Share

Suami Siuman

Sejujurnya, aku cukup panik membayangkan apa yang akan terjadi di depan mata. 

Sambil menggendong Maryam, aku berjalan setengah berlari di koridor rumah sakit. Tak sabar ingin melihat istriku. Ehem, sekarang aku jadi suami, ingat itu. 

Badan rasanya ringan meski berjalan cepat sambil membawa anakku di pundak. Beda sekali saat aku dalam ragaku sendiri.

Sesampainya di depan pintu ruang ICU, aku menurunkan Maryam lalu menghampiri Mbak Fatma Kumala yang tampaknya memang menunggu kedatangan kami.

"Bagaimana, Mbak. Kondisi istriku?" tanyaku panik.

"Tadi bangun sebentar, Ham. Terus, dia bertanya 'dimana istriku?',  'kan ya aku jadi bingung."

Ingin rasanya aku tertawa terbahak-bahak. Pasti dia bingung dengan kondisinya, persis seperti aku kemarin.

"Terus, Mbak jawab apa?" tanyaku tak sabar.

"Ya, kubilang, 'kamu itu aneh kok tanya istri, kamu kan istri Abraham!' Eh, dia meraba tubuhnya. Kan lucu."

"Hua ... ha ... ha ... ha ...." Aku tidak kuasa menahan tawa.

"Terus ... terus, mbak?"

"Setelah meraba seluruh tubuhnya ia memegang buah dadanya lalu melotot kemudian pingsan."

Sulit Bagiku untuk tidak tertawa. Sumpah, ini lucu kalau saja aku menyaksikannya langsung bakal ngakak sampai nangis.

"Jangan gitu, Ham." Mbak Fatma protes, ia bersungut melihatku terus saja tertawa.

"Istrimu pingsan kamu malah ketawa. Apanya yang lucu?" katanya dengan wajah cemberut.

"Ehe ... he .... Maaf, Mbakyu." Aku berkata sambil tersipu.

"Ayo, masuk. Tadi kita sudah dibolehkan menunggunya di dalam. Sebentar lagi akan dipindah ke kamar pasien biasa."

Tanganku meraih lengan Maryam untuk menggandengnya masuk.

"Fa," panggilku lembut pada sosok yang berbaring di depan kami.

Dari tubuh Mas Abraham ini  kulihat ragaku yang berisi jiwanya tampak kurus tak terurus. Seperti ini rupanya jika melihat diriku sendiri dari arah lain. Kasihan tubuhku. Gurat kecantikan yang dulu pernah terlihat di kaca saat masih gadis mulai memudar.

"Dek Ulfa, ini suamimu sudah datang." Mbak Iparku mencoba untuk membangunkannya.

Tiba-tiba sebuah ide terbersit di pikiran, segera aku mendekat ke telinganya.

"Mas Abraham, ATM milikmu isinya empat ratus juta aku ambil, ya," bisikku pelan sekali agar Mbak Fatma Kumala tidak mendengar, tapi cukup jelas masuk ke dalam gendang telinga Mas Abraham yang terperangkap dalam ragaku.

Rupanya cara itu cukup mujarab. Tak berapa lama matanya mengerjab.

"Apa katamu?" tanya Mas Abraham, matanya membulat seolah ia terkejut.

Aku mengalihkan pandangan sebentar,  pura-pura tak mengatakan apapun.

"Coba katakan sekali lagi, apa yang kau bisikkan tadi!" pintanya padaku sambil mencengkeram lenganku.

"Dek Ulfa, segeralah bangun, sebab ada kabar gembira bahwa janinmu masih bisa bertahan," kataku berlagak lemah lembut seolah seorang suami berkata pada istrinya.

Mas Abraham menatapku gusar.

"Tidak! Bukan itu yang kudengar tadi," bantahnya.

"Loh, Dek Ulfa tadi masih pingsan, wajar kalau tidak mendengar apa yang tadi kuucapkan."

"Tidak! Tadi kamu menyebutku 'Mas Abraham'. Aku tidak mungkin salah dengar."

Tentu saja, aku harus bersandiwara untuk merespon Mas Abraham.

Mbak Fatma sendiri terlihat mengernyitkan kening. Pasti dia heran melihat gelagat Mas Abraham yang tidak sesuai dengan statusnya sebagai istri yang sedang mengandung.

Pasti ia tak suka melihatnya memelototi dan mencengkeram lenganku, seperti seorang istri yang tak bisa menghormati suaminya. 

"Aku ...." Mas Abraham ingin mengatakan sesuatu, tapi terhenti ketika melihat wajah Mbak Fatma yang tak suka dan memerah.

Ia beralih mengusap kepalanya yang tertutup jilbab. Terlihat sekali sangat gusar.

"Mbak, bisa tinggalkan kami berdua. Saya ingin bicara dengannya." Mas Abraham mencoba mengambil langkah menepi dari saudara perempuannya.

"Fa, kamu, kok, begitu. Abraham itu suamimu, loh. Masak bilang 'saya ingin bicara dengannya', apa sopan seperti itu."

Mas Abraham meneguk saliva, sedangkan aku menyembunyikan rasa geliku melihat mereka berdua.

"Mbak Fatma saya mohon tinggalkan saya dengan Mas Abraham. Saya mau bicara dengan suami saya," ujar Mas Abraham seraya mengubah intonasi suaranya lebih lembut.

Lucu, sumpah. Aku melihatnya seperti seorang lelaki yang sedang berakting perempuan.

Kalau tak ada Mbak Fatma, pasti aku tertawa terpingkal-pingkal.

"Nah, gitu. Walau sedang sakit unggah-ungguh itu tetap dipakai," gerutu Mbak Fatma sambil pergi meninggalkan kami dengan menggandeng Maryam yang kebingungan melihat sosok ibunya tak peduli padanya bahkan melotot seperti orang yang tak dikenal.

Setelah wanita yang lebih tua dari kami itu meninggalkan ruang ini, Mas Abraham langsung memandangku tajam.

"Jelaskan padaku sekarang, apa maksud bisikanmu tadi!" tanyanya tanpa tedeng aling-aling.

"Memang aku tadi berbisik apa?"

tanyaku pura-pura tak mengerti.

"Aku yakin kamu memanggilku Mas Abraham dan bilang tentang isi ATM empat ratus juta. Iya, kan? Ngaku!"

Wah, wah, ia belum menyadari posisi barunya. Baiklah, mari kita mainkan peran ini sebaik-baiknya.

"Dek Ulfa tahu dari mana isi ATM Mas empat ratus juta?" tanyaku setenang mungkin.

"Ulfa, jangan pura-pura. Aku tahu kamu yang berada di dalam tubuhku," gertaknya.

Woow, yakin sekali suamiku sayang ini.

"Dek, apa kamu amnesia? Aku suamimu, Mas Abraham yang selalu memberimu nafkah lima ratus ribu setiap tanggal lima. Mana mungkin aku menyimpan uang sebesar itu," kataku mempermainkannya, seolah diriku seorang suami yang menasehati istrinya yang ngeyelan.

Raut mukanya berubah masam. Ia mungkin tak nyaman kuungkit uang nafkahnya yang sedikit tapi tak sebanding dengan isi ATM miliknya yang ratusan juta.

"Tolong jangan permainkan aku. Akan kubuktikan bahwa akulah Abraham. Kalau tidak percaya ...."

Sebelum Mas Abraham menyelesaikan perkataannya, segera saja kusahut.

"Fa, istirahatlah nanti akan kukonsultasikan pada dokter, bagaimana bisa istriku lupa statusnya. Apa iya amnesia bisa sampai tak mengenal jenis kelaminnya sendiri." 

Setelah itu aku hendak beranjak pergi, tapi Mas Abraham meneriaki dan memanggilku sebelum sampai ke pintu.

"Ulfa, aku yakin dalam tubuh itu kamu! Kembali kemari!"

Aku berbalik dan berkata, "Tenangkan dirimu, istriku. Cobalah mengingat statusmu dan jangan bertindak bodoh seolah dirimu laki-laki. Semua orang akan mengiramu gila jika segera tak menyadari kodratmu sebagai perempuan."

"Aaah, sialan!" Mas Abraham berteriak kesal sambil mengepalkan tangan lalu memukul ranjang tempat tidurnya.

"Ingat! Jaga emosimu! Tak baik wanita hamil marah-marah. Bagaimana nanti jika anak yang kau kandung mudah emosi. Semoga saja tidak begitu!" Aku berusaha mengingatkannya.

Jujur aku ingin sekali tertawa tapi aku harus menahan diri.

"Ulfa, jika kau tak percaya kalau aku Abraham, kemarikan ATMku. Aku tahu PINnya."

Deg! Aku harus segera mengubah PIN dua ATM  yang lain sebelum suamiku memgambilnya. Bisa saja suatu saat tanpa sepengetahuanku, ia mengambil kartu-kartunya.

"Sudahlah, istirahat dulu. Siapa tahu ingatanmu kembali." Aku pergi meninggalkanmya sendiri.

"Dengar Ulfa! Jangan berani-berani menyentuh isi ATM itu atau nanti kau kutalak. Biar jadi janda dan dikucilkan orang!"

Ya, Allah. Ini orang apa tidak sadar posisinya sedang tidak menguntungkan. Aku harus membuatnya berhenti dan menyadarkan dia bahwa ia perempuan. Setidaknya ia harus bersikap sesuai dengan raganya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mahendra jamil
spertinya si abraham blum mnyadari betul baik buruknya trtukar peran, dasar kunyuk.........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status