Share

Bab 3

“Icha, Ian, besok kita belanja buku tulis, ya! Punya Icha sama Ian sudah mau habis ‘kan ya kemarin tuh?” Ibu menanyakan pada kami. Sementara itu, tangannya menyimpan piring berisi kentang goreng. Ibu biasa memasakkan camilan untuk menemani aku dan Adrian belajar.

Aku saling bertukar pandang sama Adria, lalu menggeleng bersamaan.

“Enggak kok, Bu. Bukunya masih ada. Sekarang seringnya ngerjain di buku paketan.” Aku menjawab sambil menyuapkan irisan kentang goreng dibalur tepung yang Ibu sajikan. Enak, gurih dan kriuk.

“Oh, ya?” Ibu menautkan alis. Dia menatapku dan Adrian bergantian seperti tak percaya.

“Iya, betul, Bu. Punya Ian juga masih ada.” Adrian mengangguk cepat.

“Oh ya sudah kalau begitu. Kalian kalau butuh apa-apa, bilang sama Ibu, ya!” Ibu menatapku dan Adrian bergantian.

“Iya, Bu.” Kompak kami menjawab.

Ibu pun bangun lalu meninggalkan kami. Dia kembali masuk ke dalam ruangan yang biasanya lebih sering dia kunci. Ruangan yang ada satu set komputer di sana. Ibu tak pernah mengizinkan kami memasukinya. Katanya itu ruang kerja.

“Ssst! Besok jadi?” Aku menyenggol lengan Adrian. Dia menoleh dan mengangguk.

“Iya, jadi.”

“Ayo sekarang belajar dulu!” Aku kembali fokus pada buku.

“Iya, Kak.” Adrian pun menurut, kami kembali fokus pada lembaran tugas yang sedang kami kerjakan.

Keesokan harinya, aku memasukkan setelan pakaian ganti, begitupun dengan Adrian. Rencananya hari ini, kami mau jualan di lampu merah. Kemarin mendengar cerita dari Kak Dindin---ponakan Bi Manah, katanya kalau jualan di lampu merah bisa dapat uangnya lebih banyak lagi. Dia sering berjualan juga, tapi sekarang sudah enggak. Malu katanya. Dia sudah SMP. Jadi dia menawarkan pada kami berjualan di sana.

Aku dan Adrian sangat tertarik, karena itu sepulang sekolah nanti akan jualan saja. Aku dan Adrian tak mau merepotkan Ibu. Sekarang sudah gak ada Bapak. Pasti untuk beli beras saja susah. Kami bilang pada Ibu, akan pulang telat karena ada pelajaran berwirausaha. Alasan ini gak bohong. Kami memang akan berwirausaha sendiri.

Di sekolah, kami belajar seperti biasa. Aku mengerjakan soal-soal dengan baik. Ada beberapa pertanyaan Bu Guru yang sedikti sulit kujawab, tapi aku pasti akan belajar lagi. Aku ingin pintar seperti Ibu.

Adrian pun keluar kelas tepat waktu. Dia bisa menjawab pertanyaan Bu guru dengan cepat, katanya. Jadi kami berdua kini pulang lebih dulu. Ya, meskipun cuma beda beberapa menit dari teman yang lain. Namun, tetap saja bangga.

Dari sekolah ke rumah, kami naik sepeda. Jaraknya tak terlalu jauh. Ibu membelikanku dan Adrian masing-masing satu sepeda. Sepedaku warnanya putih, ada keranjangnya tapi gak ada boncengannya. Kalau yang Adrian warnanya hitam, ditambah ada boncengan.

Jarak dari rumah ke sekolah berapa kilometernya aku gak tahu, tapi kalau naik sepeda, lima belas menit saja sudah bisa sampai. Namun, sekarang bukan rumah tujuan kami, tapi warung Bi Manah. Kak Dindin sudah menungguku dan Adrian di sana.

Kami mampir dulu di sebuah masjid, lalu berganti pakaian. Setelah selesai berganti pakaian, lalu ke warung Bi Manah. Warungnya cukup besar. Kak Dindin sering bantu-bantu di sana. Dia sudah menunggu dan menyiapkan barang-barang yang harus kami bawa.

Kak Dindin mengantar kami dengan sepeda motornya. Dia berjalan pelan mengikuti kayuhan kami. Kami mengayuh sepeda melewati jalanan pemukiman dan tembus ke sebuah kawasan industri. Kami mengayuh melewati jalanan tepiannya yang tak terlalu ramai. Kak Dindin tahu jalan yang tak harus melewati gerbang utama jadi aman dari introgasi Bapak satpam. Setelah melewati kawasan ini, nanti ada sebuah lampu merah di perempatan. Jarak dari rumah ke sini juga tak terlalu jauh. Kalau mengayuh sepeda itu cukup memakan waktu dua puluh menitan.

Kak Dindin yang sudah hapal medan mengarahkan kami untuk ikut parkir di ruko-ruko yang tak jauh dari sana. Bayar dua ribu saja biasanya pas mau pulang, katanya. Usai menitip sepeda, kami segera berjualan. Setelah Kak Dindin mencontohkan, dia pun pulang dan meninggalkanku dan Adrian.

Agak ngeri, sih. Namun, aku meyakinkan hati, kalau semua adalah calon pembeli dan orang baik-baik saja. Di lampu merah ini pun tak terlalu ramai dari serbuan para pencari nafkah. Para pengamen juga gak ada, hanya ada seorang pengemis saja kulihat sedang duduk di bawah lampu merah sana sambil menengadah. Mungkin di sini tak terlalu ramai, karena bukan dipusat kota. Namun, kami justru senang dan lebih merasa aman. Kalau di lampu merah yang ramai, biasanya ada petugas kepolisian yang patroli. Kata Kak Dindin, nanti bisa ditangkap sama mereka. Karena itu, kami berjualan pun tetap waspada dan hanya menghabiskan waktu beberapa jam saja.

Keberuntungan berpihak. Keripik dan minuman botol yang kami ambil dari warung Bi Manah terjual cukup banyak. Mata kami nyaris hijau lihat uang perolehan yang lumayan. Walau bagian kami tak banyak. Dari satu botol air minum, kami mendapatkan seribu rupiah, sedangkan dari satu bungkus keripik, kami juga mengambil bagian seribu rupiah. Total perolehan bersih hari ini, punyaku dan Adrian sebanyak lima puluh ribu rupiah.

“Wah, bisa kita beli buku, Ian.”Aku berseru bahagia. Baru saja selesai kuhitung uang recehan tersebut dan kumasukkan ke dalam tas.

“Iya, Kak … ayo kita cepetan pulang.”

Kami pun pulang, mampir ke warung Bi Manah dan menyetorkan uang hasil jualan. Setelah itu, mampir ke masjid lagi berganti pakaian, lalu pulang dengan seragam rapi seperti pagi tadi kami berangkat.

Kami tiba di rumah. Ibu tampak belum keluar dari kamarnya. Aku tak pasti dia di sana ngapain saja. Katanya, hmmm kerja. Soalnya semenjak Bapak tak pernah pulang. Ibu lebih banyak menghabiskan waktu di sana. Bisa seharian. Kadang hanya keluar pas jam solat, masak terus makan bersama. Sore-sore menemani kami belajar sebentar, lalu masuk lagi.

Ah, jujur … di lubuk hati paling dalamku ada rindu dan rasa sepi. Dulu, sore-sore begini, pasti kami sedang bercengkrama di sini, duduk sambil menonton tivi. Bapak, tak ada banyak cela sebetulnya. Dia ramah, baik dan juga tak pernah membentak kami. Bahkan dia pun royal. Kalau aku mau ini dan itu, dia pasti akan begitu saja mengabulkan. Hanya satu saja salahnya, dia menyakiti Ibu dengan menikahi Tante Reta.

“Kak, mana bukunya? Ayo kita kasih sampul.” Adrian melirik padaku. Siang tadi kami sudah membeli buku.

“Nanti Ibu keluar gimana?” Aku melirik ke ruangan Ibu. Pintunya masih tertutup.

“Ibu keluarnya nanti jam sembilan, masih ada setengah jam lagi.” Adrian meyakinkan. Dia memang pengamat yang baik.

“Oh gitu? Ya sudah, bentar Kakak ambilkan!” Aku bergegas masuk ke dalam kamar. Kuambil buku-buku itu. Sampulnya warna cokelat. Punyaku hanya beberapa, Adrian yang banyak. Lalu kami berdua sibuk menyampuli buku.

“Besok kita jualan lagi gak?” Aku menoleh pada Adrian.

“Jangan, nanti Ibu curiga. Jualan di sekolah saja yang tiap hari. Kalau di lampu merah, seminggu dua kali saja.” Dia bicara sambil melipat ujung sampul buku, lalu mengambil selotip untuk memasangkannya.

“Padahal jualan di sana, uangnya banyak, ya!” Aku menyayangkan.

“Iya, tapi, jangan sampai Ibu tahu, nanti dia sedih! Kakak gak mau ‘kan Ibu sedih?” Adrian bertanya padaku. Aku mengangguk, setuju dengan Adrian. Aku juga gak mau Ibu sedih.

Obrolan kami terhenti ketika pintu diketuk. Adrian beranjak dan membukakan pintu. Rupanya Mang Salim suaminya Bi Manah yang datang. Aku tersentak. Kaget dan takut. Bagaimana kalau dia nanti cerita-cerita pada Ibu. Aku mengedipkan mata pada Adrian ketika Mang Salim bicara ingin bertemu Ibu. Adrian mengangguk lalu bicara padanya, “Ibu sedang sibuk, Mang. Sampaikan saja mau ada apa?”

Tetapi Adrian lupa, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Baru saja Adrian mengatupkan bibirnya, pintu ruangan Ibu terlihat bergerak. Seketika netraku membulat. Duh, bagaimana ini?

Sambil nunggu ini update, yuk mampir ke cerita on goingku. InsyaAllah sebentar lagi tamat. Ini cuplikannya!

Judul : MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD!

“Kami datang ke sini, untuk membatalkan pertunangan. Anak kami, Bara, sudah menemukan jodoh yang lebih tepat. Karena itu, saya selaku ibunya, mohon maaf, jika kabar ini membuat keluarga Bu Nilam tidak nyaman.”

Deg!

Kabar itu membuatku tak bisa berkata apa-apa. Senyuman yang sejak semalam terkulum karena mendapat kabar jika keluarga Bara besok akan datang, kini redup.

“Apa saya tidak salah dengar Bu Vamela? Hubungan mereka sudah cukup lama. Jingga---anak saya rela menunggu sampai Bara menyelesaikan S2 nya. Lalu, kenapa seperti ini?” Suara Ibu bergetar. Pasti dia sama kaget dan shocknya seperti aku.

“Tidak, Bu Nilam. Ibu tidak salah dengar. Mulai saat ini, Jingga saya bebaskan dan boleh menerima pinangan lelaki lain. Maafkan kalau keputusan ini melukai keluarga Ibu, hanya saja ... maaf, anak ibu hanya guru SD, gak sebanding dengan putra saya.” Dia tersenyum, suaranya masih terdengar lembut, hanya saja terasa begitu menyakitkan.

“Kami tak bisa lama. Dua minggu lagi, kalian bisa datang ke nikahannya Bara kalau mau. Undangan virtualnya nanti Bara kirimkan.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status