Share

BERTEMU ANITA

Bab 2

BERTEMU ANITA

Sesampainya di parkiran aku segera mengeluarkan kunci mobil dari dalam saku celanaku.

Tiiiit…tiiit…tiiit… mobil bersuara setelah aku memencet tanda unlock yang ada di kunci mobil.

Seorang wanita yang baru keluar dari sebuah mobil Jazz berwarna pink, yang parkir disebelah mobilku seketika menoleh saat mendengar suara dari mobilku.

" Farid… kamu Farid kan? tanya wanita cantik itu sambil mengarahkan telunjuknya ke arahku dengan ragu.

" Iy… Iya…," jawabku sambil terus mengingat-ingat siapakah nama wanita cantik yang mengajakku berbicara. 

Jarak kami berdiri yang lumayan jauh, dipisahkan oleh mobilku, membuatku tidak dapat mengenali dengan jelas wajahnya.

" Ya ampun Farid… kok kamu bengong begitu, kayak melihat setan aja. Kamu nggak ingat siapa aku? ini aku Anita teman kamu sewaktu kuliah di S1 dulu," ujar Anita sambil berjalan mendekat ke arahku dan Ibu.

" ooo… iya… iyaa… aku baru ingat sekarang,  kamu Anita. Lima belas tahun tidak bertemu jelas aku susah mengenalimu. Apalagi penampilan kamu sekarang berbeda," aku berkata sambil menepuk keningku.

" Kenapa? aku lebih cantik ya? haa… haa… haa… bercanda kok," cerocos Anita lagi

Yang pasti Anita terlihat lebih dewasa dan anggun dibandingkan dengan pada saat kami kuliah dulu. Anita ikut pindah bersama kedua orang tuanya ke Surabaya karena ayahnya yang saat itu bekerja sebagai Kepala Cabang di salah satu Bank milik pemerintah tersebut dimutasi dari Jakarta ke Surabaya. Otomatis Anita yang saat itu baru kuliah semester tiga harus ikut kedua orang tuanya untuk pindah.

Sebenarnya dulu Anita ingin tetap kuliah di Jakarta, ia ingin kost aja di dekat kampus. Akan tetapi ayahnya tidak memberikan izin, mengingat kehidupan di kota besar seperti Jakarta sangat keras. Ayahnya tidak mau kalau sampai Anita terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Satu-satunya jalan ialah Anita harus mau ikut kedua orang tuanya pindah ke Surabaya.

Aku dan Anita kuliah satu angkatan, akan tetapi beda fakultas. Anita mengambil fakuktas hukum, sedangkan aku fakultas ekonomi.

" Oh iya Anita, aku hampir lupa. Kenalkan ini Ibuku," aku memperkenalkan ibu yang sedari tadi berdiri di sampingku.

" Ibu perkenalkan nama saya Anita, teman lama mas Farid sewaktu kuliah dulu, lebih tepatnya mantan pacar, hee… hee… hee… Iya ga Rid?" Anita berkata sambil mencium tangan ibu

" Benar begitu Farid? kok kamu nggak pernah mengenalkan kepada Ibu kalau kamu dulu punya pacar yang cantik sekali seperti ini?" tanya ibu sambil memuji kecantikan Anita.

" Tapi Anita dulu belum cantik begini kok bu… lagipula dulu itu kan baru cinta-cintaan alias cinta monyet," aku berkata seperti itu itu sembari menegaskan kata monyet sambil memonyongkan bibirku ke arah Anita, kemudian aku tertawa…haa…haa… haa..

Bercanda dengan Anita sedikit mengurangi kekecewaan  di hatiku, mengingat dengan status baruku yang seorang duda… aaahh… aku benci dengan status ini

Anita memukul pundakku dengan map kertas yang dipegangnya sedari tadi.

" Rasain kamu yaa… enak aja ngatain aku monyet. Ibu… liat nih Farid nggak sopan banget, ngatain aku monyet," rajuk Anita kepada Ibu, seolah telah mengenal ibu sesari lama.

" Huusshh… kamu nggak boleh begitu Farid, masa' Anita yang cantik begini kamu katain monyet?" bela Ibu sambil tertawa melihat tingkah Anita yang manja seperti anak kecil yang minta dibelikan permen.

" Coba dulu kamu masih berpacaran dengan Anita, kemudian kalian menikah, mungkin nasib kamu tidak akan mengenaskan seperti sekarang ini Rid. Menduda di usia yang baru menginjak 35 tahun," Ibu berkata dengan lirih sambil berbisik di telingaku.

" Buruan kamu minta nomor handpone Anita, kamu kejar lagi siapa tau kalian berjodoh. Ibu nggak mau melihat kamu terlalu lama menduda,"  lagi-lagi ibu menyuruhku  dengan berbisik sambil mendorong tubuhku pelan

" Ehm… Anita, boleh aku minta nomor handphone mu? itupun kalau seandainya kamu tidak keberatan," tanyaku ragu

" Ya jelas bolehlah… nggak apa-apa kok, hitung-hitungkan menambah teman, aku tuh senang kita bisa ketemu lagi, ibarat kata pepatah banyak teman banyak rezeki," ujar Anita

" Berapa nomor handphone kamu biar aku telpon?"

Anita memencet keypad gawainya setelah aku sebutkan nomor handponeku

" Ini benar ya Rid nomor handphone kamu? cuma 10 angka? sedikit banget?"

" Iya benar, kalau mau banyak aku kasiin nomor token listrik mau nggak?, tanyaku yang membuat Anita bersungut kesal

" Udah aku misscall, kamu save ya nomor handphoneku," lanjut Anita lagi

" Siiippp… udah aq save nomornya,"

" Anita kami permisi dulu yaa… aku dan Ibu masih ada pekerjaan lain," pamitku

" Oke Rid…  " Anita kemudian mencium tangan Ibu dan bersalaman denganku

Aku segera berjalan ke arah sisi kiri mobil membukakan pintu untuk Ibu

Setelah kami berada di dalam mobil dan hendak keluar parkiran, Anita melambaikan tangan ke arah kami. Kemudian Ia membalikkan badannya dan bergegas berjalan ke arah kantor pengadilan agama.

Di dalam mobil Ibu kembali mengatakan agar aku mendekati Anita agar jangan terlalu lama menduda

" Bu, aku tidak mau terburu-buru mencari Ibu sambung untuk anak-anakku. Aku tidak mau kejadian seperti kemarin terulang lagi bu… sekarang aku ingin lebih fokus memperhatikan Alfarabi dan Aqillah, kasian mereka masih kecil sudah kehilangan perhatian seorang ibu," aku berusaha menjelaskan kepada Ibu

[" Rid… ini aku Anita, udah disave kan nomorku?" ] sebuah pesan masuk berasal dari aplikasi hijau

[" Iya… sudah kusimpan dari tadi" ] aku membalas pesan itu

Mataku terbelalak melihat foto profil Anita, di situ terlihat Anita berfoto dengan seorang pria menggunakan pakaian pengantin

'Pasti itu foto Anita dan Suaminya,' batinku

" Kita cari makan siang dulu ya bu… aku sudah sangat lapar, setelah itu kita baru pulang ke rumah. Aku sudah janji untuk mengajak anak-anak bermain sepeda di taman kota dekat rumah," aku berkata sambil

memasukkan kembali gawaiku di saku celanaku.

" Iya nak… terserah kamu aja, ibu ikut kamu aja…"

" Ibu mau makan apa? " tanyaku

" Terserah kamu aja…"

" Ya udah kalau gitu gimana kalau kita makan di restoran SARANG UDANG aja bu?" 

" oke… ibu setuju"

Restoran Sarang Udang adalah tempat makan favorit keluarga kami. Disana udangnya besar-besar dan segar. Udangnya yang hidup dan diletakkan di dalam aquarium, kemudian kita tinggal memilih udang mentah tersebut. Setelah kita pilih baru dimasak oleh chefnya.

Membayangkannya saja membuat salivaku hampir menetes. Segera aku arahkan mobilku ke arah Restoran Sarang Udang tersebut.

Kurang lebih sepuluh menit kami sudah sampai dan segera memesan menu favorit kami, yaitu udang bakar dan udang saos tiram.

Setelah pesanan kami datang, aku segera memakannya dengan lahap.

" Ya ampun Farid… kamu tuh yaa… seperti nggak pernah makan setahun aja," tegur Ibu karena melihat aku makan dengan lahap sekali.

" hee… hee… hee… maaf bu, baru kali ini aku makan dengan lahap setelah belakangan ini disibukkan dengan masalah pelik di dalam rumah tangga kami," jawabku seadanya.

Setelah selesai makan, aku menyenderkan tubuhku di dinding sembari menunggu Ibu menghabiskan makanannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status