LOGINMalam Jumat datang dengan suasana yang menekan. Langit kelabu menggantung di atas atap warung, dan angin berembus membawa aroma anyir darah yang samar. Di kejauhan, anjing-anjing menggonggong tanpa henti, seolah tahu ada sesuatu yang tidak wajar akan terjadi malam itu.
Sejak sore, Diah merasa dadanya sesak. Setiap kali ia memandang kain merah yang digantung di belakang warung, tubuhnya bergetar tanpa sebab. Luka di kakinya yang terbentuk semalam masih terasa panas, seperti bara yang tak mau padam. Setiap denyutnya, ia mendengar suara lirih memanggil—“Diah… waktunya sudah dekat…” Bu Rini tampak sibuk mempersiapkan sesuatu di dapur. Ia memanaskan air dalam panci besar, menyiapkan bunga tujuh rupa, dan menyalakan dupa yang asapnya memenuhi ruangan dengan aroma menyengat. Diah memperhatikan semua itu dari jauh, sembari menahan napas. “Bu,” panggilnya pelan, “Ibu mau ngapain malam ini?” Bu Rini menoleh tanpa senyum. “Kamu tahu hari ini malam apa?” “Malam Jumat.” “Benar.” Ia mengangguk. “Malam ini, penglaris harus diberi makan. Kalau tidak, besok pagi warung ini akan sepi dan rezeki kita tertutup.” Diah terdiam. Kata “diberi makan” menggema di kepalanya seperti mantra jahat. “Makan… darah lagi, Bu?” tanyanya hati-hati. Bu Rini menatapnya dengan dingin. “Itu cara satu-satunya agar dia tetap tenang. Kamu akan mengerti nanti.” Diah ingin menolak, tapi ketakutan membuat lidahnya kelu. Ia tahu, jika melawan, Bu Rini bisa menjadi seseorang yang sama sekali berbeda—dingin, kuat, dan menyeramkan. Menjelang tengah malam, Bu Rini mengetuk pintu kamar Diah. “Bersiaplah. Waktunya.” Nada suaranya datar, tapi tidak bisa ditolak. Diah keluar dengan langkah berat. Di dapur belakang, meja altar sudah disiapkan. Di atasnya terbentang kain merah besar yang terlihat baru saja dicuci, tapi di beberapa bagian masih tampak noda hitam yang tak bisa hilang. Di sekelilingnya ada mangkuk kecil berisi darah ayam, bunga, dan dupa yang masih menyala. “Duduk,” perintah Bu Rini. Diah menuruti, meski tangannya gemetar. Ia duduk bersila di lantai, berhadapan langsung dengan kain merah itu. Udara terasa berat, dingin, tapi sekaligus panas di dada. Bu Rini mengambil sebilah pisau kecil dari meja. Kilatan logamnya memantul di cahaya lilin. “Ini hanya sebentar,” katanya lirih. “Sedikit darahmu saja. Supaya dia tahu kamu bukan musuh.” Diah mundur satu langkah. “Tidak, Bu. Saya nggak mau—” Tapi Bu Rini memegang lengannya kuat-kuat. “Tenang. Kalau kamu melawan, dia akan datang sendiri menjemputmu. Kau mau itu terjadi?” Diah terdiam. Nafasnya tersengal. Akhirnya, dengan pasrah, ia mengulurkan tangannya. Pisau itu digoreskan perlahan di ujung jarinya. Sakitnya tajam tapi singkat. Darah segar menetes ke kain merah di depannya. Begitu tetesan pertama jatuh, udara di ruangan berubah drastis. Dupa padam sendiri. Lilin bergetar, lalu api membesar tanpa sebab. Kain merah itu berdenyut seperti daging hidup. Dari lipatan kain terdengar suara bisikan rendah, kemudian jeritan halus seperti seseorang menahan sakit. Diah menjerit, mencoba menarik tangannya, tapi kain itu menempel di ujung jarinya. Darahnya terserap cepat ke dalam serat kain, membuat warnanya semakin pekat. “Sudah cukup, Bu! Lepasin!” Bu Rini menatapnya tajam. “Diam! Dia belum puas!” Kain itu bergerak sendiri, merayap ke pergelangan tangan Diah, seperti memiliki nyawa. Diah menendang, berusaha melepaskan diri, tapi Bu Rini memegang bahunya lebih kuat. Wajahnya tampak kerasukan; matanya membulat dan bibirnya bergetar melafalkan mantra. Suara bisikan berubah menjadi tangisan—pelan, tapi memilukan. Dari tengah kain, muncul noda hitam yang makin lama makin besar, hingga membentuk wajah samar seorang perempuan. Rambut panjangnya menutupi separuh muka, tapi Diah mengenali mata itu—mata kosong yang pernah ia lihat di cermin. Perempuan dalam kain itu membuka mulutnya pelan. Suaranya menggema, lembut namun menakutkan. “Kau sudah kuberi tanda, Diah…” “Sekarang… beri aku lebih banyak darah…” Kain itu melilit lebih erat di tangan Diah, hingga ia berteriak kesakitan. Bu Rini berusaha menahannya tetap duduk sambil terus membaca mantra, tapi api lilin tiba-tiba meledak kecil dan ruangan dipenuhi asap tebal. Diah menendang altar, membuat toples darah terguling. Cairan merah tumpah ke lantai dan mengalir ke arah kain. Seketika kain itu terdiam, seperti minum dengan rakus. Bu Rini menarik napas panjang, lalu berlutut. “Sudah cukup… sudah…” gumamnya sambil menunduk. Ketika asap menipis, Diah melihat tangannya penuh goresan kecil dan lebam. Luka di jarinya tak berhenti berdarah, tapi rasa sakitnya justru berkurang, digantikan oleh rasa hangat aneh yang menjalar ke seluruh tubuhnya. “Kenapa… kenapa saya merasa aneh, Bu?” suaranya lemah. Bu Rini menatapnya dengan tatapan kosong. “Itu tandanya dia menerima darahmu. Mulai sekarang, kamu bukan cuma pembantu di sini.” Diah menatapnya bingung. “Maksud Ibu?” “Mulai malam ini, kamu adalah bagian dari perjanjianku dengan kain itu. Kau penggantiku, Diah.” Jantung Diah serasa berhenti berdetak. “Apa?!” Bu Rini menatapnya lelah, suaranya lirih seperti orang yang pasrah. “Aku sudah terlalu tua. Dia butuh yang muda… yang darahnya masih segar…” Diah berusaha berdiri, tapi lututnya lemas. Kain merah itu kini menggantung tenang di altar, tak lagi bergerak, tapi di tengahnya muncul bentuk samar wajah perempuan yang tersenyum. Senyum yang sama seperti yang menghantui mimpinya setiap malam. Di luar, hujan turun tanpa suara. Dalam keheningan itu, Diah sadar—ritual malam ini bukan akhir dari ketakutannya. Justru baru awal dari sesuatu yang jauh lebih kelam. Sejak ritual malam itu, Diah merasa bukan dirinya lagi. Tubuhnya memang masih sama, tapi pikirannya… terasa asing. Seolah ada sesuatu yang tinggal di dalam dirinya, bernafas bersamanya, menatap lewat matanya, dan kadang berbicara lewat pikirannya. Pagi itu, saat ia menatap wajahnya di cermin, matanya tampak berbeda. Ada semburat merah samar di sekitar irisnya, dan ketika ia berkedip, sekilas bayangan perempuan berambut panjang muncul di pantulan kaca. Diah memejamkan mata erat-erat. “Ini cuma pengaruh kurang tidur… cuma mimpi buruk…” gumamnya, meyakinkan diri. Namun ketika ia membuka mata lagi, sesuatu menetes dari ujung hidungnya—darah. Setetes, dua tetes, jatuh ke wastafel, lalu menghilang seperti diserap oleh udara. Ia menatap kosong, napasnya berat. Dalam kepalanya, suara itu kembali terdengar, pelan tapi jelas. “Aku haus, Diah…” “Berilah aku lagi… darahmu manis…” Diah terlonjak, memegang kepala. “Pergi! Jangan ganggu aku!” Tapi suara itu malah tertawa kecil. “Kau sudah jadi bagianku. Tak bisa lari.” Sejak itu, hari-hari Diah dipenuhi gangguan aneh. Kadang, saat ia sedang melayani pelanggan, tangan kirinya bergerak sendiri—menyentuh piring panas tanpa rasa sakit, atau memegang pisau terlalu lama. Kadang ia merasa bahunya berat, seperti ada seseorang berdiri tepat di belakangnya, menempelkan dagu di pundaknya. “Diah!” seru Bu Rini suatu pagi, memergokinya melamun di depan wajan yang hampir gosong. “Kamu kenapa? Sejak malam itu, wajah kamu pucat terus.” Diah hanya diam, menunduk. “Kalau kamu mulai dengar suara-suara, abaikan saja,” kata Bu Rini datar. “Itu tanda dia mulai menyesuaikan diri denganmu.” “Menyesuaikan diri?” Diah menatapnya heran. “Ya. Dia harus mengenal darah barunya. Sebentar lagi, dia akan benar-benar menyatu denganmu. Kalau itu terjadi, warung ini akan jauh lebih ramai dari sebelumnya.” Diah menelan ludah. Kata-kata itu terasa seperti hukuman, bukan anugerah. Ia tahu, Bu Rini tidak lagi bicara tentang “rezeki”. Ia bicara tentang penyerahan jiwa. Malamnya, Diah tak bisa tidur. Suara-suara dari arah dapur semakin jelas. Ada langkah kaki, ada tawa kecil perempuan, dan suara kain yang diseret di lantai. Bau amis darah memenuhi udara, membuat perutnya mual. Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka sedikit. Diah menahan napas. Dari celah pintu, muncul bayangan merah samar. Ia tahu itu bukan Bu Rini—karena langkahnya terlalu ringan, hampir melayang. “Jangan masuk… jangan…” bisiknya ketakutan. Tapi bayangan itu tetap bergerak, mendekat perlahan. Kini wajahnya terlihat. Perempuan itu—yang sama dari kain merah—menunduk dengan rambut panjang menjuntai ke depan. Wajahnya separuh gosong, tapi senyum di bibirnya menakutkan. Diah berusaha bangkit, tapi tubuhnya kaku. Suaranya tak bisa keluar. Perempuan itu berhenti di depan tempat tidur, lalu berjongkok di sisinya. Ujung jari-jari berdarah itu menyentuh pipi Diah dengan lembut. “Tenanglah…” bisiknya. “Aku cuma ingin berbagi tempat. Tubuhmu hangat… aku suka.” Diah ingin menjerit, tapi suaranya tertelan di tenggorokan. Perempuan itu kemudian menempelkan dahi ke dahinya. Seketika ruangan berputar. Diah merasa seluruh tubuhnya ditarik masuk ke dalam pusaran dingin dan gelap. Ia melihat kilatan gambar—Bu Rini muda, seorang perempuan disembelih di dapur, kain merah yang dilumuri darah, dan janji: “Kau akan selalu mendapatkan rezeki, asal mau memberiku tempat tinggal.” Ketika Diah sadar kembali, ia sudah berbaring di lantai dapur. Di sekelilingnya ada bunga melati yang berjatuhan, dan di atas meja altar, kain merah itu kini bersih, mengering, dan tampak tenang. Bu Rini berdiri di sampingnya, memegang toples kaca. Tatapannya penuh rasa puas. “Sudah selesai,” katanya pelan. “Dia sudah memilihmu, Diah. Sekarang, kau bukan manusia biasa lagi.” Diah menatap tangannya—ada bekas luka baru di pergelangan, tapi ia tak merasa sakit. Kulitnya pucat, tapi di bawahnya tampak garis halus merah seperti urat darah yang menyala. Ia menggigit bibir. “Apa yang Ibu lakukan pada saya?” Bu Rini tersenyum. “Aku tidak melakukan apa-apa. Dia yang melakukannya. Mulai sekarang, darahmu adalah miliknya. Tapi jangan takut… dia akan menjagamu.” Diah berdiri dengan langkah gontai. Kepalanya terasa ringan. Namun saat menatap cermin kecil di dapur, ia terkejut—di balik bayangannya sendiri, perempuan berambut panjang itu menatap dari belakang, tersenyum lebar. “Aku dan kamu… satu sekarang…” suara itu bergema dalam pikirannya. Diah menjerit dan melempar cermin itu ke lantai. Kacanya pecah, tapi pantulan bayangan itu tetap ada di setiap pecahannya—senyum yang sama, mata yang sama, seolah menghuni setiap serpihan kaca. Diah jatuh berlutut, menangis ketakutan. Bu Rini hanya menatapnya dengan tatapan tenang. “Jangan melawan, Diah. Kalau kamu menolak, dia akan mengambil tubuhmu dengan cara yang lebih kejam.” Di luar, petir menyambar. Dari dalam kain merah, suara lirih kembali terdengar. “Rezeki baru… darah baru… hidup baru…”Rumah bergetar semakin hebat, seperti hendak runtuh dari dalam. Aku dan Gibran berusaha bangkit, namun sosok hitam itu sudah mengisi hampir seluruh ruang tamu. Udara dingin dan berat, seperti menekan dada dari segala arah.Gibran meraih tanganku. “Alya! Tetap sadar! Jangan biarkan dia menguasamu!”Tapi suaranya terdengar jauh—sangat jauh.Karena sosok itu sekarang tepat di hadapanku.Ia mengangkat wajah gelapnya, dan dari balik kabut hitam yang berputar, wajah perempuan itu muncul semakin jelas. Bekas luka bakar, kulit mengelupas, mata yang tak lagi berbentuk. Meski rusak, aku mengenalinya.Itu adalah wajah perempuan yang dulu—bertahun-tahun lalu—aku lihat di sebuah warung kecil di pasar tua. Wajah yang dulu terlihat murung… dan hilang beberapa minggu setelahnya."Alya…" suara sosok itu menggema dalam kepalaku, bukan di telinga.Kata-katanya menusuk seperti jarum es.“KAU MENGAMBIL TEMPATKU…”Aku mencoba mundur, tapi tidak bisa. Kakiku seperti terpaku oleh bayangan gelapnya.“Aku… aku
Gelap menelan seluruh ruang, begitu pekat sampai aku tidak bisa melihat telapak tanganku sendiri. Hanya suara napas cepatku yang terdengar—dan napas Gibran yang berusaha tetap tenang meski aku bisa merasakan tubuhnya menegang.“Alya, tetap di belakangku,” bisik Gibran. Suaranya serak, nyaris tak terdengar.Aku mengangguk meski ia tidak bisa melihat.Di tengah kegelapan itu, langkah kaki berat yang tadi terdengar kini menjadi lebih jelas. Tidak cepat. Tidak terburu-buru. Justru lambat… dan seolah menikmati setiap detik ketika mendekati kami.DUG…DUG…DUG…Setiap hentakan membuat lantai bergetar halus, seperti ada sesuatu yang jauh lebih besar daripada manusia yang melangkah di atasnya.Gibran meraih senter ponselnya. Baru saja ia menyalakannya—lampu itu langsung mati seperti dicabut paksa oleh sesuatu.Aku menahan napas. “Gibran…”“Ssh…” Ia meraih tanganku, menggenggamnya erat. “Dia ingin kita takut. Jangan beri dia yang dia mau.”Tapi itu mustahil. Karena rasa dingin mulai merayap da
Malam sudah hampir bergeser menuju dini hari, tapi rumahku tidak terasa seperti rumah. Tidak ada kehangatan. Tidak ada rasa aman. Hanya ada keheningan tebal yang terasa seperti menempel di kulit, seolah udara pun takut bergerak.Aku duduk di sofa dengan tubuh yang masih bergetar. Tangisku sudah berhenti, tapi setiap kali mengingat tatapan suamiku barusan, jantungku kembali mencelos.Di sampingku, Gibran masih duduk dalam diam. Tidak memaksa bertanya, tidak menuntut penjelasan. Ia hanya berada di sana—dan entah mengapa, kehadirannya lebih menenangkan daripada kata-kata apa pun.Setelah cukup lama, ia akhirnya berbicara.“Alya… kalau kamu takut dia akan melakukan sesuatu, kamu boleh ikut aku pergi. Setidaknya untuk malam ini.”Aku menatapnya. Ada kekhawatiran tulus di matanya. Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang lain—ketidakpercayaan terhadap apa yang bisa dilakukan suamiku.“Aku nggak tahu,” jawabku pelan. “Aku belum siap meninggalkan rumah ini. Belum sekarang.”Gibran mengangguk
Langkah kaki itu mendekat—cepat, berat, dan penuh amarah yang sudah lama kukenal. Nafasku tersengal, seolah dada terlalu sempit untuk menampung semua kecemasan yang tiba-tiba meledak.Suamiku muncul dari balik pagar. Matanya langsung menyapu halaman, lalu tertancap ke arahku—dan seseorang di sampingku.Gibran.Aku melihat bagaimana ekspresi suamiku berubah dalam hitungan detik—dari bingung, menjadi curiga, lalu membara. Rahangnya mengeras. Tangan kanannya mengepal. Aku bisa menebak isi kepalanya bahkan sebelum ia membuka mulut.“Apa ini?” suaranya rendah, tapi jelas sedang menahan ledakan.Gibran hanya berdiri tegak, tidak mundur. Tidak mencari alasan. Tidak kabur. Ia memandang suamiku dengan tatapan netral, tapi tegas. Sementara aku—aku berdiri di tengah, seperti seseorang yang diikat di antara dua jurang yang sama-sama menganga.“Apa yang kamu lakukan di sini?” suamiku mendekat, suaranya mengeras. “Siapa kamu?”Gibran menelan ludah, kemudian menjawab dengan suara tenang yang justru
Rumah itu terasa terlalu hening malam ini. Bukan hening yang menenangkan, melainkan hening yang membuat dada terasa sesak, seperti seseorang menaruh batu besar di atas napasku. Lampu ruang tamu menyala redup, menorehkan bayangan panjang di lantai keramik yang dingin. Aku berdiri di ambang pintu kamar, memandangi isi rumah yang dulu begitu kukenali, dan kini terasa seperti tempat asing yang entah bagaimana masih harus kutinggali.Hari ini seharusnya biasa saja. Tapi hidup tidak pernah benar-benar memberi jeda pada orang-orang yang sudah terlalu lama bertahan dalam luka.Ponselku bergetar pelan di atas meja kecil. Nama yang muncul membuat jantungku berdetak sedikit lebih cepat—bukan karena cinta, bukan karena rindu, tapi karena campuran takut dan sesuatu yang tak bisa kuterjemahkan.Gibran.Pesan pendek muncul:“Alya… kamu baik-baik saja hari ini?”Pertanyaan sederhana, tapi entah mengapa menamparku lebih keras dari teriakan siapa pun. Karena suamiku sendiri tidak pernah menanyakan itu.
Pintu rumah itu menganga seperti mulut raksasa yang siap menelan siapa pun yang masuk. Udara yang keluar dari dalamnya terasa dingin, lembap, dan berbau seperti tanah basah bercampur darah lama. Arini menutup hidungnya, berusaha tidak muntah.Aminah melangkah paling depan. “Jangan tertinggal. Jangan menyentuh apa pun yang tidak perlu. Dan apa pun yang terjadi… jangan menatap bayangan kalian sendiri.”Pak Jaya menelan ludah. “Bayangan?”Aminah tidak menjawab. Ia hanya masuk ke kegelapan rumah itu, membawa lampu minyak kecil yang baru dinyalakannya.Cahaya lampu itu tidak memantul.Seolah rumah itu menelan cahaya.Di Dalam Rumah GelapBegitu mereka masuk, pintu rumah tertutup dengan gedebuk keras, membuat Arini menjerit.Pak Jaya mencoba membuka pintu, namun pintu itu tidak bergerak sama sekali. Bahkan tidak bergoyang.“A-apa ini…? Bu Aminah… pintunya terkunci!”Aminah berdiri tegak, tanpa menoleh. “Memang begitu. Begitu kita masuk, rumah ini akan menentukan siapa yang boleh keluar.”Ar