Share

Tujuh

"Siapa lagi yang datang malam-malam begini?" gumam Amel sambil melangkah kearah pintu.

Saat membuka pintu Amel terkejut dengan kedatangan Dayva sekali lagi.

"Ada apa lagi?" tanya Amel

"Ini..." tunjuk Dayva kearah tangan yang membawa bungkusan makan.

Dayva menerobos masuk kedalam, kemudian meletakan makannya diatas meja. Amel mengikuti arah Dayva meletakan makannya. Awalnya Amel cuma melirik makananya kemudian Dayva membuka makan tersebut yang membuat perut Amel bertambah lapar dan menelan ludahnya. Dayva melihat kelakuan amel menyuruh untuk segera makan.

"Ayo dimakan! aku tau kau lapar," tawarkan makanan.

"Aku tidak lapar kok," ucap Amel mencoba untuk mengelak.

"Kau itu selalu saja menutupi, sudah jelas-jelas perut mu lapar, lihat dari tadi kau memegang perut mu,"

Amel yang mendengar ucapan Dayva terdiam. Hingga terdengar suara cacing  dalam perutnya bernyanyi.

"Aku sudah mendengar cacing dalam perutmu sudah berbunyi, cepatlah makan atau mau aku suapin?" goda Dayva

"..." Amel yang mendengar ucapan Dayva membulatkan matanya dan dengan cepat mengambil makan dari Dayva. Meskipun dia juga harus menahan rasa malu akibat suara dari perutnya.

Merasa senang karena telah menggoda Amel, dalam hati Dayva tersenyum tiada henti.

"Kenapa kau kembali?" tanya Amel.

"Aku hanya mengantarkan makan, karena makan mu aku makan," ucap Dayva.

".." lirik Amel.

"Jika kau lapar bilang saja pada ku, aku akan mengantar makan untuk mu,"

"Kenapa? aku bisa membeli di online, tanpa harus menyusahkan mu,"

"Karena Aku tidak suka ada orang datang kesini, meskipun itu hanya pengantar makan,"

"Uhuk.. uhukk.." Amel tersedak karena mendengar ucapan Dayva.

"Kalau makan pelan-pelan," ucap Dayva dengan membawa air minum untuk Amel.

Amel mengambil air minum dari tangan Dayva dan meneguknya hingga habis.

"Aku sudah gak pa-pa, kau pulang saja," usir Amel.

"Aku pergi setelah kau makan,"

Setelah makanan Amel habis, Dayva tidak benar-benar pergi dari apartemen Amel.

"Katanya bakalan pulang setelah aku makan, eh.. kok masih ada disini," cibir Amel.

"Tak usah mencibir disitu, aku dengar yang kau katakan," jawab Dayva melangkah menuju sofa.

Dia malahan bersandar di sofa, tangannya sibuk memencet chanel TV, mengganti chanel TV tanpa niat untuk menonton. Pikirannya semula menerawang jauh tiba-tiba dia teringat tujuannya datang ke tempat Amel.

Dayva mengeluarkan map berwarna merah dari dalam tasnya.

"Mel, duduk disebelah sini," ajak Dayva.

"Ada apa? aku akan kesana, tapi setelah itu kau harus keluar dari sini. Gimana?" tawar Amel.

"Aku akan pergi setelah kau menandatangani perjanjian ini," jawab Dayva, tangannya memperlihatkan sebuah map berwarna merah kearah Amel.

"Perjanjian? Perjanjian Apa?" tanya Amel, sambil langkah kakinya mendekati Dayva, sedangkan tangannya meraih map merah tersebut.

"Baca saja dan cepat tanda tangani,"

Amel membuka map tersebut, dengan wajah terkejut dan mulut yang sedikit terbuka, dia mulai membacakan isinya,

"Tidak boleh menghindari mu. Aku harus memasak. Membersihkan apartemen mu. Kau bebas tinggal di  apartemen ku. Memiliki kunci apartemen ku. Jika kau membutuhkan aku harus datang. Tidak boleh menolak keinginan mu. Harus menemani saat ada pekerjaan luar kota. Tidak boleh dekat dengan lelaki manapun. Berpura-pura menjadi pacar mu. Jika aku melanggar perjanjian maka akan membayar denda satu miliar. Perjanjian macam apa ini? tidak ada yang menguntungkan ku. Kau gila benar-benar gila?"

"Mungkin aku gila setelah kau pukul kepala ku, cepat tanda tangani saja!"

"Akan aku tanda tangani tapi perjanjian ini hanya berlaku tiga bulan," tawar Amel

"Terlalu sebentar, enam bulan. Setuju?"

"..." Amel terdiam tak ada jawaban.

"Diam mu aku anggap setuju," menarik ibu jari tangan Amel meletakkan pada stempel dan menekan ibu jarinya pada selembar kertas perjanjian tersebut.

"Ini namanya pemaksaan," ucap Amel, mencoba merebut kertas yang sudah berada di tangan Dayva.

Dayva yang menegakkan tangan kanannya keatas membuat Amel harus melompat untuk mendapatkan kertas itu. Tapi, langkah kaki Dayva yang berjalan mundur membuat Amel kehilangan keseimbangannya hingga dia jatuh menimpah tubuh Dayva.

"Kalau ingin ku peluk bilang saja, tak usah melompat seperti itu," goda Dayva, dia mengambil kesempatan dengan melingkarkan tangannya pada pinggang Amel.

"Lepaskan," protes Amel, berusaha melepaskan pelukan Dayva.

"Akan aku lepaskan dan perjanjiannya berlaku mulai hari ini," jelas Dayva sambil melepaskan pelukannya.

"Pergi sekarang!" usir Amel, badannya sudah berdiri dari Dayva. Untuk menghilangkan rasa malunya dia membalikkan tubuhnya membelakangi Dayva.

"Tubuh kau sangat pas di pelukan ku, membuat ku ingin selalu memeluknya," bisik Dayva tepat di telinga Amel. Hal itu membuat kedua pipinya terlihat berwarna merah jambu. Takut dan malu yang dia rasakan saat ini.

****

Dering ponsel Amel berbunyi membangunkanya dari bunga tidur di raihnya ponsel di atas lemari kecil, melihat nama penelepon yang tertera di layar ponselnya membuat Amel meletakkan kembali ponsel tersebut, malahan dia mengubah dering ponsel menjadi tidak bersuara dan tidak bergetar. Namun, bukan hanya sekali orang itu menelepon, sudah sekitar sepuluh kali. Siapa lagi orang itu kalau bukan Dayva Alfaro. Hingga sebuah pesan W******p masuk

'Teruslah dalam mimpi indah mu dan tidak usah menjawab telepon ku, jika kau tidak datang sekarang, maka denda satu miliar akan segera datang kepada mu'

Amel tidak membuka pesan W******p itu, dia hanya membaca notifikasi dari layar ponselnya dengan segera dia bangkit dan membersihkan diri di kamar mandi. Amel keluar dari kamar mandi lalu melihat kembali ponselnya. Terlihat lima belas panggilan tak terjawab dari orang yang sama.

"Apa tangan dia tidak lelah menelepon terus?" gumam Amel. Dia kembali meletakkan ponsel dan mengabaikan Dayva.

Tirai jendela yang semula dia buka kemudian dia tutup kembali, mematikan semua lampu apartemennya, sehingga orang akan mengira dia tak berada di dalam apartemennya.

Awalnya Amel berfikir akan mengangkat telepon dan mendatangi tempat Dayva. Tapi, niatnya itu dia di urungkan karena mengingat kejadian tadi malam saat dengan sengaja Dayva memeluk pinggangnya. Itu memang kesalahan dia juga. Namun, saat ini Amel terlalu takut dan malu  menghadapi Dayva. Amel tidak mengetahui apa yang buat dia malu bertemu dengan Dayva. Sedangkan bayangan masa lalu masih sering menghantui ingatan Amel membuat dia takut berhadapan dengan Dayva.

Amel membawa laptop dan juga beberapa makanan ringan di atas tempat tidur. Mencari posisi yang nyaman untuk dia duduk. Lalu dia mulai menyalahkan laptopnya, memberikan sedikit cahaya dari gelapnya kamar tidur itu. Menghindari rasa sepi di ruangan itu jemari tangannya mulai menari di atas tumpukan huruf, mengetik ribuan kata di benda persegi.

Bel apartemen miliknya berbunyi, dia tak bergerak dari tempat duduknya, tetap nyaman di depan laptop, sambil sesekali mengunyah makanan di sampingnya. Meskipun orang itu memanggil namanya beberapa kali tetap saja dia tak berniat menghiraukan, dari suaranya Amel sangat tau dia orang yang sama menelepon beberapa kali di ponselnya. Dayva. dia mulai jenuh menanggapi si tuan pemaksa. Mungkin itu sebutan yang pantas untuk Dayva pikir Amel.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status