"Maryam.." Sapa Enggar.Maryam dan Ahmad menoleh bersamaan. Kedua matanya sama-sama melebar dalam waktu yang bersamaan pula."Ngapain kesini lagi?" Ahmad melonjak berdiri. Ia hendak menubruk Enggar tapi tangan Maryam dengan cepat mencegahnya. "Kak..." Sela Maryam. "Biar Maryam aja yang ngomong."Ahmad, kakaknya, memilih masuk ke dalam untuk memberikan waktu adiknya berbicara. Terlanjur berhadapan. Pikir Maryam. Jika bisa tidak ditemui maka Maryam tak akan pernah lagi menemui Enggar. Namun kali ini ia akan mendengar apa yang akan dituturkan oleh Enggar serta apa yang laki-laki itu inginkan. Hanya itu.Maryam tak ingin mendengar soal masa lalu lagi. Baginya ia telah tenang dengan kehidupannya saat ini meski tertatih membesarkan dua anak sendirian. Ia tak ingin mendengar alasan kepergian Enggar meski ia sangat ingin dulunya."Mau ngomong apa?" Katanya saat telah berhadapan dengan jarak yang lumayan."Aku minta maaf, Mar..." Ucap Enggar lagi, Tapi matanya tak benar-benar menatap Maryam
"Maryam sampai kapan ada di sini, Bang?" Tanya Rina dengan suara melengking begitu Ahmad masuk. Mereka terlibat percakapan di dalam rumah sementara Maryam di halaman bersama Enggar. Ahmad tersentak. "Bisa dipelanin suaramu?" Ibu lagi istirahat. "Sampai kapan mereka di sini? Kamu nggak tau omongan tetangga mulai membicarakan maryam yang janda dan bawa dua laki-laki kemarin? Aku nggak nyaman. Aku keberatan juga sama anak-anaknya disini. Makannya banyak." Dengus Rina. Ahmad berhasil membujuk Rina agar orang tuanya tinggal bersama mereka dua tahun lalu. Meski Ahmad sendiri sangat keberatan dengan keputusan itu. Tapi sedikit ada rasa tanggung jawab dan iba kepada orang tua dan Maryam. Maryam hidup sendiri karena suaminya yang katanya sedang tugas keluar kota bertahun lamanya. Adik laki-lakinya sibuk membangun bisnis sana-sini yang tidak pernah berhasil. Malah seringnya ia tertipu dan uangnya dilarikan. Hasilnya, ia menumpuk hutang yang sangat banyak dengan rumah orang tuanya yang dijadi
Maryam mengikuti langkah ibunya ke kamar beliau. Tentu bersama kedua anaknya. Mereka mirip sekali iring-iringan pawai. Dengan baju yang kebetulan berwarna-warni. Kamar itu bukan termasuk kamar tidur yang besar. Hanya ukuran 2x3 meter yang awalnya difungsikan sebagai ruang ibadah. Hanya muat satu kasur single sempit dan lemari plastik yang pendek dan lebar dengan pintu yang tersisa satu penutup. Yang lainnya telah hilang entah kemana. Maryam pun ikut serta tidur bersama-sama dengan ibunya dan kedua anaknya di kamar itu. Sesak dan pengap. Maryam duduk bersama putra putrinya di kasur tipis seperti biasa. Salma mengambilkan mainan dan beberapa buku untuk mengalihkan perhatian anak-anak itu. Cat kamar itu telah usang dan menggelembung-gelembung berisi jamur-jamur yang tumbuh di balik cat itu. Baunya menusuk hidung. Tak nyaman dan pengap. Maryam mengamati tubuh ibunya dari belakang. Ibunya sedang menghadap lemari yang baru Maryam sadari isinya telah kosong. Lalu si ibu membuka satu pintu
Fifi menyeret Enggar menyingkir dari sana. Mainan yang tadinya untuk Salma urung diberikan karena telah dihempaskan Fifi sampai berbunyi gemeletak. Artinya, mainan-mainan itu patah tak lagi utuh.Mereka bertengkar sepanjang jalan. Suara Fifi melengking memenuhi gang sepanjang jalan dan menjadi tontonan warga sekitar.Di halaman, menyisakan keheningan diiringi desau angin lalu diikuti samar-samar suara bisikan tetangga yang menggunjing.Rama mendekap Salma yang sesaat lalu berlari ke arahnya dan memeluknya karena ketakutan. Keributan itu asing bagi Salma. Teriakan tadi begitu menakutkan bagi gadis kecil ini.Sementara Fatih masih berada dalam gendongan mamanya yang sedang memandang lekat ke arah Rama.Maryam mematung. Ia sama sekali tak memperhitungkan soal Rama yang akan menyela. Ia sama sekali tak menyangka Rama akan mengatakan hal demikian di depan semua orang.Maryam berterima kasih atas bantuannya, tapi ia tidak siap dengan kalimat Rama. Juga, karena rasa malunya. Lagi-lagi Rama h
Mereka menghabiskan setengah jam berada di rest area tersebut. Rama berbincang sebentar dengan Ibu Maryam tanpa sungkan. Pun dengan Ibu Maryam yang otomatis membicarakan kronologis ayah Maryam meninggal. Dalam waktu singkat itu, Maryam terpana dengan kedekatan Rama dengan ibunya. Pukul 15.30 mereka memasuki sekitar kampung Maryam. Ketika melewati kebun bambu yang sekaligus sebagai gapura masuk kampung Maryam, ibu terpaku. Maryam kecil memang selalu hidup cukup. Meski pelik kelaurganya karena disebabkan masalah si anak tengah, tapi ayah dan ibu memastikan anak-anaknya tak pernah kekurangan. Sepanjang perjalanan menuju kontrakan Maryam itu penuh dengan perumahan-perumahan modern. Blok-blok perumahan sampai akhirnya memasuki kebun bambu itu, ibu merasa seperti masuk ke dunia lain. Kabupaten itu bukan kabupaten yang tertinggal. Tapi masih ada daerah kampung di dalamnya yang seperti itu. Hutan dan kebun bambu yang rapat dan mengerikan. Tidak terlihat pula tiang-tiang lampu jalan. Artin
Kehidupan Rama yang berjalan mulus dan lurus sejak kecil membuat dirinya selalu ingin belajar setiap hal-hal yang menurutnya asing dan ganjil. Rama adalah pembelajar ulung. Rasa penasarannya pada setiap hal membuat ia seringnya hanyut ketika telah penasaran dengan sesuatu. Dua hari sebelumnya, setelah pembicaraan dengan Maryam soal sang ibu. Rama semakin merasa ada yang ganjil. Dan rasa penasaran Rama mencuat. Rama sempat memperhatikan ekspresi wanita yang dibawa Enggar entah dari mana itu terasa aneh. Rumit. Dan sesuatu yang asing. Sangat asing baginya. Lalu ekspresi Ibu ketika melihat Enggar dan wanita itu juga menjadi perhatian Rama. Setelah pulang mengantar Maryam dan ibunya hari itu, ia tak langsung pulang ke rumah. Perjalanan hampir 7 jam lamanya masih tak mampu membendung rasa penasarannya yang ingin segera dituntaskan. Rama singgah di kantornya. Menghubungi beberapa orang yang biasa ia pakai untuk penyelidikan. Rama merasa harus tahu tentang latar belakang Enggar dan cerita
Ingatan Enggar samar-samar soal apa yang menimpa dirinya sampai ia benar-benar menikahi wanita muda yang emosinya mudah meledak-ledak bernama Fifi itu.Seingatnya, ia telah menolak baik-baik. Ingatan soal teman-temannya yang mencoba menyadarkannya pun hanya seperti sebuah kilasan-kilasan mimpi. Enggar tak ingat pasti.Apa yang diceritakan pada almarhum ayah Maryam hanyalah berdasarkan cerita yang ia dengar juga ditambah kilasan-kilasan samar. Selebihnya ia mengarang.Memposisikan dirinya menjadi seutuhnya korban ia rasa akan lebih baik agar menarik simpati almarhum Pak Ahsin dan Bu Ahsin dulu.Karena Enggar benar-benar sudah muak dengan kehidupannya bersama Fifi. Emosi wanita muda itu yang tak mudah diredam. Sebentar-sebentar mengancam dan mengadu pada orangtuanya membuat Enggar kewalahan.Ia tak sanggup. Keluar dari kawasan itu pun rasanya sulit. Semua orang yang dikenalnya sudah keluar dari sana seiring selesainya proyek yang dibangun saat itu."Tinggalkan aku sendiri, Fi. Kumohon!"
"Maksudnya apa? Saya nggak ngerti." Sekeras apapun mencoba, Maryam tetap tak mengerti arti ilmu hitam yang dikatatakan oleh Rama.Bukankah terlalu jauh berpikir kesana? Mungkin saja ibunya hanya depresi karena masih syok ditinggal sang suami...Bisa saja Ibu hanya terlalu rindu sampai-sampai mengigau ingin ketemu dengan suaminya?Logika akal Maryam tak menerima soal ilmu-ilmu hitam itu. Sebagai manusia yang dididik sejak kecil dengan pikiran terbuka dan modern, Maryam sulit menerima hal-hal yang di luar nalahr."Saya juga belum tau pastinya. Hanya tebakan sekilas. Tapi kalau mendengar penuturan ibu, saya rasa tebakan saya ada benarnya." Ujar Rama.Ia tak pernah yang namanya bersinggungan dengan hal-hal mistis tersebut. Rama hanya sering mendengar dan melihat orang-orang di sekitar lingkungan rumah kakek neneknya dulu melakukan praktek ilmu-ilmu mistis tersebut.Sudah terlalu lama memang. Tapi ia teringat betul apa kata kakeknya yang pernah singgah sebentar dan hidup bersama suku Kalima