Seorang wanita yang sedang dirias menatap bayangan dirinya di cermin. Hari ini adalah hari yang dia tunggu-tunggu, karena dirinya akan menikah dengan laki-laki pilihannya yang amat ia cintai.
"Aku harus fokus sama acara hari ini. Pernikahanku hari ini harus jadi momen terbaik dalam hidupku," batin Yasmin.
Meskipun gugup, gadis itu nampak takjub dengan penampilannya sendiri. Riasan di wajahnya dan baju pengantin yang sudah melekat di tubuhnya membuat aura kecantikan gadis itu makin terpancar. Yasmin sudah siap untuk memukau seluruh tamu undangan yang hadir di hari bahagianya.
"Yasmin, kamu cantik sekali, Sayang!" puji Bella pada putrinya itu.
"Aku pasti bisa bikin Mas Aditya pangling, kan, Ma?"
"Semua orang yang lihat kamu pasti bakal pangling, Sayang."
Tepat jam 08.00 pagi, Yasmin dan keluarganya sudah berkumpul di lounge hotel. Tak lama lagi, gadis itu akan segera melangsungkan akad nikah dengan pria pujaannya.
Setelah Yasmin dan Aditya siap, kedua mempelai itu pun segera memasuki aula acara. Semua hadirin sudah berkumpul dan mempelai pengantin juga sudah siap melaksanakan akad. Yasmin merasa gugup, sekaligus senang. Momen sakral ini akan menjadi momen tak terlupakan bagi Yasmin dan Aditya nantinya.
"Para hadirin yang terhormat, sebelum acara akad dimulai, ada sesi khusus yang disiapkan untuk kedua mempelai pengantin. Kami akan memutarkan video spesial yang memperlihatkan kisah perjalanan cinta antara Yasmin dan Aditya, hingga keduanya bisa duduk di pelaminan bersama pada hari ini. Mari kita lihat, bagaimana romantisnya kisah cinta Yasmin dan Aditya dalam video berikut ini!" ucap pembawa acara, disambut tepuk tangan meriah dari para hadirin yang sudah berkumpul di dalam aula.
Semua mata tertuju pada layar yang terpampang di tengah-tengah aula. Yasmin dan Aditya juga ikut fokus memperhatikan layar yang akan memperlihatkan wajah mereka.
"Gimana hasil videonya, ya? Semoga mereka pakai foto-foto aku yang cantik buat bikin videonya," gumam Yasmin.
"Ah! Aditya ... pelan-pelan!"
Suara desahan dan juga erangan tiba-tiba memenuhi aula gedung pernikahan itu, membuat semua orang yang menyaksikan video tak senonoh di layar itu terkejut.
Video yang seharusnya diputar adalah video kisah pertemuan Yasmin dan Aditya. Namun, nyatanya video yang ditayangkan justru video pergumulan panas antara sepasang pria dan wanita yang berwajah familiar.
"Apa maksudnya ini?" Yasmin mulai bingung sekaligus terkejut saat melihat video tersebut.
Gadis itu tak menyangka, ia akan menyaksikan orang-orang yang sangat dekat dengannya, melakukan hal tak senonoh dalam potongan video tersebut.
"Nggak mungkin! Aku pasti salah lihat, kan? M–mereka …?”
Suasana di aula tersebut mulai kacau. Yasmin hanya diam mematung, usai dirinya melihat video tersebut. Para tamu undangan yang hadir mulai riuh berbisik-bisik, membicarakan video yang tak semestinya diputar di acara sakral seperti ini.
"Kok muka yang cowok mirip banget sama pengantin pria?"
"Itu bukannya Tante Bella dan Aditya, ya?"
"Coba lihat yang cewek! Itu kan mamanya Yasmin?"
Para tamu undangan terus menyebut nama Aditya dan Bella, sebab kedua pemeran utama dalam video panas tersebut memanglah Aditya, pria yang seharusnya menjadi suami Yasmin, dan Bella, ibu Yasmin.
"Kasihan banget, Yasmin."
"Gila! Jadi Aditya selingkuh sama calon mertuanya?"
"Yasmin ditikung sama mamanya sendiri?"
"Aditya udah nggak waras, ya? Kok dia mau sih sama tante-tante?"
Seketika, Bella dan Aditya langsung menjadi sorotan. Reputasi mereka seketika hancur, begitu pula dengan acara pernikahan ini.
"Sialan! Siapa orang yang muter rekaman ini?" geram Bella dalam hati.
"Siapa yang bertanggung jawab muter video? Matiin layarnya sekarang! Stop videonya sekarang!" teriak Bella mulai membuat kericuhan.
Bella berlari ke sana kemari, mencari cara untuk menghentikan video panas yang sudah ditonton oleh ratusan orang itu. Aditya juga tak kalah panik. Pria itu berusaha membantu Bella untuk menutupi layar agar orang-orang berhenti melihat video memalukan dari keduanya itu.
"Stop videonya! Tolong matiin layar sekarang!" pekik Aditya pada staf-staf yang bertugas.
Aditya dan Bella sibuk berlari kesana kemari untuk menyelamatkan wajah mereka. Orang-orang yang melihat pasangan laknat itu mulai berteriak dan menyoraki Aditya serta Bella.
"Dasar nggak tahu malu!"
"Tukang selingkuh!"
"Calon mertua nggak tahu diri!"
"Tante-tante ganjen! Tega-teganya nikung calon suami anak sendiri!"
Aditya dan Bella menjadi bahan tertawaan dan bulan-bulanan orang-orang yang ada di aula tersebut. Mereka berdua benar-benar sudah kehilangan muka.
"Sial! Kenapa acara pernikahan aku sama Yasmin malah jadi begini?" gerutu Aditya dalam hati.
Pria itu melirik ke arah calon istrinya yang masih duduk tanpa melakukan apa pun. Yasmin terdiam, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Gadis itu benar-benar shock dan tidak menyangka akan mendapat kejutan menyakitkan dari dua orang yang paling ia cintai.
Yasmin tidak hanya dikhianati oleh calon suaminya, tapi ia juga ditusuk dari belakang oleh ibunya sendiri. Bagaimana bisa, seorang ibu yang seharusnya menjadi ibu mertua dari suami Yasmin, justru tega merebut pria yang akan dinikahi oleh gadis itu.
Yasmin benar-benar hancur. Yasmin kecewa dan marah besar pada Aditya dan Bella. Dari detik pertama video itu diputar, Yasmin sudah dapat melihat dengan jelas wajah ibu serta calon suaminya itu.
Hari bahagia Yasmin langsung berubah menjadi mimpi buruk hanya dalam waktu sekejap. Suara makian dan hujatan dari tamu undangan terdengar makin garang dan tidak terkendali.
Yasmin dan Aditya sudah tak dapat lagi melanjutkan pernikahan ini. Mau tak mau, mereka harus membatalkan pernikahan. Para tamu undangan pun dibubarkan secara paksa.
Yasmin sudah tak sudi menjadi istri pengkhianat seperti Aditya. Gadis itu marah, jijik, dan kesal pada calon suami serta ibunya yang sudah merusak hari bahagianya.
21)Ponsel itu kini tergeletak di atas ranjang, terhubung dengan kabel charger yang sudah dilepaskan. Lampu layar menyala penuh.Yasmin menatapnya, jantungnya sedikit berdebar. Ada rasa takut. Ada rasa penasaran. Tapi ia tahu, cepat atau lambat, ia harus menghadapi semua ini. Ia tak bisa terus-terusan lari dari semua masalah yang sedang terjadi. Ia menghela napas panjang. Jemarinya sedikit gemetar saat meraih ponsel itu.Satu per satu notifikasi mulai berdatangan begitu ia membuka layar. Puluhan pesan. Dari berbagai orang. Dari berbagai aplikasi.Yasmin mengabaikan semuanya untuk sekarang. Fokusnya hanya satu yaitumencari tahu kabar tentang butiknya.Ia membuka aplikasi pesan, mencari nama yang selama ini selalu jadi sandarannya."Mey …," bisiknya lirih, merasa sedikit lega saat menemukan nama itu.Tanpa banyak berpikir, Yasmin menekan ikon telepon.Nada sambung berdentang di telinganya, membuatnya semakin tegang.Satu detik. Dua detik. Tiga detik.“Halo?” Suara di seberang langsung
20)“Jadi, kamu nggak ada niat honeymoon sama sekali?”Randy meletakkan sendok garpu di sisi piringnya. Restoran tempat mereka makan siang kala itu cukup mewah, dengan lampu gantung kristal yang mengayun pelan di atas meja bundar berlapis linen putih. Bastian menyesap kopinya, tenang.“Honeymoon itu buang waktu, Pa.”“Buang waktu?” Randy menaikkan alisnya. “Kamu nikah buat kerja atau buat hidup?”“Dua-duanya,” jawab Bastian datar.“Banyak proyek besar yang sedang antre untuk aku tangani. Jadi, aku nggak bisa ninggalin semuanya ke tim. Beberapa kesepakatan butuh aku sendiri yang handle.”Suara Randy mengembus napas panjang. “Tapi kamu baru saja menikah, Bastian. Gimana dengan Gita? Apa dia baik-baik saja saat kamu bilang akan masuk kerja lagi?”Bastian hanya mengangkat bahu.“Entahlah. Dia nggak berkomentar apa pun. Lagipula, Gita bisa tinggal dan istirahat di rumah dengan nyaman, Pa. Aku pastikan semua kebutuhannya terpenuhi.”“Dan kamu?” tanya Randy lebih pelan.Alis Bastian sedikit
19)Tangan Yasmin masih memegang kardus besar itu ketika matanya terpaku pada lemari putih di hadapannya. Permukaannya mengilap, dengan ukiran lembut di tepinya. Ia membuka salah satu pintu lemari itu perlahan, aroma kayu dan sabun pelembut kain menyeruak keluar, menyambutnya dengan hangat."Pelan-pelan, Yasmin," gumamnya sendiri, menahan napas panjang.Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mulai memindahkan satu per satu bajunya dari dalam kardus. Lipatan rapi, aroma lavender dari pengharum lemari yang dia sering pakai di rumah semuanya mengoyak memori. Ada sehelai sweater biru tua, pemberian sang Mama. Sebuah gaun putih yang ia beli sendiri saat berulang tahun ke-23. Ia menggantungkan setiap helai dengan hati-hati, seolah sedang merakit kembali identitas yang sempat tercerabut.Di dasar kardus, terselip sebuah pouch kecil berisi skincare dan makeup, maskara favoritnya, concealer yang hampir habis, lip balm yang sering ia pakai sebelum tidur. Ia tersenyum tipis, matanya sempat berkaca.
18)“Paketnya sudah sampai, Tuan,” ujar Mbak Rina sembari memegang kunci gerbang di tangannya. Napasnya masih tersengal, tanda ia baru saja menyambut truk yang datang.Yasmin berdiri terpaku di depan jendela, tangannya masih menggenggam mug cokelat panas yang belum sempat disentuh. Tatapannya tertuju pada petugas pengantar barang yang menurunkan beberapa koper dan kardus besar ke halaman rumah.“Kiriman dari Pak Pram, sepertinya,” gumam Bastian di sampingnya. Ia baru saja turun dari tangga, sudah mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam dengan jam tangan perak di pergelangan kirinya.Yasmin mengangguk pelan. “Kamu kasih alamat ini ke Papa?” tanyanya tanpa menoleh.“Saya tulis semalam. Saya pikir kamu akan butuh barang-barangmu, cepat atau lambat.”Suasana jadi hening sesaat. Hanya suara burung dan derik roda koper yang terdengar di luar.“Saya minta kamu santai aja beresinnya,” kata Bastian lagi, nadanya lembut. “Kalau kamu butuh bantuan buat beresin ini semua, suruh aja Mbak
17)Suara pecahan kaca masih terngiang di telinga Bastian ketika ia mendorong pintu kamar tanpa pikir panjang. Jantungnya menghentak keras seakan akan meledak.Bastian mendobrak pintu begitu mendengar suara pecahan kaca. Napasnya memburu, matanya liar menyapu seluruh ruangan. Ia menemukan Yasmin sedang berjongkok di dekat meja rias, memunguti pecahan vas kaca yang berserakan di lantai.“Yasmin!”Langkahnya terhenti begitu melihat Yasmin berjongkok di lantai, memunguti pecahan kaca vas yang berserakan. Jemarinya gemetar, ada goresan merah di telunjuk kirinya, dan satu pecahan kecil masih menempel di kulitnya.“Astaga, Yasmin—jangan!”Bastian langsung menghampiri, meraih pergelangan tangan Yasmin sebelum ia sempat mengambil pecahan berikutnya. Sentuhannya membuat Yasmin tersentak, tubuhnya menegang, napasnya tercekat.“Aku… maaf,” gumamnya. “Tadi aku nggak sengaja—vasnya jatuh.”Bastian menatap mata Yasmin yang tampak lelah, sembap, tapi tak ada jejak histeria di sana. Hanya kesedihan y
16)Yasmin berlalu begitu saja tanpa menoleh lagi. Kepalanya tegak, tapi ada air mata yang masih menetes pelan di sepanjang pipinya. Langkah kakinya terasa berat. Ia bahkan tidak sempat melirik ke arah barang-barangnya yang masih terserak di kamar.Bella masih duduk di sofa, tatapannya membakar punggung Yasmin dengan amarah yang belum juga reda. Tapi kini tak ada yang mendengarkannya lagi.Bastian menyusul Yasmin dengan langkah panjang, menyamai kecepatan wanita itu tanpa bersuara. Tak ada yang dikatakannya, tak ada nasihat atau teguran. Dia hanya berjalan di belakang, seperti bayangan yang setia mengikuti cahaya.Di dalam rumah, Pram masih berdiri. Pandangannya tidak beranjak dari wajah Bella yang tampak kalut, kusut, dan kehilangan kendali.“Kamu bahkan tidak berniat sedikit pun meminta maaf pada Yasmin” ucap Pram dingin. “Padahal kamu yang paling bersalah di sini, bukankah setidaknya kamu minta maaf padanya?”Bella mendongak, napasnya memburu. “Haruskah aku melakukan itu, Pram, sem