"Mang Salim, ada apa,ya? Mari masuk!" Suara Ibu terdengar. Adrian menoleh. Aku yang ikutan ketar-ketir.
"Ahm ini Bu Salmah, terkait kiripik singkong home made. Alhamdulillah, penjualannya laku keras."Mang Salim yang ngomongin keripik laku, jantung aku yang lompat-lompatan. Jangan-jangan mau bilang kalau aku dan Adrian yang jualin. Ini gak bisa dibiarkan."Ibu, Mang Salimnya biar Icha buatin teh dulu, ya! Apa boleh?""Ah iya, silakan masuk Mang Salim. Biar Icha buatin teh."Mang Salim mengangguk, lalu masuk. Aku melirik ke arah Adrian."Sssst!"Eh, gak noleh."Hussssh! Hussssh!"Kali ini yang noleh bukan hanya Adrian, tapi Ibu juga."Ada apa, Cha?""Itu, Bu ... Ian." Aku menunjuk Adrian. Tanganku otomatis sekali mengusap ujung hidung, padahal tak gatal."Apa, Kak?" Adrian menautkan alisnya. Matanya menyipit ke arahku."Sini dulu!" Bibirku mengucap itu, tapi tanpa suara. Seolah ada hal yang rahasia. Padahal Ibu pun pasti melihatnya.Aku pun menggerakkan tangan juga untuk memanggilnya. Dia menghampiri. Aku membisikkan sesuatu ke telinganya. Adrian mengangguk-angguk.Segera aku ke dapur. Aku mencari termos dan keberuntungan berpihak. Termosnya isi tinggal sedikit. Aku tuang biar habis, biar ada alasan pada Ibu mau merebus lagi. Aku pun lekas mengisi air ke dalam wadah.Tak lama, setelah kumengisi air ke dalam wadah, aku ke ruang tengah lagi. Aku bilang pada Ibu kalau airnya habis. Dia pun ke dapur. Selama ini, dia masih tak mengizinkan aku menyalakan kompor sendirian. Pernah trauma ketika waktu itu aku sok tahu, dan ternyata tabung gasnya bocor.Waktu merebus air tak lama. Ibu menunggui hingga air matang. Kurasa ini waktu yang cukup untuk Adrian bicara dengan Mang Salim di ruang tengah. Bicara agar Mang Salim jangan bercerita apapun tentang keripik yang kami jual.Usai membuat teh, aku dan Ibu kembali ke ruang tengah. Syukurlah, Mang Salim sudah gak ada. Hanya ada Adrian yang sudah duduk santai. Buku-buku yang tadi kami sampul pun sudah tak kelihatan. Dia bereskan.Ah, adikku memang gercep."Loh, Mang Salimnya mana?" Ibu menatap bingung."Sudah pulang, Bu! Tadi buru-buru katanya. Ini nitip uang saja, buat bayar cetak label keripik katanya." Kulihat Adrian mengangsurkan uang dua puluh ribuan."Oh, ya sudah. Besok Ibu titip ke Ian ya, label keripiknya biar Ibu buatkan dulu. Uangnya bagi dua saja sama Kak Icha. Buat ongkos besok ke sekolah.""Iya, Bu!"Aku menatap selembar uang dua puluh ribuan itu. Lihat, betapa susah Ibu mencari uang buat kami. Rupanya kerja Ibu hanya membuatkan label. Label pun harganya tak seberapa. Ibu pasti harus kerja keras buat mengumpulkan uang yang banyak untuk kami sekolah. Kasihan sekali Ibu."Oh ya, hari ini kalian sudah baca buku apa? Ada hal baru gak yang kalian pelajari." Ibu duduk pada karpet dan berselonjor. Dia kini memeriksa buku pelajaran hari ini.Aku sudah deg-degan, takut Ibu menemukan buku baru dalam jumlah banyak itu. Dia pasti curiga. Tak biasanya Ibu memeriksa buku kami satu-satu seperti ini. Kulirik Adrian dengan wajah cemas, tapi dia tersenyum sambil mengacungkan satu jempol tangannya, “Aman.” Itulah gerakan bibir yang aku baca. Aku pun mengangguk lega."Ahm, tadi Ian gak sempat baca bukunya, Bu!"“Icha, besok bacanya ya, Bu.”Ya, karena hari ini kami berjualan. Jadinya gak sempat belajar lebih banyak seperti yang selalu Ibu suruh."Ian sama Icha, Ibu cuma mau ngingetin lagi, ya! Sesibuk apapun Ian sama Icha, tetap biasakan perubahan baik sekecil apapun setiap hari dan rutinkan. Ya, walaupun cuma 1%, tapi itu yang akan berdampak pada kehidupan kalian kelak. Icha sama Ian tahu pohon bambu?" Ibu menatapku dan Ian bergantian."Iya, Bu, tahu." Aku dan Ian menjawab hampir bersamaan."Pohon bambu itu tak kelihatan tumbuh pada awalnya. Hmmm mungkin lima sampai enam tahun, mereka sibuk menumbuhkan akar. Namun, ketika akarnya sudah kokoh, tiba-tiba kita akan dikejutkan dengan pohonnya yang tumbuh tinggi menjulang. Ian sama Icha paham artinya apa?"Aku dan Ian saling bertukar pandangan, lalu menggeleng bersamaan.Ibu tersenyum. Pandangan matanya lembut seperti biasa. Lalu dia kembali menjelaskan."Jadi sederhananya gini, kadang kita gak akan tahu selama apa seseorang memupuk kebiasaan baik dalam hidupnya dan menjalankannya rutin. Yang kita tahu, oh si A sudah jadi penulis hebat dan tulisannya dimuat di koran-koran, si B menjuarai lomba renang, si C bisa jadi juara kelas. Karena yang terlihat itu adalah hasil atau sasaran, tanpa kita tahu jika mereka membuat sistem yang baik selama hidupnya. Sistem yang baik inilah yang akan menjadi identitas."Aku dan Ian menganggukkan kepala. Lalu Ibu melanjutkan lagi kalimatnya."Kebiasaan baik sekecil apapun yang dilakukan secara berulang akan menjadi sistem yang baik dan menjadi identitas kita. Ingat identitas, ya, bukan hanya hasil akhir. Seperti ketika Ian sama Icha rajin belajar tiap hari, maka bukan hanya hasil akhir yang harus Ian sama Icha jadikan tujuan. Misal belajar demi untuk jadi juara kelas. Bisa jadi setelah tercapai tujuan itu, Icha dan Ian gak belajar lagi. Itu akan beda ketika Icha dan Ian membangun identitas. Icha sama Ian belajar itu karena icha dan Ian merasa identias dirinya sebagai seorang pelajar. Adapun jadi juara kelas, itu adalah bonusnya dari sistem yang sudah Icha sama Ian buat.”Aku dan Adrian hanya mengangguk-angguk saja.“Nah, tapi kita juga harus hati-hati akan keburukan kecil yang dilakukan berulang juga. Misal memulai kebiasaan tak jujur, berdusta dan sebagainya. Jangan sampai hal tersebut menjadi identitas diri kita. Seorang pendusta, misalnya atau seorang pemalas. Karena sekecil apapun keburukan jika dilakukan berulang maka akan menjadi sistem yang buruk juga yang akan terbawa hingga besar nanti. Paham?"Deg!Tiba-tiba aku merasa kalimat itu tertuju padaku dan Ian. Kami sudah tak jujur pada Ibu. Gugup, menunduk dan takut. “Paham, Bu!” Aku dan Ian menjawab bersamaan."Sekarang, kalian cepetan tidur, jangan lupa solat isya dan cuci tangan juga kaki dulu!""Iya, Bu!"***Keesokan harinya, aku dan Adrian masih melanjutkan berjualan. Kami mengambil keripik di warung Bi Manah, terus membawanya ke sekolah. Kata Ian, kami bukan bohong, hanya saja belum bicara terus terang saja pada Ibu dan entah kenapa, aku pun setuju. Yang jelas, kami hanya ingin membantu Ibu cari uang, tanpa membuat dia sedih. Itu saja.Sepedaku dan Adrian beriringan. Hingga tiba di depan gerbang, kami melambat. Di depan sana, kulihat mobil Bapak. Dia memakai jas kantorannya, tampan dan gagah. Baru saja dia mengusap pucuk kepala Vira dan memberikan uang padanya.Aku memandang Bapak dengan rasa benci, rindu dan perasaan kehilangan yang bersatu. Kutatap wajah sumringah Vira yang berlari masuk ke gerbang. Tak terasa air mataku jatuh. Adrian yang berdiri di sampingku menepuk pundakku dan mengulurkan tissue.“Kakak jangan nangis! Kita punya Ibu yang hebat.” Aku mengambil tissue dari Adrian dan mengangguk. Namun sepasang mataku tetap basah menatap mobil Bapak yang berputar dan lalu menjauh pergi. Mobil yang dulu sering mengantar kami berangkat sekolah juga. Dulu, satu tahun yang lalu sebelum Bapak berubah seperti ini. Mulai satu tahun terakhir, kami sudah sering berangkat naik sepeda karena Bapak mulai sibuk, katanya. Bahkan kini, dia tak ada sedikitpun rindu pada kami. Sudah hilangkah nama kami di hati Bapak?Satu minggu, dua minggu, tiga minggu, aku dan Adrian sudah makin terbiasa berjualan. Dari yang semula menawarkan barang dagangan malu-malu, sekarang sudah makin berani saja. Apalagi, ternyata pekerjaan Ibu, berdiam di ruangan itu hanya berjualan label keripik. Kemarin saja yang Mang Salim kasih ke Ibu, cuma dua puluh ribu. Berarti Ibu kerja seharian itu dapat uangnya tak seberapa. Setiap seminggu sekali, kami masih rutin berjualan di lampu merah. Uangnya lumayan dari pada hanya jualan di sekolah. Hari ini pun sama. Aku dan Adrian sudah berada di tempat mencari nafkah, lampu merah. Kuedarkan penglihatan. Rupanya pengemis yang biasanya mangkal di sana belum datang. Sepeda sudah kami titip di depan ruko-ruko, bayar dua ribu seperti biasa. Lantas kami berjalan beriringan dengan semangat. Aku selalu bersemangat ketika membayangkan bisa dapat uang sendiri untuk membantu Ibu. "Are you ready?" Adrian memasang topi warna hitam penutup kepalanya dan mengangkat kerdus miliknya. "Yess, I am
KAMI YANG DISIA-SIAKAN BAPAK, SUKSES JADI SARJANA (6)Di sebuah rumah sakit kini aku berada. Duduk di lorong sambil memainkan ujung-ujung kuku. Sesekali aku menoleh ke arah suster dan dokter yang tengah menangani Adrian. Tapi, perasaan kok lama banget. Adrian diperiksa bolak-balik gak kelar-kelar. Aku sudah duduk, bangun, duduk lagi, bangun lagi. Sesekali mengusap wajah, melihat jam di dinding yang berputarnya terasa lama. “Makanlah!” Aku menoleh. Om-om yang tadi membawa kami ke sini menyodorkan satu bungkus nasi dengan tulisan yang aku kenal sekali MkD. Dulu, setiap akhir pekan, Bapak pasti mengajak kami makan ayam goreng yang dilumuri tepung itu, lengkap dengan kentang goreng dan es krim. “Makasih, Om.” Aku menerima bungkusan itu. Wangi ayam goreng dan potongan kentang tercium menguar. Tapi, aku belum bisa makan. Aku sangat mencemaskan keadaan Adrian.“Makanlah! Setelah itu, biar Om anter kamu pulang.” Sontak aku menoleh ke arahnya. Apa? Di anter pulang? Bisa gawat kalau sampai
KAMI YANG DISIA-SIAKAN BAPAK, SUKSES JADI SARJANA (8)“Mau apa, Tante ke sini?” Adrian sudah berdiri duluan sebelum Tante Reta mencari tempat duduk. “Ibu kalian ada?” Dia tersenyum. Lalu duduk dan menumpang kakinya. “Bilang saja, Tante mau apa? Ibu lagi sibuk.” Adrian menjawab ketus. “Tante mau ambil baju-baju Papa Heru.” Tante Reta bicara lagi. Bersamaan dengan kalimatnya itu, pintu rumah terbuka. Ibu muncul sambil membawa singkong rebus. Beberapa detik, Ibu tertegun. Tante Reta berdiri dan tersenyum sambil mendekat. “Hay, Salmah … sehat?” tanyanya sambil hendak memeluk Ibu. Namun, Ibu tampak membuang muka. “Kalau mau ngambil baju-baju suami kamu, ambil saja.” Suara Ibu datar. “Ah iya, Salmah. Mas Heru ngomong mulu suruh aku ngambil ke sini. Padahal sudah kusuruh datang sendiri sekalian jenguk anaknya, eh gak mau.” Tante Reta memasang wajah sedih. “Gak usah banyak bicara. Ucapan kamu hanya akan menyakiti hati anak-anak. Tunggu di sini!” titah Ibu. Setelah meletakkan singkong
Pov Salmah“Nah, Salmah … jadi bisa ‘kan kamu ikut? Jujur, saya belum pernah menjaga anak-anak. Apalagi ini acara besar.” Pak Dirga menatapku. Aku memandang Icha dan Ian bergantian. Tampak sekali binar harapan dari sorot matanya bertaburan. Akhirnya sambil mengangguk pasrah, aku mengiyakkan. “Yeayyy! Jalan-jalan!” Kedua anakku melompat senang. Sepulangnya Pak Dirga. Aku disibukkan dengan kehebohan Icha dan Ian. Rasa bersalah menguar. Sudah cukup lama memang aku tak mengajaknya jalan-jalan. Sederet pekerjaan baru, benar-benar menyita waktuku. Apalagi saat ini, aku sudah bekerja dengan referensi Pak Dirga di salah satu perusahaan marketplace miliknya. Ya, karena itu juga … setelah kejadian tertabraknya Adrian, kami masih kerap komunikasi hingga berakhir dengan kedatangannya hari ini. “Bu baju renang Icha di mana, ya?” Icha sibuk mempacking baju-bajunya. Kamarnya sudah seperti kapal pecah. Beberapa sudah masuk ke dalam ransel miliknya. “Ya ampuuun, Kakak! Kita itu cuma jalan-jalan s
Pov Salmah“Salmah … kamu di sini?” Suara itu. Aku menggeleng. Kenapa suara Mas Heru menjadi teramat sangat nyata kudengar. Namun, ingatanku yang tadi berhamburan kini terkumpul dan tertarik kembali. Aku menoleh pada sosok yang ternyata sudah berada tak jauh dariku. “Salmah, sehat?” Mas Heru, dia benar-benar ada. Dia datang mendekat. “Kamu, Mas?” Aku tak menjawab. Kuputar bola mata ke atas. Malas bertemu sebetulnya. Namun, tak enak juga mengusirnya. Apalagi ini adalah acaranya. “Kebetulan banget, kita bertemu di sini. Mungkin, kita ini masih … hmmm, jodoh," kekehnya. Glek!Aku mendadak kehilangan kata-kata. Bagaimana mungkin lelaki berusia sekitar empat puluh tahunan ini tiba-tiba bicara jodoh. Beberapa bulan lalu bahkan dia datang dengan angkuhnya untuk membawa istri barunya tinggal di rumah yang kami tempati. “Mas, tolong … kita ini sudah bukan mahram. Menjauhlah … aku tak mau jadi fitnah.” Aku mengatupkan tangan padanya. Tak mungkin aku pergi, saat ini sedang menunggui tas mil
Pov DirgaAku bukan manusia suci. Di usiaku yang sudah menjelang empat puluh tahunan ini aku memang belum menikah. Namun, aku bukan lagi seorang perjaka. Dikhianati seseorang yang begitu kucintai membuatku menganggap semua wanita itu sama. Mereka hanya menyukaiku karena harta yang kumiliki. Jadi, segampang itu juga aku mengikuti hidupku. Berpindah dari ranjang satu ke ranjang yang lainnya hanya untuk memuaskan diri. Minuman beralkohol kerap menjadi temanku kala sepi. Hingga malam itu, akibat benda laknat itu aku meniduri karyawan magangku sendiri. Fatima namanya. Dia berasal dari Bekasi. Dia magang di kantor marketplace yang kumiliki. Malam itu aku sedang benar-benar kesal setelah melihat berita tentang Irina. Dia pamer kebahagiaan dengan suami dan anak-anaknya. Lelaki yang tak lain adalah sahabatku sendiri.Irina---perempuan pertama yang sudah membuatku jatuh cinta. Irina, dialah yang menarikku untuk melanggar norma. Mengajakku bertualang meski tanpa ikatan. Irina yang membuatku pa
Pov Salmah“Ibu! Ibu! Kakak, Bu!” Kami menoleh ke asal suara. Kulihat Adrian berlari panik ke arah kami sambil menunjuk ke arah kolam yang agak dalam.“Astaghfirulloh!” Aku lekas memburu Adrian. “Icha!” Aku histeris ketika terlihat petugas waterboom tampak tengah berusaha menyelamatkan orang di tengah kolam. Byur!Byur!Tanpa kusangka, Mas Heru dan Pak Dirga bersamaan menceburkan diri ke dalam kolam. Mereka mengayuh, tapi gerakan Mas Heru kalah gesit oleh Pak Dirga. Dia lebih cepat tiba dan membantu penjaga kolam itu membawa Alisha ke tepi. “Astaghfirulloh … Icha ….” Lututku gemetar mendapati Alisha yang tengah terbatuk-batuk, wajahnya sudah pias. Dia kini tergeletak di tepi kolam. Tubuhnya menggigil dan tangannya gemetar ketakutan. Mas Heru yang basah kuyup pun mendekat. Kurasa jemarinyalah yang menyentuh pundakku. Aku masih fokus dengan Alishaku. “I---Ibu … Icha takut.” Suara Alisha terdengar lirih. Dia memelukku sambil terisak. “Sudah, tenang, Salmah … Alisha gak kenapa-kenapa
Aku sudah agak baikan. Tercebur ke kolam yang dalam itu membuat aku masih gemetaran. Aku tak ingat pasti urutan kejadiannya. Saat itu, aku tak sengaja menjatuhkan diri ke kolam itu. Rasanya ada seseorang yang mendorongku, meski tak pasti siapa orang itu. Takut, dingin dan sesak. Aku tak mau lagi terulang kejadian seperti ini lagi di kemudian hari. Rasanya aku seperti mau mati. Aku kira tak akan lagi bisa melihat Ian dan senyuman Ibu lagi. Perasaan riang dan senang karena sudah lama tak jalan-jalan berubah jadi kengerian. Padahal aku dan Adrian dari malam begitu senang bahkan sampai sulit tidur. Sudah lama sekali Ibu sibuk sendiri. Aku merasa rindu dan sepi. Hari ini berlalu juga. Om Dirga dan Bapak membantu penjaga kolam itu menolongku. Aku sangat berterima kasih pada Om Dirga dan juga, hmm, Bapak. Mereka rela basah-basahan untuk menolongku. Hanya saja, setelah kejadian hari itu. Om Dirga tak pernah lagi berkunjung. Entah kenapa? Apa mungkin dia sebenarnya marah karena aku mengaca