Share

BAB 2

Setelah pertemuan hari itu. Kami tak pernah bertemu lagi. Namun hidupku selalu di teror. Para renternir itu selalu merongrong keluarga kami. Ayah yang seorang petani harus meminjam uang pada renternir sebanyak 100 juta untuk berobat Nenek yang terkena kanker getah bening. Seangkan saudara Ayah tak ada yang bisa membantu karena nasib kami sama saja. Sedangkan jasa cuci gosok ibu tak seramai dulu karena para tetangga lebih suka ke laundry.

 

Untungnya kuliahku gratis karena beasiswa. Selain kuliah aku pun mengajar les privat dirumah sebagai tambahan kebutuhan dapur. Namun uang itu selalu tak cukup karena aku pun harus menganggung cicilan yang semakin hari bunganya semakin mencekik saja. Padahal sudah dibayarkan tapi tak pernah lunas. Entah bagaimana cara mereka menghitung.

 

Hingga suatu hari ayah pulang dengan wajah babak belur. Menurut warga yang mengantarkannya beliau dipukuli oleh anak buah juragan Beni. Renternir yang memberikan pinjaman. Kugenggam tangan ayah sambil mengobati lukanya. Ayah hanya meringis. 

 

Hatiku nelangsa. Tak pelak juga kejadian ini membuatku marah. Ayah yang begitu aku sayangi terlihat begitu menyedihkan. Pipi keriputnya penuh luka. Bahkan tangannya terdapat luka yang cukup serius. Entah berapa jahitan. 

 

"Harusnya ayah berteriak. Jangan diam saja. Aku janji akan bekerja lebih keras lagi. Doakan aku Yah. Agar Maudy cepat lulus dan bekerja." 

 

"Iya nak. Pasti. Namun..."

 

"Ada apa Yah?"

 

"Pergilah nak,jangan pulang ke kampung ini dulu. Karena juragan Beni mengancam jika ayah tak bisa membayarkan hutangnya. Maka kamu yang akan dijadikan jaminan. Ayah tidak rela." Ucap ayah parau. Kami berempat menangis. Ayah,ibu dan adikku merangkulku. 

 

"Tidak. Itu tidak akan terjadi."

 

"Tapi Ayah khawatir."

 

"Aku ga akan ninggalin kalian. Aku janji. Kita hadapi juragan Beni sama-sama." Tegasku sambil memandang wajah Ayah dan ibu bergantian. Kami menangis berangkulan. 

 

Dan setiap hari anak buah juragan itu selalu membuat keributan dirumah. Membawa apa yang bisa dibawa. Bahkan dia mengancam akan membakar rumah kami. Adik laki-lakiku pun selalu menjadi bulan-bulanan mereka. Seperti budak bekerja di sawah milik juragan tanpa bayaran. Sedangkan aku disamping mengajar les,aku juga menjadi tukang cuci mobil di sebuah bengkel. Hingga sepulangnya dari bengkel aku melihat Ayah an ibu tengah bersimpuh di kaki juragan Beni. Sedangkan para tetangga hana menonton saja. Aku sungguh tak tahan. 

 

"Sudah cukup." Sergahku. 

 

"Hai manis. Kamu mau kan jadi istri ke empatku?" Ucap juragan Beni.

 

"Dari hatiku yang terdalam. Sungguh aku tak sudi menjadi istrimu Pak Tua."

 

"Dasar jalang! Lancang sekali mulutmu. Jika kau tidak melunasi hutang ayahmu tinggal kau lihat Ayah dan Ibumu akan kujadikan makanan buaya-buaya peliharaanku."

 

"Aku pasti akan melunasinya."

 

"Hahaha sombong sekali jalang ini. Baiklah,aku akan beri kalian waktu 1 minggu. Lekas lunasi hutangmu 200 juta padaku."

 

Setelah juragan Beni dan anak buahnya pergi. Ayah dan Ibu memelukku.

 

"Darimana kamu mendapatkan uang sebanyak itu nak?"

 

"Ayah dan ibu tenang saja. Aku akan bekerja lebih giat lagi."

 

"Tapi 200 juta itu tidaklah sedikit. Harus punya sawah 1 hektar barulah kita bisa melunasinya."

 

Ayah dan ibu tenang saja. Aku akan mendapatkan uang itu sesegera mungkin." Ujarku meyakinkan keduanya. Kulihat adikku yang menunduk menekuk kaki di pojok ruangan. Sungguh aku tak tega.

 

Akhirnya aku berada di kantor ini. Menemui seseorang yang menawarkan uang agar aku menjadi istrinya. Semua orang di kantor ini menatapku aneh. Namun aku tak peduli. Aku bergeming ditatap sedemikian rupa. Kulangkahkan kaki mengikuti satpam di depanku. Tatapan sinis dan menjengkelkan itu seolah enggan enyah dariku.

 

Setelah sampai diruangan direktur utama. Aku mengetuk pintu. Dan suara yang ku kenal menyuruhku masuk. Suara bariton yang katanya merdu itu menyuruhku duduk. Kami duduk saling berhadapan. 

 

"Jadi apa kamu menerima tawaranku?" Sambutnya tanpa basa-basi.

 

"Ya aku mau menerima tawaran itu." Jawabku mantap.

 

"Oke bulan depan kita menikah. Aku sudah mengirimkan anak buahku untuk kerumah juragan Beni."

 

Aku tak menyangka dia bertindak secepat itu.

 

"Terima kasih. Boleh aku bertanya suatu hal?"

 

"Ya silakan." 

 

"Kenapa anda memilih saya sebagai istri? Padahal tak ada yang spesial dari diri saya."

 

"Itu menurutmu. Bagiku tak begitu. Aku hanya tak rela melihat orang lain tertindas. Itu saja. Apalagi kamu kesayangan Professor Hilma kakakku." 

 

Aku terkejut. Satu fakta lagi yang baru saja aku ketahui. Ternyata pria muda di hadapanku adalah adik dari guru teladanku di kampus. Akhirnya aku mantap akan pilihanku. Walaupun aku tak tau motif lain dibalik semuanya.

 

"Sampai bertemu bulan depan calon istriku." Tegasnya lalu tersenyum simpul.

 

Kami berjabatan tangan dan berpisah. Diluar sana suara kasak-kusuk terdengar jelas.

 

"Gadis gembel itu ternyata calon istri Mr. Erland. Sungguh aku tak percaya."

 

"Iya. Kayak ga ada gadis lain saja."

 

"Tampang kampungan apa bagusnya."

 

Dadaku terasa kembang kempis. Ingin rasanya kumemaki. Tapi percuma. Toh semua yang mereka katakan itu benar. Aku hanya gadis bertampang kampungan yang beruntung mempunyai calon suami bak pangeran. 

 

Kami pun menikah di sebuah masjid di kota. Resepsi pernikahan yang sangat mewah dilaksanakan di sebuah hotel. Banyak yang mengira aku menjual diri pada orang kaya. Karena pernikahan yang sangat mendadak dan tiba-tiba. Namun ayah dan ibuku selalu memberikan nasihat. Bahwa ini mungkin adalah takdir yang Allah persiapkan karena kesabaranku selama ini. 

 

Setelah menikah ayah dan ibuku dibuatkan rumah yang sangat layak di kampung. Toko sembako dan adikku masuk ke pesantren modern di luar kota. Kehidupan kami semakin membaik. Walaupun aku harus menerima berbagai cibiran dari orang lain. Bagi mereka aku menikah karena harta. Biarlah toh mereka benar. Aku menikah karena harta. 

 

Bahkan pandangan merendahkan dari keluarga RASENDRIA sampai hari ini selalu kuterima. Menurut mereka suamiku Erland Rasendria kurang pandai mencari istri. Gadis kampungan sepertiku tak pantas berada disampingnya. Beruntungnya selama ini suamiku dan kakaknya selalu membelaku. 

 

Sedangkan kedua mertuaku selalu cuek saja. Sebab bagi kedua mertuaku. Anak-anaknya berhak menentukan hidupnya setelah menikah. Tak pernah kulihat mereka ikut campur urusan anak-anaknya. Aku harus banyak bersyukur.

 

"Mama dan Papa percaya kamu gadis yang kuat. Hinaan mereka jangan dianggap serius. Orang-orang itu hanya iri saja. Cucu kesayangan Rasendria Atmaja menikahi gadis secantik kamu." Ucap mama mertuaku saat kami makan malam dirumah Kakek. 

 

"Terimakasih mama." Kucium tangan mama mertuaku takzim. Mama mengelus rambutku sayang.

 

Berbeda dengan mertua laki-lakiku. Dia terluhat begitu cuek dan tak peduli apa yang terjadi disekitarnya. Dia hanya sibuk dengan gadget ditangannya. Bahkan sampai acara berakhir tubuhnya hanya diam tak beranjak dari kursi. Walaupun begitu aku tau hatinya sangat baik. Karena tanpa persetujuannya tak mungkin aku menjadi bagian dari keluarga Rasendria.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status