"Selamat siang, Pak Alva Alexander.” Setelah keterdiaman beberapa menit, wanita itu membuka suara lebih dulu. “Perkenalkan, saya Nadine Arzetta. Sekretaris baru yang akan bekerja mulai hari ini. Mohon bantuan dan bimbingannya.”
Zetta mengeryit ketika calon bosnya—Alva, tidak menanggapi sapaannya malah nampak menikmati menyesap kopi di tangannya.Rumor buruk perihal bosnya sudah khatam dia pelajari. Siapa yang tak mengenal Alva Alexander—CEO yang wajahnya hilir mudik di majalah-majalah gosip dan bisnis. Tentang ketampanan, kepintaran dan pengangkatannya menjadi CEO muda menggantikan Papinya. Zetta muak melihat sosoknya yang terlihat begitu sombong, semaunya sendiri dan merasa dirinya adalah pusat dunia.Bahkan, beberapa hari lalu skandalnya mencuat dan menjadi bahan omongan dan incaran paparazi karena dia kedapatan menggoda sekretarisnya sendiri yang sudah bersuami. Itulah asal usul keberadaan Zetta di sini, menggantikan posisi kosong sekretaris. Itupun dia lakukan setelah ada tawaran dari pamannya.Meski Om Jeremy, paman Zetta yang juga bekerja di sini bilang dia harus berhati-hati pada Alva, agaknya hal itu tidak berlaku bagi Zetta. Sejak mengalami kejadian buruk yang membuatnya trauma, sosok pria hidung belang seperti Alva Alexander hanyalah bos sampah yang menyebalkan. Kesal tidak mendapatkan atensi atas kedatangannya, Zetta kembali bersuara. "Pak Alva. Bapak tidak tuli kan? Jangan melamun Pak nanti kemasukan setan."Setelah mengatakan hal itu, barulah Alva berbalik. Dengan tangan yang memegang cangkir kopi, mata pria itu menatap penuh nilai penampilan Zetta dari atas sampai bawah. Dalam hati Zetta tersenyum karena tahu apa yang sedang dipikirkan oleh bosnya. Alva pasti tidak menduga jika sekretaris barunya memiliki penampilan yang tidak sesuai dengan keinginannya. Saat sibuk dengan pikirannya sendiri, Zetta kaget saat Alva tersedak dan menyemburkan minumannya."Aduh!" pekik Zetta menutup mulutnya. "Tenang, Pak. Sebentar. Sebentar. Tisu mana tisu!"Zetta memutar balik badannya mencari sesuatu. Dia berjalan cepat ke meja tamu yang ada di tengah ruangan saat melihat ada satu kotak tisu di sana. Diambilnya beberapa dengan gerakan cepat, membiarkan Alva nampak bengong tidak memedulikan tangannya yang basah. Zetta mendekat berusaha membersihkan tangan Alva tanpa benar-benar menyentuhnya dan hanya menyapukan tisu itu di tempat yang basah."Kalau bersihin itu yang niat dong. Bukan seperti itu caranya!”Zetta kaget saat tiba-tiba Alva menarik tangannya yang masih memegang tisu untuk membersihkan sisa tumpangan kopi di tangannya.“AKKHHH!!” reflek Zetta menjerit.Buk!!Zetta langsung menampar Alva karena sudah menyentuh tangannya. Sontak saja, hal itu membuat bosnya terdorong dan menyebabkan kopi hitam yang dipegang Alva justru tumpah semua ke jas abu-abu yang dipakainya."Ya Ampun!" Zetta panik sendiri, mengabaikan tangannya yang gemetaran setelah sentuhan Alva, dia berjalan mondar mandir di depan Alva yang ternganga.Zetta hanya bisa menutup kedua telinganya dengan sembari tersenyum kaku. Gawat!"KAU SUDAH GILA YA?!”*** Zetta meremas tangannya dengan gelisah sembari memperhatikan Alva yang menyanggah dagunya dengan malas di sofa. Matanya sejak tadi membaca kertas di tangan sambil sesekali meliriknya. Wajahnya yang kena tampar terlihat merah dan dia harus berganti kemeja karena tumpahan kopi. Zetta merutuki kebodohannya sendiri. Ingatkan dia, setelah ini dia harus memasukkan kemeja dan jas Alva ke laundry. "Jadi, kau sudah berpengalaman menampar lelaki yang mencoba untuk menyentuhmu?"Zetta meringis, "Begitulah, Pak. Masih sakit ya?""Nggak seberapalah pukulan kau tadi," katanya terlihat sok, mengelus pipinya sembari meringis. "Tapi, alangkah bijaknya kalau kau tadi memperingatkan saya dulu jangan main asal tampar aja.”"Maaf, Pak. Saya kalau panik suka begitu."Alva nampak menghela napas entah untuk yang ke berapa kalinya siang ini setelah kemunculannya. "Pukulanmu mantap juga sih.""Saya belajar ilmu bela diri, Pak. Sudah biasa melawan lelaki genit yang suka pegang-pegang sembarangan, apalagi yang suka godain wanita bersuami, Pak."Alva mendelik, "Kau nyindir saya?""Tidak, Pak. Nggak berani saya, Pak," Zetta cengengesan sambil menggelengkan kepala. Padahal, memang iya. Skandal yang dilakukan Alva dan terdengar hingga telinganya, membuat Alva bahkan layak untuk dihujat terang-terangan. Bukan disindir lagi.Alva nampak kesal, "Saya itu bos kau mulai sekarang!!" Zetta mengatupkan bibirnya. Alva kembali melihat kertasnya. "Semua ini hanya karena traumatikmu?”Zetta mengangguk. “Saya anti dengan lelaki model seperti Bapak yang sok kegantengan dan suka tebar-tebar pesona. Apalagi kalau urusan sentuh menyentuh. Itu sudah masuk dalam kategori waspada.”Alva bengong. Mungkin, baru kali ini dia dihadapkan pada wanita dewasa model Zetta. "Saya tidak paham maksud kalimat panjang kau tadi yang jelas-jelas omong kosong."Zetta berdiri dari duduknya, membuat Alva diam memperhatikan dan berbicara penuh percaya diri."Jadi, Pak Alva Alexander yang saya hormati. Saya sudah mengikrarkan diri menjadi seorang anti fans bapak. Sebaiknya perlakukan saya hanya sebagai sekretaris. Mohon kerja samanya." Zetta melihat Alva nampak tidak percaya dengan perkataannya. "Jaga batas Bapak dengan saya dalam jarak aman atau saya tidak akan segan-segan menggampar Bapak seperti tadi lagi."Zetta refleks menjauh saat Alva tiba-tiba berdiri di depannya. "Kau bermain-main dengan saya, Arzetta!!" ucapnya tajam.Dari balik kacamatanya, Zetta bisa melihat dengan jelas ada kegusaran yang ditunjukkan oleh Alva. Mungkin respon dari ucapannya yang seperti menyatakan perang. Secara tidak langsung Zetta tahu apa yang dipikirkan bosnya itu. Pasti sebelum ini tidak ada wanita manapun yang tidak menginginkannya. Tidak ada yang namanya anti fans Alva Alexander, selain dirinya. Apalagi, hanya dia seoranglah yang mengutarakan hal itu secara terbuka di depannya langsung. Jelas hal itu seperti melukai ego seorang Alva Alexander sedemikian rupa."Predikat membanggakan itu playboy mempesona yang berhasil menjerat banyak wanita, you know? Mulai sekarang kau harus hati- hati, untuk tidak jatuh dalam pesonaku, Zetta." Zetta menegakkan tubuhnya, membenarkan posisi kaca matanya dan balik menatap Alva dengan pandangan berani. Dia sudah tidak bisa mundur lagi. "Bagiku Playboy itu sebutan halus untuk lelaki rapuh kesepian yang butuh cinta seperti kamu. Sebutan kasarnya sih PECUNDANG!" Nadine Arzetta menuding tepat di wajah Alva. Dia pikir, lelaki itu akan marah, tapi setelah itu yang muncul di wajah tampannya adalah senyuman miring bak reinkarnasi iblis kegelapan.Kedua orang itu berdiri kokoh, tak mau kalah. Alva dengan tatapan penuh tantangan dan Zetta dengan sikap berani matinya. Zetta menyadari, dia sudah menandatangani kontrak kematiannya sendiri terutama untuk hatinya yang rapuh."Selamat, Nadine Arzetta. Kau baru saja membangunkan singa yang sedang tidur. Kita akan lihat, siapa yang akan menang." Alva maju selangkah. "Aku akan membuktikan, kalau kau sama seperti wanita lain di luar sana. CAMKAN ITU!"***
"Biar kutebak, pasti dari laki-laki playboy itu!"Zetta yang baru saja keluar dari kamar setelah bersiap untuk hari pertamanya bekerja melihat sahabatnya, Elliana, duduk di sofa sembari memeluk sebuket bunga mawar merah. "Siapa yang kau sebut playboy?" tanyanya balik sembari cemberut."Siapa lagi kalau bukan Alva Alexander," jawabnya seraya memutar bola mata. Berjalan mengarah ke dapur melewati Eliana yang terus menciumi bunga mawar itu dengan mata berbinar. "Bayangkan, sudah berapa banyak wanita yang dia berikan bunga seperti itu!""Yang penting saat ini dia sedang fokus denganku."Zetta berdecak, mengambil sebotol susu dan menuangkannya ke gelas. Kemudian mengambil roti tawar dan mengoleskan selai coklat untuk sarapannya pagi ini. "Jadi, kalian akhirnya bertemu tadi malam?" tanya Zetta seraya duduk di samping Eliana sembari menghabiskan sarapannya."Ya, dia menggodaku. Tentu saja aku menyambut godaannya itu.” Mata Eliana semakin berbinar, seolah begitu terpana oleh pesona Alva. “Te
"Pak, satu jam lagi ada rapat manajemen."Setelah tragedi menendang tumit bosnya, Zetta tetap berusaha bersikap professional. Sebagai seorang sekretaris, sudah sewajibnya dia mengingatkan Alva mengenai jadwal kerja. Dia pun mulai membacakan agenda Alva."Siang nanti ada undangan makan siang dengan perwakilan Ratser Corp., bertemu dengan Ibu Diana Raster.""Diana?"Alva menatap Zetta yang mengangguk. "Iya, Pak. Bapak kenal?" tanya Zetta sok ingin tahu.Alva tersenyum miring, "Dia salah satu wanita paling liar di ranjang yang pernah aku taklukan."Zetta langsung mencelos dan ingin muntah mendengarnya, tapi cepat-cepat dia ganti ekspresinya dengan lebih ceria. "Wah bagus itu Pak, bisa sekalian reunian atau mau saya sewakan hotel sekalian?"Alva menatap tajam dengan tangan mengambil black coffee lalu menyeruput pelan. ‘Sok ganteng!’ Zetta jengah. "Tentu saja tidak. kita hanya makan siang.""Syukurlah kalau hari ini Pak Alva lagi sehat. Pasti tadi malam habis dapat belaian ya, Pak?""Apa
"Berhenti kalian berdua!"Zetta dan Jason berhenti dan berbalik lalu kaget melihat Alva Alexander."Kenapa, Pak? Saya mau pulang."Alva mendekat dan berhenti tepat di depan Jason. Tinggi dan postur tubuh mereka hampir sama."Jadi, kau pacarnya Arzetta seperti yang dikatakan Jeremy?"Zetta tersentak kaget, sementara Jason mengerutkan kening lalu kembali menatap Alva ."Kalau iya memangnya kenapa?"Alva nampak mengamati tautan tangan mereka lalu menggertakkan giginya kesal, membuat Zetta bingung."Aku hanya mau memastikan saja. Kenalkan, Aku Alva Alexander bos—""Yeah, aku tahu. Kau yang ketahuan mesum sama mantan sekretarismu di restoranku."Alva menatap tajam Jason, "Restoranmu?""Ya. Terus maumu apa? Kalau tidak ada kami mau pulang!"Alva berdecak, "Ada satu hal yang mau aku minta dari kalian berdua supaya aku yakin. Dan kalian tidak boleh pulang sebelum melakukannya."Zetta mengerjapkan matanya, "Pak, jangan aneh-aneh deh. Saya capek mau pulang. Besok aja ya dramanya."Zetta kesal sa
‘Dasar bodoh kau, Zetta!’Hubungannya dengan Jason memasuki fase canggung. Bukan hanya karena sikap Jason malam itu, tapi karena Zetta telah meyakini kalau Jason bukanlah gay. Beberapa tahun ini Zetta hidup dengan bayangan Austin dan Jason yang selalu berada di dalam kamar berdua walaupun dia sama sekali tidak tahu apa yang sedang mereka berdua lakukan. Jika selama ini dia berbohong, Zetta sangat tidak bisa menerima hal itu.Zetta duduk di balik meja kerjanya menunggu Alva Alexander yang sedang rapat. Keadaan laki-laki itu cukup kacau beberapa hari ini. Paparazi sepertinya mengikuti Alva diam-diam sejak skandal dengan sekretarisnya terungkap, ditambah skandal terbaru di mana Alva terlihat masuk ke kamar bersama Eliana.Zetta memijit pelipisnya dengan kedua tangan di kepala sembari memejamkan mata. Setelah foto skandal itu terungkap, Eliana malah menghilang entah ke mana hingga saat ini, membuatnya gila.‘Bisa-bisanya dia—’"Kau sakit?" Zetta membuka mata dan bertemu tatap dengan mat
"Jason, aku sedang berada di Vancouver. Ada beberapa kunjungan bisnis dan urusan pribadi Alva." Zetta mengigit ujung kukunya mendengarkan setiap kalimat yang dilontarkan Jason di ujung sana."Kau pergi begitu saja tanpa memberitahuku?!" Nada suara Jason meninggi.Zetta memijit pelipisnya, "Maaf. Aku pikir tidak ada masalah jika memberitahumu belakangan dan juga—""Jadi, sekarang aku bukan lagi orang pertama yang penting bagimu, Arzetta?!""Bukan. Bukan seperti itu maksudku, Jason." Zetta mulai panik. Ini salahnya karena tidak memberitahukan kepergiannya lebih awal ke Jason. Laki-laki itu pasti mencemaskannya."Lalu, kenapa kau tidak meminta izin lebih dulu padaku? Apa kau lupa, selain Jeremy segala hal terkait urusanmu di New York menjadi tanggung jawabku. Setidaknya hargai aku dengan memberitahuku bukannya asal pergi. Apa kau menghindar?"Zetta menatap laut di kejauhan yang berwarna biru sempurna seraya merapikan riak anak rambutnya yang tertiup angin, "Ada yang harus kita bicarakan
'Duh, mukanya pak Alva seram banget.'Zetta sesekali melirik Alva yang mengendarai mobilnya dalam diam sejak mareka keluar dari rumah Opa. Mungkin masih terbawa suasana yang tidak enak karena membicarakan masa lalu atau merasa malu karena rahasianya terbongkar kalau dia pernah dikhianati.Zetta tidak berani buka suara, bahkan hingga Alva menghentikan mobilnya di depan lobi hotel setelah melaju dengan kecepatan di atas rata-rata membelah padatnya jalan raya kota. "Hmm,Pak--""Langsung saja ke kamar dan jangan ke mana-mana. Aku harus pergi dulu," selanya.Zetta hanya bisa mengangguk, melepas seat beltnya dengan sedikit tergesa. Saat dia akan membuka pintu mobil, lengannya di tahan oleh Alva yang menatapnya intens. "Jangan dengarkan apa pun yang di katakan, Opa. Jangan pernah menatap kasihan pada ku seperti yang kamu perlihatkan sepanjang perjalanan tadi, Arzetta. Aku tidak suka!!""Tidak. Aku tidak—""Keluar!" Alva melepaskan cekalannya.Zetta mengigit bibirnya melihat Alva yang menata
'Astaga, bagaimana ini?'Demi apapun, Zetta tidak menyadari apa yang telah dilakukannya. Sesaat setelah melihat Alva, dia tanpa sadar memeluknya. Tapi tidak berlangsung lama karena saat Zetta merasakan Alva memeluk balik dia malah bereaksi berlebihan. Saat merasakan sentuhan Alva, Zetta langsung mundur dan menamparnya meskipun setelah itu dia langsung memekik dan menggeleng nampak kaget sendiri dengan gerakan tangannya."Ampun Pak. Tidak sengaja. Reflek, Pak. Saya kaget. Bapak sih pegang-pegang saya."Zetta meringis saat melihat Alva yang ternganga kaget meskipun tamparannya tidak terlalu keras."Apa salahku,Zetta?!" Ujarnya.Zetta meringis,"Maaf,Pak."Setelah itu, Zetta malah sok canggung dan nampak tidak enak hati saat melihatnya. Merasa malu karena bukannya berterima kasih malah kembali menamparnya.Sorenya, saat Zetta duduk di bangku kayu pinggir pantai Vancouver, Alva mendekat dan memperhatikannya seksama. Sekarang dia sudah tidak bisa menghindar lagi."Kenapa sih,Pak?" Decak Zet
Arzetta tidak pernah membayangkan akan melihat sisi lain Alva saat ini. Tadi saat dia masih menangis di bangku taman memikirkan Jason, Alva datang memberikan sapu tangan dan mengajaknya pergi tanpa sepatah katapun. Zetta hanya bisa diam dengan pikiran bertanya-tanya, bagaimana pertemuannya tadi dengan calon istrinya. Apa mereka sudah janjian menginap di hotel nanti malam merayakan kebersamaan. Meskipun Zetta tidak yakin kalau lelaki itu bersedia secara sukarela dijodohkan seperti ini.Zetta duduk diam memandangi Alva lekat. Ada perasaan hangat saat melihat bagaimana sikap lembut dan tatapan ceria yang menular itu. Senyuman lelaki itu menghinotis Zetta. Sebelumnya dia tidak pernah menyadari kalau senyuman Alva bisa membuatnya tertegun lama dengan terkesima.Tapi tahulah dia dengan jelas apa alasannya. Yang ada di hadapannya saat ini adalah sosok Alva Alexander sesungguhnya. Tanpa topeng. Tanpa kilatan jahil menggoda juga gombalannya. Alva Alexander yang lembut, baik dan hangat.Zetta l