"Ah ... iya, aku akan bersiap. Bisa kirimkan alamat di mana kita bertemu. Aku akan segera pergi. Maaf membuatmu menunggu," tutur Jenar.
"Aku akan kirimkan. Kalau bisa dekat tempatmu saja, biar aku yang menemuimu. Aku tidak bisa lebih lama."
"Baik, aku akan segera pergi. Maaf sebelumnya." Jenar mengutuk kebodohannya, dia segera ke kamar mandi dan bersiap setelah mengirimkan sharelock tempatnya tinggal. Dan tidak peduli dengan pesan masuk dari mamanya.
Setelah mandi dan mengenakan pakaian casual yang sopan, Jenar segera pergi ke tempat di mana pria itu menunggu. Dia bahkan bilang menjemputnya.
"Aku tunggu dekat pos 2 tempatmu tinggal, tidak terlalu jauh darimu. Aku ada di mobil SUV putih dekat warung angkringan." Jenar mendengarkan penjelasan seseorang dari sambungan telepon, dengan mata yang coba melihat sekita, mencari mobil yang dimaksud.
Hingga dia melihat mobil yang dimaksud di seberang jalan, dengan hati-hati Jenar berjalan ke arah mobil itu dan mengetuk jendela mobilnya. Perlahan kaca jendela mobil itu terbuka dan menampilkan pria yang mamanya maksud.
"Anda?"
Mata Jenar membelalak. Pak Komandan ini bernama Damar?
*** "Dokter Jenar, masuklah, kita makan malam di dekat sini saja."
Jenar menatap terkejut pada seseorang yang ada di hadapannya. Namun, pria yang mamanya maksud itu terlihat tidak terkejut. Mungkin saja ini karena mereka pernah saling bertemu. Setelah mendapat alamat tempat tinggal Jenar, pria yang dikenalkan coba melihat foto yang ibunya kirimkan. Kenapa bisa tinggal di Asrama militer, ternyata memang dia Dokter yang pernah dia temui.
"Kenapa? Apa kamu terkejut melihatku? Maaf, aku juga baru tau beberapa menit lalu. Aku, Damar Lesmana, senang bertemu denganmu." Pria yang dipanggil Komandan itu ternyata pria yang mamanya kenalkan. Jenar menatap terkejut dengan tangan membalas jabatan tangan Damar. Damar melajukan mobilnya setelah Jenar duduk dengan aman sambil sesekali menatap pria yang ada di sampingnya. Dia sungguh terkejut hingga tidak bisa berkata-kata. "Ada apa?" Senyum Damar mengembang ketika bertanya pada Jenar yang terdiam dengan mata masih menatapnya. "Ah ... maafkan aku. Jujur aku juga tidak tau karena tidak membuka foto yang Mama kirimkan, jadi aku sedikit terkejut." Senyum manis Damar membuat jantung Jenar berdegub kencang, dia terlihat begitu manis dan tampan. Belum lagi aroma parfum yang dikenakan waktu itu tercium ke hidung Jenar, membuat nyaman saja. "Tidak apa-apa, kalau bukan karena ulah kedua orang tua kita, mana mungkin bisa seperti ini." "Iya–" Ada kecangunggan dalam diri Jenar, dia masih terkejut dan bingung bertemu pria yang kemarin membantunya. "Mau makan apa?" "Apa saja asal tidak pedas, tapi bukannya Bapak ada janji." "Jangan panggil Bapak, terdengar aneh saja. Panggil nama saja. Aku belum setua itu untuk dipanggil bapak." "Maaf, tidak enak kalau memanggil nama, boleh aku panggil Mas saja? Apalagi pada orang yang lebih tua." Damar melirik dengan senyum tipis mengembang saat Jenar bilang dirinya lebih tua. "Oh ... maaf, maksudku—" "Sudah jangan pikirkan. Kita makan dekat sini saja." Damar coba memecahkan suasana, di mana Jenar tampak terkejut melihatnya. Padahal dia juga sama, dia tersenyum melihat Jenar tadi mencari dirinya sambil bicara di telepon. Sampailah mereka di tempat makan yang terlihat indah dengan pemandangan malam di area outdoor. Saat baru duduk ponsel Damar berdering, dan dia harus menjawab telepon dari seseorang. Membuat Jenar sesekali mencuri pandang pria tampan yang sejak kemarin dia temui. Dia tidak menyangka kalau pria dihadapannya ini orang yang harus dia kenal. "Aku hubungi lagi nanti. Beri aku waktu 30 menit, nanti beritahu aku jika sudah di lokasi. Baik, tidak akan lama." "Apa Mas terburu-buru? Jika iya, aku pulang saja." Jenar coba bicara setelah Damar menutup sambungan teleponnya. "Tidak, santai saja. Sudah nikmati makanmu." Dari pertama kali Jenar lihat, pria dihadapannya ini pria yang baik. Bukan hanya senyumnya yang manis, tapi sikap memperlakukan Jenar juga baik. "Boleh aku bertanya, Mas?" "Bersikap biasa saja, jangan seperti kamu ini takut padaku. Apa yang ingin kamu tanyakan, katakan saja." "Karena orang tua kita ingin kita dekat, apa Mas tidak memiliki kekasih? Maksudku wanita yang dekat dengan Mas sekarang. Aku tidak ingin melukai seseorang karena aku dekat dengan Mas, maksudku mengenal, Mas." "Apa kamu tau statusku? Atau kamu juga tidak tau tentang diriku? Nanti apa kamu tidak terkejut, aku tidak ingin berbohong, jadi aku akan berkata jujur. Aku juga mau hal sebaliknya darimu." Kenapa Jenar merasa tegang dengan apa yang Damar akan jawab, padahal ini bukan tentang besok mereka akan menikah hanya tidak ingin ada kebohongan satu sama lain. "Aku sedang tidak menjalin hubungan dengan siapapun karena aku tidak laku. Siapa yang mau dengan duda sepertiku." Damar menjelaskan dengan senyum manis itu lagi, dia tidak ingin membuat Jenar malah tegang ataupun gugup. "Duda?" tanya Jenar canggung. "Ya, aku duda. Jika itu membuatmu tidak nyaman, maka tidak perlu dipaksakan. Aku dudu tanpa anak kok." Jenar hanya mengangguk pelan setelah mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang dia lontarkan. "Lalu seperti yang kamu tanyakan, bagaimana denganmu?" "Aku juga tidak sedang dekat dengan siapapun, aku masih ingin fokus dengan karirku." "Kalau begitu tentang pasangan kita sama-sama tidak memiliki. Lalu alasan apa yang membuatmu mau bertemu denganku? Ketika kamu bisa menolaknya? Apa kamu tidak akan menyesal dijodohkan dengan seorang duda?" Jenar diam, dia saja dipaksa sang mama untuk menerima pertemuan ini. Bagaimana dia bisa menjawab apa yang Damar tanyakan?"Memang Danur punya uang untuk membelinya?" Pertanyaan Prajurit itu membuat bocah itu berpikir. Ekspresinya begitu mengemaskan, selain imut, tampan, dia juga sama seperti ayahnya. Pesona ayahnya turun ke anaknya sekarang. "Danur, Ayah sudah punya anak baru. Bukankah Danur juga punya ayah baru." Damar datang dengan menggendong anak Widi yang baru 10 bulan, dan mengejek putranya itu. Menjadi Komandan Batalyon selama hampir 6 tahun, Damar banyak mendapatkan penghargaan dan prestasi yang dia dapat selama diposisinya. Bukan hanya itu, selain terkenal tegas, Damar juga bersikap baik pada bawahannya. Bukan berarti salah lantas dia akan terus mencari kesalahan, Damar memberikan nasehat yang bisa membuat bawahannya maju bukan malah diam di tempat. Beberapa Prajurit dibantu untuk pendidikan mereka. Dia membantu semampu dia, karena dia tau betul bagaimana berjuang di masa-masa seperti ini. Tegasnya Damar, dia selalu disiplin dan tidak menerima kesalahan yang fatal. "Itu adik Celine, itu b
"Om, mana Ayah Danur?" Dengan pertanyaan yang belum jelas, anak usia 4 tahun itu berdiri di hadapan para Prajurit yang sedang berbaring mendengarkan arahan. "Danur, tunggu Bunda!" Langkahnya terhenti ketika melihat putranya sedang berdiri di hadapan para Prajurit. Senyum wanita cantik itu mengembang, anak kecil yang dia cari tanpa rasa malu ikut dalam barisan itu seperti seorang Komandan yang berdiri di depan Prajurit. "Ayah!!" Teriakan itu membuat wanita cantik itu berlari sebelum anak kecil itu berhasil pada ayahnya. Tawa dari para Prajurit yang berbaris terdengar ketika anak kecil itu menyelai ucapan sang ayah ketika sudah dalam gendongan. "Kenapa Ayah pergi sendiri. Bunda memaksa Danur makan, Danur masih kenyang," keluhnya. "Pak Wadan, gantikan aku bicara, anak kecil ini akan terus menggangguku," pintanya pada Wadan yang berdiri di sampingnya. "Ke mana Bunda sekarang?" tanyanya pada sang anak. Dia mundur ketika wakil komandan mengantikannya bicara dengan beberapa Praj
"Akhirnya anak Ayah bisa pulang hari ini." Dalam gendongan sang ayah keluar rumah sakit, bayi kecil itu tampak tenang. Jenar berjalan selangkah dibelakang Damar yang begitu senang setelah hampir 1 bulan putranya di ruang NICU, akhirnya hari ini diperbolehkan pulang. Kondisinya berangsur membaik walau berat badannya masih kurang. Sore itu akhirnya Danur bisa berbaring di tempat tidur mereka. Damar sangat senang karena bisa menggendong lebih lama dari pada di NICU hanya berapa jam saja dalam sehari. Momen ini yang di tunggu sejak beberapa minggu. Sejak keluar rumah sakit, keseharian Damar berbeda. Pagi dia akan membantu istrinya merawat putranya. Membiarkan Jenar mengurus pekerjaan rumah yang lain. Damar juga menemani putranya berjemur ketika dia selesai Apel. "Aku sudah selesaikan tugasku. Aku pulang lebih dulu," ucap Damar. "Siap, Komandan!" "Sejak ada mainan hidup, aku selalu ingin pulang dan bertemu dengannya." "Siap, Ndan. Namanya juga anak baru lahir. Pastinya senang
"Mbak baik-baik saja?" Widi menghampiri Jenar yang termenung di depan ruang rawat. Bukannya istirahat, dia malah diam di sana. Membiarkan Damar yang sedang sakit di dalam di temani ibunya. Kehilangan dan juga kebahagian yang dirasakan sekarang seperti tamparan keras. Bukan hanya itu, Damar juga sakit saat kondisi seperti ini. "Ya, harusnya juga baik-baik saja. Bahkan aku ingin bergegas merawat suamiku yang sedang sakit. Kenapa aku secengeng ini, menjengkelkan sekali." Jemarinya menyeka air mata yang mengalir begitu saja. "Aku yakin Mbak pasti kuat. Aku tidak ingin mengatakan banyak hal karena aku tau jika Mbak mendapatkan itu semua dari keluarga yang mendukung. Mbak harus ingat, masih ada satu anak yang bisa Mbak rawat dan perjuangkan. Ingatlah diriku ini, bagaimana kisahku dengan putriku. Yang tabah, semua pasti akan baik-baik saja." Widi memegang tangan temannya itu. Dia baru bisa bertemu dengan Jenar kali ini. Dia tidak ingin mengganggu ketika di masa duka dan kebahagian y
"Istirahatlah, Nak, kamu terlihat begitu lelah," tutur Susi pada menantunya yang baru sampai dari Jakarta untuk memakam kan putrinya didekat makam ayahnya."Aku masih ingin melihat putraku, Ma. Rasa bersalah ini semakin mencekik ku. Aku tidak becus menjadi seorang ayah, ini terjadi karena diriku." Tangis Damar pecah ketika bicara dengan Susi. Dia menahan agar bisa menerima semua ini, tapi dia tidak sanggup lagi. Rasa sesaknya kian mencekik, dan dia luapkan pada Susi.Wulan yang mengurus semua di sana ketika Damar kembali ke Solo untuk istri dan anaknya yang lain. "Semua sudah menjadi takdir yang Tuhan gariskan. Kamu boleh bersedih, tidak dengan menyalahkan dirimu. Ini semua bukan kesalahanmu, memang kondisi kehamilan istrimu yang tidak baik."Dengan kondisi kaki yang masih dibantu penyangga untuk berjalan, Susi pergi bersama Ragil ke Solo. Dia tidak bisa hanya diam, ketika putra putri mereka membutuhkan mereka orang tuanya."Ikhlas kan, maka kamu akan terima ini semua. Istrimu membutu
"Saya pikir Mbak Jenar akan mengatakan pada Bapak, jika tadi melakukan kontrol mingguan bersama saya karena tak ingin menganggu istirahat Anda."Mendengar penjelasan Widi, bisa apa Damar ketika ini sudah kejadian. Waktu itu juga, Damar mendengarkan penjelasan Dokter Melati tentang kondisi istrinya.Sudah rasa sakit dia rasakan tanpa hilang, Jenar harus merasakan proses induksi karena ingin persalinan normal. Ada rasa kesal, tapi Damar tidak bisa meluapkan sekarang. Fokusnya ada pada Jenar sekarang."Mbak, bisakah kau datang. Jenar mau melahirkan di usai kandungan 25 minggu, aku harap Mbak bisa datang sekarang." Tidak hanya pada Wulan, dia juga minta doa pada Ibu dan mertuanya agar semua berjalan lancar. Meski dengan resiko yang besar."Maafkan aku, Mas," tutur Jenar dengan rintihan lirih merasakan sakit."Aku tidak ingin membahasnya, kamu harus kuat, agar mereka bisa selamat begitu juga dirimu. Kamu hampir mencelakai dirimu sendiri. Sekarang lihatlah hasilnya, tapi aku tidak mau menya