"Terima kasih, Pak, sudah mengantar. Maaf tidak mempersilahkan masuk, sudah malam juga."
Pada akhirnya, Komandan itu mengantarkan Jenar sampai rumah dengan koper besar miliknya.
"Tidak apa-apa. Apa Anda bertugas di Rumah sakit Militer?" "Iya, Pak, saya tinggal di sini hanya sementara selama saya mendapatkan kontrakan baru untuk tinggal. Pak Danki yang meminta saya tinggal di sini." "Oh begitu, yasudah, saya tinggal dulu. Selamat istirahat." Jenar masih berdiri di depan rumah sampai pria itu pergi. "Masih muda dan tampan lagi, pemandangan menyegarkan. Ah ... Jenar, kau itu memikirkan apa." Sejenak Jenar membayangkan sesuatu tentang Komandan itu. Bau tubuhnya begitu harum, dia pikir akan beruntung memiliki suami seperti Komandan tampan itu. Sudah tampan, masih muda juga menjadi Komandan, walau tidak mengerti kedudukan di dalam satuan militer, tapi saat mendengar kata Komandan, iti artinya kedudukannya pasti lebih tinggi, itu pikir Jenar. Dia tidak tau pastinya. "Tadi dia itu Komandan apa ya? Bukankah Pak Danki juga di panggil Komandan? Ah ... kenapa aku jadi memikirkan dia terus. Sebaiknya tidur, karena besok hari yang panjang." Jenar menutupi tubuhnya dengan selimut dan coba memejamkan mata di tempat baru. Suasananya cukup tenang, asri dan pastinya aman, karena ada penjagaan di komplek atau biasa di sebut Asrama itu. ***Esok paginya, Jenar sudah tampak rapi dengan jas Dokter yang di kenakan.
Sepatu kets yang selalu menemaninya, karena dia jarang sekali menggunakan heels atau wedges pikirnya itu pasti akan merepotkan.
"Nama saya Jenar Nareswari, Spesialis Konservasi Gigi (Sp.KG.). Salam kenal." Dihadapan para dokter lain, Jenar mengenalkan diri. Ini hari pertamanya bertugas menggantikan dokter sebelumnya yang menjalani pendidikan lanjutan. "Dokter bisa memanggil saya jika ada yang ingin dibutuhkan, dan ini ruangan Anda sekarang." Salah satu perawat yang akan menemaninya bekerja mulai sekarang, menunjukan ruangan prakter setelah mengenalkan diri. "Terima kasih, Mbak." Hari itu dia merasa senang karena di terima di lingkungan baru. Walau itu tidak begitu dipikirkan tentang lingkungan kerjanya tidak nyaman, karena dia juga mudah akrab dengan orang lain. Dan pasien di hari pertamanya bekerja tidak begitu banyak karena dia juga tidak mengambil jadwal penuh seperti yang asisten perawatnya jelaskan. "Apa yang dikeluhkan?" "Gigi berlubang sebelah kiri, bisakah dicabut saja, Dok?" "Biar aku lihat dulu. Jika bisa dirawat kenapa dicabut?" Seperti biasa sebelum melakukan tindakan, dia mengenakan masker dan sarung tangan setelahnya mulai melihat kondisi gigi pasiennya. Banyak keluhan yang dia dengar, dari gigi berlubang, karang gigi, hingga masalah syaraf di gigi. Sebenarnya Jenar tidak ingin mengambil jurusan kedokteran gigi, hanya saja dia malah terdampar di jurusan itu hingga menjadi mahasiswa cumlaude dan lulus lebih cepat. "Aku berikan surat untuk kontrol minggu depan, kita rawat dulu giginya sebelum ditambal." "Terima kasih, Dok." Pasien terakhir kali ini, membuat Jenar bisa pulang lebih cepat.Seperti tadi pagi, dia pun berjalan dengan santainya menuju rumah dinasnya.
Suasana sore di Kota Solo membuat rindu kampung halaman. Namun, dia harus membiasakan diri karena ini juga menjadi keinginannya pindah ke rumah sakit Militer, jauh dari orang tua dan berjuang seorang diri.
Hanya saja, mata Jenar tak senga melihat pemandangan indah untuknya--para Prajurit yang sedang berlatih! "Dokter baru pulang." Sapaan Danki membuat Jenar menghentikan langkahnya. Eh?Jenar buru-buru menunduk. "I--iya, Pak."
"Wow ... Pak, siapa dia? Cantik sekali." Salah satu dari Prajurit yang sedang melakukan latihan ketika Danki mereka menyapa Jenar. "Jangan ngawur kalian, sudah sana lanjut latihan. Maaf, Dok, mereka itu memang kurang sopan." "Tidak apa-apa, Pak, kalau begitu saya permisi." Jenar melanjutkan langkahnya dengan sesekali fokus membalas pesan. Meski sudah menyandang dokter spesialis, dia masih ingin belajar mengenai spesialis syaraf. "Awas!!" Teriakan seseorang membuat langkah Jenar terhenti karena terkejut. Dia yang bingung, mencari sumber suara, dan melihat bola menggelinding ke arah Jenar sampai berhenti di kakinya. "Oh, Dokter, baru pulang?" Pria kemarin berlari dan mengambil bola tepat di kaki Jenar yang mundur beberapa langkah. "Iya, Pak, apa sedang latihan, Pak?" "Ya, baru selesai dan sekarang anak-anak mengajak main bola. Saya ke sana lebih dulu, ya, maaf tadi mengejutkanmu." "Baik, Pak." Obrolan singkat itu membuat Jenar menatap pria tampan yang dipanggil Komandan itu. Dia seperti terhipnotis dengan sosok itu. Dengan tubuh kekar, wajah tampan dan juga manis, Jenar senang melihat pria itu. Ketika pria itu berjalan pergi saja, Jenar masih menatap ke arahnya. Menatap punggung kekarnya, hingga suara ponsel membuyarkan lamunan.Dia melihat di layar telepon masuk dari mamanya.
Tak ingin terkena lemparan bola, dia memilih menjawan sambungan telepon di rumahnya.
"Mama, tidak bisakah besok saja, aku ingin bertemu dengan rekan Dokter ku untuk pekerjaan di kliniknya. Aku—" "Jangan memaksakan diri dengan bekerja sangat keras. Fokus dengan satu pekerjaan saja. Hari ini kamu harus bertemu dengannya, mama tidak mau tau. Nanti tunjukkan jika sudah bertemu dengan dia." Putrinya belum menyelesaikan ucapan, mamanya sudah memaksa untuk bertemu dengan pria yang mau dikenakan karena dia putra teman lama mamanya. "Tidak bisakah nanti malam, pukul 7, aku saja baru masuk rumah. Belum membersihkan diri dan rumah. Lalu bagaimana aku bertemu dengannya, aku saja tidak tau bagaimana dia dan siapa namanya." "Bukannya Mama sudah mengirimkannya padamu. Kamu pasti tidak melihatnya, langsung menghapus pesan Mama. Benar kan?" "Itu---" Jenar mencoba mengalihkan ucapan mamanya karena memang dia menghapus pesan dari mamanya waktu itu tanpa ingin tau foto pria itu.Tapi, sang ibu kembali memotong, "Mama akan kirimkan lagi, dan jika nanti ada yang menghubungimu cepat jawab. Jangan membuatnya menunggu karena dia juga sibuk. Kamu dengar, Nak?"
"Iya, Ma, iya." Meski malas, Jenar akhirnya tetap mengiyakan kemauan mamanya.Setelah menutup sambungan telepon bukan lekas bersiapa seperti yang dikatakan, Jenar memejamkan mata di atas tempat tidurnya karena merasa lelah.
Tring!Suara pesan masuk tidak membuat Jenar membuka mata, dia ingin memejamkan mata sebelum pergi menemui pria pilihan mamanya. Pikirnya masih ada waktu untuk istirahat sebelum pergi berkenca buta atas kemauan mamanya.
Dia sungguh terlelap bukannya bersiap. Hingga 2 jam 20 menit berlalu, suara telepon harus dijawabnya. Dengan malas Jenar menjawab tanpa melihat layar ponselnya. "Apa benar ini Jenar Nareswari?" Suaranya berat, dan langsung membuat Jenar membuka mata.Deg!
"Siapa ini? Seingatku, aku tidak ada janji praktek hari ini."
"Bisakah kita bertemu 10 menit lagi, aku ada janji dengan seseorang nanti pukul 9. Aku tidak bisa menunggumu lebih lama." "Memangnya siapa kamu menungguku? Aku—" Sejenak dia diam, coba mengingat janji apa yang dibuat. Dan ketika ingat, dia langsung bangun dan menatap layar ponselnya. Tidak ada nama hanya nomor saja, dia ingat kaya mamanya dia harus bertemu dengan pria itu!Astaga!
"Memang Danur punya uang untuk membelinya?" Pertanyaan Prajurit itu membuat bocah itu berpikir. Ekspresinya begitu mengemaskan, selain imut, tampan, dia juga sama seperti ayahnya. Pesona ayahnya turun ke anaknya sekarang. "Danur, Ayah sudah punya anak baru. Bukankah Danur juga punya ayah baru." Damar datang dengan menggendong anak Widi yang baru 10 bulan, dan mengejek putranya itu. Menjadi Komandan Batalyon selama hampir 6 tahun, Damar banyak mendapatkan penghargaan dan prestasi yang dia dapat selama diposisinya. Bukan hanya itu, selain terkenal tegas, Damar juga bersikap baik pada bawahannya. Bukan berarti salah lantas dia akan terus mencari kesalahan, Damar memberikan nasehat yang bisa membuat bawahannya maju bukan malah diam di tempat. Beberapa Prajurit dibantu untuk pendidikan mereka. Dia membantu semampu dia, karena dia tau betul bagaimana berjuang di masa-masa seperti ini. Tegasnya Damar, dia selalu disiplin dan tidak menerima kesalahan yang fatal. "Itu adik Celine, itu b
"Om, mana Ayah Danur?" Dengan pertanyaan yang belum jelas, anak usia 4 tahun itu berdiri di hadapan para Prajurit yang sedang berbaring mendengarkan arahan. "Danur, tunggu Bunda!" Langkahnya terhenti ketika melihat putranya sedang berdiri di hadapan para Prajurit. Senyum wanita cantik itu mengembang, anak kecil yang dia cari tanpa rasa malu ikut dalam barisan itu seperti seorang Komandan yang berdiri di depan Prajurit. "Ayah!!" Teriakan itu membuat wanita cantik itu berlari sebelum anak kecil itu berhasil pada ayahnya. Tawa dari para Prajurit yang berbaris terdengar ketika anak kecil itu menyelai ucapan sang ayah ketika sudah dalam gendongan. "Kenapa Ayah pergi sendiri. Bunda memaksa Danur makan, Danur masih kenyang," keluhnya. "Pak Wadan, gantikan aku bicara, anak kecil ini akan terus menggangguku," pintanya pada Wadan yang berdiri di sampingnya. "Ke mana Bunda sekarang?" tanyanya pada sang anak. Dia mundur ketika wakil komandan mengantikannya bicara dengan beberapa Praj
"Akhirnya anak Ayah bisa pulang hari ini." Dalam gendongan sang ayah keluar rumah sakit, bayi kecil itu tampak tenang. Jenar berjalan selangkah dibelakang Damar yang begitu senang setelah hampir 1 bulan putranya di ruang NICU, akhirnya hari ini diperbolehkan pulang. Kondisinya berangsur membaik walau berat badannya masih kurang. Sore itu akhirnya Danur bisa berbaring di tempat tidur mereka. Damar sangat senang karena bisa menggendong lebih lama dari pada di NICU hanya berapa jam saja dalam sehari. Momen ini yang di tunggu sejak beberapa minggu. Sejak keluar rumah sakit, keseharian Damar berbeda. Pagi dia akan membantu istrinya merawat putranya. Membiarkan Jenar mengurus pekerjaan rumah yang lain. Damar juga menemani putranya berjemur ketika dia selesai Apel. "Aku sudah selesaikan tugasku. Aku pulang lebih dulu," ucap Damar. "Siap, Komandan!" "Sejak ada mainan hidup, aku selalu ingin pulang dan bertemu dengannya." "Siap, Ndan. Namanya juga anak baru lahir. Pastinya senang
"Mbak baik-baik saja?" Widi menghampiri Jenar yang termenung di depan ruang rawat. Bukannya istirahat, dia malah diam di sana. Membiarkan Damar yang sedang sakit di dalam di temani ibunya. Kehilangan dan juga kebahagian yang dirasakan sekarang seperti tamparan keras. Bukan hanya itu, Damar juga sakit saat kondisi seperti ini. "Ya, harusnya juga baik-baik saja. Bahkan aku ingin bergegas merawat suamiku yang sedang sakit. Kenapa aku secengeng ini, menjengkelkan sekali." Jemarinya menyeka air mata yang mengalir begitu saja. "Aku yakin Mbak pasti kuat. Aku tidak ingin mengatakan banyak hal karena aku tau jika Mbak mendapatkan itu semua dari keluarga yang mendukung. Mbak harus ingat, masih ada satu anak yang bisa Mbak rawat dan perjuangkan. Ingatlah diriku ini, bagaimana kisahku dengan putriku. Yang tabah, semua pasti akan baik-baik saja." Widi memegang tangan temannya itu. Dia baru bisa bertemu dengan Jenar kali ini. Dia tidak ingin mengganggu ketika di masa duka dan kebahagian y
"Istirahatlah, Nak, kamu terlihat begitu lelah," tutur Susi pada menantunya yang baru sampai dari Jakarta untuk memakam kan putrinya didekat makam ayahnya."Aku masih ingin melihat putraku, Ma. Rasa bersalah ini semakin mencekik ku. Aku tidak becus menjadi seorang ayah, ini terjadi karena diriku." Tangis Damar pecah ketika bicara dengan Susi. Dia menahan agar bisa menerima semua ini, tapi dia tidak sanggup lagi. Rasa sesaknya kian mencekik, dan dia luapkan pada Susi.Wulan yang mengurus semua di sana ketika Damar kembali ke Solo untuk istri dan anaknya yang lain. "Semua sudah menjadi takdir yang Tuhan gariskan. Kamu boleh bersedih, tidak dengan menyalahkan dirimu. Ini semua bukan kesalahanmu, memang kondisi kehamilan istrimu yang tidak baik."Dengan kondisi kaki yang masih dibantu penyangga untuk berjalan, Susi pergi bersama Ragil ke Solo. Dia tidak bisa hanya diam, ketika putra putri mereka membutuhkan mereka orang tuanya."Ikhlas kan, maka kamu akan terima ini semua. Istrimu membutu
"Saya pikir Mbak Jenar akan mengatakan pada Bapak, jika tadi melakukan kontrol mingguan bersama saya karena tak ingin menganggu istirahat Anda."Mendengar penjelasan Widi, bisa apa Damar ketika ini sudah kejadian. Waktu itu juga, Damar mendengarkan penjelasan Dokter Melati tentang kondisi istrinya.Sudah rasa sakit dia rasakan tanpa hilang, Jenar harus merasakan proses induksi karena ingin persalinan normal. Ada rasa kesal, tapi Damar tidak bisa meluapkan sekarang. Fokusnya ada pada Jenar sekarang."Mbak, bisakah kau datang. Jenar mau melahirkan di usai kandungan 25 minggu, aku harap Mbak bisa datang sekarang." Tidak hanya pada Wulan, dia juga minta doa pada Ibu dan mertuanya agar semua berjalan lancar. Meski dengan resiko yang besar."Maafkan aku, Mas," tutur Jenar dengan rintihan lirih merasakan sakit."Aku tidak ingin membahasnya, kamu harus kuat, agar mereka bisa selamat begitu juga dirimu. Kamu hampir mencelakai dirimu sendiri. Sekarang lihatlah hasilnya, tapi aku tidak mau menya