Share

BAB 9

Aku terpukau dan takjub dengan susunan foto tersebut. Mungkin jika di ikut sertakan dalam pameran akan menjadi menarik pikirku. Hingga akhirnya kututup pintu rahasia disebalik rak buku tersebut. 

"Lancang!" Serunya ketus. Kutersentak kaget hingga buku merah itu jatuh dari tanganku.

Aku tak berani membalikkan tubuhku. Suara tegas nan dingin di belakangku membuatku gemetar. Aku sudah tertangkap basah. Kupejamkan mata. Kudengar langkah kakinya mendekat. Bisa kurasakan emosi yang tertahan darinya. Aura di kamar ini mendadak engap dan sesak. Lalu tanpa di duga dia memegang erat lenganku kemudian menarikku keluar dari kamarnya.

"Pergi!" Sergahnya seraya menutupnya sangat keras bahkan hentakannya membuat seluruh ruangan bergetar.

Kutekan dadaku. Tubuhku meluruh ke lantai. Sungguh aku sangat menyesal. Namun disatu sisi aku merasa takjub. Ada satu hal yang membuatku semakin tersadar. Dia bukan laki-laki sembarangan. Foto-foto tadi membuktikan segalanya. Aku tak tahu siluet siapakah  itu. Namun sepertinya itu sangat berarti untuknya. Apakah dia seorang fotografer handal? Namun kenapa dia menyembunyikannya begitu rapat? Dan ada banyak sekali foto yang dibalik. Sepertinya baru saja di cetak. 

Kuberjalan memasuki kamar. Merutuki diri sendiri. Betapa bodoh dan cerobohnya aku? Kenapa tidak langsung keluar setelah melihat ruang rahasia itu. Malah terpaku dan takjub melihat pemandanan yang disuguhkan dari ruangan itu.

Hingga malam dia tak keluar kamar.  Bahkan tak makan malam. Aku semakin menyesali diri sendiri. Apakah dia sangat marah? Pasti dia marah. Ekspresi tadi tak pernah kulihat sama sekali. Kilatan matanya yang semerah saga. Biasanya dia begitu pandai menyimpan emosi. Datar dan dingin. Namun tadi aku berhasil membuatnya marah. Aku harus minta maaf. Dimaafkan ataupun tidak itu tidak masalah.

Dan pagi ini aku kembali menunggunya di dapur namun dia langsung pergi begitu saja tanpa menatapku. Makanan yang semalam dan kumasak pagi ini masih utuh tak tersentuh. Dia tak mau memakannya sama sekali. Itu membuatku semakin merasa bersalah.

Tak mau membuang makanan. Aku hangatkan lagi untuk kakek tua yang biasa lewat di depan rumah untuk mengambil sampah daur ulang. Kusiapkan makanan dalam kotak dan mengambil beberapa kue di dalam kulkas. Biasanya dia membawa kerajinan gerabah juga. Aku akan membelinya. Walaupun sudah ada 50 gerabah kecil berbagai bentuk yang kusimpan di gudang. Kutunggu di teras depan sambil menyirami bunga.

"Selamat pagi nona ada dirumah?" Kakek tua menyapa dengan tubuh membungkuk. 

"Selamat pagi kek. Gerabahnya masih ada?" Kuhampiri ia sambil melihat gerobak yang berisi berbagai macam gerabah.

"Masih banyak nona. Bahkan aku membuat kendi untukmu. Ini kuberi warna biru dan perak." Ucap kakek sambil memberikan kendi cantik berwarna biru dan perak. Cantik sekali.

Kubuka gerbang rumahku dengan lebar. Aku membantunya mendorong gerobak masuk kedakan rumah.

"Duduk dulu kek. Silakan diminum tehnya." Kutuang teh kedalam cangkir lalu mengangsurkannya.

"Terima kasih nona." 

Aku mengangguk.

"Oya iya tunggu sebentar ya aku akan mengambil sesuatu." Saranku. Kakek mengangguk sambil tersenyum.

Setelah masuk kedalam. Aku kembali keluar sambil membawa kotak makanan. 

"Ini ada sedikit makanan untuk kakek." 

"Maaf merepotkan nona."

"Tidak sama sekali. Dan ini uang kendi nya kek."

"Ini terlalu banyak nona."

"Tidak apa-apa. Mohon diterima ya kek."

"Terima kasih. Istriku pasti sangat senang."

"Kakek mempunyai keluarga?"

"Kakek hidup berdua dengan nenek. Sudah 5 tahun nenek hanya berbaring. Matanya sudah tidak mampu melihat. Dan hari ini nona memberi makanan enak. Dia pasti menyukainya. Seperti kue buatan nona waktu itu."

"Benarkah? Wah kalau begitu nanti aku buatkan makanan dan kue setiap hari untuk kakek."

"Terima kasih nona. Kakek harus segera kembali kerumah. Nenek belum sarapan saat kakek tinggal." 

"Iya kek. Hati-hati ya kek. Salam buat nenek." 

"Iya nona nanti kakek sampaikan. Tapi sebelumnya berhati-hatilah nona. Kunci rumah dan gerbang." Pesannya serius.

Apa maksud kakek itu tadi ya? Beliau bilang berhati-hatilah. Ah mungkin kakek hanya mengkhawatirkan aku yang selalu terlihat sendirian dirumah ini. Kututup gerbang dan menggulung selang air. Sudah seminggu ini aku tidak ke sekolah. Mengerjakan pekerjaan sebagai operator di rumah. Kulihat pintu yang selalu tertutup rapat. Kuhela napas teringat akan kejadian kemarin. 

Kubuka laptop dan kembali tenggelam dengan tugas sekolah. Sebentar lagi kenaikan kelas jadi lumayan padat dan sibuk. Data siswa harus segera disiapkan agar tidak tercecer saat harus dikirim ke pusat.

PRAK

Terdengar suara benda jatuh membuatku keluar dari kamar. Aku berlari keluar kamar dan lihatlah ada dua orang laki-laki juga perempuan ular keket yang bergelayut manja di lengan suami orang.

"Wah ada tamu tak di undang masuk tanpa permisi." Ucapku tenang namun tetap waspada.

"Cih penumpang belagu dan tak tau diri. Kenapa kamu masih betah dirumah Erland? Benalu." 

"Apa maksudmu benalu? Aku istri sah dari Erland Rasendria."

"Istri sah katamu? Dia menikahimu terpaksa. Kau paham. TER-PAK-SA" 

"Sebenarnya apa tujuanmu kemari ular keket?"

"Aku ingin memperingatkanmu. Tinggalkan Erland. Keluarga Rasendria tidak menginginkan wanita kampungan sepertimu."

"Aku tidak peduli apa katamu. Selama Erland tidak mengusirku dari sini. Aku tidak akan pergi. Lagian siapa kamu dan apa hakmu mencampuri pernikahan kami?"

"Brengsek. Benar ya kata Vanya selain tidak tahu diri kamu juga tidak tahu malu."

"Sudahlah jangan buang-buang waktu dan tenagaku. Aku sibuk. Silahkan keluar." Usirku. Kubuka pintu lebar-lebar.

"Kau tak bisa mengusirku!" Sergahnya sambil mengibaskan tangan

"Eksekusi sekarang!" Titahnya pada dua preman itu. Lalu dia melangkah pergi meninggalkan kami bertiga.

Dua orang itu mendekat aku siap siaga. Berkuda-kuda. Walaupun hanya berapa bulan aku mengikuti kelas beladiri yang diadakan sekolah tempatku mengajar. Kalau hanya merobohkan mereka mungkin bisa. Mereka maju menyerangku,kutangkis dengan cepat. Mengelak lalu memukul perut mereka. Kulayangkan tendangan pada rahang. Namun mereka bisa mengelak. 

Bagaimanapun tenagaku kalah dengan dua orang berbadan kekar itu. Salah satu dari mereka memegangi kedua tanganku dan yang satu lagi hendak melecehkanku. Aku waspada jika dia menyentuh tubuhku. Namun seseorang datang dan memukul tengkuk laki-laki itu. Ternyata kakek dan beberapa warga. Akhirnya dua orang preman itu dibekuk warga sedangkan ular keket itu mengambil langkah seribu sedari tadi. Sialan!

"Kakek? Terima kasih kek." Ucapku tulus mencium tangannya.

"Sama-sama nona. Beberapa hari ini aku selalu melihat mobil yang mengawasi rumah nona. Dan benar saja hari ini mereka hampir mencelakai nona."

"Hampir saja. Untung ada kakek dan para warga. Terima kasih." Ucapku tulus. Mereka menenangkanku lalu pamit satu persatu.

"Sekali lagi hati-hati ya nona. Lebih baik di kunci saja." 

"Iya kek."

Aku mengurung diri di kamar. Nyawaku terancam. Pastilah ular keket itu tidak akan menyerah untuk menyingkirkanku. Ah apakah aku harus menceritakannya pada Erland. Sedangkan dia saja tengah marah dan mendiamkanku. Mungkin aku harus menghadapinya sendiri. Jika aku sudah tak mampu,maka aku memilih untuk menyerah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status