Sadewa Aryana School, sebuah benteng pendidikan swasta, berdiri megah di atas lahan luas, memamerkan fasilitas mumpuni. Bangunan bergaya Eropa, warisan keluarga Atmadja Bersaudara sejak tahun sembilan puluhan, kini menampung seribu siswa. Mereka bukan sembarang anak, melainkan keturunan para pengusaha, artis, bahkan pejabat negara.
Salah satunya Alona, gadis kelas sembilan, yang tengah menikmati pagi di kursinya. “Alona… kamu tahu tidak?” Suara melengking Sarah membelah udara, langkah kakinya berderap mendekat. “Apa sih Sarah, pagi-pagi sudah heboh saja!” Alona membalas, seulas senyum tipis tersungging di bibirnya. Jemarinya sibuk membuka bekal sarapan. “Guru bahasa Inggris kita diganti!” “Diganti bagaimana maksudnya?” Alona mengernyit, sepotong roti isi terhenti di udara. “Diganti sama guru baru. Katanya sih gurunya dari Amerika, ya ampun kok bisa ya!” Sarah memekik, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. “Hah, masa?” Alona masih tak percaya, ia malah asyik melahap sarapan yang ia bawa dari rumah. “Benar Alona… namanya Pak Jen.. Jen siapa ya? Aku lupa!” Sarah mengetuk-ngetuk dagunya, berusaha mengingat. “Jenderal maksud kamu, haha?” Alona terbahak, tawanya renyah. “Nah… Pak Jendra!” *Deg!* “Mungkin Jendra yang lain Alona, bukan dia!” Alona bergumam dalam hati, jantungnya berdebar tak karuan. “Kenapa kamu Alona, kok diam?” Sarah menatapnya heran. “Tidak.. tidak apa-apa aku!” Alona mencoba menetralkan suasana, senyum kaku merekah di wajahnya. “Duh..! Gurunya asyik tidak ya? Katanya sih usia empat puluhan begitu, sudah bapak-bapak, aku khawatir dia kolot, tidak ikut perubahan zaman.” Sarah mengeluh, bibirnya mengerucut. “Kan katamu dari Amerika Sarah, pasti lebih modern lah!” Alona mengilah, mencoba menenangkan. Tangannya mengelus pundak sahabatnya. *** Matahari masih bersembunyi, belum menampakkan diri. Rajendra sudah rapi, siap memulai babak baru. Menjadi seorang guru, atas saran Maria, sepupunya, rupanya menjadi alternatif utama bagi Rajendra saat ini. Apalagi Nakula, ayahnya, juga turut mendukung keputusan sang putra yang akhir-akhir ini sering membuat darahnya mendidih. “Sudah mau berangkat kamu Jendra?” Nakula bertanya, menyesap kopi pagi dengan tenang. “Ya, Ayah.” “Semangat dong! Ini kan pilihan kamu ingin menjadi guru sementara. Ayah akan selalu mendukung, yang penting kamu tetap mau dinikahkan dengan anak Baskara.” “Ayah, masih pagi sudah bahas pernikahan.” Rajendra menghela napas, rahangnya mengeras. “Lho! Kan memang…” Belum sempat Nakula menyelesaikan kalimatnya, Rajendra sudah memotong. “Sudah Ayah! Jendra mau berangkat.” Rajendra bergegas meraih helm, langkahnya cepat meninggalkan ruang makan. Moge berwarna hitam, berdesain ramping dari merek ternama, melaju mulus memasuki area parkir sekolah. Suara knalpotnya mengaung, menghipnotis banyak pasang mata. Baik siswa maupun siswi, pandangan mereka terpaku pada motor itu. Rajendra, lelaki bertubuh tegap, membuka helm yang rapat menutupi wajahnya. Dengan gagah dan penuh kharisma, ia turun dan melangkah menuju ruang kepala sekolah. “Wow, tampan sekali, guru baru ya?” Seorang siswi berbisik, matanya tak lepas dari sosok itu. “Motornya keren parah sih!” Yang lain menimpali, terkesima. “Widih, kalau ini sih *oppa*, tampan sekali!” Kerumunan siswa-siswi saling berbincang, bisik-bisik kagum memenuhi udara. “Selamat siang, Pak!” Rajendra menyapa, suaranya mantap saat memasuki ruang Kepala Sekolah. “Selamat siang! Rajendra… selamat datang, silakan duduk!” Kepala Sekolah menyambut, senyum ramah mengembang. Beliau sudah mendapat arahan dari pemilik Yayasan. “Bagaimana perjalananmu? Tidak terlalu buruk bukan? Tidak jauh lah dengan Negeri Paman Sam tempat dulu kamu tinggal.” Tak banyak menjawab, Rajendra hanya tersenyum tipis menanggapi pertanyaan dari Kepala Sekolah. Lelaki tampan dengan rahang kokoh ini tidak terlalu suka berbasa-basi. Apalagi, ia mengajar di sekolah milik sang Kakek. “Boleh saya tahu untuk jadwal kelas yang akan saya pegang, Pak?” “Waw, sepertinya Anda sudah tidak sabar untuk segera mengajar, ya?! Oke, tunggu!” Kepala Sekolah mengambil secarik kertas yang sudah berisi jadwal untuk Rajendra. Dibantu sang sepupu, rupanya tak mempersulit langkah Rajendra untuk menjadi seorang guru. Sebenarnya Ayah Maria sudah sejak lama menawarkan Rajendra untuk mengelola yayasan milik keluarga ini, namun selalu ia tolak. Alasannya selalu karena kurang ketertarikan pada dunia pendidikan. Ketika Rajendra meminta untuk menjadi tenaga pengajar, seakan menjadi pintu utama bagi Ayah Maria. Beliau sangat yakin, tata kelola Rajendra dalam pendidikan dan ekonomi sudah tak diragukan lagi. Selesai berbincang dengan sang kepala sekolah, Rajendra kini diantar masuk menuju ruang guru. Tak disangka, sambutan para guru pada Rajendra benar-benar di luar dugaan. Kabar Rajendra akan menjadi guru bahasa di sekolah ini sudah tercium seminggu sebelumnya. Antusias para guru sudah sangat tinggi, terutama para guru perempuan yang begitu sumringah melihat sosok Rajendra. Mau kalangan tua ataupun muda, bagi mereka Rajendra sangatlah mengagumkan. Usia matang tidak tergambar di wajah tampannya. “Selamat datang, Pak Jendra! Selamat bergabung di sekolah kami!” sambut para guru, serentak, saat Rajendra baru saja melangkahkan kaki di ruang guru. Wajah Jendra menjadi pucat, aliran darah seakan berhenti mengalir. Ia bukanlah tipikal lelaki yang senang dirayakan. Rajendra bingung harus bagaimana. Jujur, ia tak pandai bersosialisasi. Jendra memilih mengangguk saja, lalu cepat duduk di kursi miliknya. “Apa-apaan ini?” pekiknya dalam hati. *** “Mau ke mana Alona, pelajaran belum selesai?” bisik Sarah pada teman sebangkunya itu. “Aku mau ke belakang, kepalaku penat melihat rumusan angka di sana.” Alona membalas, tangannya terangkat. “Ada apa, Alona?” Bu Guru, yang sedang memberi materi, menatapnya. “Izin ke toilet ya, Bu!” ucap Alona, lalu pergi setelah mendapatkan izin. “Adeuhh, akhirnya menghirup lagi udara luar!” gumam Alona, langkahnya menyusuri lorong kelas yang sepi. Hanya terdengar suara samar para guru yang sedang mengisi materi pelajaran. “Seperti aku kenal suaranya!” Alona bergumam saat melintas di lorong kelas IX. Ia menjinjitkan kakinya, mengintip dari balik jendela. “Ya Tuhan, i-itu… bukankah itu Tuan Jendra?” Ia terkejut, matanya terbelalak, mulutnya menganga. “Dia mengajar di sekolah ini? Kok aku tidak tahu?” Alona tak percaya. “Bentar, bentar, aku harus pastikan lagi, mungkin penglihatanku yang salah.” Tangannya bergerak cepat, mengeluarkan ponsel dari saku seragam. Aplikasi obrolan dengan nama Jendra terbuka. “Ah sial! Dia tidak pasang foto profil lagi!” Alona kembali mengintip dari balik jendela, memastikan siapa lelaki yang sedang mengajar di sana. Hampir saja ketahuan, lelaki itu menengokkan wajahnya ke arah jendela. Ia melangkah menuju pintu kelas. Dengan terbirit, Alona lari sekencang-kencangnya. “Hosh hosh hosh!” Napas Alona tersengal-sengal. “Hampir saja! Bagaimana ini? Kenapa dia mengajar di sini?” Ia memegangi dada yang kembang kempis. “Alona, sedang apa kamu di sini?” tanya seorang Guru Matematika yang kebetulan melintas. “Eh Ibu, i-itu Alona mau ke ruang musik.” Terpaksa Alona berbohong. Hanya ruangan musik yang menyelamatkannya dari omelan sang guru. Ruangan itu hanya lima langkah dari tempat ia bernaung sekarang. Dengan cepat Alona memasuki ruangan musik. Guru Matematika itu masih memperhatikan gerak-gerik Alona yang mencurigakan. Alona bingung, apa yang harus ia lakukan di dalam sebuah ruang musik yang besar itu. Matanya menangkap sebuah piano besar di dekat jendela. Alona menghampiri dan duduk di sana. Jemari lentik milik Alona mulai menari di atas tuts. Sebuah alunan sendu mengalir, penuh penghayatan dan makna yang dalam. Ya, Alona memang pandai memainkan alat musik, termasuk memainkan nada dengan jari cantiknya. “Eh, Pak Jendra, baru selesai kelas ya, Pak?” sapa sang guru matematika kepada Jendra yang baru saja melintas di hadapannya. “Iya, Bu, hehe.” Jendra tersenyum tipis. “Habis ini kelas mana lagi, Pak jadwalnya?” Sang guru matematika itu tersipu, wajahnya memerah. “Sudah tidak ada, Bu. Mari saya duluan.” Jendra melanjutkan langkahnya, begitu juga guru Matematika yang kini sudah berlalu berlawanan arah. “Siapa yang bisa memainkan piano secantik ini?” gumam Rajendra membatin saat mendengar alunan musik piano yang berasal dari ruang di dekatnya. Alunan ini adalah alunan favorit yang sering ia dengar. Rajendra mendekatkan langkahnya untuk mencari tahu. “Pak Jendra?!” sapa seorang Guru Sains, langkah itu terhenti. Jendra berbalik pada sosok yang menyapa. “Ya, Bu…” “Ini saya dapat titipan dari Pak Kepsek.” Secarik kertas Jendra terima. “Oh baik, terima kasih, Bu. Saya ke sana sekarang!” Niat Rajendra menghampiri sumber suara urung, ia harus menghampiri panggilan Kepala Sekolah. *** Alona menghentikan permainan pianonya, tubuhnya merinding. Suara itu… suara Pak Jendra. Ia yakin seratus persen. Jantungnya berdegup kencang, memukul-mukul rusuknya. Kenapa bisa Jendra mengajar di sini? Dan kenapa ia harus menjadi guru bahasa Inggris? Sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya. Ini akan menarik. Pintu ruang musik terbuka perlahan. Alona terlonjak kaget. Guru Matematika itu berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan tatapan menyelidik. “Alona, kamu tidak kembali ke kelas?” Suara Bu Guru terdengar lembut, namun ada nada curiga di dalamnya. “Eh, ini Bu… Alona tadi… Alona latihan piano sebentar, Bu. Mengisi waktu luang.” Alona tergagap, mencari alasan. Bu Guru mengangguk-angguk, “Baiklah, tapi jangan lupa kembali ke kelas ya. Pelajaran akan segera berakhir.” Alona menghela napas lega saat Bu Guru berbalik pergi. Ia mengintip lagi ke lorong. Kosong. Jendra sudah tidak ada. Alona bangkit dari duduknya, berjalan menuju pintu, lalu mengintip lagi. Ia melihat Jendra berjalan ke arah ruang kepala sekolah.Setelah beberapa sesi terapi, psikiater menyarankan agar Alona melakukan perjalanan untuk penyembuhan diri.Rajendra mengambil keputusan untuk membawa Alona berlibur ke Hawaii, tempat yang selama ini menjadi impian Alona.. Ia berharap suasana tropis, pantai indah, dan udara segar di sana dapat membantu Alona pulih dari traumanya. Dengan penuh semangat, Rajendra mulai mengurus semua akomodasi yang dibutuhkan, mulai dari tiket pesawat, hotel, hingga jadwal kegiatan yang akan mereka lakukan selama di sana.Ketika Rajendra memberitahukan rencana ini kepada Alona, ia merasa lega karena Alona tidak menolak ide tersebut. Meskipun masih terlihat lesu, Alona setuju untuk pergi bersama Rajendra ke Hawaii.Hari keberangkatan pun tiba, Rajendra dan Alona terbang menuju Hawaii dengan penuh harapan. Mereka tiba di hotel yang sudah Rajendra pesan sebelumnya dan disambut dengan hangat oleh staf hotel. “Bagaimana Alona? Kamu suka kan?” Tanya Rajendra saat membuka godrin yang menutupi kamarnya yang me
Setelah selesai merapikan tenda yang telah mereka gunakan untuk berkemah, Jendra bergegas meninggalkan lokasi kemah bersama Alona, sang istri. Sepanjang perjalanan, Jendra tak henti-hentinya memeluk Alona, meyakinkan sang istri bahwa dia akan selalu ada untuk melindungi dan mencintainya. "Kamu tenang ya, Sayang. Aku di sini, akan terus melindungi kamu," ucap Jendra dengan penuh tulus dan kehangatan.Mendengar kata-kata itu, Alona merasa hari itu begitu mencerahkan hatinya. Hatinya yang semula keras dan sulit menerima kebaikan orang lain, kini mulai luluh oleh ketulusan cinta Jendra. Alona tersadar bahwa Jendra sungguh mencintainya, lebih dari siapapun yang pernah ada dalam hidup mereka.Dibanding Saloka, yang sudah dikenal Jendra selama puluhan tahun, Jendra justru memilih untuk percaya pada Alona. Ia merasa beruntung memiliki suami yang setia dan tulus seperti Jendra.Perlahan, Alona menoleh pada Jendra, matanya berkaca-kaca seiring senyuman tulus yang terukir di wajahnya. "Terima k
Alona berada di dalam sebuah bangunan khusus toilet umum laki-laki, wajahnya tampak pucat pasi ketakutan. Tiba-tiba, Saloka muncul dari balik salah satu pintu toilet dengan senyum yang jahil dan sinis."Kamu mau apa, Saloka?" tanya Alona dengan suara gemetar, mencoba menyembunyikan rasa takutnya."Sudahlah, Alona, aku tahu Rajendra tidak mencintaimu. Cinta dia habis di Sitha, kau dinikahi aku yakin belum pernah disentuh bukan?" ucap Saloka dengan nada picik, sambil melangkah mendekati Alona.Alona terdiam, hatinya semakin khawatir dan ketakutan. Tiba-tiba, Saloka mengunci pintu toilet, membuat Alona merasa terjebak."Buka pintunya!" pekik Alona, hampir menangis."Tidak, aku tidak mau, lagipula ini toilet khusus lelaki, kamu yang salah berada disini," balas Saloka dengan nada datar, sambil tersenyum jahat."Buka! Atau aku teriak!" ancam Alona, mengumpulkan keberanian yang masih tersisa."Teriak saja, jika kau mau mati," ejek Saloka, mengejek ketakutan Alona.Alona merasa buntu, matanya
Malam itu, di tengah hutan pinus yang rimbun, Alona, Rajendra, dan teman-teman mereka berkumpul di sekitar api unggun yang menyala terang. Udara dingin menusuk tulang, dan angin kencang yang meniup dedaunan membuat suasana semakin akrab dan hangat. Di sekitar api unggun, mereka berbagi tugas dalam menyiapkan hidangan malam itu. Beberapa di antara mereka sibuk memasak, mengolah daging untuk barbekyu, dan mengatur piring serta alat makan. Alona dan beberapa teman wanitanya sedang bersemangat membuat minuman untuk menghangatkan tubuh di malam yang dingin ini.Sementara itu, Rajendra dan teman-teman lelaki lainnya bertanggung jawab atas api unggun yang menerangi kegelapan malam. Mereka mengatur kayu bakar dan memastikan nyala api tetap hidup untuk menjaga kehangatan di tengah dinginnya udara. Api unggun yang menyala semakin menambah keakraban suasana malam itu.Meskipun sibuk dengan urusan masing-masing, Rajendra tidak lupa untuk sesekali melirik istrinya, Alona, dari kejauhan. Dia mempe
Mentari pagi yang hangat mulai menyelinap masuk melalui celah-celah jendela, mengusik tidur Alona dan Rajendra yang masih terlelap di atas sofa. Semalam, mereka berdua begitu larut dalam perbincangan tentang skema acara yang akan dihadiri, hingga akhirnya memutuskan untuk menonton film komedi bersama. Tanpa terasa, keduanya terlelap dan bermimpi indah."Rajendra, bangun, kita kesiangan!" seru Alona dengan panik, menyadari waktu yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Rajendra yang terkejut bangun, mendengus dan meregangkan tangannya dengan santai. "Jam berapa ini?" tanyanya pada Alona."Jam delapan," jawab Alona cepat, lalu berdiri hendak melangkah pergi. Namun, tanpa disadari, Rajendra menarik tangan Alona hingga membuatnya kembali terjatuh ke atas tubuh rajendra. "Aduh!" pekik Alona, merasakan rasa kaget yang luar biasa."Maaf Alona, mungkin ini lancang," ucap Rajendra dengan wajah yang tampak bersalah. Alona menatapnya dengan ekspresi bingung, mencoba memahami maksud dari tindak
Setiap hari, Rajendra semakin menunjukkan rasa cintanya pada Alona. Ia selalu berusaha menjaga dan memenuhi kebutuhan Alona sebagai suaminya. Mulai dari bangun pagi untuk menyiapkan sarapan, hingga menemani Alona berbelanja keperluan rumah tangga.Rajendra juga sudah tak pernah lagi pergi clubbing seperti dulu. Ia hanya keluar untuk urusan bisnisnya saja, kemudian segera kembali ke rumah dan menghabiskan waktu bersama Alona.Namun, meskipun Rajendra berusaha keras menunjukkan rasa cintanya, Alona belum juga merespon perasaan tersebut. Ia masih belum bisa menerima keberadaan Rajendra sepenuhnya dalam hidupnya. Wajah Alona yang selalu datar dan dingin membuat Rajendra merasa khawatir.Suatu malam, saat makan malam bersama, Rajendra mencoba membuka percakapan dengan Alona. "Alona, aku tahu mungkin aku belum sempurna sebagai suami, tapi aku berusaha untuk lebih baik. Apakah kau bisa melihat usahaku?" tanya Rajendra dengan lembut.Alona menatap matanya, lalu menundukkan pandangannya. "Aku