Share

BAB 3

TING

 

TONG

 

Bel rumah berbunyi. Mungkin itu adalah Pak Bayu supir keluarga suamiku. Aku segera merapikan riasan wajahku. Mematut diri di cermin. Rambutku pun sudah rapih. Tak perlu menyanggulnya karena Erland suamiku tak menyukainya. Lebih suka jika rambutku tergerai. Lipstik warna peach dan dress yang minggu kemarin dibelikan olehnya. Dia yang akan rempong menyiapkan ini dan itu agar istrinya tak terlihat kampungan.

 

"Setidaknya jangan membuatku malu." Itu yang selalu dia katakan padaku.

 

Kulangkahkan kaki keluar rumah. Pak Bayu menyambutku dengan senyum khasnya. Setelah itu beliau membukakan pintu belakang untukku. Ku ucapkan terimakasih. Lalu mobil pun melesat ke hotel Emerald di tengah kota. Tadi  Erland menelpon jika dia sudah menunggu di lobby hotel. 

 

"Nona Maudy permen kesukaan anda ada di kotak samping mobil." Ucap Pak Bayu memcahkan kesunyian. Sepertinya beliau menyadari jika aku sangat gugup.

 

"Ah iya terima kasih pak." Ucapku tulus.

 

"Sama-sama nona."

 

Pria yang tengah mengemudi itu bernama Pak Bayu. Entah sudah berapa tahun dia mengabdi untuk tuan Rasendria Atmaja. Pembawaannya yang tenang dan ramah membuatku merasa nyaman. Dia sangat mirip dengan Ayah. Apalagi yang menyangkut dengan Erland dia begitu setia dan sangat disayangi oleh suamiku. Katanya sedari kecil Erland diurus oleh Pak Bayu. Mama dan Papa mertuaku terlalu sibuk di dunia bisnis. 

 

Aku menikmati permen kesukaanku. Alphenlibe caramel. Biasanya Kak Erland selalu menyetoknya di mobil. Entah sejak kapan dia  memperhatian kebiasaanku mengemut permen agar mengurangi rasa gugupku. 

 

"Apa permen itu sangat enak?"

 

"Bukan hanya enak tapi ini memberikan efek melebihi kafein pada cokelat."

 

"Oya? Kamu ga batuk makan segitu banyaknya?"

 

"Kalau makannya setoples ya batuk."

 

"Kalau begitu aku akan stok permen ini khusus untukmu."

 

Itulah sekelumit perjalanan kami untuk honeymoon ke Bali. Yang pada kenyataannya tak pernah terjadi. Sebab dia memesan 2 ranjang di hotel. Dia mirip kanebo kering. Kaku dan sangat amat menjengkelkan.

 

Sepanjang perjalanan aku menikmati pemandangan malam yang tersaji di luar sana. Kelap-kelip lampu jalanan dan banyaknya kendaraan menambah semarak jalanan ibu kota. Hingga perjalanan yang memakan waktu menjadi tak terasa adanya.

 

Setibanya di hotel. Disana Kak Erland tengah berbincang dengan rekan bisnisnya. Disampingnya Antony begitu berkelas berdiri disamping suamiku. Asisten suamiku itu tak akan beranjak dari sisi tuannya. Pak Bayu membukakan pintu mobil lalu membungkuk. Kuanggukan kepala dan segera melangkah menghampiri suamiku. Kak Erland tersenyum melihatku datang. Mengulurkan tangan dan menggenggamnya. 

 

"Antony,silahkan kau nikmati hidangan. Kau bebas tugas." Erland tersenyum mengibaskan tangan pada Antony yang dibalas dengan anggukan kepala. 

 

Sandiwara dimulai. Di depan semua orang kami bersikap layaknya pasangan yang harmonis. Bergandengan tangan bahkan saling menatap. Berbading 180 derajat dari kenyataan. Saling memuji dan berkata mesra. Sebenarnya ini yang paling memuakkan.

 

" Kak Erland semakin mesra saja sama istri ya. Kami jadi iri. Ho ho ho." Ucap Andri salah satu kolega bisnis suamiku sekaligus suami Vanya sepupu Erland. Kami hanya tersenyum menanggapi ucapannya.

 

"Percuma saja mesra toh nyatanya sampe sekarang belum punya momongan." Ucap Vanya sepupu dari suamiku.

 

"Oh iya. Kenapa kalian belum memiliki momongan?" Tanya Andri kemudian.

 

"Kami sedang menikmati waktu berdua. Maklum kami tidak berpacaran." Jawab Erland sambil memandangku teduh.

 

"Bilang aja takut istrimu gemuk kan?" Ujar Vanya to the point.

 

"Gemuk ataupun kurus itu tidak masalah. Begitu pula punya anak. Itu hak preogatif Tuhan. Kita tidak perlu ikut campur urusan Tuhan. Sama seperti tidak perlunya kita mencampuri urusan orang lain." Kak Erland menjawabnya sambil tersenyum. Namun kata-katanya sangat tajam. Aku hanya diam dan menundukan kepala. 

 

"Sok bijak. Cih."

 

"Yang paling penting adalah rasa cinta kita yang tidak berubah. Ya kan sayang?" Erland bertanya sambil tersenyum. Bahkan tangannya memeluk pinggangku posesif sambil.

 

"I-iya tentu saja." Ujarku menimpali.

 

"CK. Sok romantis." Ucap Vanya sambil berlalu pergi. 

 

"Hahaha maafkan istriku yaa Kak. Dia memang suka iri melihat istrimu yang tidak berubah. Meskipun sudah lama menikah." Ujar Andri kemudian.

 

"Ya tidak masalah." Ucap Kak Erland kemudian. Setelah itu mereka berlalu pergi. 

 

Lalu tangan itu terlepas. Kuhela napas. Suasana tadi sangat menegangkan. Sampai aku tak bisa bernapas dibuatnya. Apalagi melihat suamiku dan Vanya bersitegang tadi.

 

"Lain kali jangan diam saja. Kadang kala mereka harus dilawan agar tidak semakin semena-mena." Bisiknya sambil mengedipkan mata. 

 

"Iya. Aku hanya tidak tahu harus menjawab apa." Ujarku ragu.

 

Beberapa kolega bisnis suamiku melintas. Bahkan ada yang dengan sengaja menabraku. Namun dengan sigap Erland menarikku kedalam pelukannya. Itu membuatku menahan napas. 

 

"Berhati-hatilah." Ucapnya sambil melepas pelukan. 

 

"I-iya."

 

"Erland,bisa kita bicara sebentar?" Tanya Rafael.

 

"Ya tunggu saja disana. Aku ingin bicara dengan istriku."

 

"Baiklah." 

 

"Ambilah makanan yang kamu suka sayang. Aku tunggu di meja depan sana." Ucap Erland sambil menunjuk salah satu meja.

 

"Ba-baik. Kakak apa ga makan?"

 

"Jangan panggil kakak disini. Panggil dengan kata sayang. Kita perlu meyakinkan banyak orang." 

 

"I-iya sa-sayang." Pipiku menghangat. Kulihat suamiku menyunggingkan senyum. Sangat manis.

 

"Bagus. Aku tunggu disana." Tuturnya lembut. Dipandangi begitu membuatku salah tingkah. Dia sangat menyeramkan saat begini. 

 

Aku hanya mengangguk dan melenggang ke arah meja prasmanan yang tersedia. Mataku sungguh berbinar melihat banyaknya makanan yang membuatku meneguk saliva berkali-kali. Namun kembali kuteringat kata-kata yang diucapkan suamiku. Sayang?

 

Ah andai setiap hari kau memperlakukanku seperti ini suamiku. Pastilah aku akan amat sangat bahagia. Tak perlu ku pikirkan perceraian setiap saat. Hingga membuatku tak bisa tidur setiap malamnya. Gumamku dalam hati. 

 

Aku teringat malam pertama kami kala itu. Aku yang gugup setengah mati. Menunggunya memasuki kamar. Namun hingga tengah malam dia tak kunjung datang. Aku memilih memejamkan mata dan berusaha untuk tidur. Namun kantuk tak kunjung hadir. Hingga aku berniat mencarinya. Semua ruangan sudah gelap gulita. Aku sedikit bergidik ngeri. 

 

"Kau belum tidur?" Tanya seseorang.

 

"Kyaaa..." Teriakku kencang. Seketika lampu menyala terang.

 

"Jangan berteriak. Nanti tetangga akan berpikir yang bukan-bukan." Ucapnya membuatku terdiam.

 

"Kau membuatku terkejut."

 

"Tidurlah. Jangan menungguku. Aku akan tidur di ruang kerja." 

 

"Fiuuh. Syukurlah."

 

"Jangan berpikir macam-macam. Tidak ada tidur bersama. Pernikahan ini murni karena status. Tidak lebih."

 

"Ah iya. Aku pun berpikir sama."

 

"Kamar itu memang di siapkan untukmu. Aku akan membagi dua wilayah rumah ini. Kamu bagian depan dan aku bagian belakang. Jangan memasuki kamarku dan ruang kerjaku. Selain dua ruangan itu kau boleh menggunakannya." 

 

"Baik. Aku mengerti."

 

Sejak hari itu aku tak pernah sekalipun melanggar larangan yang dia buat untukku. Aku dan dia bagai orang asing dalam satu atap. 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status