun di sana kecuali meja, dua bu ada dua gelas anggur, dan sebuah TRIPOD DILENGKAPI KAMERA menghadap Andra dan Kirana.Kirana mengerutkan dahi melihatnya. “Ini buat apa Ndra?”, Kirana mendapati tangannya terikat ke bingkai kasur dan ia sudah memakai baju renang two pieces dengan warna kesukaan Andra, merah.Andra memeluk lembut Kirana dari belakang sambil menciumi leher Kirana. “Pulau ini udah aku sewa spesial buat kita berdua…buat anniversary lima tahun kita, yank. Tenang aja. Kita bisa bebas ngapa-ngapain sekarang yank. Gak kan ada yang denger…”Tubuh Kirana mematung, tidak berdaya.“Cantik banget kamu yank. Bagus lo kamu pake baju gitu…I like it! Oia, aku sengaja pasang kamera itu biar aku selalu inget momen mesra kita berdua yank.“Aku gak mau ya
“Nanti lo mau ke mana abis ini?”Haris menatap Kirana dengan senyum santai. “Gue tahu kafe kecil yang cozy banget di Montorgueil. Cheesecake-nya lo banget. Dan baguette-nya gak keras kayak alat fitness.”Kirana tertawa pelan. “Gas!”***Paris sibuk seperti biasa. Tapi di antara manusia-manusia sibuk itu, waktu seolah melambat di meja sudut luar sebuah kafe kecil—tepat di tempat Kirana dan Haris duduk, berbagi cerita, tawa, dan kenangan yang sudah dua dekade tertinggal.Haris dan Kirana sebenarnya sudah saling mengikuti di Instagram sejak lama. Tapi ini, ini adalah kali pertama mereka benar-benar bertemu langsung setelah sekian lama. Bukan sekadar like atau emoji di story. Bukan komentar basa-basi. Ini nyata. Suara. Mata. Tawa. Napas.“Udah berapa lama lo di sini?” tanya Haris.“Baru mendarat tadi pagi. Jet lag, pegal, lapar, semua rasa bercampur. Tapi gue nekat aja—kuliah lagi. Kebetulan gue dapet beasiswa juga…”Haris mengangkat alis. “Masih jadi Kirana yang dulu ya. Spontan dan biki