“Mama.. Mama mau nggak sama-sama sama Mister Rama? Mister Rama baik sama Salma dan Dek Fatih.” Celotehan Salma pagi-pagi itu membuat Maryam gelagapan. Ia tak ada persiapan sama sekali menghadapi celotehan random anak sulung perempuannya itu.
Tangan Maryam yang sedang membereskan bekal itu terhenti. Ia mengerjap. “Ya?”“Mama nikah, ya, sama Mister Rama..” Pinta Salma.Gadis kecil enam tahun itu meminta mamanya menikah seperti meminta sebuah mainan baru.“Maksud Salma bagaimana? Mama nggak ngerti.” Tepatnya Maryam pura-pura tak mengerti. Juga, mencari keseriusan di wajah Salma. Biasanya, anak-anak itu hanya mengatakan apa yang ada di benak mereka tanpa berpikir panjang.“Mama nikah sama Mister Rama. Biar Mama nggak sedih lagi. Salma sedih kalau Mama sedih. Salma juga mau punya papa lagi.” Jawab Salma mantap. Matanya memandang lurus mata sang mama.“Tapi nggak bisa begitu, Nak.” Sergah Maryam mengalihkan pandangannya. Melanjutkan merapikan bekal makan.“Kenapa?”“Ya, pokoknya nggak bisa.” Sahut Maryam.“Tapi kenapa?” Salma bertambah kekeuh ingin tahu alasannya.Maryam bingung harus berkata apa untuk menjelaskan perihal pernikahan itu. Rama memang sering disebut-sebut oleh Salma sejak guru baru itu datang dan bergabung di sekolah Salma.“Salma belum bisa mengerti, Sayang. Lain kali kalau Salma sudah agak besar, Mama jelaskan, ya?” Maryam melirik jam dinding. “Udah terlambat. Ayo.”Salma mencebik. “Sekolah Salma dan Dek Fatih mulainya masih lama… Kita masih ngantuk.”“Iya, Sayang. Maafin Mama, ya. Sementara begini dulu, ya?”Salma mengangguk lesu. Tapi menuruti sang Mama. Ia bisa mengerti. Ia rindu memiliki Papa. Papa yang selalu berada di angan-angannya, yang kata Mamanya kerja jauh lalu pada akhirnya tak pernah pulang.Kalau punya Papa, Mamanya tidak perlu bekerja. Dan dia tidak perlu menunggu di sekolah sampai sore sampai mamanya pulang kerja.Maryam harus tega melakukan itu pada anaknya. Dia harus bekerja. Dan tempatnya bekerja mengharuskannya buka pukul 07.00 pagi.“Kita berangkat sekarang. Ayoo..” Seru Maryam.“Salma sama Dek Fatih udah mau berangkat, ya? Itu anakku aja masih tidur, Mbak..” Sapa salah satu tetangga yang kebetulan lewat.“Iya, Bu.. Sudah harus berangkat sekarang.” Maryam hanya menjawab seadanya. Waktunya benar-benar mendesak, ia tak bisa menanggapi basa-basi lagi.“Ngomong-ngomong, yang semalem siapa, Mbak? Pacar?” Usik Ibu itu. Wajahnya menyuruk ke depan motor Maryam.“Bukan, Bu.. Maaf, saya lagi buru-buru. Saya permisi.” Maryam segera melaju meninggalkan tetangganya. Ia benar-benar sudah terlambat.“Janda aja sombong banget.. Pasti hasil godain laki-laki kaya itu. Mobilnya mewah begitu. Jangan-jangan dia jadi pelakor…” Gumam ibu-ibu itu.Semalam, ia mengintip dari jendela rumahnya karena mendengar suara mobil berhenti tepat di seberang rumahnya. Di kampung itu tidak ada satu pun yang memiliki mobil semewah itu.Mobil Pickup pengangkut bambu adalah hal termewah yang pernah Maryam temui di sana. Dan, di kampung itu jarang sekali orang menggunakan jasa taksi online apalagi taksi offline.Penduduk di kampung itu tidak sekaya itu. Itulah sebabnya Maryam memilihnya, karena biaya sewa kontrakan yang murah.“Jangan ngomong yang enggak-enggak kalau nggak tau faktanya gimana, apalagi sampe nyebarin gosip itu kemana-mana.” Tegur seorang ibu lainnya dari belakang sampai membuat ibu yang bergumam tadi berjengit.“Bu RT ngagetin aja!” Seru Ibu itu.“Saya kok malah bersyukur kalau Mbak Maryam sudah ada yang nemeni. Saya kasian. Saya keinget anak saya.” Ratap Bu RT.Ibu-ibu yang menggunjing Maryam seketika terdiam lalu melengos mencibir. Kalau Bu RT sudah mengenang, ia tak sanggup lagi berkata-kata.“Masih pagi, Bu. Jangan nangis di sini. Mari, saya permisi mau ke pasar.”***“Ma.. Pacar itu apa?” Seru Salma dari boncengan belakang.“Hah? Salma ngomong apa?” Teriak Maryam dari balik helmnya. Salma bertanya padanya soal apa?“Pacar. Ibu itu tadi bilang Mama punya pacar. Pacar itu apa?” Teriak Salma tak kalah kerasnya.Orang-orang yang berkendara di dekatnya bahkan menoleh semua ke arah mereka. Pembahasan soal pacar dengan seorang balita sungguh membuat orang-orang itu mungkin sedikit janggal.“Nanti aja, ya. Mama nggak denger.”Membicarakan pacar dengan seorang anak kecil. Berteriak di jalan dan mengundang perhatian banyak orang, tentu membuat Maryam salah tingkah.Lima menit kemudian mereka sampai di gerbang sekolah Salma dan Fatih. Seperti biasa, Mr. Rama sudah berdiri menyambut anak-anaknya.Ya. Hanya anaknya, karena mustahil murid lain akan berangkat sepagi ini. Mereka mungkin malah masih bergelung di selimut tebal mereka di bawah terpaan sejuknya air conditioner.Awalnya Maryam sempat tak percaya Rama sudah berada di sekolah sepagi itu. Biasanya guru-guru yang lain datang 30 menit sebelum kelas dimulai.Tapi kenapa Rama datang lebih awal? Sudah dua minggu ini dia begitu. Mungkinkah hanya karena Salma dan Fatih?“Assalamu’alaikum Salma.. Assalamu’alaikum Fatih..”“Wa’alaikumsalam Mr. Rama.” Sahut Salma dan Fatih hampir bersamaan.“Assalamu’alaikum, Mam..” Sapa Rama pada Maryam. Canggung. Tapi syukur, Maryam segera menyambutnya normal-normal saja.“Wa’alaikumsalam. Saya titip anak-anak sampai sore lagi, Mr. Rama.” Ujar Maryam, lalu menunduk melihat Salma dan Fatih. “Mama pamit, ya. Mama kerja. Ingat yang selalu Mama bilang?”“Selalu baik sama teman dan nurut sama miss and mister.” Kata Salma. Fatih hanya melihat kakaknya dan hendak ikut berkata-kata tapi tak ingat.“Pinter. Mama pergi, ya?” Maryam melambaikan tangannya dari atas motor.Rama menyaksikan semua itu.“Mama…” Salma berteriak menghentikan tangan Maryam yang bergerak mengenakan helm.“Iya? Ada apa lagi Salma?”Salma mendekat beberapa langkah. “Kata ibu tadi Mama punya pacar, pacar itu apa?”Lagi-lagi pertanyaan salma itu mengundang perhatian orang lain. Kali itu Rama dan penjaga sekolah sampai berpandangan dan sama-sama melebarkan matanya. Maryam gelagapan.“Pacar? Pacar itu kaya teman. Pacar itu teman, Sayang.” Maryam menggigit bibirnya.Ia malu melakukan percakapan itu di bawah tatapan satpam sekolah terlebih ada Rama yang menyaksikan itu.Maryam melirik ke kanan tempat berdirinya Rama dan penjaga sekolah. Mereka sepertinya sedang menunggu jawaban maryam.“Salma.. Fatih.. Yuk, masuk. Mr. Rama bawa mainan baru, lho.” Ajak Rama pada Salma. Tangannya satu sudah menggandeng Fatih sejak tadi.Dan satunya lagi sedang membujuk Salma agar menyudahi pertanyaan itu.“…”Bibir Maryam kelu. Lebih tepatnya salah tingkah oleh anaknya sendiri. Ia mengangguk canggung pada penjaga sekolah yang sedang tersenyum lebar dan menatapnya penuh arti.Maryam segera mengalihkan pandangannya, dan memejam malu. Mempercepat gerakannya memakai helm, menghidupkan motor dan menarik gas hingga dia sendiri tersentak ke belakang.Rama menoleh ke belakang lagi dan mengulum senyum ketika melihat punggung Maryam yang tersentak.Ia tak menyangka paginya akan semembahagiakan ini. Keputusannya untuk datang pagi-pagi dan menunggu anak-anak ini tidak salah.“Pak Rama memang cocok dengan Bu Maryam, sama-sama ganteng dan cantik.” Seloroh si penjaga sekolah.“Pak Agus ada-ada saja..” Sergah Rama. “Saya dan anak-anak permisi masuk dulu, Pak.” Rama mengangguk dan meninggalkan halaman sekolah itu.“Mari, silahkan.”seperti biasanyaRama segera mengambilkan mainan baru yang ia katakan tadi. Juga buku-buku yang masih tersegel, Rama meminta Salma dan Fatih membantunya membuka segel-segel itu.“Bulan..” Seru Fatih ketika melihat buku dengan cover bulan dan siluet gunung.“Benar, itu bulan. Fatih pintar.” Seru Rama.“Kenapa bulan dan matahari ada satu? Kenapa nggak seperti bintang, ada banyak?” Tanya Salma.Gadis kecil itu memegang buku tentang Tata Surya Ciptaan Sang Pencipta – Siapa Tuhanmu.“Kalau mataharinya ada banyak kaya bintang, bukannya siang akan panas banget? Bener, nggak, Salma?” Jawab Rama.Salma mengangguk.“Terus kalau bulannya ada banyak, setiap malam kita akan susah tidur karena silau. Benar, kan?” Sahut Salma.“Anak pintar.” Kata Rama mengacungkan dua jempol tangannya.“Matahari dan Bulan itu kaya Papa dan Mama. Sedangkan anak-anak itu bintangnya. Matahari dan Bulan cukup ada satu saja. Biar seimbang. Kalau bintang ada banyak justru semakin indah, kan?” Ujar Rama. Ia ingin menjelaskan makna lain dari bulan dan matahari.Salma menyimak. Fatih meski terlihat sibuk dengan mainannya, anak itu sebenarnya ikut menyimak.“Tapi kalau mataharinya nggak ada, apa yang terjadi?” Tanya Salma.“Gelap. Siang akan gelap kalau nggak ada matahari, kan. Kalau matahari ketutup mendung itu hari pasti gelap.” Rama menjawab lugas tanpa memikirkan bahwa jawaban itu akan ditafsirkan lain oleh Salma.“Berarti rumah Salma gelap. Karena Salma nggak ada Papa.”Rama terkejut karena logika Salma yang luar biasa. Rama menegapkan badannya dan menghela napas samar. Ia memaksakan senyum karena Salma terus menatapnya.“Salma mau punya Papa lagi biar Salma, Dek Fatih dan Mama nggak kegelapan kalau siang.” Lanjut gadis kecil itu.“Mister Rama mau nggak jadi Papa Salma?”Malam itu, semua orang kembali ke kamar dengan dada mengembang bahagia. Setelah Khalid memutuskan undur diri. Termasuk Khalid yang juga memasang senyum sepanjang perjalanan pulangnya.Tak apa menunggu dua sampai empat minggu lagi. Ia yakin jawaban Ines adalah 'iya' untuknya.Tetapi, masih ada satu hal lagi yang mengganjal bagi keduanya. Icha.Seharusnya, Icha ikut dilibatkan tadi. Seharusnya ia mengajak Icha diskusi terlebih dulu sebelum memutuskan pulang.Khalid sedikit menyesal. Sebab entah kapan lagi memiliki kesempatan seperti tadi, saat Icha dengan gamblang bertanya soal niatannya.Senyum Khalid semakin mengembang memingat hal itu.Ines mengetuk pelan kamar anaknya yang berada di rumah Pak Ali itu. Ines sempat melirik jam tangannya, masih jam 20.20. Biasanya Icha masih memainkan gawai untuk sekedar nonton youcup atau game online.Ines mengetuk lama. Lama tidak ada sahutan lalu Ines sedikit berseru."Icha.. Buka pintunya, Dek. Udah tidur, ya"Panggilan Adek yang selalu Ines sematka
"Gimana, Pi, Mi? Mbak Ines mana?" Tanya Rama tak sabar.Mahesa sudah lelap setelah ditimang gendong oleh papanya. Salma dan Fatih juga susah berhasil terlelap setelah sedikit drama pencarian sang mama yang sedang menggali informasi dari Icha.Maryam berjalan dari arah kamar Icha, menuju ruang tamu bergabung dengan suami dan mertuanya.Belum juga Pak Ali maupun Bu Andini menjawab, Rama kembali berkata,"Itu ketawa-ketawa kenapa? Padahal tadi kayaknya sengit banget kaya mau nerkam mangsa. Kok bisa?""Kamu cerewet banget kaya perempuan!" Sergah Bu Andini. "Tunggu aja di sini. Biarin mereka ngomong. Semoga itu pertanda baik. Kita berhutang banyak pada Nak Khalid.""Ha? Hutang apa? Perusahaan? Emang iya, Sayang?" Rama mencecar lagi, memvalidasi pada MaryammTadi sewaktu ada tamu gayanya berwibawa sekali, tak mau banyak omong tak mau ikut campur. Begitu tidak ada orang sifat aslinya langsung keluar. Jiwa kepo dan cerewetnya seringkali bikin Bu Andini pusing tujuh keliling.Maryam mendelik k
Hujan malam itu tak lagi deras. Menyisakan rintik lembut terbawa angin sepoi menimpa punggung Ines yang kini sempurna menghadap Khalid.Matanya memicing, mengkerut lalu membeliak karena sebuah hantaman memori masa lalu.Memori itu masih berserak, tapi ia bisa mengingatnya.Seorang laki-laki berdarah campuran arab dengan cambang dimana-mana, bola mata cokelat yang perlahan memejam itu berada di bawahnya, menopang bobot tubuhnya. Saat Ines bangkit dari atas tubuh itu, ia melihat belakang kepala laki-laki itu mengalir darah segar.Saat itu, yang dilakukan Ines adalah berteriak kencang histeris. Ia sama sekali belum pernah melihat darah sebanyak itu.Dan laki-laki itu terluka kepalanya karena kecerobohannya.Ines tengah bercanda dengan temannya waktu itu di halaman fakultas entah berebut apa, berlarian mundur tanpa tahu bahwa ada batu besar yang siap menyambutnya tanpa dosa.Ines mundur dan tersandung batu itu, tubuhnya terpelanting mundur menabrak seseorang di belakangnya dan menindih or
Tok tok tok. Maryam mengetuk pintu kamar Icha beberapa kali, tetapi tidak ada sahutan. Mustahil Icha sudah tertidur. Maryam meraih handle pintu itu, terkunci. "Mbak Icha cantik.. Ini Tante. Boleh Tante masuk? Mbak Icha belum tidur 'kan?" Bibir Maryam hampir menempel dengan pintu karena suara rendahnya. Ia tak ingin membuat keirbutan di malam itu sekaligus agar suaranya tetap terdengar oleh Icha. "Mbak Icha.. Tante pengen curhat, nih.." Bujuk Maryam lagi. Ia menggunakan panggilan 'Mbak' pada Icha agar Icha dianggap sebagai yang paling tua dan dihargai. Nyatanya, Icha bukan anak kecil lagi. Panggilan yang awalnya diciptakannya untuk melatih Salma dan Fatih itu justru amat sangat disukai oleh Icha. Tak lama terdengar bunyi anak kunci diputar. Kemudian handle pintu bergerak dan membuat pintu itu terbuka."Kalau Tante mau membujukku karena Mama, mending Tante pergi aja. Maaf. Icha lagi pengen sendiri." Icha hendak menutup pintunya kembali tapi ditahan oleh tangan Maryam. "Tunggu du
Khalid adalah mahasiswa luar negeri dari program 'Student Exchange' di kampus tempat Ines menimba ilmu. Fakultas yang sama, tetapi sayangnya mereka berbeda jurusan. Hanya sekitar satu tahun, dua semester penuh Khalid memintal ilmu di nusantara kendati ia masih memiliki darah nusantara dari ibunya. Ibunya berasal dari sini. Mereka tinggal berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain termasuk Indonesia karena bisnis keluarganya. Tetapi sejak ibunya meninggal 18 tahun lalu, keluarga mereka seolah ikut berhenti melupakan nusantara. Mereka mulai menetap di Dubai dan selama 18 tahun itu tak ada yang kembali ke Indonesia. Baru sekarang Khalid kembali karena mengingat seorang gadis yang dulu dikenalnya. Dengan alasan ingin mengembangkan bisnis, Khalid membujuk sang ayah agar mengijinkannya ke Indonesia. Lalu tepat sebulan yang lalu, ia tak sengaja bertemu dengan Ines di sebuah bank yang ternyata ia adalah manager di sana. Bagaimana Khalid masih mengingat wajah Ines padahal sudah lewa
Setelah acara reuni malam itu, Khalid bergegas terbang menuju Dubai untuk menemui kedua ayahnya. Dini hari pesawatnya mulai meninggalkan zona udara Indonesia menuju negara yang memiliki teknologi super canggih itu.Di sanalah tempat tinggalnya selama 20 tahun terakhir.Ah, lebih tepatnya, di sanalah ayahnya sekarang tinggal. Seorang diri. Hanya ditemani seorang asisten rumah tangga yang membantu beliau mencukupi kebutuhan sehari-hari. Usianya sudah menjelang 85 tahun. Istrinya sudah lama meninggal meninggalkannya sendirian di dunia ini.Anak-anaknya?Anaknya melanglang buana mengikuti rezekinya masing-masing bersama keluarga masing-masing. Tinggalah si bungsu yang tak kunjung menikah dan membuatnya resah.Hidupnya dilanda gelisah karena memikirkan si bungsu yang katanya enggan menikah.Maka malam itu, merasa waktunya telah dekat. Beliau meminta anak bungsunya agar lekas kembali ke tanah air."Hidup tak melulu soal bisnis dan uang. Ada ruang kosong di jiwa yang harus segera diisi agar