5 .
Suara berisik dari luar berhasil menyedot perhatian beberapa tamu undangan. Dan seorang lelaki paruh baya memasuki ruangan dengan wajah merah padam menahan amarah."Hentikan pernikahan ini!" teriaknya dengan suara lantang.Suasana yang tadinya begitu haru berubah menjadi mengangkan. Marina dan Bayu menatap tercengang pada sosok yang baru saja berteriak dengan lantang."Ayah," lirih Marina.Bima menoleh saat mendnegar Marina berkata lirih."Ayah? Jadi Marina masih memiliki Ayah?" tanya Bima dalam hati. Dia menatap lelaki paruh baya yang kini menghampirinya juga Marina.Marina beringsut menyembunyikan diri dibalik tubuh besar Bima. Bima yang tak mengerti hanya diam saja memperhatikan. Meskipun dia merasa aneh, kenapa Marina bersembunyi dari ayahnya sendiri. Tapi dia tidak menepis saat tangan Marina memegang lengannya begitu erat dan menyembunyikan wajahnya di punggungnya."Pernikahan ini dibatalkan! Dia putriku dan aku tidak merestui pernikahan ini!" kata Riandi, Ayah Marina juga Bayu.Para tamu yang merupakan kerabat Bhaskara dan Amelia tercengan mendengar semua itu. Begitu juga para tetangga Marina yang ikut diundang. Setahu mereka, Marina dan Batu adalah yatim piatu. Kedua orang tua mereka telah tiada."Kemarikan putriku!" sambungnya dengan wajah marah.Bima menatap Riandi dengan tatapan datar. Meskipun dia belum yakin dengan apa yang terjadi. Tapi dia bisa tahu kalau Riandi bukanlah ayah yang baik.Riandi meringsek ke arah Bima dan mencekal lengan Marina yang ketakutan. "Ikut denganku sekarang juga!" katanya menarik paksa Marina."Lepaskan! Sekarang dia istriku!" Bima menyentak tangan Riandi dan kembali menyembunyikan Marina dibelakang tubuhnya."Apa yang kau lakukan Rian?" suara Bhaskara mengalihkan perhatian Riandi dari menantunya.Matanya menatap Bhaskara penuh dendam dan amarah. "Bhaskara kau!!" Riandi memekik seraya maju akan memukul Bhaskara, tapi sebelum pukulan itu mengenai Bhaskara, tangannya sudah dicekal oleh security yang bertugas."Kau sudah kalah Rian! Kau sudah tamat!" kekeh Bhaskara santai."Bajingan kau Bhas! Kau telah menipuku dan sekarang kau merebut putriku!" kata Rindu terus berteriak.Bhaskara terkekeh garing. "Putrimu? Siapa putrimu Rian? Putri mana yang kau maksud?""Marina putriku!" bentak Riandi emosi.Bhaskara terus tertawa membuat Riandi semakin meronta ingin memukul mantan sahabatnya yang sedang tertawa mengejeknya itu."Sepertinya kau lupa Rian. Marina bukan lagi putrimu. Dia kini menantuku! Anak yang kau buang belasan tahun lalu ini," Bhaskara menunjuk pada Marina yang terisak dibelakang punggjng Bima. "Anak yang kau buang ini, kini dia adalah menantuku! Dia istri putraku! Kau tak berhak atasnya," sambung Bhaskara yang kini telah berganti wajah dengan begitu bengis."Kau!" Bhaskara menunjuk pada Riandi penuh emosi. "Lelaki bajingan yang telah membuang anak dan istrimu demi kekayaan. Dan sekarang kau kembali mengakui dia putrimu? Apa kau waras Rian?!" Bhaskara meluapkan amarah.Sesaat Riandi tak berkutik. Apa yang dikatakan Bhaskara memang benar adanya. Dia menelantarkan istri dan kedua anaknya demi perempuan lain."Tapi dia tetap putriku Bhas! Dan aku akan menuntut siapa pun yang telah menikahkan putriku tanpa persetujuanku!" Riandi tak patah arang."Silahkan! Tuntut aku, karena aku yang menikahkan kakakku!" Suara Bayu terdengar membelah kegentingan diantara dua paruh baya itu.Riandi menatap tak percaya pada putra bungsunya itu. "Bayu," lirihnya dengan suara pelan. Emosinya seketika luntur saat melihat wajah Bayu."Silahkan laporkan! Saya yang bertanggung jawab menikahkan kakak saya," ulang Bayu menantang.Riandi menggeleng tak percaya. Dia melihat kembali wajah putra yang dulu sangat dia harapkan kelahirannya. Namun, setelah lahir malah dia campakkan."Kenapa? Terkejut karena saya masih hidup?" tanya Bayu dengan nada mengejek juga parau. Selama hidup dia tidak pernah tahu bagaimana wajah ayahnya.Dengan sigap Bian dan Sarah terpaksa meminta maaf dan memohon pada para tamu undangan untuk meninggalkan rumah, karena melihat kondisi yang semakin meruncing dan membahas masalah pribadi yang tidak baik didengar oleh orang luar.Riandi lemas. Dia menggeleng membantah. "Maafkan Ayah Nak," lirihnya dengan air mata. Dia teringat semua dosanya pada sang putra. Dia membuang Bayu dan Ibunya serta Marina setelah tahu kalau Bayu lahir dengan mengidap penyakit jantung bawaan dan putranya di vonis tidak bisa bertahan lama. Bukannya berjuang untuk kesembuhan sang putra, Riandi malah menelantarkannya dan terbuai dalam belaian janda kaya yang membuatnya lupa keluarga."Jangan panggil Nak! Saya bukan anak Anda. Jadi, silahkan laporkan saya Tuan Riandi yang terhormat," kata Bayu penuh penekanan.Bhaskara mengerti kesakitan dan penderitaan yang Bayu alami, dia merangkul pemuda itu dan menyuruh Bian membawanya menjauh. Dia takut emosi Bayu bisa mempengaruhi kondisi jantungnya yang tidak baik. "Menepilah Nak, biar aku yang selesaikan.""Sudah puas Rian?" tanya Bhaskara. "Sudah puas menyakiti hati putramu?"Riandi meunduk, namun beberapa saat kemudian dia kembali mendongak dan menatap Bhaskara penuh kebencian. "Kau telah memanipulasi anak-anakku Bhas! Bajingan kau!" katanya dengan kaki menendang di udara, berharap bisa menggapai Bhaskara."Siapa yang memanipulasi Rian? Siapa? Bukankah kau yang dengan tega menjadikan putri kandungmu sendiri sebagai tumbal?" Bhaskara terlihat terengah menahan amarah. Sudah lama dia ingin menghajar sahabat lamanya itu. "Kau ayah berengsek yang tega menumbalkan putrinya sendiri demi kesuksesan. Kau yang bajingan Rian!!"BughBhasara memukul Riandi dengan penuh emosi. "Ini untuk Marina yang akan kau jadikan tumbal dengan menjualnya pada pengusaha luar!"Wajah Riandi sampai menoleh ke samping saking kencangnya pukulan Bhaskara. Dia tidak dapat melawan atau membalas mantan sahabatnya itu, karena kedua tangannya di peganggi oleh security.BughSatu pukulan lagi Bhaskara layangkan membuat tubuh lemah Riandi akhirnya tersungkur di lantai. "Ini untuk Bayu, bayi kecil tak bersalah yang kau buang tanpa perasaan!"Bhaskara terengah. Dia menaiki tubuh Riandi yang sudah ambruk hanya dengan dua kali pukulan darinya. Bhaskara menatap Riandi yang terengah dibawahnya dengan tatapan marah. Dan ...BughSatu pukulan lagi dia layangkan. "Dan ini untuk Sintia yang kau hianati!"Dan saat Bhaskara akan memukul untuk kesekian kalinya, Bian datang menghentikannya. Dia meraih kelapan tangan ayahnya dan membawanya berdiri. "Sudah Pi, sudah. Dia sudah tidak berdaya."Sementara itu, Marina terisak dalam dekapan Amelia juga Sarah yang merasa iba. Dan Bima, lelaki itu menatap perbuatan Bhaskara dengan tatapan tak terbaca. Dalam benaknya dia tengah merangkai semua kejadian demi kejadian menjadi satu kesimpulan yang membuatnya mengepalkan tangan.BughTanpa di duga, Bima melayangkan sebuah pukulan pada Riandi yang sudah terkapar lemah. "Dan ini dari menantumu yang istrinya akan kau jual!"Malam sebelumnya. Marina, Bayu dan Amelia juga Bhaskara tampak duduk berunding di kamar yang ditempati Marina. "Ini adalah solusi paling baik Nak, dengan kamu menjadi istri Bima, Papi akan lebih leluasa melindungimu," ujar Bhaskara. "Bima bukan lelaki yang terlalu buruk. Dia bisa dipercaya."Amelia mengusap lembut rambut panjang Marina. Dia sangat menyayangi perempuan itu seperti pada putrinya sendiri. "Ibu yang akan menjamin kalau Bima bukan lelaki buruk. Dia hanya belum menemukan tambatan hatinya. Dan Mami yakin, kalau kamu bisa menaklukannya Nak. Menikahlah dengan Bima. Demi keselamatan kamu dan Bayu, Mami mohon." Marina menoleh dan memeluk Amelia. Dari perempuan itu dia bisa merasakan kasih sayang seorang Ibu. "Mi, aku kasihan kalau Pak Bima harus ikut terseret dalam masalahku ini," kata Marina. Dia selalu terbuka pada Amelia.Bhaskara dan Amelia menggeleng bersamaan. "Jangan pikirkan itu Nak, yang penting sekarang adalah, kamu dan Bayu harus selamat dulu. Para mafia itu sudah
Bima tengah termenung di dalam kamar nya yang telah disulap menjadi kamar pengantin. Tapi, kamar yang dihias dengan taburan bunga juga lilin indah dan aromaterapi yang menenangkan itu kini tampak sepi tanpa pengantin perempuan yang ternyata malah tidur di kamar lain. Sebuah ketukan pintu membuyarkan lamunan lelaki tampan yang baru saja berganti gelar dengan suami itu. "Bim." Setelah segala kekacauan yang terjadi, Bhaskara menemui Bima. Bhaskara baru saja pulang dari Rumah Sakit untuk mengobati Riandi yang akhirnya pingsan di tangan Bima. Bima tak menyahuti panggilan ayahnya. Dia kembali menatap kosong pada langit malam yang malam ini tampak mendung tak berbintang. "Maafkan Papi Bim," ucap Bhaskara. Lelaki paruh baya itu mendekati putra bungsunya dan ikut menatap langit. "Kalian mengorbankanku demi menyelamatkan perempuan itu," sahut Bima tanpa menoleh. "Apa sebenarnya istimewanya perempuan itu? Kenapa kalian sangat menyayanginya bahkan melebihi kasih sayang kalian padaku! Kali
8. Bima berjalan dengan gagah seperti biasanya. Pesona Dosen muda satu ini memang sangat meresahkan. Tak sedikit Mahasiswi yang menggoda dan menawarkan diri padanya. "Selamat pagi Pak." Beberapa Mahasiswa yang berpapasan dengannya menyapa. Namun hari ini berbeda. Meskipun Bima tetap gagah seperti biasanya, tapi tak ada senyum ramah yang biasa lelaki itu tampilkan. Wajah Bima tampak ditekuk dan terkesan dingin. Dia bahkan tak menjawab sapaan para Mahasiswanya, membuat mereka menerka apa yang terjadi dengan Dosen tampan dan ramah senyum itu. "Pak Bima kenapa ya? Tumben jutek," ucap salah satu Mahasiswa yang tadi menyapa Bima. "Iya, gak biasanya Pak Bima jutek. Hah gue kangen senyum tampannya," balas yang lain. Mereka terus menerka-menerka dengan apa yang terjadi pada Dosen kesayangan mereka. TokTokTokSuara ketukan pintu membuat Bima tersadar dari lamunannya. "Masuk," katanya mepersialahkan. Seraut wajah cantik dengan balutan pakaian ketat, memperlihatkan dua bulatan sintal
9.Bima terkejut, dia tidak tahu kalau Ibunya pernah tinggal di sebuah panti asuhan. Dia menoleh pada Bhaskara yang tampak mengangguk membenarkan. Bima kembali mendengarkan dengan seksama sambil memeluk bahu Ibunya. "Mereka belum memiliki anak padalah sudah lama menikah. Ibu dan Bapak sangat menyayangi Mami. Satu tahun setelah itu, akhirnya Ibu hamil. Beliau melahirkan anak perempuan yang sangat cantik dan menggemaskan namanya Sintia Karisma," jelas Amelia menerawang jauh pada masa-masa kecilnya. "Setelah kelahiran Sintia, Mami diperlakukan semakin baik, Bapak dan Ibu tak pernah membedakan Mami dengan putri kandung mereka. Kami tumbuh bersama. Dari mereka Mami merasakan apa arti keluarga sesungguhnya. Sintia adalah adik yang sangat baik juga sangat cantik." Amelia menerawang mengingat adik kecilnya, air matanya tak kuasa lagi untuk terbendung. "Adikku"Dek, kamu tahu tidak?" Sore itu, setelah pulang kuliah, Sintia langsung diseret oleh kakaknya ke dalam kamar. "Ada apa Kak?" tanya
10."Kita mau kemana?" tanya Marina saat mobil yang dikendarai Bima telah keluar dari komplek elit rumah Bhaskara. Ia tak lagi memanggil Bima dengan sebutan 'Pak', karena Dosen muda itu keberatan dan mengamuk tak jelas hanya perihal sebuah sebutan.Marina tak ambil pusing, dia hanya tinggal menghilangkan kata 'Pak' tersebut tanpa harus mengganti dengan sebutan lain, menurutnya. Seperti sekarang dia hanya bertanya tanpa menyematkan panggilan. Amelia meminta Bima menemani Marina untuk belanja dan tanpa Marina sangka, lelaki yang selalu mendeklarasikan perang terhadapnya itu mau, dan kini keduanya tengah berada dalam satu mobil bersama. "Tentu saja Mall! Aku harus merubahmu menjadi layak sebagai istriku!" jawab Bima galak seperti biasa. Marina menghembuskan napas lelah. Tidak ada kata lagi yang keluar dari mulutnya. Setiap kali berbicara dengan Bima, dia harus bersabar lebih banyak. Laki-laki bergelar suaminya itu, selalu saja berbicara galak dan ketus setiap menjawab pertanyaannya. E
Tengah malam, Bima terbangun. Lelaki tampan itu tampak mengerutkan kening tanda berpikir dalam. "Suara apa itu?" Suara isakan perempuan terdengar jelas d indera pendengarnya, hingga membuatnya terjaga. Bima mengedarkan pandangan mencari sumber suara. Tubuh ringkih Marina terlihat meringkuk di atas sofa kamarnya. Bahu perempuan itu tampak naik turun. Suara isakan itu kadang berganti dengan gumaman. "Bunda, Bunda," lirihnya terdengar. Bima melompat dari tempat tidurnya untuk menghampiri sang istri. Dahi Marina tampak basah oleh keringat, perempuan itu menggenggam selimut begitu erat, hingga buku-buku jarinya tampak memutih. "Apa dia mimpi buruk?" "Rin, Rina bangunlah. Kau hanya bermimpi." Bima mengguncang lengan Marina. Namun, perempuan itu tak bangun malah mencengkram sebelah tangan Bima begitu erat. "Bunda, maafkan Rina Bunda," lirihnya lagi semakin mengeratkan genggamannya dengan wajah gelisah. "Ck, dia malah mengigau lagi. Ah perempuan ini memang sangat menyebalkan," Bima meng
Di ruangannya Bima tampak melamun. Bayangan wajah sendu dan bibir merah jambu Marina yang semalam di cicipinya selalu terbayang. Bagaimana lembutnya bibir merah jambu itu begitu melekat di benaknya. Bima mengusap bibirnya sendiri. "Sepertinya aku sudah gila!" Dosen tampan itu mendengkus kasar. "Jangan gila Bim! Jangan sampai omongan Papi menjadi kenyataan. Tengsin dong!" Pintu ruangan Bima terbuka. Gadis cantik di baliknya memekik memanggil namanya dengan riang dan manja. "Sayang, aku rindu." Bella datang dan langsung memeluk Bima penuh rindu. Setelah kedatangan orang tua Bima ke Kampus, Bella tak bisa menghubungi kekasihnya itu. Bima menghembus napas kasar. Dia sedang tidak mood meladeni Bella. "Hmm," jawabnya datar.Merasakan perbedaan sikap dari kekasihnya, Bella menerka, sepertinya orang tua Bima benar-benar tak menyukainya dan kemungkinan meminta putra mereka menjauh darinya. "Honey, ada apa? Kamu berbeda," tanya Bella dengan bergelendot manja di lengan sang Dosen. Bima meli
Bhaskara segera mengerahkan anak buahnya untuk mencari sang menantu. Begitu mendapat kabar Bian yang mengetahui pertama kali, Bhaskara langsung pergi menemui Riandi yang masih berada di Ibu Kota. Bugh bugh bughRiadi baru saja membuka pintu apartemennya saat mendengar bunyi bel. Namun, lagi-lagi dia langsung mendapatkan pukulan bertubi dari sahabat lamanya. "Bhas?!" pekik Riandi terkejut dengan kedatangan Bhaskara yang langsung menghadiahinya pukulan. "Bangsat! Apa kau masih belum sadar Rian? Marina putrimu! Dia darah dagingmu, teganya kau!" Bhaskara masuk dan kembali mendaratkan pukulan bertubi di wajah sahabat sekaligus besannya. "Hentikan Bhas!" Riandi meringis, pukulan dari Bhaskara dan Bima tempo hari belum juga kering di wajahnya, sekarang pukulan bertubi kembali mendarat di wajahnya membuatnya semakin meringis menahan sakit. Pundak Bhaskara tampak naik turun. Dia tak bisa mengontrol emosi melihat apa yang di lakukan Riandi pada putrinya sendiri. "Kau memang pantas mati Ria