LOGINSuasana rumah keluarga Hartono pagi itu terasa hangat seperti biasanya.
Cahaya matahari menembus jendela, menyorot lantai kayu yang bersih, dan membiaskan bayangan Raka dan Anaya yang tengah duduk di ruang tengah sambil menikmati sarapan.Gelak tawa Anaya terdengar riang ketika Raka sengaja membuat ekspresi konyol saat memotong roti, membuat secangkir susu hampir tumpah.Opa duduk di sofa dekat jendela, memerhatikan cucunya dan menantunya dengan senyum lebar.Matanya berbinar melihat bagaimana mereka saling bercanda, saling melemparkan kata-kata manis, dan terlihat begitu nyaman satu sama lain.Baginya, ini adalah hadiah dari semua perjuangan panjang yang ia saksikan: dari pernikahan kontrak, persaingan Dewa, hingga kehadiran Jay yang sempat membuat cemas.“Alhamdulillah…” gumam Opa pelan, sambil menepuk-nepuk tangan sendiri.“Mereka akhirnya benar-benar dekat. Bukan cuma kontrak…Hari-hari Anaya berjalan lancar. Ia tetap sibuk menata rumah, memasak hal-hal ringan, dan sesekali bercanda dengan Raka.Kehamilan trimester pertama berjalan tanpa keluhan berarti, berbeda dengan yang sering ia dengar dari teman-temannya.Tidak ada mual-mual hebat, tidak ada rasa pusing yang mengganggu, bahkan selera makan Anaya tetap stabil kadang malah lebih semangat dari biasanya.Raka sendiri merasa heran sekaligus bersyukur.“Sayang… kamu makin aduhai aja deh. Bumil tercantik sedunia,” puji Raka suatu sore sambil menatap Anaya yang sedang menyapu ruang tamu.Anaya yang baru saja membungkuk untuk mengambil sapu, mendengar itu langsung tersipu. Ia menoleh dengan pipi merah merona.“Mas… lihatnya tuh kok… lain, ya?” godanya sambil menyeka keringat di dahi.Raka tersenyum nakal, menyandarkan dagunya di bahu Anaya sambil memeluknya dari belakang.“Lain? Lihatnya beda gimana, Sa
Malam itu, kamar terasa hangat, hanya dihiasi lampu temaram dan aroma minyak wangi lembut yang sengaja ditaburkan Raka untuk membuat suasana lebih nyaman.Anaya masih duduk di tepi ranjang, sedikit tegang tapi juga penasaran. Raka duduk di sampingnya dengan senyum nakal yang sudah ia kenakan sejak awal malam.Micellar water dan kapas masih di tangan Raka, tapi tatapannya mulai melayang ke arah dada Anaya.Anaya langsung menyadari gerak-gerik Raka dan segera menegurnya, wajahnya memerah.“Mas! Mas mau ngapain?! Kan suruh dibersihin, bukan diapa-apain!”Raka terkekeh pelan, tanpa ragu mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat.“Lagi dibersihin… tapi caranya ala Raka,” jawabnya santai, matanya berbinar nakal.Anaya mendengus, menepuk lengan Raka.“Mas modus ya! Dasar suami mesum!”Raka ngakak terbahak, tapi tetap memeluk Anaya erat sambil berkata manis,“Mesum cuma sa
Sore itu, cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar Anaya terasa hangat, namun suasana hatinya benar-benar berbeda.Ia duduk di tepi ranjang, wajahnya basah oleh air mata yang mengalir tak henti. Raka yang tadi masih di ruang tamu sedang membaca koran tiba-tiba mendengar suara isak tangis dari kamar mereka.“Sayang… kamu kenapa?!”Raka langsung berlari ke kamar, setengah panik, setengah takut. Begitu membuka pintu, pemandangan yang ia lihat langsung membuatnya terhenti sejenak. Anaya duduk dengan tubuh menunduk, tangan gemetar, dan wajah basah oleh air mata.Tanpa sadar, Anaya mulai melepas sebagian pakaiannya, membuka baju dan kemudian bra-nya.Raka hampir terjungkal ke belakang karena panik.“Astaga… kamu… kamu ngajak yang begituan di saat kamu nangis?!” teriaknya setengah panik, suaranya bergetar, napas terengah-engah.Anaya menoleh sebentar, wajahnya memerah, namun matanya tetap
Suasana sore itu tampak tenang di rumah Raka. Matahari mulai meredup, cahaya hangatnya menembus tirai, menciptakan bayangan lembut di ruang tamu.Raka duduk di sofa, menekuri layar ponsel sambil telponan dengan Reyhan, sahabatnya yang selalu bisa menenangkan hati dan memberi nasihat lucu soal rumah tangga.“Bro… kamu yakin mau mulai pilih nama bayi sekarang? Jangan keburu stres ya,” suara Reyhan terdengar dari speaker ponsel.“Hahaha… iya, tapi aku cuma pengen brainstorming aja. Lagian… Anaya kan lagi santai, nggak ribet soal ngidam, jadi aku pengen manfaatin momen ini,” jawab Raka sambil tersenyum, setengah menatap ponsel, setengah memperhatikan Anaya yang sedang duduk di kamar tidurnya.Namun, tiba-tiba, dari kamar terdengar suara jeritan nyaring.Seketika Raka menegang.“Apa itu?!” pikirnya sambil berdiri, ponsel masih di tangan.Suara itu… terdengar seperti Anaya kesakitan.“Sayang!!” Raka berteriak panik, meletakkan ponsel
Matahari mulai meninggi, menyinari rumah Raka dengan cahaya hangat.Suasana pagi itu terasa tenang, hanya terdengar bunyi burung dan sesekali tawa Opa yang lagi bercanda di ruang tamu.Raka duduk di sofa, menatap layar ponselnya dengan ekspresi setengah heran, setengah khawatir. Setelah beberapa hari memperhatikan Anaya yang tetap tenang tanpa ngidam apa-apa, rasa penasaran dan kekhawatirannya semakin memuncak.Akhirnya, dengan tangan gemetar tapi mantap, Raka menekan tombol panggilan.“Reyhan… aku butuh penjelasan serius nih,” gumamnya sendiri sebelum tersambung.Beberapa nada dering kemudian, suara sahabatnya yang ceria terdengar.“Halo Bro! Apa kabar? Lagi sibuk kerja, kan?”Raka menghela napas panjang, menegakkan badan di sofa.“Reyhan… serius nih… aku butuh jawaban. Anaya… istriku… kok trimester awal ini nggak ada ngidam sama sekali. Biasanya kan bumil itu&he
Suasana pagi itu di rumah Raka terasa hangat seperti biasa. Matahari menyusup lembut melalui jendela, menyorotkan cahaya hangat ke ruang tamu yang rapi dan penuh dengan aroma kopi segar.Anaya duduk di sofa dengan wajah datar, tangannya memegang cangkir teh hangat, matanya menatap kosong ke arah taman mini di halaman rumah.Raka masuk dari dapur sambil menghirup aroma teh dan kue pagi yang baru dipanggang. Wajahnya penuh ekspresi penasaran, tapi tetap terlihat segar dan penuh semangat.“Sayang… aku heran nih,” katanya sambil menaruh piring berisi kue di meja.“Kok kamu nggak ada ngidam sama sekali, sayang? Biasanya kan suka minta yang aneh-aneh… es krim sama asin, atau permen dengan saus sambal, gitu.”Anaya menoleh perlahan, wajahnya tetap datar tanpa perubahan ekspresi.“Nggak ada mas, biasa aja,” jawabnya singkat, lalu menyeruput teh dengan tenang.Raka mengerutkan alisnya. Ia duduk







