Malam sebelumnya.
Marina, Bayu dan Amelia juga Bhaskara tampak duduk berunding di kamar yang ditempati Marina."Ini adalah solusi paling baik Nak, dengan kamu menjadi istri Bima, Papi akan lebih leluasa melindungimu," ujar Bhaskara. "Bima bukan lelaki yang terlalu buruk. Dia bisa dipercaya."Amelia mengusap lembut rambut panjang Marina. Dia sangat menyayangi perempuan itu seperti pada putrinya sendiri. "Ibu yang akan menjamin kalau Bima bukan lelaki buruk. Dia hanya belum menemukan tambatan hatinya. Dan Mami yakin, kalau kamu bisa menaklukannya Nak. Menikahlah dengan Bima. Demi keselamatan kamu dan Bayu, Mami mohon." Marina menoleh dan memeluk Amelia. Dari perempuan itu dia bisa merasakan kasih sayang seorang Ibu. "Mi, aku kasihan kalau Pak Bima harus ikut terseret dalam masalahku ini," kata Marina. Dia selalu terbuka pada Amelia.Bhaskara dan Amelia menggeleng bersamaan. "Jangan pikirkan itu Nak, yang penting sekarang adalah, kamu dan Bayu harus selamat dulu. Para mafia itu sudah semakin berani," balas Bhaskara.Marina dan Bayu tampak saling berpandangan. Mereka bahkan menerima berbagai teror dari anak buah mafia yang akan membawa Marina sebagai jaminan atas pinjaman yang akan dilakukan Ayahnya, Riandi.Bayu tampak mengangguk pada kakaknya. Dia memberi dukungan dengan meremat tangan kakaknya erat."Ini berbahaya Nak, sebentar lagi mereka akan membawamu, tapi kalau kamu menikah dengan Bima, kamu memliki kekuatan besar dan kamu akan terbebas, karena sudah bukan menjadi tanggung jawab ayahmu melainkan suamimu," jelas Bhaskara.Perempuan berkacamata itu tampak menarik napas panjang. Kehidupannya beberapa bulan Ini dipenuhi dengan kengerian. Bagaimana tidak, dia dan Bayu sering kali mendapat teror dan beberapa kali hendak diculik oleh sekelompok preman yang ternyata anak buah mafia luar negeri yang sering memperdagangkan manusia.Bhaskara yang mengetahui itu langsung mengusutnya dan ternyata, semua itu disebabkan oleh Riandi, Ayah Marina yang dengan sadar menjual anak gadisnya untuk dilelang di pasar gelap demi menyelamatkan usahanya yang berada di ujung tanduk. Kesepakatan mereka akan dimulai saat usaha Riandi telah benar-benar kembali berjaya. Dan sebelum itu terjadi, Bhaskara akan menghentikan Marina sebagai alat jual beli tersebut.Dia dan Amelia sepakat untuk menikahkan putra bungsu mereka dengan Marina. Yang mana kalau Marina telah menikah maka, perwalian perempuan tersebut telah berpindah pada suaminya. Dan Riandi kehilangan hak untuk menjadikan Marina sebagai alat jual belinya. Satu demi menyelamatkan perempuan yang sudah mereka anggap anak. Dua, demi putra mereka yang semakin hari semakin merajalela kanakalannya."Kalau kamu tidak mau kami bantu, setidaknya bantulah dua renta ini untuk meluruskan putra kamu yang susah dewasa itu." Bhaskara dan Amelia tampak mengiba.Marina tak kuasa menahan tangis haru melihat bagaimana kedua orang tua penggantinya begitu tulus menyayanginya. Demi dirinya, bahkan mereka rela mengorbankan putra mereka.Perempuan berkacamata itu akhirnya mengangguk menyetujui. "Terimakasih Pi, Mi. Aku ... aku tidak tahu harus dengan apa membalas semua kebaikan kalian," isaknya menunduk.Bhaskara dan Amelia tersenyum senang, karena akhirnya Marina menyetujui rencana mereka. Amelia kembali memeluk Marina.Melihat semua itu, Bayu pun tak kuasa menahan tangis. Dia sangat bahagia, karena Kakaknya dipertemukan dengan Bhaskara dan Amelia yang sudi menerima juga membantu mereka dari dulu.Tanpa mereka sadari, seseorang menguping di balik pintu. Bima, lelaki itu tak sengaja menguping saat mendengar suara Bhaskara. Dia mengepalkan tangan kuat mengetahui dirinya hanya di jadikan tumbal untuk menyelamatkan perempuan yang selama ini dibencinya. Kebenciannya pada Marina semakin menjadi, tanpa dia tahu apa yang sebenarnya terjadi."Sialan! Demi menyelamatkan perempuan kampungan itu, mereka bahkan mengorbankanku," gumamnya mengumpat. "Kau tak akan hidup dengan tenang Marina!"Bima tengah termenung di dalam kamar nya yang telah disulap menjadi kamar pengantin. Tapi, kamar yang dihias dengan taburan bunga juga lilin indah dan aromaterapi yang menenangkan itu kini tampak sepi tanpa pengantin perempuan yang ternyata malah tidur di kamar lain. Sebuah ketukan pintu membuyarkan lamunan lelaki tampan yang baru saja berganti gelar dengan suami itu. "Bim." Setelah segala kekacauan yang terjadi, Bhaskara menemui Bima. Bhaskara baru saja pulang dari Rumah Sakit untuk mengobati Riandi yang akhirnya pingsan di tangan Bima. Bima tak menyahuti panggilan ayahnya. Dia kembali menatap kosong pada langit malam yang malam ini tampak mendung tak berbintang. "Maafkan Papi Bim," ucap Bhaskara. Lelaki paruh baya itu mendekati putra bungsunya dan ikut menatap langit. "Kalian mengorbankanku demi menyelamatkan perempuan itu," sahut Bima tanpa menoleh. "Apa sebenarnya istimewanya perempuan itu? Kenapa kalian sangat menyayanginya bahkan melebihi kasih sayang kalian padaku! Kali
8. Bima berjalan dengan gagah seperti biasanya. Pesona Dosen muda satu ini memang sangat meresahkan. Tak sedikit Mahasiswi yang menggoda dan menawarkan diri padanya. "Selamat pagi Pak." Beberapa Mahasiswa yang berpapasan dengannya menyapa. Namun hari ini berbeda. Meskipun Bima tetap gagah seperti biasanya, tapi tak ada senyum ramah yang biasa lelaki itu tampilkan. Wajah Bima tampak ditekuk dan terkesan dingin. Dia bahkan tak menjawab sapaan para Mahasiswanya, membuat mereka menerka apa yang terjadi dengan Dosen tampan dan ramah senyum itu. "Pak Bima kenapa ya? Tumben jutek," ucap salah satu Mahasiswa yang tadi menyapa Bima. "Iya, gak biasanya Pak Bima jutek. Hah gue kangen senyum tampannya," balas yang lain. Mereka terus menerka-menerka dengan apa yang terjadi pada Dosen kesayangan mereka. TokTokTokSuara ketukan pintu membuat Bima tersadar dari lamunannya. "Masuk," katanya mepersialahkan. Seraut wajah cantik dengan balutan pakaian ketat, memperlihatkan dua bulatan sintal
9.Bima terkejut, dia tidak tahu kalau Ibunya pernah tinggal di sebuah panti asuhan. Dia menoleh pada Bhaskara yang tampak mengangguk membenarkan. Bima kembali mendengarkan dengan seksama sambil memeluk bahu Ibunya. "Mereka belum memiliki anak padalah sudah lama menikah. Ibu dan Bapak sangat menyayangi Mami. Satu tahun setelah itu, akhirnya Ibu hamil. Beliau melahirkan anak perempuan yang sangat cantik dan menggemaskan namanya Sintia Karisma," jelas Amelia menerawang jauh pada masa-masa kecilnya. "Setelah kelahiran Sintia, Mami diperlakukan semakin baik, Bapak dan Ibu tak pernah membedakan Mami dengan putri kandung mereka. Kami tumbuh bersama. Dari mereka Mami merasakan apa arti keluarga sesungguhnya. Sintia adalah adik yang sangat baik juga sangat cantik." Amelia menerawang mengingat adik kecilnya, air matanya tak kuasa lagi untuk terbendung. "Adikku"Dek, kamu tahu tidak?" Sore itu, setelah pulang kuliah, Sintia langsung diseret oleh kakaknya ke dalam kamar. "Ada apa Kak?" tanya
10."Kita mau kemana?" tanya Marina saat mobil yang dikendarai Bima telah keluar dari komplek elit rumah Bhaskara. Ia tak lagi memanggil Bima dengan sebutan 'Pak', karena Dosen muda itu keberatan dan mengamuk tak jelas hanya perihal sebuah sebutan.Marina tak ambil pusing, dia hanya tinggal menghilangkan kata 'Pak' tersebut tanpa harus mengganti dengan sebutan lain, menurutnya. Seperti sekarang dia hanya bertanya tanpa menyematkan panggilan. Amelia meminta Bima menemani Marina untuk belanja dan tanpa Marina sangka, lelaki yang selalu mendeklarasikan perang terhadapnya itu mau, dan kini keduanya tengah berada dalam satu mobil bersama. "Tentu saja Mall! Aku harus merubahmu menjadi layak sebagai istriku!" jawab Bima galak seperti biasa. Marina menghembuskan napas lelah. Tidak ada kata lagi yang keluar dari mulutnya. Setiap kali berbicara dengan Bima, dia harus bersabar lebih banyak. Laki-laki bergelar suaminya itu, selalu saja berbicara galak dan ketus setiap menjawab pertanyaannya. E
Tengah malam, Bima terbangun. Lelaki tampan itu tampak mengerutkan kening tanda berpikir dalam. "Suara apa itu?" Suara isakan perempuan terdengar jelas d indera pendengarnya, hingga membuatnya terjaga. Bima mengedarkan pandangan mencari sumber suara. Tubuh ringkih Marina terlihat meringkuk di atas sofa kamarnya. Bahu perempuan itu tampak naik turun. Suara isakan itu kadang berganti dengan gumaman. "Bunda, Bunda," lirihnya terdengar. Bima melompat dari tempat tidurnya untuk menghampiri sang istri. Dahi Marina tampak basah oleh keringat, perempuan itu menggenggam selimut begitu erat, hingga buku-buku jarinya tampak memutih. "Apa dia mimpi buruk?" "Rin, Rina bangunlah. Kau hanya bermimpi." Bima mengguncang lengan Marina. Namun, perempuan itu tak bangun malah mencengkram sebelah tangan Bima begitu erat. "Bunda, maafkan Rina Bunda," lirihnya lagi semakin mengeratkan genggamannya dengan wajah gelisah. "Ck, dia malah mengigau lagi. Ah perempuan ini memang sangat menyebalkan," Bima meng
Di ruangannya Bima tampak melamun. Bayangan wajah sendu dan bibir merah jambu Marina yang semalam di cicipinya selalu terbayang. Bagaimana lembutnya bibir merah jambu itu begitu melekat di benaknya. Bima mengusap bibirnya sendiri. "Sepertinya aku sudah gila!" Dosen tampan itu mendengkus kasar. "Jangan gila Bim! Jangan sampai omongan Papi menjadi kenyataan. Tengsin dong!" Pintu ruangan Bima terbuka. Gadis cantik di baliknya memekik memanggil namanya dengan riang dan manja. "Sayang, aku rindu." Bella datang dan langsung memeluk Bima penuh rindu. Setelah kedatangan orang tua Bima ke Kampus, Bella tak bisa menghubungi kekasihnya itu. Bima menghembus napas kasar. Dia sedang tidak mood meladeni Bella. "Hmm," jawabnya datar.Merasakan perbedaan sikap dari kekasihnya, Bella menerka, sepertinya orang tua Bima benar-benar tak menyukainya dan kemungkinan meminta putra mereka menjauh darinya. "Honey, ada apa? Kamu berbeda," tanya Bella dengan bergelendot manja di lengan sang Dosen. Bima meli
Bhaskara segera mengerahkan anak buahnya untuk mencari sang menantu. Begitu mendapat kabar Bian yang mengetahui pertama kali, Bhaskara langsung pergi menemui Riandi yang masih berada di Ibu Kota. Bugh bugh bughRiadi baru saja membuka pintu apartemennya saat mendengar bunyi bel. Namun, lagi-lagi dia langsung mendapatkan pukulan bertubi dari sahabat lamanya. "Bhas?!" pekik Riandi terkejut dengan kedatangan Bhaskara yang langsung menghadiahinya pukulan. "Bangsat! Apa kau masih belum sadar Rian? Marina putrimu! Dia darah dagingmu, teganya kau!" Bhaskara masuk dan kembali mendaratkan pukulan bertubi di wajah sahabat sekaligus besannya. "Hentikan Bhas!" Riandi meringis, pukulan dari Bhaskara dan Bima tempo hari belum juga kering di wajahnya, sekarang pukulan bertubi kembali mendarat di wajahnya membuatnya semakin meringis menahan sakit. Pundak Bhaskara tampak naik turun. Dia tak bisa mengontrol emosi melihat apa yang di lakukan Riandi pada putrinya sendiri. "Kau memang pantas mati Ria
Rombongan Bima dan Bian telah sampai di sebuah pelabuhan di mana biasanya para mafia itu bertransaksi. Pelabuhan yang memang telah lama tidak terpakai. Mereka berpencar untuk memeriksa sekitar. Namun sayang, mereka tidak berhasil menemukan apa pun. Bahkan jejak para mafia itu tidak terlihat. Pelabuhan itu tampak sepi, mereka bahkan tak menemukan satu orang pun manusia di sana. "Sialan! Kemana mereka membawa istriku!" Bima berseru kesal. Ia menendang kerikil di depannya. Dosen muda itu tampak sangat mengkhawatirkan istrinya juga geram dalam waktu bersamaan. Dua tempat yang di datangnya tak membuahkan hasil. Marina belum ditemukan. "Dimana kau Rina!!" Melihat bagaimana khawatirnya Bima, para anak buah hanya bisa diam dan ikut merasa prihatin pada nasib bos mereka. Baru kemarin menikah, istrinya sudah di culik orang. Sungguh kasihan. Dibelakang Bima, Bian rupanya diam-diam merekam aksi marah-marah adiknya. Lelaki matang itu mengulum senyum melihat hasil rekamannya. Bisa-bisanya si B