“Icha, Ian, besok kita belanja buku tulis, ya! Punya Icha sama Ian sudah mau habis ‘kan ya kemarin tuh?” Ibu menanyakan pada kami. Sementara itu, tangannya menyimpan piring berisi kentang goreng. Ibu biasa memasakkan camilan untuk menemani aku dan Adrian belajar.
Aku saling bertukar pandang sama Adria, lalu menggeleng bersamaan.“Enggak kok, Bu. Bukunya masih ada. Sekarang seringnya ngerjain di buku paketan.” Aku menjawab sambil menyuapkan irisan kentang goreng dibalur tepung yang Ibu sajikan. Enak, gurih dan kriuk.“Oh, ya?” Ibu menautkan alis. Dia menatapku dan Adrian bergantian seperti tak percaya.“Iya, betul, Bu. Punya Ian juga masih ada.” Adrian mengangguk cepat.“Oh ya sudah kalau begitu. Kalian kalau butuh apa-apa, bilang sama Ibu, ya!” Ibu menatapku dan Adrian bergantian.“Iya, Bu.” Kompak kami menjawab.Ibu pun bangun lalu meninggalkan kami. Dia kembali masuk ke dalam ruangan yang biasanya lebih sering dia kunci. Ruangan yang ada satu set komputer di sana. Ibu tak pernah mengizinkan kami memasukinya. Katanya itu ruang kerja.“Ssst! Besok jadi?” Aku menyenggol lengan Adrian. Dia menoleh dan mengangguk.“Iya, jadi.”“Ayo sekarang belajar dulu!” Aku kembali fokus pada buku.“Iya, Kak.” Adrian pun menurut, kami kembali fokus pada lembaran tugas yang sedang kami kerjakan.Keesokan harinya, aku memasukkan setelan pakaian ganti, begitupun dengan Adrian. Rencananya hari ini, kami mau jualan di lampu merah. Kemarin mendengar cerita dari Kak Dindin---ponakan Bi Manah, katanya kalau jualan di lampu merah bisa dapat uangnya lebih banyak lagi. Dia sering berjualan juga, tapi sekarang sudah enggak. Malu katanya. Dia sudah SMP. Jadi dia menawarkan pada kami berjualan di sana.Aku dan Adrian sangat tertarik, karena itu sepulang sekolah nanti akan jualan saja. Aku dan Adrian tak mau merepotkan Ibu. Sekarang sudah gak ada Bapak. Pasti untuk beli beras saja susah. Kami bilang pada Ibu, akan pulang telat karena ada pelajaran berwirausaha. Alasan ini gak bohong. Kami memang akan berwirausaha sendiri.Di sekolah, kami belajar seperti biasa. Aku mengerjakan soal-soal dengan baik. Ada beberapa pertanyaan Bu Guru yang sedikti sulit kujawab, tapi aku pasti akan belajar lagi. Aku ingin pintar seperti Ibu.Adrian pun keluar kelas tepat waktu. Dia bisa menjawab pertanyaan Bu guru dengan cepat, katanya. Jadi kami berdua kini pulang lebih dulu. Ya, meskipun cuma beda beberapa menit dari teman yang lain. Namun, tetap saja bangga.Dari sekolah ke rumah, kami naik sepeda. Jaraknya tak terlalu jauh. Ibu membelikanku dan Adrian masing-masing satu sepeda. Sepedaku warnanya putih, ada keranjangnya tapi gak ada boncengannya. Kalau yang Adrian warnanya hitam, ditambah ada boncengan.Jarak dari rumah ke sekolah berapa kilometernya aku gak tahu, tapi kalau naik sepeda, lima belas menit saja sudah bisa sampai. Namun, sekarang bukan rumah tujuan kami, tapi warung Bi Manah. Kak Dindin sudah menungguku dan Adrian di sana.Kami mampir dulu di sebuah masjid, lalu berganti pakaian. Setelah selesai berganti pakaian, lalu ke warung Bi Manah. Warungnya cukup besar. Kak Dindin sering bantu-bantu di sana. Dia sudah menunggu dan menyiapkan barang-barang yang harus kami bawa.Kak Dindin mengantar kami dengan sepeda motornya. Dia berjalan pelan mengikuti kayuhan kami. Kami mengayuh sepeda melewati jalanan pemukiman dan tembus ke sebuah kawasan industri. Kami mengayuh melewati jalanan tepiannya yang tak terlalu ramai. Kak Dindin tahu jalan yang tak harus melewati gerbang utama jadi aman dari introgasi Bapak satpam. Setelah melewati kawasan ini, nanti ada sebuah lampu merah di perempatan. Jarak dari rumah ke sini juga tak terlalu jauh. Kalau mengayuh sepeda itu cukup memakan waktu dua puluh menitan.Kak Dindin yang sudah hapal medan mengarahkan kami untuk ikut parkir di ruko-ruko yang tak jauh dari sana. Bayar dua ribu saja biasanya pas mau pulang, katanya. Usai menitip sepeda, kami segera berjualan. Setelah Kak Dindin mencontohkan, dia pun pulang dan meninggalkanku dan Adrian.Agak ngeri, sih. Namun, aku meyakinkan hati, kalau semua adalah calon pembeli dan orang baik-baik saja. Di lampu merah ini pun tak terlalu ramai dari serbuan para pencari nafkah. Para pengamen juga gak ada, hanya ada seorang pengemis saja kulihat sedang duduk di bawah lampu merah sana sambil menengadah. Mungkin di sini tak terlalu ramai, karena bukan dipusat kota. Namun, kami justru senang dan lebih merasa aman. Kalau di lampu merah yang ramai, biasanya ada petugas kepolisian yang patroli. Kata Kak Dindin, nanti bisa ditangkap sama mereka. Karena itu, kami berjualan pun tetap waspada dan hanya menghabiskan waktu beberapa jam saja.Keberuntungan berpihak. Keripik dan minuman botol yang kami ambil dari warung Bi Manah terjual cukup banyak. Mata kami nyaris hijau lihat uang perolehan yang lumayan. Walau bagian kami tak banyak. Dari satu botol air minum, kami mendapatkan seribu rupiah, sedangkan dari satu bungkus keripik, kami juga mengambil bagian seribu rupiah. Total perolehan bersih hari ini, punyaku dan Adrian sebanyak lima puluh ribu rupiah.“Wah, bisa kita beli buku, Ian.”Aku berseru bahagia. Baru saja selesai kuhitung uang recehan tersebut dan kumasukkan ke dalam tas.“Iya, Kak … ayo kita cepetan pulang.”Kami pun pulang, mampir ke warung Bi Manah dan menyetorkan uang hasil jualan. Setelah itu, mampir ke masjid lagi berganti pakaian, lalu pulang dengan seragam rapi seperti pagi tadi kami berangkat.Kami tiba di rumah. Ibu tampak belum keluar dari kamarnya. Aku tak pasti dia di sana ngapain saja. Katanya, hmmm kerja. Soalnya semenjak Bapak tak pernah pulang. Ibu lebih banyak menghabiskan waktu di sana. Bisa seharian. Kadang hanya keluar pas jam solat, masak terus makan bersama. Sore-sore menemani kami belajar sebentar, lalu masuk lagi.Ah, jujur … di lubuk hati paling dalamku ada rindu dan rasa sepi. Dulu, sore-sore begini, pasti kami sedang bercengkrama di sini, duduk sambil menonton tivi. Bapak, tak ada banyak cela sebetulnya. Dia ramah, baik dan juga tak pernah membentak kami. Bahkan dia pun royal. Kalau aku mau ini dan itu, dia pasti akan begitu saja mengabulkan. Hanya satu saja salahnya, dia menyakiti Ibu dengan menikahi Tante Reta.“Kak, mana bukunya? Ayo kita kasih sampul.” Adrian melirik padaku. Siang tadi kami sudah membeli buku.“Nanti Ibu keluar gimana?” Aku melirik ke ruangan Ibu. Pintunya masih tertutup.“Ibu keluarnya nanti jam sembilan, masih ada setengah jam lagi.” Adrian meyakinkan. Dia memang pengamat yang baik.“Oh gitu? Ya sudah, bentar Kakak ambilkan!” Aku bergegas masuk ke dalam kamar. Kuambil buku-buku itu. Sampulnya warna cokelat. Punyaku hanya beberapa, Adrian yang banyak. Lalu kami berdua sibuk menyampuli buku.“Besok kita jualan lagi gak?” Aku menoleh pada Adrian.“Jangan, nanti Ibu curiga. Jualan di sekolah saja yang tiap hari. Kalau di lampu merah, seminggu dua kali saja.” Dia bicara sambil melipat ujung sampul buku, lalu mengambil selotip untuk memasangkannya.“Padahal jualan di sana, uangnya banyak, ya!” Aku menyayangkan.“Iya, tapi, jangan sampai Ibu tahu, nanti dia sedih! Kakak gak mau ‘kan Ibu sedih?” Adrian bertanya padaku. Aku mengangguk, setuju dengan Adrian. Aku juga gak mau Ibu sedih.Obrolan kami terhenti ketika pintu diketuk. Adrian beranjak dan membukakan pintu. Rupanya Mang Salim suaminya Bi Manah yang datang. Aku tersentak. Kaget dan takut. Bagaimana kalau dia nanti cerita-cerita pada Ibu. Aku mengedipkan mata pada Adrian ketika Mang Salim bicara ingin bertemu Ibu. Adrian mengangguk lalu bicara padanya, “Ibu sedang sibuk, Mang. Sampaikan saja mau ada apa?”Tetapi Adrian lupa, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Baru saja Adrian mengatupkan bibirnya, pintu ruangan Ibu terlihat bergerak. Seketika netraku membulat. Duh, bagaimana ini?Sambil nunggu ini update, yuk mampir ke cerita on goingku. InsyaAllah sebentar lagi tamat. Ini cuplikannya!Judul : MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD!“Kami datang ke sini, untuk membatalkan pertunangan. Anak kami, Bara, sudah menemukan jodoh yang lebih tepat. Karena itu, saya selaku ibunya, mohon maaf, jika kabar ini membuat keluarga Bu Nilam tidak nyaman.”Deg!Kabar itu membuatku tak bisa berkata apa-apa. Senyuman yang sejak semalam terkulum karena mendapat kabar jika keluarga Bara besok akan datang, kini redup.“Apa saya tidak salah dengar Bu Vamela? Hubungan mereka sudah cukup lama. Jingga---anak saya rela menunggu sampai Bara menyelesaikan S2 nya. Lalu, kenapa seperti ini?” Suara Ibu bergetar. Pasti dia sama kaget dan shocknya seperti aku.“Tidak, Bu Nilam. Ibu tidak salah dengar. Mulai saat ini, Jingga saya bebaskan dan boleh menerima pinangan lelaki lain. Maafkan kalau keputusan ini melukai keluarga Ibu, hanya saja ... maaf, anak ibu hanya guru SD, gak sebanding dengan putra saya.” Dia tersenyum, suaranya masih terdengar lembut, hanya saja terasa begitu menyakitkan.“Kami tak bisa lama. Dua minggu lagi, kalian bisa datang ke nikahannya Bara kalau mau. Undangan virtualnya nanti Bara kirimkan.”"Mang Salim, ada apa,ya? Mari masuk!" Suara Ibu terdengar. Adrian menoleh. Aku yang ikutan ketar-ketir."Ahm ini Bu Salmah, terkait kiripik singkong home made. Alhamdulillah, penjualannya laku keras."Mang Salim yang ngomongin keripik laku, jantung aku yang lompat-lompatan. Jangan-jangan mau bilang kalau aku dan Adrian yang jualin. Ini gak bisa dibiarkan."Ibu, Mang Salimnya biar Icha buatin teh dulu, ya! Apa boleh?" "Ah iya, silakan masuk Mang Salim. Biar Icha buatin teh."Mang Salim mengangguk, lalu masuk. Aku melirik ke arah Adrian."Sssst!"Eh, gak noleh."Hussssh! Hussssh!"Kali ini yang noleh bukan hanya Adrian, tapi Ibu juga. "Ada apa, Cha?""Itu, Bu ... Ian." Aku menunjuk Adrian. Tanganku otomatis sekali mengusap ujung hidung, padahal tak gatal."Apa, Kak?" Adrian menautkan alisnya. Matanya menyipit ke arahku."Sini dulu!" Bibirku mengucap itu, tapi tanpa suara. Seolah ada hal yang rahasia. Padahal Ibu pun pasti melihatnya.Aku pun menggerakkan tangan juga untuk memanggilnya
Satu minggu, dua minggu, tiga minggu, aku dan Adrian sudah makin terbiasa berjualan. Dari yang semula menawarkan barang dagangan malu-malu, sekarang sudah makin berani saja. Apalagi, ternyata pekerjaan Ibu, berdiam di ruangan itu hanya berjualan label keripik. Kemarin saja yang Mang Salim kasih ke Ibu, cuma dua puluh ribu. Berarti Ibu kerja seharian itu dapat uangnya tak seberapa. Setiap seminggu sekali, kami masih rutin berjualan di lampu merah. Uangnya lumayan dari pada hanya jualan di sekolah. Hari ini pun sama. Aku dan Adrian sudah berada di tempat mencari nafkah, lampu merah. Kuedarkan penglihatan. Rupanya pengemis yang biasanya mangkal di sana belum datang. Sepeda sudah kami titip di depan ruko-ruko, bayar dua ribu seperti biasa. Lantas kami berjalan beriringan dengan semangat. Aku selalu bersemangat ketika membayangkan bisa dapat uang sendiri untuk membantu Ibu. "Are you ready?" Adrian memasang topi warna hitam penutup kepalanya dan mengangkat kerdus miliknya. "Yess, I am
KAMI YANG DISIA-SIAKAN BAPAK, SUKSES JADI SARJANA (6)Di sebuah rumah sakit kini aku berada. Duduk di lorong sambil memainkan ujung-ujung kuku. Sesekali aku menoleh ke arah suster dan dokter yang tengah menangani Adrian. Tapi, perasaan kok lama banget. Adrian diperiksa bolak-balik gak kelar-kelar. Aku sudah duduk, bangun, duduk lagi, bangun lagi. Sesekali mengusap wajah, melihat jam di dinding yang berputarnya terasa lama. “Makanlah!” Aku menoleh. Om-om yang tadi membawa kami ke sini menyodorkan satu bungkus nasi dengan tulisan yang aku kenal sekali MkD. Dulu, setiap akhir pekan, Bapak pasti mengajak kami makan ayam goreng yang dilumuri tepung itu, lengkap dengan kentang goreng dan es krim. “Makasih, Om.” Aku menerima bungkusan itu. Wangi ayam goreng dan potongan kentang tercium menguar. Tapi, aku belum bisa makan. Aku sangat mencemaskan keadaan Adrian.“Makanlah! Setelah itu, biar Om anter kamu pulang.” Sontak aku menoleh ke arahnya. Apa? Di anter pulang? Bisa gawat kalau sampai
KAMI YANG DISIA-SIAKAN BAPAK, SUKSES JADI SARJANA (8)“Mau apa, Tante ke sini?” Adrian sudah berdiri duluan sebelum Tante Reta mencari tempat duduk. “Ibu kalian ada?” Dia tersenyum. Lalu duduk dan menumpang kakinya. “Bilang saja, Tante mau apa? Ibu lagi sibuk.” Adrian menjawab ketus. “Tante mau ambil baju-baju Papa Heru.” Tante Reta bicara lagi. Bersamaan dengan kalimatnya itu, pintu rumah terbuka. Ibu muncul sambil membawa singkong rebus. Beberapa detik, Ibu tertegun. Tante Reta berdiri dan tersenyum sambil mendekat. “Hay, Salmah … sehat?” tanyanya sambil hendak memeluk Ibu. Namun, Ibu tampak membuang muka. “Kalau mau ngambil baju-baju suami kamu, ambil saja.” Suara Ibu datar. “Ah iya, Salmah. Mas Heru ngomong mulu suruh aku ngambil ke sini. Padahal sudah kusuruh datang sendiri sekalian jenguk anaknya, eh gak mau.” Tante Reta memasang wajah sedih. “Gak usah banyak bicara. Ucapan kamu hanya akan menyakiti hati anak-anak. Tunggu di sini!” titah Ibu. Setelah meletakkan singkong
Pov Salmah“Nah, Salmah … jadi bisa ‘kan kamu ikut? Jujur, saya belum pernah menjaga anak-anak. Apalagi ini acara besar.” Pak Dirga menatapku. Aku memandang Icha dan Ian bergantian. Tampak sekali binar harapan dari sorot matanya bertaburan. Akhirnya sambil mengangguk pasrah, aku mengiyakkan. “Yeayyy! Jalan-jalan!” Kedua anakku melompat senang. Sepulangnya Pak Dirga. Aku disibukkan dengan kehebohan Icha dan Ian. Rasa bersalah menguar. Sudah cukup lama memang aku tak mengajaknya jalan-jalan. Sederet pekerjaan baru, benar-benar menyita waktuku. Apalagi saat ini, aku sudah bekerja dengan referensi Pak Dirga di salah satu perusahaan marketplace miliknya. Ya, karena itu juga … setelah kejadian tertabraknya Adrian, kami masih kerap komunikasi hingga berakhir dengan kedatangannya hari ini. “Bu baju renang Icha di mana, ya?” Icha sibuk mempacking baju-bajunya. Kamarnya sudah seperti kapal pecah. Beberapa sudah masuk ke dalam ransel miliknya. “Ya ampuuun, Kakak! Kita itu cuma jalan-jalan s
Pov Salmah“Salmah … kamu di sini?” Suara itu. Aku menggeleng. Kenapa suara Mas Heru menjadi teramat sangat nyata kudengar. Namun, ingatanku yang tadi berhamburan kini terkumpul dan tertarik kembali. Aku menoleh pada sosok yang ternyata sudah berada tak jauh dariku. “Salmah, sehat?” Mas Heru, dia benar-benar ada. Dia datang mendekat. “Kamu, Mas?” Aku tak menjawab. Kuputar bola mata ke atas. Malas bertemu sebetulnya. Namun, tak enak juga mengusirnya. Apalagi ini adalah acaranya. “Kebetulan banget, kita bertemu di sini. Mungkin, kita ini masih … hmmm, jodoh," kekehnya. Glek!Aku mendadak kehilangan kata-kata. Bagaimana mungkin lelaki berusia sekitar empat puluh tahunan ini tiba-tiba bicara jodoh. Beberapa bulan lalu bahkan dia datang dengan angkuhnya untuk membawa istri barunya tinggal di rumah yang kami tempati. “Mas, tolong … kita ini sudah bukan mahram. Menjauhlah … aku tak mau jadi fitnah.” Aku mengatupkan tangan padanya. Tak mungkin aku pergi, saat ini sedang menunggui tas mil
Pov DirgaAku bukan manusia suci. Di usiaku yang sudah menjelang empat puluh tahunan ini aku memang belum menikah. Namun, aku bukan lagi seorang perjaka. Dikhianati seseorang yang begitu kucintai membuatku menganggap semua wanita itu sama. Mereka hanya menyukaiku karena harta yang kumiliki. Jadi, segampang itu juga aku mengikuti hidupku. Berpindah dari ranjang satu ke ranjang yang lainnya hanya untuk memuaskan diri. Minuman beralkohol kerap menjadi temanku kala sepi. Hingga malam itu, akibat benda laknat itu aku meniduri karyawan magangku sendiri. Fatima namanya. Dia berasal dari Bekasi. Dia magang di kantor marketplace yang kumiliki. Malam itu aku sedang benar-benar kesal setelah melihat berita tentang Irina. Dia pamer kebahagiaan dengan suami dan anak-anaknya. Lelaki yang tak lain adalah sahabatku sendiri.Irina---perempuan pertama yang sudah membuatku jatuh cinta. Irina, dialah yang menarikku untuk melanggar norma. Mengajakku bertualang meski tanpa ikatan. Irina yang membuatku pa
Pov Salmah“Ibu! Ibu! Kakak, Bu!” Kami menoleh ke asal suara. Kulihat Adrian berlari panik ke arah kami sambil menunjuk ke arah kolam yang agak dalam.“Astaghfirulloh!” Aku lekas memburu Adrian. “Icha!” Aku histeris ketika terlihat petugas waterboom tampak tengah berusaha menyelamatkan orang di tengah kolam. Byur!Byur!Tanpa kusangka, Mas Heru dan Pak Dirga bersamaan menceburkan diri ke dalam kolam. Mereka mengayuh, tapi gerakan Mas Heru kalah gesit oleh Pak Dirga. Dia lebih cepat tiba dan membantu penjaga kolam itu membawa Alisha ke tepi. “Astaghfirulloh … Icha ….” Lututku gemetar mendapati Alisha yang tengah terbatuk-batuk, wajahnya sudah pias. Dia kini tergeletak di tepi kolam. Tubuhnya menggigil dan tangannya gemetar ketakutan. Mas Heru yang basah kuyup pun mendekat. Kurasa jemarinyalah yang menyentuh pundakku. Aku masih fokus dengan Alishaku. “I---Ibu … Icha takut.” Suara Alisha terdengar lirih. Dia memelukku sambil terisak. “Sudah, tenang, Salmah … Alisha gak kenapa-kenapa