01
"Bang, ayo, kita pulang," ajak Alvaro Gustav Baltissen, sembari memegangi lengan kiri seniornya.
Haikal Jabbar bergeming. Direktur utama Baltissen Grup tersebut masih termangu, sambil memandangi gundukan tanah yang dipenuhi banyak bunga di hadapannya.
Tatapan nanar Haikal menjadikan rekan-rekannya saling melirik. Mereka memahami jika salah satu pengawal PBK lapis satu tersebut, masih berat untuk meninggalkan makam istrinya, Isnindar Herawati.
Alvaro menghela napas berat dan mengembuskannya perlahan. Dia beradu pandang dengan Hamid Awaluddin, direktur utama PG, yang berada di sebelah kanan Haikal.
Keduanya seolah-olah tengah berbincang dengan menggunakan bahasa batin, kemudian mereka sama-sama mengangguk.
Alvaro mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dia memberi kode pada asistennya, untuk memanggilkan orang-orang yang sangat disegani Haikal.
Tidak berselang lama, beberapa pria menyambangi kelompok tersebut. Alvaro dan teman-temannya bergeser untuk memberikan tempat pada mereka.
"Kal, kita harus pulang. Ini sudah gerimis," bujuk Sufyan, Kakak tertua Haikal.
"Kamu bisa datang ke sini kapan pun kamu mau, tapi, sekarang kita mesti pulang," sahut Fahar, Ayah mertua Haikal.
Akan tetapi, Haikal tetap bergeming. Dia seolah-olah tidak mendengar ucapan kedua keluarganya tersebut, yang masih terus mencoba membujuknya.
Pria tua asli Spanyol, merangkul pundak Haikal dari samping kanan. "Iis tidak akan senang, jika kamu melupakan tugas untuk merawat anak-anak kalian," tutur Gustavo Demetrio Baltissen, dengan lembut.
"Gustavo benar. Kamu sudah berjanji pada Iis, untuk fokus merawat anak-anak," sela Sultan Pramudya. "Kamu tidak akan bisa menuntaskan janji, jika kamu tetap di sini dan hujan-hujanan," lanjutnya.
Haikal tetap diam. Bulir bening luruh dari kedua matanya. Haikal menunduk dan terisak-isak, hingga menimbulkan kesedihan semua orang yang melihatnya.
Gustavo berpindah ke depan Haikal. Dia memeluk anak angkatnya tersebut, yang akhirnya sesenggukan dalam dekapannya.
Selama beberapa saat suasana hening. Tidak ada seorang pun yang urun suara. Mereka turut terharu dan bisa merasakan kesedihan Haikal ditinggal istri tercinta, untuk selama-lamanya.
Rinai hujan kian membesar. Puluhan payung dikembangkan untuk melindungi diri. Satu per satu pelayat jalan menjauhi tenda hijau yang menaungi makam Isnindar Herawati.
Panggilan seorang perempuan menjadikan tangisan Haikal berhenti. Dia mengurai pelukan dan menjauhkan diri dari Gustavo, lalu mengambil tisu yang diberikan perempuan tersebut, untuk mengusap wajahnya yang basah.
"Mari kita pulang, Bang. Anak-anak sudah capek," ungkap Mayuree Fitriachara Pramudya, putri kedua Sultan Pramudya, sekaligus istri Alvaro.
Haikal mengalihkan pandangan pada ketiga anaknya yang tengah duduk di dekat Ummi dan Ibu mertuanya. Haikal akhirnya mengangguk mengiakan ucapan Mayuree, karena dia tidak mau anak-anaknya kelelahan.
Haikal berjongkok dan mengusap nisan bertuliskan nama istrinya. "Ayah pulang dulu, Bu. Besok Ayah datang lagi," bisiknya.
Haikal menatap makam itu sesaat, sebelum dia mengambil sekuntum bunga dan menggenggamnya erat. Pria berbaju koko hitam itu berdiri. Dia membaca doa agar istrinya bisa tenang di alam kubur.
Haikal mendengkus pelan, lalu dia memutar tubuh dan jalan mendatangi keluarganya. Haikal mengambil putra bungsunya dari pangkuan sang nenek, kemudian dia menggendong lelaki kecil tersebut yang telah terlelap.
Haikal memegangi tangan kiri putrinya, sembari meminta agar putra sulungnya ikut dengannya menuju mobil. Haikal jalan sembari memastikan anak-anaknya tetap bersama. Keluar dari tenda, mereka langsung dipayungi beberapa ajudan muda.
Sekian menit berlalu, Haikal dan ketiga anaknya telah berada di mobil Jeep Mercedes-Benz hitam, yang dikemudikan pemiliknya sendiri.
Haikal menyandarkan badannya sambil memeluk Baadal Syarifian yang berusia 2 tahun. Haikal memejamkan mata sambil membayangkan paras istrinya, yang mengembuskan napas terakhir kemarin malam.
Runutan peristiwa dari awal perjumpaan mereka belasan tahun lalu, kembali berputar dalam benak Haikal. Dia masih mengingat jelas sosok Isnindar yang merupakan perempuan tangguh.
Semenjak menikah 13 tahun silam, Isnindar nyaris tidak pernah mengeluh akan kesibukan suaminya. Isnindar juga menjadi pendukung terkuat Haikal, sejak merintis karier sebagai pengawal keluarga Pramudya.
Bulir bening kembali luruh dari sudut mata Haikal. Dia membiarkan lelehan air itu dan tidak berniat mengusapnya.
Alvaro yang melihat hal itu, mengerjap-ngerjapkan matanya yang mengabut. Alvaro memahami kesedihan senior kesayangannya tersebut, karena dia tahu jika Haikal sangat mencintai istrinya.
Isakan pelan Haikal terdengar keempat penumpang di belakang. Hamid mengeratkan pelukan pada Ghazwa Sabiqah, putri kedua Haikal. Sedangkan Darma Suhendar memeluk Bariq Khalaf Mahdi, putra tertua Haikal, yang turut menangis.
***
Malam harinya, acara takziah pertama dilaksanakan di kediaman Haikal, di kawasan Cilandak. Rumah besar itu nyaris tidak mampu menampung banyaknya tamu yang hadir, untuk mendoakan almarhumah Isnindar Herawati.
Tenda besar yang dipasang menutupi halaman depan, juga tidak bisa menaungi seluruh tamu. Banyak dari mereka yang mengikuti takziah, sambil duduk bersila di karpet yang dihamparkan di jalan depan rumah dua lantai bercat gading.
Hadirin terlihat serius mengaji sambil memegangi buku Yaasin, yang telah dibagikan panitia. Hal serupa juga dilakukan seluruh anggota keluarga Haikal dan Isnindar, yang memenuhi area dalam rumah.
Puluhan menit terlewati. Acara takziah telah usai. Para tamu sebagian besar sudah pulang. Hingga tersisa keluarga dan kerabat Haikal.
"Abang, dimakan dulu," cakap Lula Faida Annaila, Adik sepupu Isnindar, sembari memberikan piring pada Haikal.
"Abang nggak lapar," jawab Haikal.
"Abang belum makan dari siang."
"Beneran nggak lapar, La."
Lula memandangi lelaki berkumis tipis, yang matanya bengkak. "Oke, piringnya kutaruh di sini. Dicemil aja lauknya, kalau Abang nggak mau makan nasi."
Haikal tidak menyahut. Dia memandangi piring tanpa berniat menyentuhnya. Lula mendengkus pelan, lalu dia berdiri dan jalan menjauh.
Tidak lama kemudian, Ghazwa menghampiri ayahnya dan duduk di depan Haikal. Tanpa mengatakan apa pun, Ghazwa menyendok nasi dan menambahkan sedikit daging semur. Lalu dia mendekatkan sendok itu ke depan mulut sang ayah.
"Makan, Yah. Kakak suapin," bujuk gadis kecil berusia 8 tahun tersebut.
"Ayah makan sendiri aja," tolak Haikal.
Ghazwa menggeleng. "Kalau Ayah nggak makan, Kakak nangis, nih!" ancamnnya sembari memandangi Haikal saksama.
Pria berbaju koko putih itu terkesiap. Haikal seakan-akan tengah melihat Isnindar kecil, karena paras Ghazwa yang mirip dengan ibunya.
Haikal tertegun ketika menyaksikan sepasang mata Ghazwa berkaca-kaca. Haikal memaksakan diri untuk membuka mulut dan membiarkan Ghazwa menyuapinya.
Hamid dan seluruh sahabat Haikal, serentak menghela napas lega. Mereka sangat mengkhawatirkan Haikal yang menolak makan sejak pulang dari makam.
"Cukup, Kak. Ayah sudah kenyang," tukas Haikal.
"Baru lima suap. Nggak mungkin kenyang," sanggah Ghazwa.
Haikal mengeluh dalam hati, karena putrinya mewarisi sifatnya yang keras hati. "Satu suap lagi. Setelah itu, Ayah mau makan jeruk."
Ghazwa mengangguk mengiakan. Dia menyuapi sang ayah, kemudian hendak berdiri, ketika Bariq datang sambil membawakan beberapa buah jeruk.
Hadirin memerhatikan kala kedua bersaudara tersebut mengupas jeruk dengan cepat. Kemudian Bariq dan Ghazwa bergantian menyuapi ayahnya.
Haikal tidak kuasa menolak dan membiarkan dirinya disuapi, hingga semua jeruk habis. Haikal memaksakan senyuman untuk menghibur kedua anaknya. Kemudian dia maju dan mendekap Bariq serta Ghazwa, yang balas memeluknya erat.
06"Dari tadi kamu ugal-ugalan. Akhirnya nabrak orang!" desis perempuan berambut panjang, sambil memelototi sang penabrak. "Nia, kamu, kok, bisa ada di sini?" tanya Haikal sembari memandangi perempuan tersebut. Yusnia Widuri Gariwa, menoleh ke kiri. "Ehh, Bang Hai rupanya," balasnya. "Bocah ini, sudah meliuk-liukkan motornya dari perempatan sana. Mobilku tergores, dan dia langsung kabur," jelasnya. "Aku kejar. Ternyata dia nabrak yang lain. Benar-benar bawa musibah buat orang lain!" geram Yusnia sembari mendorong lengan kiri remaja itu yang terlihat ketakutan."Tahan, Nia." Haikal menarik tangan Yusnia dan menggeser perempuan tersebut ke belakangnya, untuk menjauhi sang pelaku. "Panggil orang tuamu!" bentak Yusnia, yang menyebabkan pemuda tanggung itu terisak-isak. "Malah nangis!" cibirnya sambil bercekak pinggang. "Nanti saja urusan itu. Kita harus mengobati luka-lukanya dan ketiga korban lainnya," timpal Haikal, sebelum dia berdiri dan jalan ke mobil. Yusnia tertegun. Dia menga
05"Kakak apain dia?" tanya Haikal. "Kakak tinju dan tendang. Seperti yang Ayah ajarkan dulu," terang Ghazwa. "Ehm, membela diri itu bagus. Tapi, jangan sering-sering, ya," tutur Haikal. "Dia suka narik jilbab Kakak. Bikin kesal." "Kalau dia berulah lagi, lapor ke guru." "Sudah, Yah. Tapi memang bego, sih. Diulangi terus." "Yang mana orangnya, Wa?" tanya Bariq. "Anak pindahan itu, Bang. Yang badannya tinggi," jelas Ghazwa. "Kalau dia ganggu lagi, panggil Abang," ungkap Bariq yang menyebabkan Haikal menggaruk-garuk kepalanya. "Abang mau ngasih dia pelajaran?" sela Haikal. "Enggak. Cuma mau dijitak aja. Pakai sepatu," jawab Bariq dengan polosnya. Tawa ketiga perempuan menguar. Barig menyunggingkan senyuman. Sedangkan Haikal hanya bisa mengusap dada, karena tahu jika putra sulungnya pasti berniat menghadiahkan tinjuan buat sang pengganggu. Setibanya di tempat tujuan, Bariq turun terlebih dahulu. Dia membukakan pintu tengah, supaya Lula bisa keluar sambil menggendong adiknya.
04Semburat jingga di langit telah menggelap, saat seunit mobil MPV hitam memasuki carport depan rumah bercat gading. Setelah mobil terparkir sempurna, sang sopir mematikan mesin, lalu melepaskan sabuk pengaman. Tidak lama kemudian Haikal telah memasuki ruang tengah melalui pintu garasi. Dia mengucapkan salam sambil melepaskan sepatu. Lalu menyusunnya di rak. Sudut bibir Haikal mengukir senyuman ketika Baadal mendatanginya. Lelaki kecil berambut ikal itu menyalami Haikal dengan takzim. Disusul oleh kedua kakaknya. Aroma harum menguar dari dapur. Haikal berpindah ke ruang makan. Dia seketika tersenyum ketika menyaksikan seorang perempuan berdaster biru, tengah mengemasi meja besar. "Bu, Ayah mau kopi," ucap Haikal. Waktu seolah-olah berhenti berputar, sebelum akhirnya Haikal sadar bila dia salah bicara. Pria berkumis tipis itu terkesiap, saat orang tersebut berbalik dan memandanginya saksama. "Abang duduk dulu. Segera kubuatkan kopinya," sahut Lula, sebelum dia cepat-cepat berpin
03"Sudah balik ane ente. Artinya sudah membaik hatinya," cetus Yanuar Kaisar, komisaris 5 PBK. Haikal mengerutkan hidungnya. "Ane capek ngomong sopan. Mending balik nyablak lagi," balasnya. "Bagus itu, Bang. Lanjutkan," imbuh Zulfi Hamizhan, komisaris 7 PBK. "Aku suka kalau Bang Hai sudah kembali santai," ujar Andri Kaushal, sang komisaris 9 PBK sekaligus direktur PCD."Setelah ini, kalau Abang mau jadi singa lagi, kami nggak akan protes," seloroh Yoga Pratama, komisaris 8 PBK. "Aku siap disuruh lari keliling lapangan 10 kali," papar Haryono Abhisatya, komisaris 10 PBK. "Beneran, ya, Yon? Jangan ngeluh capek," ledek Aswin Mahdhar, direktur PCT, yang juga tergabung dalam tim pengawal lapis dua. "Sekali aja dia ngeluh, tak banting," cibir Galang Ahmadi, direktur YDL, sahabat Alvaro sejak belasan tahun silam. Galang juga merupakan salah satu pengawal lapis dua. Haikal memandangi semua sahabatnya yang tengah mengeroyok Haryono. Haikal mengulum senyuman. Dia tahu, jika para pengawa
02"Bu, Ayah nggak bisa tidur kemaren," tutur Haikal sembari memandangi makam Isnindar. "Kangen, Bu," bisiknya. Haikal terdiam sejenak untuk menenangkan dirinya yang masih syok. Pria berambut cepak itu mengerjap-ngerjapkan matanya dengan cepat, supaya tidak mengeluarkan butiran air. "Dedek juga merengek terus. Dia belum paham kalau Ibu sudah nggak ada," cakap Haikal. "Abang dan Kakak juga masih sering nangis, sambil meluk daster Ibu," lanjutnya. Isakan dari belakang menyebabkan Haikal menoleh. Dia tertegun melihat Lula dan Namira, Adik Isnindar, tengah menangis sembari berpelukan. Seperti halnya Haikal dan anak-anaknya, kedua perempuan tersebut juga terpukul atas kepergian Isnindae. Kendatipun mereka tahu jika itulah takdir yang harus dijalani Isnindar, tetap saja Lula dan Namira sangat kehilangan Kakak tertua mereka. Kedua perempuan itu tinggal berdekatan dengan kediaman Haikal. Mereka turut mengasuh ketiga anak Haikal dan Isnindar, saat sang kakak tertua tengah menjalani persw
01"Bang, ayo, kita pulang," ajak Alvaro Gustav Baltissen, sembari memegangi lengan kiri seniornya. Haikal Jabbar bergeming. Direktur utama Baltissen Grup tersebut masih termangu, sambil memandangi gundukan tanah yang dipenuhi banyak bunga di hadapannya.Tatapan nanar Haikal menjadikan rekan-rekannya saling melirik. Mereka memahami jika salah satu pengawal PBK lapis satu tersebut, masih berat untuk meninggalkan makam istrinya, Isnindar Herawati. Alvaro menghela napas berat dan mengembuskannya perlahan. Dia beradu pandang dengan Hamid Awaluddin, direktur utama PG, yang berada di sebelah kanan Haikal. Keduanya seolah-olah tengah berbincang dengan menggunakan bahasa batin, kemudian mereka sama-sama mengangguk. Alvaro mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dia memberi kode pada asistennya, untuk memanggilkan orang-orang yang sangat disegani Haikal. Tidak berselang lama, beberapa pria menyambangi kelompok tersebut. Alvaro dan teman-temannya bergeser untuk memberikan tempat pada mereka.