Share

Perjanjian Pernikahan

"Sebaiknya kita bikin perjanjian di pernikahan ini. Mungkin berpisah setelah punya anak, bisa jadi syarat utama di perjanjian itu," cetus Aluna menatap Bima dengan tatapan penuh ketakutan. "Aku ... ngerasa harus bikin 'asuransi' buat nyelamatin diri aku sendiri."

"Apa yang bikin kamu ngerasa terancam?" tanya Bima ketika mereka bertatapan di depan makam Cassandra.

"Semuanya," jawab Aluna menunjuk Bima dan makam Cassandra. Tatapan perempuan itu kosong seperti tengah melamun. "Ini sedikit konyol, tapi aku enggak mungkin rela hamil besar dan melihat kamu berziarah setiap hari ke kuburan ini."

Bukan tentang perasaan, tetapi ego Aluna sebagai perempuan merasa tersentil ketika dia melihat Bima lebih 'dalam' menatap pusara kuburan dibanding menatap dirinya—yang berstatus sebagai istri.

Ini, benar-benar hanya tentang ego, bukan?

"Aku sudah menekankan sejak awal—"

"Ya aku tahu, kamu sudah menekankan sejak awal kalau pernikahan ini tanpa melibatkan perasaan. Makanya aku mau memberi sedikit jarak dengan membuat perjanjian pernikahan."

"Kita bicarakan nanti."

Aluna mengajukan protes lewat tatapan matanya. Namun Bima tidak terbantah, lelaki itu menarik sikut Aluna dengan lembut untuk mengajaknya ke mobil. Sayangnya Aluna tidak membiarkan hal itu terjadi, dia menepis sentuhan suaminya.

Sekian lama di dalam mobil, tidak ada yang mau memecahkan keheningan. Bima dengan fokusnya menyetir, dan Aluna yang pura-pura acuh tak acuh.

"Al, mau minum?"

Aluna melirik tajam Bima yang tiba-tiba menawarkan dirinya minuman. Apa Bima mendengar suara dengkusan kerasnya dan mengira dia membutuhkan air untuk meredam emosinya?

"Kenapa nawarin?"

"Cuma nawarin. Kalau enggak mau, ya sudah. Jangan emosi!"

Aluna menipiskan bibirnya. Dia tidak suka ketika Bima sudah pintar mengenali emosinya. Ya, Aluna memang sedang sangat haus. Namun dia menahan dirinya agar Bima tidak merasa menang.

"Bagiku perjanjian pernikahan cuma buat orang-orang yang ketakutan," kata Bima ketika lelaki itu mengetuk-ngetuk jempolnya ke roda kemudi. "Aku udah bilang sejak awal Al, aku akan kasih apapun buat kamu selayaknya suami ke istri. Itu artinya, kamu juga boleh mengajukan cerai misal enggak 'tahan' dengan apa yang ada di rumah tangga ini."

Bima menoleh, sepasang mata teduhnya yang dihiasi bulu mata lentik menatap Aluna. Bima melanjutkan, "Enggak ada pemaksaan. Bahkan untuk urusan uang pun, aku sama sekali enggak akan mempersulit."

"Gimana soal anak?"

"Gimana apanya?"

"Kalau ... kita punya anak terus pisah, kita enggak bakal meributkan hak asuh, kan?"

"Tergantung—"

Aluna memotong dengan senyum kemenangan. "Itu yang aku maksud."

"Kalau kita pisah karena kesalahan kamu, misal kamu selingkuh, itu jelas membuat kamu punya poin negatif sebagai pihak yang mendapat hak asuh. Karakter 'tukang selingkuh' tidak cocok untuk lingkungan anak," jelas Bima kembali melajukan mobilnya. Sesekali, lelaki itu akan menoleh sehingga mereka bisa bertemu pandang.

"Kenapa aku yang jadi contoh?" desis Aluna melirik tajam. Nada suara Bima yang 'sangat dosen sekali' membuat Aluna merasa dirinya sedang dibombardir dosen penguji yang super killer.

"Enggak mungkin aku."

Aluna ingin membantah, tetapi Bima memang jujur. Jangankan selingkuh ke perempuan lain, menghargai Aluna yang istrinya saja lelaki itu tak mampu.

Hatinya hanya berisi Cassandra.

"Aku yakin enggak bakal begitu, jadi kalau kita punya anak, hak asuhnya bakal jatuh ke tanganku."

"Dengan syarat dan ketentuan berlaku."

"Misal?"

"Jangan membatasi pertemuan aku dan keluargaku ke anak itu."

"Oke."

Aluna terdiam setelah mengangguki permintaan Bima. Lima detik kemudian, dia baru sadar, pembicaram mereka begitu 'melampaui masa depan'. Bagaimana mungkin mereka membicarakan anak ketika ... kemungkinan bersentuhan saja terdengar sangat menjijikan?

Aluna diam-diam melirik Bima di sampingnya. Matanya menatap struktur rahang tegas Bima, melihat betapa bangirnya hidung Bima lalu ... bibir tipis yang merah gelap tanpa campur tangan nikotin.

Tunggu ... kenapa rasanya menggelikan bersentuhan dengan Bima?

Apa karena selama belasan tahun dekat dan pacaran dengan Cakra, lelaki itu tak pernah memperlakukannya selayaknya kekasih? Apa karena selama ini kesan tomboy sudah mendarah daging di dalam diri Aluna?

Aluna menggeleng-gelengkan kepala ketika bayangan dirinya bermesraan dengan Bima tiba-tiba hadir di otaknya. Astaga, Al, kamu sudah menikah, tetapi kenapa masih menolak memikirkan hal itu? Sebagian hatinya yang waras seolah menjadi penengah ributnya sesuatu di otak Aluna.

Syukurlah Aluna tidak berlama-lama menyiksa diri di dalam mobil berdua dengan Bima. Sebab mobil suaminya ini sudah memasuki wilayah perumahan yang cukup terkenal di Kuningan. Posisinya yang strategis menjadi asal muasal perumahan ini memiliki harga yang fantastis.

Aluna sudah mengetahui sejak lama jika Bima sudah memiliki banyak aset di usianya yang masih muda. Jadi, dia tidak heran lagi. Dan tidak tersanjung pula karena Cakra—mantan kekasihnya, jauh lebih 'sultan' dibanding Bima yang hanya berprofesi sebagai dosen.

"Kita akan tinggal disini."

"Kamu udah bilang itu sebelum kita nikah."

"Iya," balas Bima mengangguk. Lelaki itu menjadi yang pertama keluar dari mobil.

Aluna membuka pintu dan turun menyusul dari mobil. Dia membantu Bima membawa beberapa barang dari bagasi.

Itu hanya sebagian milik Aluna. Mereka memang belum sepenuhnya pindah sebab budaya di daerah Aluna, mewajibkan syukuran ketika hendak pindah rumah.

Kedatangan mereka ke rumah ini pun sebenarnya tak lain hanya tuk mengambil charge ponsel Bima yang tertinggal.

Sekalian nyicil baju, begitu rencana Bima.

Setelah mengambil charge, mereka pergi ke rumah orang tua Bima yang ada di Kuningan. Kedatangannya disambut hangat. Status baru yang melabeli keduanya adalah alasan penyambutan hangat tersebut.

Sekitar pukul 8 malam, mereka kembali pulang ke Jalaksana.

"Kirain mau nginep Al," kata Lizy menyambut keduanya.

"Enggak kok," kata Aluna membantah ucapan ibunya.

"Udah pada makan?"

"Udah di luar Mah," jawab Bima.

Aluna membalas ucapan Bima dengan pamit ke dapur, katanya hendak memasukan makanan yang tersisa ke dalam kulkas.

Malam kedua itu, rasanya tak ada bedanya.

Aluna tidak menemukan sesuatu yang spesial.

Dia tidur di sebelah Bima dengan satu selimut berdua. Bima membuat semuanya mudah, lelaki itu tidur membelakangi Aluna dan membuat Alunn berpikir mungkin dia tidak menarik sampai Bima mengabaikannya di malam kedua.

Kalau sudah begini, terasa lucu di perjalanan pagi tadi mereka membicarakan hak asuh anak.

Menghela nafas, Aluna balas membelakangi Bima. Perempuan berambut sebahu itu, menatap dinding tembok kamarnya yang dipenuhi poster hitam putih.

Aluna menyabarkan dirinya sendiri bahwa dengan sifat menyebalkan ini, Bima sejatinya adalah lelaki yang baik bibit bebet dan bobotnya. Lelaki ini membuat keluarganya bahagia. Terlepas Aluna nyaman atau tidak, ini hanya masalah waktu.

Nanti, dia juga akan terbiasa.

Lagipula posisi dirinya dan Bima masih sangat rentan. Akan aneh dan membingungkan jika mereka bercinta di malam ini. Aluna sedikit punya kepercayaan diri setelah kepalanya mendapat kalimat penenang positif.

Namun dugaannya salah, pagi hari sekitar jam 2, Aluna terbangunkan oleh bisikan rendah di kupingnya.

Oh ini waktunya, gumam Aluna ketika membuka mata dan mendapati Bima menatapnya dengan tatapan lain. Mungkin, ini yang teman-temannya sebut tatapan bergairah.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
MaMa INa
bakal bikin emosi kaya cerita riga sama Sidney gk ya?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status