Sejujurnya, aku cukup panik membayangkan apa yang akan terjadi di depan mata.
Sambil menggendong Maryam, aku berjalan setengah berlari di koridor rumah sakit. Tak sabar ingin melihat istriku. Ehem, sekarang aku jadi suami, ingat itu.
Badan rasanya ringan meski berjalan cepat sambil membawa anakku di pundak. Beda sekali saat aku dalam ragaku sendiri.
Sesampainya di depan pintu ruang ICU, aku menurunkan Maryam lalu menghampiri Mbak Fatma Kumala yang tampaknya memang menunggu kedatangan kami.
"Bagaimana, Mbak. Kondisi istriku?" tanyaku panik.
"Tadi bangun sebentar, Ham. Terus, dia bertanya 'dimana istriku?', 'kan ya aku jadi bingung."
Ingin rasanya aku tertawa terbahak-bahak. Pasti dia bingung dengan kondisinya, persis seperti aku kemarin.
"Terus, Mbak jawab apa?" tanyaku tak sabar.
"Ya, kubilang, 'kamu itu aneh kok tanya istri, kamu kan istri Abraham!' Eh, dia meraba tubuhnya. Kan lucu."
"Hua ... ha ... ha ... ha ...." Aku tidak kuasa menahan tawa.
"Terus ... terus, mbak?"
"Setelah meraba seluruh tubuhnya ia memegang buah dadanya lalu melotot kemudian pingsan."
Sulit Bagiku untuk tidak tertawa. Sumpah, ini lucu kalau saja aku menyaksikannya langsung bakal ngakak sampai nangis.
"Jangan gitu, Ham." Mbak Fatma protes, ia bersungut melihatku terus saja tertawa.
"Istrimu pingsan kamu malah ketawa. Apanya yang lucu?" katanya dengan wajah cemberut.
"Ehe ... he .... Maaf, Mbakyu." Aku berkata sambil tersipu.
"Ayo, masuk. Tadi kita sudah dibolehkan menunggunya di dalam. Sebentar lagi akan dipindah ke kamar pasien biasa."
Tanganku meraih lengan Maryam untuk menggandengnya masuk.
"Fa," panggilku lembut pada sosok yang berbaring di depan kami.
Dari tubuh Mas Abraham ini kulihat ragaku yang berisi jiwanya tampak kurus tak terurus. Seperti ini rupanya jika melihat diriku sendiri dari arah lain. Kasihan tubuhku. Gurat kecantikan yang dulu pernah terlihat di kaca saat masih gadis mulai memudar.
"Dek Ulfa, ini suamimu sudah datang." Mbak Iparku mencoba untuk membangunkannya.
Tiba-tiba sebuah ide terbersit di pikiran, segera aku mendekat ke telinganya.
"Mas Abraham, ATM milikmu isinya empat ratus juta aku ambil, ya," bisikku pelan sekali agar Mbak Fatma Kumala tidak mendengar, tapi cukup jelas masuk ke dalam gendang telinga Mas Abraham yang terperangkap dalam ragaku.
Rupanya cara itu cukup mujarab. Tak berapa lama matanya mengerjab.
"Apa katamu?" tanya Mas Abraham, matanya membulat seolah ia terkejut.
Aku mengalihkan pandangan sebentar, pura-pura tak mengatakan apapun.
"Coba katakan sekali lagi, apa yang kau bisikkan tadi!" pintanya padaku sambil mencengkeram lenganku.
"Dek Ulfa, segeralah bangun, sebab ada kabar gembira bahwa janinmu masih bisa bertahan," kataku berlagak lemah lembut seolah seorang suami berkata pada istrinya.
Mas Abraham menatapku gusar.
"Tidak! Bukan itu yang kudengar tadi," bantahnya.
"Loh, Dek Ulfa tadi masih pingsan, wajar kalau tidak mendengar apa yang tadi kuucapkan."
"Tidak! Tadi kamu menyebutku 'Mas Abraham'. Aku tidak mungkin salah dengar."
Tentu saja, aku harus bersandiwara untuk merespon Mas Abraham.
Mbak Fatma sendiri terlihat mengernyitkan kening. Pasti dia heran melihat gelagat Mas Abraham yang tidak sesuai dengan statusnya sebagai istri yang sedang mengandung.
Pasti ia tak suka melihatnya memelototi dan mencengkeram lenganku, seperti seorang istri yang tak bisa menghormati suaminya.
"Aku ...." Mas Abraham ingin mengatakan sesuatu, tapi terhenti ketika melihat wajah Mbak Fatma yang tak suka dan memerah.
Ia beralih mengusap kepalanya yang tertutup jilbab. Terlihat sekali sangat gusar.
"Mbak, bisa tinggalkan kami berdua. Saya ingin bicara dengannya." Mas Abraham mencoba mengambil langkah menepi dari saudara perempuannya.
"Fa, kamu, kok, begitu. Abraham itu suamimu, loh. Masak bilang 'saya ingin bicara dengannya', apa sopan seperti itu."
Mas Abraham meneguk saliva, sedangkan aku menyembunyikan rasa geliku melihat mereka berdua.
"Mbak Fatma saya mohon tinggalkan saya dengan Mas Abraham. Saya mau bicara dengan suami saya," ujar Mas Abraham seraya mengubah intonasi suaranya lebih lembut.
Lucu, sumpah. Aku melihatnya seperti seorang lelaki yang sedang berakting perempuan.
Kalau tak ada Mbak Fatma, pasti aku tertawa terpingkal-pingkal.
"Nah, gitu. Walau sedang sakit unggah-ungguh itu tetap dipakai," gerutu Mbak Fatma sambil pergi meninggalkan kami dengan menggandeng Maryam yang kebingungan melihat sosok ibunya tak peduli padanya bahkan melotot seperti orang yang tak dikenal.
Setelah wanita yang lebih tua dari kami itu meninggalkan ruang ini, Mas Abraham langsung memandangku tajam.
"Jelaskan padaku sekarang, apa maksud bisikanmu tadi!" tanyanya tanpa tedeng aling-aling.
"Memang aku tadi berbisik apa?"
tanyaku pura-pura tak mengerti."Aku yakin kamu memanggilku Mas Abraham dan bilang tentang isi ATM empat ratus juta. Iya, kan? Ngaku!"
Wah, wah, ia belum menyadari posisi barunya. Baiklah, mari kita mainkan peran ini sebaik-baiknya.
"Dek Ulfa tahu dari mana isi ATM Mas empat ratus juta?" tanyaku setenang mungkin.
"Ulfa, jangan pura-pura. Aku tahu kamu yang berada di dalam tubuhku," gertaknya.
Woow, yakin sekali suamiku sayang ini.
"Dek, apa kamu amnesia? Aku suamimu, Mas Abraham yang selalu memberimu nafkah lima ratus ribu setiap tanggal lima. Mana mungkin aku menyimpan uang sebesar itu," kataku mempermainkannya, seolah diriku seorang suami yang menasehati istrinya yang ngeyelan.
Raut mukanya berubah masam. Ia mungkin tak nyaman kuungkit uang nafkahnya yang sedikit tapi tak sebanding dengan isi ATM miliknya yang ratusan juta.
"Tolong jangan permainkan aku. Akan kubuktikan bahwa akulah Abraham. Kalau tidak percaya ...."
Sebelum Mas Abraham menyelesaikan perkataannya, segera saja kusahut.
"Fa, istirahatlah nanti akan kukonsultasikan pada dokter, bagaimana bisa istriku lupa statusnya. Apa iya amnesia bisa sampai tak mengenal jenis kelaminnya sendiri."
Setelah itu aku hendak beranjak pergi, tapi Mas Abraham meneriaki dan memanggilku sebelum sampai ke pintu.
"Ulfa, aku yakin dalam tubuh itu kamu! Kembali kemari!"
Aku berbalik dan berkata, "Tenangkan dirimu, istriku. Cobalah mengingat statusmu dan jangan bertindak bodoh seolah dirimu laki-laki. Semua orang akan mengiramu gila jika segera tak menyadari kodratmu sebagai perempuan."
"Aaah, sialan!" Mas Abraham berteriak kesal sambil mengepalkan tangan lalu memukul ranjang tempat tidurnya.
"Ingat! Jaga emosimu! Tak baik wanita hamil marah-marah. Bagaimana nanti jika anak yang kau kandung mudah emosi. Semoga saja tidak begitu!" Aku berusaha mengingatkannya.
Jujur aku ingin sekali tertawa tapi aku harus menahan diri.
"Ulfa, jika kau tak percaya kalau aku Abraham, kemarikan ATMku. Aku tahu PINnya."
Deg! Aku harus segera mengubah PIN dua ATM yang lain sebelum suamiku memgambilnya. Bisa saja suatu saat tanpa sepengetahuanku, ia mengambil kartu-kartunya.
"Sudahlah, istirahat dulu. Siapa tahu ingatanmu kembali." Aku pergi meninggalkanmya sendiri.
"Dengar Ulfa! Jangan berani-berani menyentuh isi ATM itu atau nanti kau kutalak. Biar jadi janda dan dikucilkan orang!"
Ya, Allah. Ini orang apa tidak sadar posisinya sedang tidak menguntungkan. Aku harus membuatnya berhenti dan menyadarkan dia bahwa ia perempuan. Setidaknya ia harus bersikap sesuai dengan raganya.
Aku kembali mendekati ranjangnya."Istriku sayang, kamu tidak mau 'kan dimasukkan rumah sakit jiwa gara-gara mengaku sebagai suami? Jika tidak mau, bersikaplah layaknya istri yang berbakti. Oke," kataku sambil menyentuh dagunya. Lalu sebuah ciumam dikeningnya kuberikan.Ia menggeram kesal."Kutinggal dulu, yah. Mau makan apa, Sayang? Biar kubelikan makanan enak berkualitas tinggi kaya protein dan gizi. Kasihan tubuh kurusmu tinggal kulit pembalut tulang, karena kekikiran suamimu ini yang hanya memberi nafkah lima ratus ribu setiap tanggal lima," ucapku sambil mataku menelisik setiap inci tubuhnya terutama pergelangan tangannya.Bola mata Mas Abraham mengikuti pandangan tajamku lalu ia menyingkap pergelangan tangannya seolah terhipnotis ikut memeriksa tubuhnya. Sepertinya, ia baru menyadari betapa kurus istrinya selama ini."Baiklah, kalau enggan menjawab. Biar aku yang pili
"Heeg, mmmh!" Suara neg dari gumaman suamiku terdengar.Mas Abraham menutup mulutnya kuat-kuat dan segera berlari ke arah kamar mandi. Akan tetapi, ia menghentikan langkahnya saat selang infus tertarik."Emmm ... emm ... em." Ia mengumamkan sesuatu dengan mulut tertutup digerakan ke sana kemari mengikuti gerak penglihatannya yang ke arahku lalu ke infus.Bisa kupahami, ia menyuruhku dengan bahasa isyarat agar aku membawakan botol infus mengikuti langkahnya. Ia tak bisa membuka mulut lantaran menahan diri agar tak muntah sembarangan. Maklum suamiku hamil muda sedang mengalami morning sicknes yang datangnya bukan morning saja.Kuikuti langkahnya sambil membawa botol infus dari belakang.Sesampai di depan WC ia segera beraksi."Hueeek ..., hueeek!"Ia memuntahkan cairan berwarna putih karena dari kemarin sore belum terisi makanan.&nb
"Permisi, ya, Bu. Tolong, ini dibuka," kata dokter kandungan.Beliau satu-satunya dokter kandungan perempuan di rumah sakit ini. Aku cukup lega, ragaku tidak diperiksa oleh dokter laki-laki, tapi tidak dengan suamiku.Ia tak paham perintah dokter atau bagaimana? Dia justru membuka lengannya hingga bahu. Apa dikira dokter mau melakukan tensi?"Apakah belum diperiksa tensinya?" tanya dokter pada perawat jaga."Sudah, Dok," jawab perawat yang mengiringinya."Maaf, ya, Bu." Perawat itu mengulurkan tangan untuk membantu Mas Abraham menyingkap bagian perutnya."Heh, mau apa?" protes Mas Abraham. sambil beringsut duduk.Seketika tangan perawat mengambang di udara. Ia tak mengira mendapat penolakan dari suamiku."Fa, dokter hendak memeriksa detak jantung bayi. Bukalah bagian perut," ujarku berusaha memberikan pengertian
Keesokan harinya, kami bisa pulang pukul sebelas siang setelah menyelesaikan administrasi. Sebelumnya aku sudah selesai mengurus PIN ATM yang kedua di bank BKI (Bank Kecil Indonesia). Isinya sepuluh juta. Tak begitu mengejutkan seperti ATM BCI. Mungkin karena namanya bank kecil jadi Mas Abraham juga menabung dana kecil di situ.Tinggal ATM yang ketiga belum kuganti PINnya. Nanti saja, saat sudah longgar waktuku.Untuk pulang, kami memesan taxi online. Di dalam mobil inilah, Mas Abraham tak sabar menanyakan ATMnya."Berapa banyak yang kau ambil dalam ATMku?" tanyanya."Siapa bilang ATMmu? Ini ATM atas nama Abraham dan akulah orangnya. Kamu hanya istri tidak perlu tahu isi ATMku," jawabku dingin."Fa, aku malas berdebat. Aku hanya ingin mengatakan bahwa dalam salah satu ATM itu, uangnya bukan milikku. Itu uang penduduk kelurahan Walang Sangit dan menyangkut nyawa seluruh kelurahan
"Sudah kubilang aku tidak bisa masak, dipaksa," sungut Mas Abraham. "Tuh, lanjutkan goreng telurnya." Aku berkata tanpa peduli keluhannya. "Fa!" "Panggil aku 'Mas'!" "Kalau aku panggil 'Mas', apakah kamu mau masakin buatku?" "Tidak! Itu pekerjaan perempuan!" tolakku tegas. "Aku lapar," katanya sedikit memelas. "Lanjutkan masaknya agar bisa makan," ucapku. Ia menggeram kesal. Helm yang tadi sempat dilepas sekarng dikenakannya lagi siap tempur di depan wajan. Dari arah kamar terdengar suara Maryam merengek memanggil-manggil ibunya kebiasaan dia ketika bangun tidur. Jiwa keibuanku masih ada dalam diri ini mendorongku untuk menghampirinya. "Ayo, Maryam bangun. Anak shalihah ikut Ayah dulu. Ibu lagi masak." Biarlah saat ini kumandikan Mary
"Jemur baju itu bukan asal gini!"Tak tahan aku, kalau tak menggerutu.Bagaiamana tidak kesal bin sebal, masak jemur baju kayak naruh gombal sembarangan. Hih, gregetan pingin nyubit.Asal nyantol di jemuran tanpa dibentangkan. Kapan mau kering? Sampai Februari tanggal tiga puluh kali. Selain itu airnya masih menetes deras tanda tidak diperas sama sekali."Perhatikan!"Aku memberinya contoh memeras baju dan cara menjemur yang benar."Lanjutkan, ya, Fa," ucap Mas Abraham padaku."Tidak bisa!" Kutarik pergelangan tangannya saat ia berbalik mau masuk rumah."Kalau siang ini ingin tak masak, jemur yang benar!" perintahku."Siang ini aku tak perlu masak lagi? Kita makan apa? Daging ayam, ya?" tanya Mas Abraham dengan senyum sumringah."Bothok buatan Nek Sariyem," jawabku."Calon istri baru
"Pak, apakah istri saya tahu, kalau sebelum terjadi kecelakaan tanah dan rumahnya sudah kujual?" tanyaku pada Pak Lurah dengan perasaan yang kacau."Tidak. Seperti yang kau bilang istrimu tak akan melepaskan tanah warisan orang tuanya. Siapa yang mau kehilangan kenangan dari orang tuanya? Padahal itu berpotensi akan membahayakan nyawanya juga.""Tapi, bagiamana bisa ia menandatangani semua berkas jual beli?""Kita kerja sama waktu itu. Tugasmu mendapatkan cap jempol serta KTPnya sedangkan foto saat melakukan tanda tangan dan cap jempol diperankan oleh Arina dengan menggunakan masker."Oh, begitu rupanya. Kejam sekali mereka bertiga. Aku ingat sekarang suatu malam aku terbangun ingin buang air kecil tapi ibu jariku berwarna ungu. Ia mencuri cap sidik jari saat aku tertidur. Licik sekali kamu Mas.Apa sebenarnya rencanamu, Mas?"Berapa isi uang yang
Tujuanku melajukan motor ke arah Masjid memang sudah tepat. Sebab tak lama kemudian Azan Zuhur berkumandang.Dulu, jika kupunya waktu ke tempat ini, posisiku selalu berada di barisan belakang, di wilayah perempuan. Sekarang, kutempati barisan terdepan di belakang Imam. Bagaiamana rasanya? Jelas berbeda. Dekat dengan Imam seperti orang yang paling beruntung. Salat jadi lebih fokus.Menyenangkan juga jadi lelaki. Apalagi yang jadi imam Pak Haji Ramdan, ayah dari lelaki yang dulu pernah membuatkukesengsem.Anak beliau namanya Muzakka, sekarang gelarmya Lc. Dia lulusan dari Mesir.Waktu aku tsanawi di pesantren Muttaqien, ia juga sedang menimba ilmu di sana, tsanawi juga, beda tingkatan. Bangunan santriwati dan santriwan berbeda, jaraknya seratus meter. Kami tak saling bertemu.Tiap kali pulang liburan, aku dijemput Ayah dan kami selalu diberi tumpangan di mobil Haji Ramdan.&