Share

Bab 4

"Mang Salim, ada apa,ya? Mari masuk!" Suara Ibu terdengar. Adrian menoleh. Aku yang ikutan ketar-ketir.

"Ahm ini Bu Salmah, terkait kiripik singkong home made. Alhamdulillah, penjualannya laku keras."

Mang Salim yang ngomongin keripik laku, jantung aku yang lompat-lompatan. Jangan-jangan mau bilang kalau aku dan Adrian yang jualin. Ini gak bisa dibiarkan.

"Ibu, Mang Salimnya biar Icha buatin teh dulu, ya! Apa boleh?"

"Ah iya, silakan masuk Mang Salim. Biar Icha buatin teh."

Mang Salim mengangguk, lalu masuk. Aku melirik ke arah Adrian.

"Sssst!"

Eh, gak noleh.

"Hussssh! Hussssh!"

Kali ini yang noleh bukan hanya Adrian, tapi Ibu juga.

"Ada apa, Cha?"

"Itu, Bu ... Ian." Aku menunjuk Adrian. Tanganku otomatis sekali mengusap ujung hidung, padahal tak gatal.

"Apa, Kak?" Adrian menautkan alisnya. Matanya menyipit ke arahku.

"Sini dulu!" Bibirku mengucap itu, tapi tanpa suara. Seolah ada hal yang rahasia. Padahal Ibu pun pasti melihatnya.

Aku pun menggerakkan tangan juga untuk memanggilnya. Dia menghampiri. Aku membisikkan sesuatu ke telinganya. Adrian mengangguk-angguk.

Segera aku ke dapur. Aku mencari termos dan keberuntungan berpihak. Termosnya isi tinggal sedikit. Aku tuang biar habis, biar ada alasan pada Ibu mau merebus lagi. Aku pun lekas mengisi air ke dalam wadah.

Tak lama, setelah kumengisi air ke dalam wadah, aku ke ruang tengah lagi. Aku bilang pada Ibu kalau airnya habis. Dia pun ke dapur. Selama ini, dia masih tak mengizinkan aku menyalakan kompor sendirian. Pernah trauma ketika waktu itu aku sok tahu, dan ternyata tabung gasnya bocor.

Waktu merebus air tak lama. Ibu menunggui hingga air matang. Kurasa ini waktu yang cukup untuk Adrian bicara dengan Mang Salim di ruang tengah. Bicara agar Mang Salim jangan bercerita apapun tentang keripik yang kami jual.

Usai membuat teh, aku dan Ibu kembali ke ruang tengah. Syukurlah, Mang Salim sudah gak ada. Hanya ada Adrian yang sudah duduk santai. Buku-buku yang tadi kami sampul pun sudah tak kelihatan. Dia bereskan.

Ah, adikku memang gercep.

"Loh, Mang Salimnya mana?" Ibu menatap bingung.

"Sudah pulang, Bu! Tadi buru-buru katanya. Ini nitip uang saja, buat bayar cetak label keripik katanya." Kulihat Adrian mengangsurkan uang dua puluh ribuan.

"Oh, ya sudah. Besok Ibu titip ke Ian ya, label keripiknya biar Ibu buatkan dulu. Uangnya bagi dua saja sama Kak Icha. Buat ongkos besok ke sekolah."

"Iya, Bu!"

Aku menatap selembar uang dua puluh ribuan itu. Lihat, betapa susah Ibu mencari uang buat kami. Rupanya kerja Ibu hanya membuatkan label. Label pun harganya tak seberapa. Ibu pasti harus kerja keras buat mengumpulkan uang yang banyak untuk kami sekolah. Kasihan sekali Ibu.

"Oh ya, hari ini kalian sudah baca buku apa? Ada hal baru gak yang kalian pelajari." Ibu duduk pada karpet dan berselonjor. Dia kini memeriksa buku pelajaran hari ini.

Aku sudah deg-degan, takut Ibu menemukan buku baru dalam jumlah banyak itu. Dia pasti curiga. Tak biasanya Ibu memeriksa buku kami satu-satu seperti ini. Kulirik Adrian dengan wajah cemas, tapi dia tersenyum sambil mengacungkan satu jempol tangannya, “Aman.” Itulah gerakan bibir yang aku baca. Aku pun mengangguk lega.

"Ahm, tadi Ian gak sempat baca bukunya, Bu!"

“Icha, besok bacanya ya, Bu.”

Ya, karena hari ini kami berjualan. Jadinya gak sempat belajar lebih banyak seperti yang selalu Ibu suruh.

"Ian sama Icha, Ibu cuma mau ngingetin lagi, ya! Sesibuk apapun Ian sama Icha, tetap biasakan perubahan baik sekecil apapun setiap hari dan rutinkan. Ya, walaupun cuma 1%, tapi itu yang akan berdampak pada kehidupan kalian kelak. Icha sama Ian tahu pohon bambu?" Ibu menatapku dan Ian bergantian.

"Iya, Bu, tahu." Aku dan Ian menjawab hampir bersamaan.

"Pohon bambu itu tak kelihatan tumbuh pada awalnya. Hmmm mungkin lima sampai enam tahun, mereka sibuk menumbuhkan akar. Namun, ketika akarnya sudah kokoh, tiba-tiba kita akan dikejutkan dengan pohonnya yang tumbuh tinggi menjulang. Ian sama Icha paham artinya apa?"

Aku dan Ian saling bertukar pandangan, lalu menggeleng bersamaan.

Ibu tersenyum. Pandangan matanya lembut seperti biasa. Lalu dia kembali menjelaskan.

"Jadi sederhananya gini, kadang kita gak akan tahu selama apa seseorang memupuk kebiasaan baik dalam hidupnya dan menjalankannya rutin. Yang kita tahu, oh si A sudah jadi penulis hebat dan tulisannya dimuat di koran-koran, si B menjuarai lomba renang, si C bisa jadi juara kelas. Karena yang terlihat itu adalah hasil atau sasaran, tanpa kita tahu jika mereka membuat sistem yang baik selama hidupnya. Sistem yang baik inilah yang akan menjadi identitas."

Aku dan Ian menganggukkan kepala. Lalu Ibu melanjutkan lagi kalimatnya.

"Kebiasaan baik sekecil apapun yang dilakukan secara berulang akan menjadi sistem yang baik dan menjadi identitas kita. Ingat identitas, ya, bukan hanya hasil akhir. Seperti ketika Ian sama Icha rajin belajar tiap hari, maka bukan hanya hasil akhir yang harus Ian sama Icha jadikan tujuan. Misal belajar demi untuk jadi juara kelas. Bisa jadi setelah tercapai tujuan itu, Icha dan Ian gak belajar lagi. Itu akan beda ketika Icha dan Ian membangun identitas. Icha sama Ian belajar itu karena icha dan Ian merasa identias dirinya sebagai seorang pelajar. Adapun jadi juara kelas, itu adalah bonusnya dari sistem yang sudah Icha sama Ian buat.”

Aku dan Adrian hanya mengangguk-angguk saja.

“Nah, tapi kita juga harus hati-hati akan keburukan kecil yang dilakukan berulang juga. Misal memulai kebiasaan tak jujur, berdusta dan sebagainya. Jangan sampai hal tersebut menjadi identitas diri kita. Seorang pendusta, misalnya atau seorang pemalas. Karena sekecil apapun keburukan jika dilakukan berulang maka akan menjadi sistem yang buruk juga yang akan terbawa hingga besar nanti. Paham?"

Deg!

Tiba-tiba aku merasa kalimat itu tertuju padaku dan Ian. Kami sudah tak jujur pada Ibu. Gugup, menunduk dan takut. “Paham, Bu!” Aku dan Ian menjawab bersamaan.

"Sekarang, kalian cepetan tidur, jangan lupa solat isya dan cuci tangan juga kaki dulu!"

"Iya, Bu!"

***

Keesokan harinya, aku dan Adrian masih melanjutkan berjualan. Kami mengambil keripik di warung Bi Manah, terus membawanya ke sekolah. Kata Ian, kami bukan bohong, hanya saja belum bicara terus terang saja pada Ibu dan entah kenapa, aku pun setuju. Yang jelas, kami hanya ingin membantu Ibu cari uang, tanpa membuat dia sedih. Itu saja.

Sepedaku dan Adrian beriringan. Hingga tiba di depan gerbang, kami melambat. Di depan sana, kulihat mobil Bapak. Dia memakai jas kantorannya, tampan dan gagah. Baru saja dia mengusap pucuk kepala Vira dan memberikan uang padanya.

Aku memandang Bapak dengan rasa benci, rindu dan perasaan kehilangan yang bersatu. Kutatap wajah sumringah Vira yang berlari masuk ke gerbang. Tak terasa air mataku jatuh. Adrian yang berdiri di sampingku menepuk pundakku dan mengulurkan tissue.

“Kakak jangan nangis! Kita punya Ibu yang hebat.” Aku mengambil tissue dari Adrian dan mengangguk. Namun sepasang mataku tetap basah menatap mobil Bapak yang berputar dan lalu menjauh pergi. Mobil yang dulu sering mengantar kami berangkat sekolah juga. Dulu, satu tahun yang lalu sebelum Bapak berubah seperti ini. Mulai satu tahun terakhir, kami sudah sering berangkat naik sepeda karena Bapak mulai sibuk, katanya. Bahkan kini, dia tak ada sedikitpun rindu pada kami. Sudah hilangkah nama kami di hati Bapak?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status