Share

Tak Bisa Menerima

Aku kembali mendekati ranjangnya.

"Istriku sayang, kamu tidak mau 'kan dimasukkan rumah sakit jiwa gara-gara mengaku sebagai suami? Jika tidak mau, bersikaplah layaknya istri yang berbakti. Oke," kataku sambil menyentuh dagunya. Lalu sebuah ciumam dikeningnya kuberikan.

Ia menggeram kesal.

"Kutinggal dulu, yah. Mau makan apa, Sayang? Biar kubelikan makanan enak berkualitas tinggi  kaya protein dan gizi. Kasihan tubuh kurusmu tinggal kulit pembalut tulang, karena kekikiran suamimu ini yang hanya memberi nafkah lima ratus ribu setiap tanggal lima," ucapku sambil mataku menelisik setiap inci tubuhnya terutama pergelangan tangannya.

Bola mata Mas Abraham mengikuti pandangan tajamku lalu ia menyingkap pergelangan tangannya seolah terhipnotis ikut memeriksa tubuhnya. Sepertinya, ia baru menyadari betapa kurus istrinya selama ini.

"Baiklah, kalau enggan menjawab. Biar aku yang pilihkan makanan terbaik untukmu dan bayi dalam kandunganmu."

"Apa?" Ia bertanya tapi seolah menggumam. Lagi-lagi matanya melebar sambil memegang perut.

"Aku? Hamil?" gumamnya tak percaya, "oh, tidaaak." Ia memejamkan mata dengan tangan menakupkan ke wajah menahan perasaan tak terima.

Setelah itu kuberbalik sambil tersenyum penuh kemenangan.

meninggalkan dirinya sendirian agar merenungi sikapnya.

Aku tak bisa buang waktu, selagi suamiku masih di rumah sakit, semua ATM harus  diganti PINnya. Tapi, nanti saja ba'da zuhur setelah membeli makanan untuknya. Kasihan jika tubuh kurusku yang dipakai suamiku hanya makan makanan rumah sakit.

Sekarang aku mencari Mbak Fatma Kumala dan Maryam.

Itu mereka.

Oh, rupanya mereka berdua dari kantin.

"Ham, anakmu apa tak lapar?"

"Ayo, kita sama-sama cari makan. Di seberang jalan depan rumah sakit ada bakso sebelahnya lagi rumah makan minang," ajakku.

"Kebetulan sekali, aku dari kemarin ingin makan rendang, Ham. Istrimu tak apa ditinggal?"

"Tidak apa, Mbak."

Kami mampir di rumah makan minang. Rindu sekali dengan masakan nusantara yang cita rasanya melegenda sampai manca negara. Sejak aku menikah, tak lagi pernah tercicip olehku masakan khas Sumatra ini.

Maryam begitu lahap kupesankan menu di sini tanpa sambal.

"Enak, tidak?" tanyaku pada anak perempuanku.

Ia mengangguk kuat-kuat, "Enak."

"Ham, nanti setelah ini aku pulang, ya. Sudah sejak kemarin belum sempat istirahat dan ganti baju." Mbak Fatma berkata padaku dengan mulut yang belum selesai mengunyah.

"Iya, Mbak."

"Terus, Maryam aku bawa sekalian apa gimana? Biar kamu fokus mengurus istrimu."

"Tidak perlu, Mbakyu. Biar ikut aku saja."

"Yo, weslah. Semoga istrimu tidak apa-apa, ya, psikologisnya. Soalnya aku khawatir dengan tingkah lakunya yang tidak biasanya begitu. Setauku dia lemah lembut kalau bicara sopan. Ini tadi aku kayak ndak kenal dengannya."

"Paling besok sudah normal ingatannya, Mbakyu. Mungkin karena syok dan benturannya keras mengenai aspal. Jadi, ya, gitu."

"Iya, bisa jadi itu penyebabnya."

Mbak Fatma sudah selesai makan. Kulihat Maryam belum menghabiskan makannya. Maklum, tadi ia diberi porsi dewasa.

"Bisa habisin tidak Mbak Maryam?" tanyaku. 

Mulai sekarang aku akan membiasakannya dengan panggilan Mbak agar jika adiknya terlahir ke dunia ini, ia sudah tahu posisinya sebagai kakak.

Maryam mengangguk tapi tak lama kemudian menggeleng.

Mungkin karena ia masih suka jadi enggan mengatakan tak bisa habis tapi sebenarnya sudah kenyang.

"Kalau tidak habis jangan dipaksakan. Sore nanti kita beli lagi kalau Mbak Maryam suka. Bagaimana?"

Wajah anakku tersenyum senang dan mengangguk-angguk.

Keluar dari kedai minang, Mbak Fatma segera pamit pulang. Sedang aku dan Maryam kembali ke rumah sakit. Tak lupa sebungkus nasi padang kubawakan untuk istriku tercinta. Ehem, rasanya masih aneh punya istri.

Ketika kami masuk, kulihat Mas Abraham melepas jilbabnya. Tampaknya ia belum terbiasa dengan kain penutup aurot tersebut.

"Dek Ulfa, kenakan jilbabmu! Bagaimana jika tiba-tiba perawat laki-laki masuk?" Aku berusaha mengingatkannya.

Peringatanku dibalas dengan decakan keras.

"Risih pakai jilbab." Ia berkata acuh.

Melihat gelagatnya yang enggan menutup kepala. Ruang ini segera saja kukunci agar tak seorang pun masuk tanpa permisi.

"Ibu ...," rengek Maryam. Mungkin ia sangat merindukanku. Namun, rengekan Maryam dibalas dengan mata melotot oleh Mas Abraham. Ia seolah tak terima dipanggil "Ibu".

Gadis mungilku segera bersembunyi di belakangku.

Segera, Aku mengambil jilbab yang dia taruh di besi bagian tepi ranjangnya lalu memakaikan pada kepalanya.

"Istriku sayang, ini wajib dikenakan tiap muslimah. Jadi mau tak mau kamu harus terbiasa, ya."

Dia menatapku tajam. Entah apa yang dipikirkannya.

"Aku tak akan melepasmu jika nanti kembali ke tubuhku," ucapnya.

Suara ketukan pintu membuatku urung menjawab.

"Tunggu!" teriakku pada si pengetuk. Mungkin perawat.

Dengan sigap, aku merapikan selimut yang dikenakan Mas Abraham karena ia tak peduli dengan betis putihnya yang terlihat. Tentu dikarenakan dirinya tak terbiasa menutup aurot yang seharusnya kewajiban muslimah jika berhadapan dengan ajnabi.

"Aduuh, punya istri manja sekali. Menutup aurot saja harus suaminya yang membenahi. Untung sayang, kalau tidak sudah kupoligami meski dalam kondisi hamil." Aku menggerutu kesal sambil menyindirnya.

Mas Abraham menatapku dengan tatapan yang tak bisa kumengerti. 

"Ulfa, kumohon kembalikan tubuhku. Aku tak mau hamil," ucap suamiku lirih.

"Cuma hamil saja mengapa mengeluh, istriku sayang," balasku juga dengan suara rendah.

Setelah itu aku berjalan membukakan pintu kamar. Dua orang perawat membawa sebuah kursi roda untuk memindahkan Mas Abraham.

"Kami pindah dulu, ya, ibunya ke ruang lain. Tadi sudah dicek kondisinya sudah membaik."

"Silakan, Sus."

"Ayo, Bu. Duduk di sini."

Dengan segan, suamiku turun dari ranjang dan duduk di kursi roda dengan kaki terbuka.

Duh, tak pantas amat. Aku sampai malu melihatnya, karena tak tahan melihat tingkah yang tak semestinya, aku mendekat ke telinganya.

"Istriku Sayang, kakinya jangan terbuka seperti itu. Nanti kalau ada katak masuk rok bagaimana?" bisikku.

Suamiku segera merapatkan lututnya.

"Nah, begitu 'kan anggun," bisikku lagi. Lalu aku segera beralih untuk menggendong maryam dan mengikuti dua perawat yang membawa Mas Abraham ke ruang Anggrek.

Selepas kepergian perawat dan meninggalkan kami di kamar pasien kelas satu ini, suami kembali berulah.

"Aku tidak mau jadi perempuan. Kembalikan tubuhku," rengeknya padaku.

"Mengapa, tidak mau? Bukankah dengan jadi perempuan kamu tak perlu cari nafkah," ucapku.

"Rasanya perutku bagian bawah mengeras. Sangat tidak nyaman."

"Betul sekali, terasa tidak nyaman karena ada janin di dalamnya. Tapi nikmati saja ya, Dek Ulfa. Cuma hamil saja, ya, kan."  Kutekankan pada kata "cuma" agar ia ingat dulu pernah menggunakan kata itu padaku.

Maaf, Mas. Semua apa yang kau katakan akan kugunakan untuk menyadarkanmu beratnya posisi perempuan. Agar nanti saat Tuhan mengembalikan kita pada raga masing-masing, engkau tahu mana perkataan yang menyakitkan dan mana perkataan yang baik dan menenteramkan. Perlahan akan kuajarkan padamu bagaimana seharusnya seorang suami membahagiakan istrinya.

"Apa kita berdua harus pingsan lagi agar kita kembali ke posisi masing-masing?" tanya suamiku.

Aku pura-pura tak mendengarnya dengan sibuk membukakan nasi bungkus padang yang tadi kubeli untuk Mas Abraham.

"Ini makanlah, Fa."

Tiba-tiba suamiku menutup mulutnya dan memegang perut. Wajahnya memucat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status