Share

Bab 5 Mantan

Sekian bulan dia menyandang status janda, nyatanya tak berpengaruh apapun pada Maryam.

Kehidupannya dengan atau tanpa suami nyatanya sama saja. Dulu, dia memiliki suami tapi seperti tak bersuami.

Enggar namanya. Jarang sekali pulang ke rumah dengan alasan sedang menangani proyek di luar kota. Dinas yang awalnya hanya butuh 2 sampai 3 minggu di luar kota, menjadi bertahun-tahun saat Fatih; anak kedua mereka akan segera lahir.

Alhasil, Fatih si anak bungsu tak pernah tau bagaimana rupa papanya. Padahal sosoknya ada. Hanya berbeda tempat entah di mana.

Maryam sedang menikmati kebebasannya menjadi 'janda'. Dan dalam waktu bersamaan sedang berjuang keras menghidupi anak-anaknya.

Ponselnya berdering. Seperti biasa, suaranya menyentak mengagetkan. Segera ia menyambar ponsel itu. Lagi-lagi nomor tanpa nama.

Seperti yang lalu-lalu, Maryam selalu mengabaikan panggilan tanpa nama itu. Lalu nomor itu terus mengirim pesan padanya.

Maryam meringis. Terakhir kalinya Enggar menghubunginya, ada suara perempuan di belakangnya yang marah-marah dan menyuruhnya menceraikan Enggar.

Wanita itu pun tak jelas mengatakan dia siapa.

Nomor itu kembali menghubungi.

"Nggak diangkat aja, Mbak? Siapa tau memang penting. Daripada ngerecoki terus." Kata Nur; rekan kerjanya mengingatkan.

Maryam tersenyum tipis. "Aku tau ini siapa. Bukan orang penting." Jawabnya.

"Tapi bisa jadi urusannya yang penting. Kita nggak pernah tau sampai mendengar maksud telepon itu, kan?" Kata Nur lagi.

Maryam manggut-manggut. "Aku terima telepon dulu kalau begitu."

"Hallo.. Ini siapa?" Kata Mar, padahal sudah jelas si penelepon itu siapa.

[Halo, Mar. Kamu apa kabar? Maaf aku sulit menghubungimu. Aku juga nggak bisa lama. Aku cuma mau minta tolong jemput aku di bandara besok siang. Bisa ya. Tolong banget!]

Maryam tercengang. Banyak kata-kata umpatan di kepalanya berjejalan ingin dikeluarkan, tapi bibir Maryam seperti di lem.

Apa tak ada basa basi lain? Kenapa nggak nanyain dulu kabar anaknya? Kenapa laki-laki itu egois banget hanya memikirkan dirinya sendiri?

Maryam mendesis samar mengungkapkan kekesalannya. Dikhianati bak tanpa arti selama 8 tahun pernikahannya ternyata mengubah dengan cepat rasa cintanya dulu menjadi abu.

Tapi Maryam tak mudah melupakan begitu saja ayah dari anak-anaknya itu. Maryam kesal tapi ia tak mampu membenci.

"Besok aku kerja. Maaf aku nggak bisa." Kata Maryam.

[Tolong, Mar. Aku nggak tau lagi mau hubungi siapa. Tolong. Sekali ini aja.]

Maryam semakin geram. Bukankah seharusnya Enggar berpikir bagaimana cara Maryam menjemputnya? Bukankah seharusnya dia berpikir tentang nasib anak-anaknya?

Lalu, apakah Enggar membawa wanita yang ada di telepon dulu?

Maryam ingin menolak tapi ia penasaran bagaimana rupa Enggar sekarang. Setelah sekian tahun tak bertemu.

Ia juga merasa butuh penjelasan dari laki-laki itu. Ia juga butuh melampiaskan kekesalan dan kekecewaannya yang bertahun-tahun ia pendam.

"Yang saya tau kita tidak punya urusan apapun lagi. Maaf, saya harus kerja." Kata Maryam akhirnya. Ia memejamkan matanya setelah itu. Menekan rasa ingin tahunya soal sosok lelaki yang telah memberikan dua anak padanya.

Maryam menutup telepon itu dengan kasar.

Maryam berdecih sendirian. Ternyata bertahun-tahun itu tak juga mengubah sifat Enggar yang sangat egois.

Benar-benar sangat egois. Buktinya, beberapa detik kemudian nomor itu kembali menghubungi.

"Apa lagi?" Decak Maryam. Ia tak sanggup lagi menyembunyikan kekesalannya.

[Tolong, Mar. Aku nggak mungkin telepon Bapak atau Ibu aku. Kamu juga tau aku anak semata wayang. Aku nggak punya saudara. Kita masih punya urusan. Apa kamu lupa kalau aku Bapaknya Salma?]

"Banyak taksi disana. Kamu nggak perlu minta jemput."

[Aku udah pisah sama dia. Aku mau kembali sama kamu. Please, Mar! Jemput aku!]

Maryam terdiam cukup lama.

[Mar..]

[Mau, ya? Jemput aku.]

"Liat besok. Mustahil aku dapat ijin dari bosku."

Maryam menyudahi pembicaraan itu dengan paksa. Lalu mematikan ponselnya.

"Dia bahkan lupa kalau anaknya nggak cuma Salma." Rahang Maryam mengetat beberapa detik.

Di dalam keheningan toko tempatnya bekerja, Maryam tercenung. Ada rasa penasaran yang timbul dan bercokol di hatinya. Ada rasa kesal tapi juga tak ingin menyiakan kesempatan.

Maryam tak sadar bahwa Nur sudah pulang mendahuluinya.

"Kamu butuh penjelesan apa lagi, Maryam? Sebaiknya memang nggak perlu dipikirin. Semua yang sudah berlalu biar jadi masa lalu. Cukup sekali-sekali aja kau tengok tapi jangan pernah kamu memutar arah kembali." Ucapnya sendiri.

Maryam mengepalkan tangannya. Lalu tersadar bahwa sang surya di luar sana semakin condong ke barat.

Maryam celingukan mencari Nur. Tapi tak ada tanda-tanda di sana. Tasnya juga sudah tidak ada.

Anaknya belum dijemput. Padahal jam kerjanya sudah habis sejak tadi.

"Gara-gara Enggar. Aku jadi telat jemput anak-anak." Desis Maryam.

Maryam membereskan sisa pekerjaannya. Lalu menutup rolling door berwarna hijau lumut toko itu. Sambil terus menggerutu karena Enggar Maryam menarik gasnya sampai ia tersentak sendiri.

"Mama kenapa lama banget?" Rengek Salma. Sedangkan Fatih langsung menyambut mamanya dengan uraian air mata.

"Maaf, sayang. Hari ini kerjaan mama banyak. Lain kali mama nggak terlambat lagi. Mama janji." Maryam mengulurkan kelingkingnya untuk Salma. Satu tangannya mendekap Fatih di pelukan.

"Saya sudah berusaha menenangkan Salma dan Fatih, tapi sepertinya hari ini mereka benar-benar merindukan mamanya." Kata Rama di hadapan Maryam.

"Maaf merepotkan Mister Rama." Sahut Maryam. "Kita pulang, yuk. Bisa berhenti dulu nangisnya?" Maryam mengalihkan pandangan pada Salma dan Fatih bergantian.

"Biar saya antar aja. Ini sudah terlalu sore. Sampai keb--. Maksudnya sampai daerah itu pasti sudah gelap. Kasian Salma dan Fatih." Kata Rama menawarkan.

"Boleh, ya, Ma. Salma boleh diantar Om Rama lagi, ya, Ma.." Rengek Salma.

"Mau Mama.." Rengek Fatih tak mau kalah.

"Pulangnya sama Mama aja, ya, Salma. Mister Rama udah nemenin sampai sore begini. Pasti capek. Katanya kangen Mama banget." Bujuk Maryam pada Salma.

Ia tak enak hati pada Rama selalu merepotkan laki-laki itu. Juga, takut orang-orang di tempat tinggalnya berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya dan Rama.

Petang itu Maryam berhasil membujuk Salma untuk pulang hanya bersamanya.

Rama tau benar bahwa tawarannya pasti ditolak. Maryam bukan seorang yang mudah dibujuk.

Rama mengikuti dari belakang tanpa sepengetahuan Maryam. Meski begitu, Rama tetap ketahuan ketika mereka sampai di kebun bambu legendaris itu.

Jalanan sepi dan petang itu hanya ada motor Maryam dan mobil Rama melintas.

Mustahil kalau Maryam tak mengenali mobil Rama.

"Padahal udah dibilang nggak usah. Tapi tetep ngikutin." Kata Maryam setelah melirik spion kanannya. Setelah mengucapkan itu bibirnya justru melengkung tersenyum.

Meski tak enak hati, tapi Maryam senang ada yang menemani jalan di belakangnya. Rimbunnya pohon bambu itu jadi tak terasa begitu mencekam petang itu.

***

Enggar menghela napas berat sembari mengusak rambutnya. Kepalanya terasa pecah memikirkan kehidupannya yang tak pernah berjalan mulus.

Setelahnya cepat-cepat ia menghapus semua riwayat panggilan dan pesan yang ia kirimkan pada Maryam.

"Sedikit lagi. Sedikit lagi aku bisa keluar dari sini." Gumamnya.

Enggar menumpang di rumah warga di dekat bandara, sebelum besok pagi-pagi sekali ia bertolak menuju bandara Banten.

Ia melarikan diri dari rumah istrinya untuk kembali ke Pulau Jawa setelah lebih dari 5 tahun melangkahkan kaki dari sana.

Ia sudah muak. Benar-benar muak dengan kehidupan yang menjeratnya bertahun-tahun. Kehidupan bersama istri barunya itu jauh lebih menyesakkan jika dibanding dengan saat ia bersama Maryam dulu.

"Besok pesawat jam berapa, Mas?" Tanya sang pemilik rumah.

"Jam 07.00, Pak." Jawab Enggar.

"Lebih cepat lebih baik. Orang-orang di kampung itu terkenal mengerikan kalau marah. Nggak cuma pake parang sama golok, tapi udah main ilmu hitam. Efeknya lebih cepat dan mematikan. Kok Mas bisa masuk kampung itu?" Tanya Bapak itu menyodorkan teh pada Enggar.

"Saya dulu ditugaskan mengurusi proyek yang kebetulan berada di kawasan daerah itu, Pak. Sampai saya bertemu istri saya itu. Tapi setelahnya malah saya nggak bisa keluar sama sekali dari sana. Apes, Pak." Sahut Enggar meringis.

Yang dimaksud istrinya itu adalah dia yang Enggar katakan pada Maryam bahwa mereka sudah berpisah.

"Banyak cerita laki-laki yang masuk kampung itu dijerat dan dibuat nggak bisa kembali ke asalnya, Mas. Penduduknya juga banyak yang menguasai ilmu hitam. Ngeri." Ujar Bapak itu.

"Saya dulu nggak tau, Pak. Saya juga setengah percaya dengan ilmu yang begitu-begitu. Sekarang malah saya mengalami sendiri." Jawab Enggar.

Enggar setengah menerawang mengingat kejadian dulu. Lalu kembali tersenyum saat menyadari sebentar lagi bahwa ia bisa kembali. Dan bertemu Maryam lagi.

Entah darimana keyakinan yang ia pegang sekarang, ia yakin bahwa Maryam sebenarnya masih menunggu dan mencintainya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status