Bima tengah termenung di dalam kamar nya yang telah disulap menjadi kamar pengantin. Tapi, kamar yang dihias dengan taburan bunga juga lilin indah dan aromaterapi yang menenangkan itu kini tampak sepi tanpa pengantin perempuan yang ternyata malah tidur di kamar lain.
Sebuah ketukan pintu membuyarkan lamunan lelaki tampan yang baru saja berganti gelar dengan suami itu."Bim." Setelah segala kekacauan yang terjadi, Bhaskara menemui Bima. Bhaskara baru saja pulang dari Rumah Sakit untuk mengobati Riandi yang akhirnya pingsan di tangan Bima.Bima tak menyahuti panggilan ayahnya. Dia kembali menatap kosong pada langit malam yang malam ini tampak mendung tak berbintang."Maafkan Papi Bim," ucap Bhaskara. Lelaki paruh baya itu mendekati putra bungsunya dan ikut menatap langit."Kalian mengorbankanku demi menyelamatkan perempuan itu," sahut Bima tanpa menoleh. "Apa sebenarnya istimewanya perempuan itu? Kenapa kalian sangat menyayanginya bahkan melebihi kasih sayang kalian padaku! Kalian bahkan tega mengorbankan masa depan putra kalian sendiri, hanya untuk membela perempuan itu!!" Untuk pertama kalinya, Bima berteriak kepada ayahnya sendiri. Dia marah, kecewa juga sakit hati atas apa yang kedua orang tuanya lakukan padanya."Kalian keterlaluan!"Bhaskara menarik nafas panjang. Dia memang salah, karena tidak membahasnya lebib dulu dengan Bima. Sekarang, Bima telah berada pada puncak kemarahannya dan Bhaskara harus menerima kemarahan putra bungsunya itu."Ini demi kebaikan bersama Nak, selain untuk menolong Marina, Papi melakukan semua ini untuk kamu Nak," jelas Bhaskara bersabar.Bima menyunggingkan senyum seringai. "Untukku? Atau untuk Papi?" tanya Bima sinis."Untukmu Nak, untuk kebaikan kita semua.""Bukan! Ini semua bukan untukku!" Bima menoleh dan menatap Bhaskara dengan tatapan benci. "Tapi untuk anak selingkuhan Papi!" seru Bima. "Perempuan yang tidak jelas asal usulnya! Dia Anak yang lahir dari rahim perempuan penggoda!""Selingkuhan? Apa maksud ka--"Belum sempat Bhaskara bertanya, sebuah tamparan keras telah mendarat di pipi kanan Bima."Mami ..." Bima menatap tak percaya pada Amelia yang tiba-tiba datang dan mendaratkan sebuah tamparan di pipinya. Amelia akan menemui Bima saat mendengar Bima menghina Marina dan asal usulnya, darahnya langsung mendidih dan tanpa pikir panjang dia menampar putra bungsunya itu."Sekali lagi kamu menghina saudariku! Maka jangan salahkan kalau bukan hanya tamparan yang akan kamu dapatkan!" seru Amelia menatap Bima dengan nyalang."Saudari?!" Bima tercengang dengan kata 'Saudari' yang disematkan Ibunya pada Ibu Marina."Ya! Ibu Marina adalah Saudariku! Dia adikku! Dan demi Mami mu ini, dia rela mengorbankan dirinya." Tangis Amelia tak bisa lagi terbendung. Bhaskara lekas merangkul istrinya itu dan mendekapnya."Tia tidak bersalah! Andai harus ada yang disalahkan, maka akulah yang salah!" seru Amelia lagi.Bima masih diam mematung. Dia terhenyak dengan kenyataan yang baru saja dia dengar. Jadi Marina adalah anak dari adik Amelia, Ibunya.Merasa masalah tak akan selesai dengan kondisi sekarang yang tampak memanas. Di mana Bima marah, istrinya juga larut dalam emosi. Maka, Bhaskara memnutuskan membawa Amelia keluar dari kamar Bima. "Besok kita bicara lagi Bim," tutup Bhaskara membawa istrinya yang menangis menyalahkan dirinya sendiri.***Semua orang tengah sarapan di meja makan. Kecuali Bima yang belum turun dari kamarnya yang berada di lantai dua.Tak lama Bima tampak turun dengan setelan kemeja juga tas kerjanya. Lelaki tampan itu hanya melewati meja makan tanpa mengatakan sepatah kata pun."Dek, lo gak sarapan dulu?" tanya Bian menatap adiknya yang berjalan menuju ke luar.Bima tak menggubris pertanyaan kakaknya dan terus melangkah keluar rumah.Suasana sarapan pun terasa begitu canggung. Bhaskara dan Amelia sedari tadi hanya diam fokus dengan sarapan mereka. Padalah biasanya dua paruh baya itu sangat antusias memperlihatkan keharmonisan pernikahan mereka."Rina, kamu tidak menyiapkan bekal untuk suamimu? Istri macam apa kamu, Bima pasti belum makan dari kemarin!" Sarah menegur adik iparnya itu dengan sinis.Bian menyenggol lengan istri cantiknya. "Sayang apaan sih, masih pagi juga," katanya. Bian tak enak pada Marina yang kian menunduk setelah mendapat teguran istrinya."Habisnya, dia itu malah makan enak tanpa perhatiin suaminya," balas Sarah masih menatap judes pada Marina."Diamlah! Makan yang tenang!" Suara Bhaskara berhasil menghentikan celotehan menantu pertama keluarga Mahesa itu.Marina dan Bayu semakin merasa tak enak. Terlebih Marina, dia merasa kehadirannya membuat masalah dan perpecahan di keluarga besar Bhaskara.Sarah berdecak sebal, karena lagi-lagi Bhaskara membela Marina."Hari ini kamu di rumah saja Rin, tidak usah ke kantor. Papi juga tidak ke kantor," kata Bhaskara pada menantu barunya."Iya," jawab Marina singkat."Hari ini kamu urus kantor Bi." Bhaskara beralih pada Bian yang mengangguk.Bian, Sarah dan Bayu telah pergi memulai aktifitas mereka. Marina sendiri tengah membantu pelayan membereskan bekas sarapan dibelakang."Papi akan ke kampus Bima, Mami istirahatlah." Bhaskara mengelus lembut pucuk kepala istrinya."Jangan bersedih, Bima hanya sedang marah. Dia akan kembali menjadi putramu yang manja setelah semuanya jelas." Hibur Bhaskara. Semalaman Amelia tidak bisa tidur, karena rasa bersalahnya pada sang putra."Aku ikut Mas," kata Amelia.Bhaskara menolak, namun istrinya itu bersikeras dan jadilah keduanya bersama menemui Bima di kampus tempatnya mengajar. Dan betapa terkejutnya mereka saat memasuki ruangan putra mereka. Bima tampak tengah berciuman dengan seorang perempuan."Bima!!" Amelia berseru kencang.8. Bima berjalan dengan gagah seperti biasanya. Pesona Dosen muda satu ini memang sangat meresahkan. Tak sedikit Mahasiswi yang menggoda dan menawarkan diri padanya. "Selamat pagi Pak." Beberapa Mahasiswa yang berpapasan dengannya menyapa. Namun hari ini berbeda. Meskipun Bima tetap gagah seperti biasanya, tapi tak ada senyum ramah yang biasa lelaki itu tampilkan. Wajah Bima tampak ditekuk dan terkesan dingin. Dia bahkan tak menjawab sapaan para Mahasiswanya, membuat mereka menerka apa yang terjadi dengan Dosen tampan dan ramah senyum itu. "Pak Bima kenapa ya? Tumben jutek," ucap salah satu Mahasiswa yang tadi menyapa Bima. "Iya, gak biasanya Pak Bima jutek. Hah gue kangen senyum tampannya," balas yang lain. Mereka terus menerka-menerka dengan apa yang terjadi pada Dosen kesayangan mereka. TokTokTokSuara ketukan pintu membuat Bima tersadar dari lamunannya. "Masuk," katanya mepersialahkan. Seraut wajah cantik dengan balutan pakaian ketat, memperlihatkan dua bulatan sintal
9.Bima terkejut, dia tidak tahu kalau Ibunya pernah tinggal di sebuah panti asuhan. Dia menoleh pada Bhaskara yang tampak mengangguk membenarkan. Bima kembali mendengarkan dengan seksama sambil memeluk bahu Ibunya. "Mereka belum memiliki anak padalah sudah lama menikah. Ibu dan Bapak sangat menyayangi Mami. Satu tahun setelah itu, akhirnya Ibu hamil. Beliau melahirkan anak perempuan yang sangat cantik dan menggemaskan namanya Sintia Karisma," jelas Amelia menerawang jauh pada masa-masa kecilnya. "Setelah kelahiran Sintia, Mami diperlakukan semakin baik, Bapak dan Ibu tak pernah membedakan Mami dengan putri kandung mereka. Kami tumbuh bersama. Dari mereka Mami merasakan apa arti keluarga sesungguhnya. Sintia adalah adik yang sangat baik juga sangat cantik." Amelia menerawang mengingat adik kecilnya, air matanya tak kuasa lagi untuk terbendung. "Adikku"Dek, kamu tahu tidak?" Sore itu, setelah pulang kuliah, Sintia langsung diseret oleh kakaknya ke dalam kamar. "Ada apa Kak?" tanya
10."Kita mau kemana?" tanya Marina saat mobil yang dikendarai Bima telah keluar dari komplek elit rumah Bhaskara. Ia tak lagi memanggil Bima dengan sebutan 'Pak', karena Dosen muda itu keberatan dan mengamuk tak jelas hanya perihal sebuah sebutan.Marina tak ambil pusing, dia hanya tinggal menghilangkan kata 'Pak' tersebut tanpa harus mengganti dengan sebutan lain, menurutnya. Seperti sekarang dia hanya bertanya tanpa menyematkan panggilan. Amelia meminta Bima menemani Marina untuk belanja dan tanpa Marina sangka, lelaki yang selalu mendeklarasikan perang terhadapnya itu mau, dan kini keduanya tengah berada dalam satu mobil bersama. "Tentu saja Mall! Aku harus merubahmu menjadi layak sebagai istriku!" jawab Bima galak seperti biasa. Marina menghembuskan napas lelah. Tidak ada kata lagi yang keluar dari mulutnya. Setiap kali berbicara dengan Bima, dia harus bersabar lebih banyak. Laki-laki bergelar suaminya itu, selalu saja berbicara galak dan ketus setiap menjawab pertanyaannya. E
Tengah malam, Bima terbangun. Lelaki tampan itu tampak mengerutkan kening tanda berpikir dalam. "Suara apa itu?" Suara isakan perempuan terdengar jelas d indera pendengarnya, hingga membuatnya terjaga. Bima mengedarkan pandangan mencari sumber suara. Tubuh ringkih Marina terlihat meringkuk di atas sofa kamarnya. Bahu perempuan itu tampak naik turun. Suara isakan itu kadang berganti dengan gumaman. "Bunda, Bunda," lirihnya terdengar. Bima melompat dari tempat tidurnya untuk menghampiri sang istri. Dahi Marina tampak basah oleh keringat, perempuan itu menggenggam selimut begitu erat, hingga buku-buku jarinya tampak memutih. "Apa dia mimpi buruk?" "Rin, Rina bangunlah. Kau hanya bermimpi." Bima mengguncang lengan Marina. Namun, perempuan itu tak bangun malah mencengkram sebelah tangan Bima begitu erat. "Bunda, maafkan Rina Bunda," lirihnya lagi semakin mengeratkan genggamannya dengan wajah gelisah. "Ck, dia malah mengigau lagi. Ah perempuan ini memang sangat menyebalkan," Bima meng
Di ruangannya Bima tampak melamun. Bayangan wajah sendu dan bibir merah jambu Marina yang semalam di cicipinya selalu terbayang. Bagaimana lembutnya bibir merah jambu itu begitu melekat di benaknya. Bima mengusap bibirnya sendiri. "Sepertinya aku sudah gila!" Dosen tampan itu mendengkus kasar. "Jangan gila Bim! Jangan sampai omongan Papi menjadi kenyataan. Tengsin dong!" Pintu ruangan Bima terbuka. Gadis cantik di baliknya memekik memanggil namanya dengan riang dan manja. "Sayang, aku rindu." Bella datang dan langsung memeluk Bima penuh rindu. Setelah kedatangan orang tua Bima ke Kampus, Bella tak bisa menghubungi kekasihnya itu. Bima menghembus napas kasar. Dia sedang tidak mood meladeni Bella. "Hmm," jawabnya datar.Merasakan perbedaan sikap dari kekasihnya, Bella menerka, sepertinya orang tua Bima benar-benar tak menyukainya dan kemungkinan meminta putra mereka menjauh darinya. "Honey, ada apa? Kamu berbeda," tanya Bella dengan bergelendot manja di lengan sang Dosen. Bima meli
Bhaskara segera mengerahkan anak buahnya untuk mencari sang menantu. Begitu mendapat kabar Bian yang mengetahui pertama kali, Bhaskara langsung pergi menemui Riandi yang masih berada di Ibu Kota. Bugh bugh bughRiadi baru saja membuka pintu apartemennya saat mendengar bunyi bel. Namun, lagi-lagi dia langsung mendapatkan pukulan bertubi dari sahabat lamanya. "Bhas?!" pekik Riandi terkejut dengan kedatangan Bhaskara yang langsung menghadiahinya pukulan. "Bangsat! Apa kau masih belum sadar Rian? Marina putrimu! Dia darah dagingmu, teganya kau!" Bhaskara masuk dan kembali mendaratkan pukulan bertubi di wajah sahabat sekaligus besannya. "Hentikan Bhas!" Riandi meringis, pukulan dari Bhaskara dan Bima tempo hari belum juga kering di wajahnya, sekarang pukulan bertubi kembali mendarat di wajahnya membuatnya semakin meringis menahan sakit. Pundak Bhaskara tampak naik turun. Dia tak bisa mengontrol emosi melihat apa yang di lakukan Riandi pada putrinya sendiri. "Kau memang pantas mati Ria
Rombongan Bima dan Bian telah sampai di sebuah pelabuhan di mana biasanya para mafia itu bertransaksi. Pelabuhan yang memang telah lama tidak terpakai. Mereka berpencar untuk memeriksa sekitar. Namun sayang, mereka tidak berhasil menemukan apa pun. Bahkan jejak para mafia itu tidak terlihat. Pelabuhan itu tampak sepi, mereka bahkan tak menemukan satu orang pun manusia di sana. "Sialan! Kemana mereka membawa istriku!" Bima berseru kesal. Ia menendang kerikil di depannya. Dosen muda itu tampak sangat mengkhawatirkan istrinya juga geram dalam waktu bersamaan. Dua tempat yang di datangnya tak membuahkan hasil. Marina belum ditemukan. "Dimana kau Rina!!" Melihat bagaimana khawatirnya Bima, para anak buah hanya bisa diam dan ikut merasa prihatin pada nasib bos mereka. Baru kemarin menikah, istrinya sudah di culik orang. Sungguh kasihan. Dibelakang Bima, Bian rupanya diam-diam merekam aksi marah-marah adiknya. Lelaki matang itu mengulum senyum melihat hasil rekamannya. Bisa-bisanya si B
15.Marina menatap ombak yang berdebur di laut sana. Bintang di langit pun tampak bertebaran m indah menambah keramaian malam ini. Suasana malam begitu syahdu dan indah itu membuat Marina merenung sedemikian dalam."Inikah waktunya? Haruskah akhirnya aku menyerah Bunda?" Bayangan Sintia melambai di peluku mata. Cairan bening yang tertahan sejak tadi kini akhirnya meleleh, tumpah ruah membasahi pipi cantik berlesung."Ayah, takdir inikah yang kau inginkan terjadi padaku? Apa benar aku anakmu?" Buliran air bening itu semakin deras mengalir mengingat bagaimana dulu Riandi membuangnya dan juga Ibunya. "Bayu ... Bay, maafkan kakak." Bayangan Bayu menari indah di pelupuk mata. Andai dia pergi apa yang akan terjadi dengan adiknya itu? Marina tergugu menatap lautan juga bintang yang menghiasi malam.Bayangan Bhaskara dan Amelia pun membayang di langit malam. Bagaimana dulu kedua paruh baya itu datang merangkul dan menyelamatkannya dari kesengsaraan. Mereka memberikan kasih sayang keluarga y