Share

Suami Siuman

Author: Fikri Mahmud
last update Last Updated: 2022-03-24 12:29:30

Sejujurnya, aku cukup panik membayangkan apa yang akan terjadi di depan mata. 

Sambil menggendong Maryam, aku berjalan setengah berlari di koridor rumah sakit. Tak sabar ingin melihat istriku. Ehem, sekarang aku jadi suami, ingat itu. 

Badan rasanya ringan meski berjalan cepat sambil membawa anakku di pundak. Beda sekali saat aku dalam ragaku sendiri.

Sesampainya di depan pintu ruang ICU, aku menurunkan Maryam lalu menghampiri Mbak Fatma Kumala yang tampaknya memang menunggu kedatangan kami.

"Bagaimana, Mbak. Kondisi istriku?" tanyaku panik.

"Tadi bangun sebentar, Ham. Terus, dia bertanya 'dimana istriku?',  'kan ya aku jadi bingung."

Ingin rasanya aku tertawa terbahak-bahak. Pasti dia bingung dengan kondisinya, persis seperti aku kemarin.

"Terus, Mbak jawab apa?" tanyaku tak sabar.

"Ya, kubilang, 'kamu itu aneh kok tanya istri, kamu kan istri Abraham!' Eh, dia meraba tubuhnya. Kan lucu."

"Hua ... ha ... ha ... ha ...." Aku tidak kuasa menahan tawa.

"Terus ... terus, mbak?"

"Setelah meraba seluruh tubuhnya ia memegang buah dadanya lalu melotot kemudian pingsan."

Sulit Bagiku untuk tidak tertawa. Sumpah, ini lucu kalau saja aku menyaksikannya langsung bakal ngakak sampai nangis.

"Jangan gitu, Ham." Mbak Fatma protes, ia bersungut melihatku terus saja tertawa.

"Istrimu pingsan kamu malah ketawa. Apanya yang lucu?" katanya dengan wajah cemberut.

"Ehe ... he .... Maaf, Mbakyu." Aku berkata sambil tersipu.

"Ayo, masuk. Tadi kita sudah dibolehkan menunggunya di dalam. Sebentar lagi akan dipindah ke kamar pasien biasa."

Tanganku meraih lengan Maryam untuk menggandengnya masuk.

"Fa," panggilku lembut pada sosok yang berbaring di depan kami.

Dari tubuh Mas Abraham ini  kulihat ragaku yang berisi jiwanya tampak kurus tak terurus. Seperti ini rupanya jika melihat diriku sendiri dari arah lain. Kasihan tubuhku. Gurat kecantikan yang dulu pernah terlihat di kaca saat masih gadis mulai memudar.

"Dek Ulfa, ini suamimu sudah datang." Mbak Iparku mencoba untuk membangunkannya.

Tiba-tiba sebuah ide terbersit di pikiran, segera aku mendekat ke telinganya.

"Mas Abraham, ATM milikmu isinya empat ratus juta aku ambil, ya," bisikku pelan sekali agar Mbak Fatma Kumala tidak mendengar, tapi cukup jelas masuk ke dalam gendang telinga Mas Abraham yang terperangkap dalam ragaku.

Rupanya cara itu cukup mujarab. Tak berapa lama matanya mengerjab.

"Apa katamu?" tanya Mas Abraham, matanya membulat seolah ia terkejut.

Aku mengalihkan pandangan sebentar,  pura-pura tak mengatakan apapun.

"Coba katakan sekali lagi, apa yang kau bisikkan tadi!" pintanya padaku sambil mencengkeram lenganku.

"Dek Ulfa, segeralah bangun, sebab ada kabar gembira bahwa janinmu masih bisa bertahan," kataku berlagak lemah lembut seolah seorang suami berkata pada istrinya.

Mas Abraham menatapku gusar.

"Tidak! Bukan itu yang kudengar tadi," bantahnya.

"Loh, Dek Ulfa tadi masih pingsan, wajar kalau tidak mendengar apa yang tadi kuucapkan."

"Tidak! Tadi kamu menyebutku 'Mas Abraham'. Aku tidak mungkin salah dengar."

Tentu saja, aku harus bersandiwara untuk merespon Mas Abraham.

Mbak Fatma sendiri terlihat mengernyitkan kening. Pasti dia heran melihat gelagat Mas Abraham yang tidak sesuai dengan statusnya sebagai istri yang sedang mengandung.

Pasti ia tak suka melihatnya memelototi dan mencengkeram lenganku, seperti seorang istri yang tak bisa menghormati suaminya. 

"Aku ...." Mas Abraham ingin mengatakan sesuatu, tapi terhenti ketika melihat wajah Mbak Fatma yang tak suka dan memerah.

Ia beralih mengusap kepalanya yang tertutup jilbab. Terlihat sekali sangat gusar.

"Mbak, bisa tinggalkan kami berdua. Saya ingin bicara dengannya." Mas Abraham mencoba mengambil langkah menepi dari saudara perempuannya.

"Fa, kamu, kok, begitu. Abraham itu suamimu, loh. Masak bilang 'saya ingin bicara dengannya', apa sopan seperti itu."

Mas Abraham meneguk saliva, sedangkan aku menyembunyikan rasa geliku melihat mereka berdua.

"Mbak Fatma saya mohon tinggalkan saya dengan Mas Abraham. Saya mau bicara dengan suami saya," ujar Mas Abraham seraya mengubah intonasi suaranya lebih lembut.

Lucu, sumpah. Aku melihatnya seperti seorang lelaki yang sedang berakting perempuan.

Kalau tak ada Mbak Fatma, pasti aku tertawa terpingkal-pingkal.

"Nah, gitu. Walau sedang sakit unggah-ungguh itu tetap dipakai," gerutu Mbak Fatma sambil pergi meninggalkan kami dengan menggandeng Maryam yang kebingungan melihat sosok ibunya tak peduli padanya bahkan melotot seperti orang yang tak dikenal.

Setelah wanita yang lebih tua dari kami itu meninggalkan ruang ini, Mas Abraham langsung memandangku tajam.

"Jelaskan padaku sekarang, apa maksud bisikanmu tadi!" tanyanya tanpa tedeng aling-aling.

"Memang aku tadi berbisik apa?"

tanyaku pura-pura tak mengerti.

"Aku yakin kamu memanggilku Mas Abraham dan bilang tentang isi ATM empat ratus juta. Iya, kan? Ngaku!"

Wah, wah, ia belum menyadari posisi barunya. Baiklah, mari kita mainkan peran ini sebaik-baiknya.

"Dek Ulfa tahu dari mana isi ATM Mas empat ratus juta?" tanyaku setenang mungkin.

"Ulfa, jangan pura-pura. Aku tahu kamu yang berada di dalam tubuhku," gertaknya.

Woow, yakin sekali suamiku sayang ini.

"Dek, apa kamu amnesia? Aku suamimu, Mas Abraham yang selalu memberimu nafkah lima ratus ribu setiap tanggal lima. Mana mungkin aku menyimpan uang sebesar itu," kataku mempermainkannya, seolah diriku seorang suami yang menasehati istrinya yang ngeyelan.

Raut mukanya berubah masam. Ia mungkin tak nyaman kuungkit uang nafkahnya yang sedikit tapi tak sebanding dengan isi ATM miliknya yang ratusan juta.

"Tolong jangan permainkan aku. Akan kubuktikan bahwa akulah Abraham. Kalau tidak percaya ...."

Sebelum Mas Abraham menyelesaikan perkataannya, segera saja kusahut.

"Fa, istirahatlah nanti akan kukonsultasikan pada dokter, bagaimana bisa istriku lupa statusnya. Apa iya amnesia bisa sampai tak mengenal jenis kelaminnya sendiri." 

Setelah itu aku hendak beranjak pergi, tapi Mas Abraham meneriaki dan memanggilku sebelum sampai ke pintu.

"Ulfa, aku yakin dalam tubuh itu kamu! Kembali kemari!"

Aku berbalik dan berkata, "Tenangkan dirimu, istriku. Cobalah mengingat statusmu dan jangan bertindak bodoh seolah dirimu laki-laki. Semua orang akan mengiramu gila jika segera tak menyadari kodratmu sebagai perempuan."

"Aaah, sialan!" Mas Abraham berteriak kesal sambil mengepalkan tangan lalu memukul ranjang tempat tidurnya.

"Ingat! Jaga emosimu! Tak baik wanita hamil marah-marah. Bagaimana nanti jika anak yang kau kandung mudah emosi. Semoga saja tidak begitu!" Aku berusaha mengingatkannya.

Jujur aku ingin sekali tertawa tapi aku harus menahan diri.

"Ulfa, jika kau tak percaya kalau aku Abraham, kemarikan ATMku. Aku tahu PINnya."

Deg! Aku harus segera mengubah PIN dua ATM  yang lain sebelum suamiku memgambilnya. Bisa saja suatu saat tanpa sepengetahuanku, ia mengambil kartu-kartunya.

"Sudahlah, istirahat dulu. Siapa tahu ingatanmu kembali." Aku pergi meninggalkanmya sendiri.

"Dengar Ulfa! Jangan berani-berani menyentuh isi ATM itu atau nanti kau kutalak. Biar jadi janda dan dikucilkan orang!"

Ya, Allah. Ini orang apa tidak sadar posisinya sedang tidak menguntungkan. Aku harus membuatnya berhenti dan menyadarkan dia bahwa ia perempuan. Setidaknya ia harus bersikap sesuai dengan raganya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mahendra jamil
spertinya si abraham blum mnyadari betul baik buruknya trtukar peran, dasar kunyuk.........
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Jiwa Yang Tertukar   Kunci Utama

    "Pembukaannya sudah sempurna. Sekarang tarik napas dalam-dalam!"Mas Abraham menarik napas sesuai arahan, pipinya tampak menggelembung besar.Aku menahan tawa dengan menakupkan tangan ke mulut karena ia sampai menyimpan udara di pipi."Kau, ke-ter-laluan mener-ta-wakanku," ucapnya tebata-bata di sela rintihannya yang menyayat jiwa.Mendengar ucapannya, aku segera memasang wajah serius."Mulai! Dorong!" perintah Bu Bidan.Ia mendorong sekuat tenaga seperti orang wasir yang ingin buang hajat tapi kotoran tak kunjung keluar karena kesangkut di ambiennya."Yeah! Dorong, dorong, dorong," kataku dengan mulut komat-kamit tanpa suara di belakang bidan tapi menghadap wajah Mas Abraham. Kedua tangan kuangkat sambil mengepal dan menggerakkan siku ke atas ke bawah seperti yel-yel."Bu, Bi-sa ge- ser, auuuuh!" Ia memohon Bu Bidan geser sambil merintih. Suaranya mirip lolongan serigala, ups.Karena Bu Bidan geser ke bawah aku jadi maju sedikit dekat kakinya. Tak disangka dengan cepat kakinya yang t

  • Jiwa Yang Tertukar   Detik-detik Melahirkan

    Sehari sebelum kelahiran, Mas Abraham memegangi perutnya."Perutku sekit sekali, lihatlah!" keluhnya sambil menunjukkan telapak tangannya yang gemetar, mungkin karena menahan rasa sakit. Tak lama kemudian tangannya menggenggam kencang dengan wajah yang meringis, keringat dahinya bercucuran.Kupikir mungkin ia sedang mengalami kontraksi, tapi aku yakin bahwa ia tak tahu kalau akan segera melahirkan."Sudah berapa lama sakit kayak gitu?" tanyaku santai."Habis subuh tadi pas rakaat kedua. Saking sakitnya aku lanjutkan shalat sambil duduk. Terus waktu salam sakitnya ilang terus sekarang sakit lagi. Ini kenapa, ya. Dalam perut rasanya ada tangan yang meremas-remas bagian dalamnya. Apa janinnya tidak mati remuk.""Hus, remuk-remuk, kayak roti kering diremat saja. Ke bidan, yok. Periksa kenapa bisa gitu. Kali aja dikasih obat pereda sakit," ajakku. Tak ingin kukatakan padanya bahwa ia sudah harus bersiap. Takutnya keluar bandelnya minta di SC.Kalau berdasarkan dengan penuturannya ada jara

  • Jiwa Yang Tertukar   Ingin SC

    "Sabar," jawabku saat ia mengeluh selepas dari kamar mandi."Kapan kita bisa kembali ke raga masing-masing. Sudah enam bulan tak ada titik terangnya." Ia kembali mengeluh."Kau beruntung bisa mengeluh padaku. Dan aku mau mendengarkanmu. Kau ingat dulu, betapa cueknya dirimu saat aku mengaduh.""Iya, aku ingat. Kupikir kau hanya berlebihan. Ternyata memang lelah luar biasa dan bikin stressssss!"Aku tersenyum mendengarnya. Semoga tak ada lagi di dunia ini yang menuduh istrinya di rumah cuma ongkang-ongkang kaki. Apa yang dikerjakan dan dirasakan oleh wanita itu tak terlihat mata hasilnya. Padahal meletihkan.Andaikan semua yang dilakukan oleh wanita dihargai dengan uang. Aku yakin mereka pantas diberi nafkah lebih banyak dari ART yang merangkap sebagai baby sitter sekaligus sebagai koki bahkan lebih dari itu.Usia kandungan mulai menginjak sembilan bulan aku mengajaknya untuk USG terakahir kalinya."Buat apa? Buang-buang uang lagi pula aku malu jika harus dilihat lagi. Ini aurot," tola

  • Jiwa Yang Tertukar   Belum Terpecahkan

    Pertanyaan Mbak Ipar soal keramas membuat aku dan Mas Abraham saling pandang, lalu kami tertawa sambil menutup mulut."Kenapa tertawa?" tanya Mbak Fatma Kumala."Kami semalam itu cuma ngobrol saja, Mbak. Tentang urusan desa. Kami tidak nganu, kok. Iya, 'kan, Dek?" Aku mencoba meluruskan serta meminta penguatan pada Mas Abraham."Iya, Mbak. Wong Mas Abraham kuajak ndak mau, kok."Et, dah kenapa pula jawaban Mas Abraham pakai menyudutkan aku."Kamu ndak kangen, Ham? Kasihan istrimu, loh." Mbak Fatma Kumala, kok, tak malu, ya, bilang gitu. Padahal dia 'kan perempuan."Aku capek, Mbak. Mana ada mood." Kujawab saja seperti itu, rasanya mukaku panas kayak kepiting rebus yang baru ditiriskan. "Yang sabar, ya, Fa. Gitu dia mau kawin lagi sama Arina. Satu istri saja ndak kuat." Mbak Fatma berkata menghadap ke Mas Abraham yang menghuni ragaku."Entahlah Mas Abraham itu. Baru jadi carik saja, sok-sokan mau poligami. Ya, kan, Mbak?" Aku tersedak air minum. Mentang-mentang tubuh yang dia pakai

  • Jiwa Yang Tertukar   Pengakuan Mas Abraham

    Malam itu, aku, Maryam, Mbak Fatma dan Mas Abraham berkumpul di ruang tamu dengan beralaskan tikar.Mereka berdua bertanya tentang kejadian yang menimpa kami. Tentu kuceritakan menit-menit terjadinya likuifaksi. Juga tentang Pak Lana yang tak sanggup kami selamatkan."Kalau saja Pak Lana tak terlalu sombong, ...." Mas Abraham menyayangkan kejadian itu. "Sudah takdirnya hanya sampai di situ," ucapku.Kami banyak bercerita sampai tak terasa kami berempat, tertidur di ruang tamu beralaskan tikar. Kasur kapuk yang ada di kamar juga di bawa ke depan agar Maryam tidur di situ sekalian. Jarang-jarang Mbakyu Fatma Kumala mau menginap.Jam dua dini hari aku terbangun. Kulihat Mbak Fatma dan juga Maryam tertidur pulas begitu pula Mas Abraham. Kutinggal mereka untuk pergi ke kamar mandi karena kebelet pipis.Sekembaliku, Mas Abraham sudah bangun dan duduk menantiku."Mau ke kamar mandi?" tanyaku padanya."Nanti saja. Aku mau bicara mumpung mereka tidur," jawabnya sambil matanya seolah menunju

  • Jiwa Yang Tertukar   Kami Bertemu Keluarga

    "Kalian tunggulah di sini, saya akan pergi meminta bantuan untuk transportasi kita ke pemukiman baru," ujar Pak Lurah."Ham, ayo, ikutlah!" ajak Pak Lurah."Kemana, Pak?" tanyaku."Ke pemesanan travel. Kita pesan bus pariwisata.""Mau tamasya, Pak?"Tiba-tiba Pak Lurah memukul kepalaku dengan dahan ranting kecil.Salahku apa?"Mau ikut tidak?" tanyanya.Kalau di suruh milih ikut atau tidak, pastinya ingin tidak ikut. Lha, di sini ada Muzakka ya, pilih tinggal di sini, nunggu mantan. Andai tak disemat namaku dengan label Pak Carik. Sayangnya karena faktanya aku Pak Carik, suka duka harus mau mendampingi Pak Lurah. Jadi, mau tak mau harus brangkat.Aku naik ke boncengan motor Pak Carik. "Kami cari bantuan, kalian tunggu di sini. Tapi kalau ada bencana cepat pindah ke tempat aman. Jangan lupa terus berzikir!" perintah Pak Lurah."Siap, Pak!" Semua yang ada di situ menjawab bersamaan."Oh, ya. Yang bawa motor boleh melakukan perjalanan lebih dulu, ada yang sudah tahu kan lokasinya? Bus

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status