Share

KARMA SEORANG PEBINOR
KARMA SEORANG PEBINOR
Author: HADIFA FaFaFa

SIDANG PERCERAIAN

Bab 1.   

SIDANG PERCERAIAN

'Dengan ini Pengadilan memutuskan mengabulkan gugatan cerai dari saudara Farid Budiman. Akan halnya hak pengasuhan anak jatuh kepada saudara Farid Budiman'

Tok… tok… tok…

Ketukan palu dari Hakim Ketua Pengadilan Agama menandakan bahwa pernikahanku dengan Vera usai sudah, kami pun resmi berpisah baik secara negara dan juga secara agama. 

Tak terasa mengalir dua bulir bening dari sudut netraku, aku segera menghapusnya dengan lengan kemejaku. 

Entah ini tangis karena perasaan bahagia ataupun karena perasaan lega aku pun tidak tahu, yang pasti perasaan marah di dalam hati dan sesak di dadaku telah pergi seiring suara ketukan palu dari hakim ketua.

Kesedihan yang aku rasakan mungkin tidak seberapa dibanding dengan perasaan kedua buah hatiku, saat mereka tahu kalau aku dan Vera telah berpisah. Untuk sementara aku akan merahasiakan perpisahanku dan vera, dari kedua buah hati kami. Aku akan memberitahukan kepada mereka pelan-pelan sambil mencari waktu yang tepat, supaya mereka tidak kaget dan sedih.

" Sabar nak… perempuan seperti itu tidak pantas kamu tangisi, lebih baik kalian berpisah daripada kamu memelihara wanita 'ular' di dalam rumahmu," ujar ibu yang segera memelukku, mungkin untuk memberi kekuatan padaku.

" Aku tidak apa-apa bu, ibu tenang aja. Sekarang aku cuma fokus kepada Alfarabi dan Aqillah, kedua buah hatiku… kasian mereka bu, belakangan ini kurang mendapat perhatian dari mamanya, apalagi sejak mama mereka berselingkuh," jelasku agar ibu tahu bahwa aku baik-baik saja, walaupun sebagai manusia biasa jelas aku terluka.

"Beruntung sekali aku mempunyai ibu yang sangat baik, ibu selalu ada untukku.Apalagi  sekarang menemani dan menghibur mereka. Makasih ya bu untuk semuanya…" ucapku sambil membalas pelukan ibu dengan erat.

Persidangan ini tidak bertele - tele karena aku dan Vera sudah sepakat untuk berpisah, terlebih lagi alasan perceraian ini karena Vera yang sewaktu itu masih menjadi istriku berselingkuh dengan rekan kerjanya.

Pada saat Mediasi aku sengaja tidak datang, aku malah menyibukkan diri dengan bekerja. Karena bagiku tidak ada gunanya lagi mediasi, untuk apa? bagiku perselingkuhan itu tidak dapat dimaafkan, karena dilakukan oleh dua orang dewasa dengan keadaan yang sadar.

" Mas Farid, maafkan aku yaa… aku titip anak-anak kepadamu Mas… semoga kamu mendapatkan pengganti yang lebih baik dariku," ujar Vera sambil mengulur tangannya kepadaku untuk bersalaman.

" Kamu tenang aja Ver, aku akan menjaga Alfarabi dan Aqillah dengan baik. Sekarang kamu bebas sesuka hatimu tanpa harus ketakutan dan kucing-kucingan lagi, seperti saat kita bersama dulu," jawabku sekenanya sambil menyambut dengan malas tangan Vera yang sudah terulur dari tadi.

Aku dapat melihat air muka Vera berubah seketika menjadi masam karena ucapanku barusan, tapi aku tidak peduli karena memang apa yang aku katakan benar dan sesuai dengan kenyataan.

" Mas Farid kok ngomong gitu sih? Mas masih marah sama aku ya?" Vera bertanya seperti tidak mempunyai perasaan bersalah, benar-benar membuat jijik melihatnya.

" Anak-anak tetap boleh bertemu denganku kan Mas?" tanya Vera lagi

" Buat apa aku marah sama kamu? apalagi kamu sekarang bukan isteriku lagi, aku tidak berhak atas apapun tentangmu. Mengenai anak-anak silakan datang kapan aja apabila kamu mau bertemu dengan Alfarabi dan Aqillah. Tapi dengan satu syarat kamu tidak boleh mengajak selingkuhan kamu itu untuk bertemu dengan anak-anak, aku tidak mau mereka sedih, ingat itu yaa…," aku mengatakan itu dengan nada penekanan, agar Vera tidak mengajak selingkuhannya menemui anak-anak.

Vera tidak menjawab, ia cuma menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa ia menyetujui syarat yang aku berikan.

Ia kemudian membalikkan badannya untuk meninggalkan aku dan Ibu. Baru kira-kira tiga langkah meninggalkan kami, ia kemudian mendekat ke arahku lagi.

" Oh iya Mas, jangan lupa pembagian harta gono-gini ya mas… Aku mau bagianku rumah yang di menteng dan mobil yang biasa aku pakai, sementara kamu dan anak-anak silakan tetap tinggal di rumah yang kita tempati sekarang. Setelah ini aku akan pulang ke rumah untuk mengambil pakaian dan kunci rumah, kemudian aku akan langsung pindah ke rumah di Menteng," lanjut Vera lagi.

Rumah di Menteng adalah rumah yang kami beli sebagai hadiah ulang tahun Vera, sewaktu Alfarabi, yang biasa kami panggil Abi, anak kami yang pertama berumur satu tahun. 

Aku pikir waktu itu tidak ada salahnya memberikan hadiah yang mahal untuk wanita yang aku cintai. Apalagi pada saat itu usahaku sedang naik-naiknya, jadi bukan hal yang sulit untukku membelikan rumah mewah sebagai hadiah untuk istriku.

Akan halnya sekarang kami berpisah dan ia minta rumah tersebut sebagai harta gono gini bagian untuknya, akupun tidak merasa keberatan. Bukan karena aku masih mencintainya, tapi karena aku merasa apa yang aku miliki sekarang ini diperoleh saat aku masih bersamanya.

Kami menyebutnya 'Rumah Menteng' karen lokasinya terletak di Kecamatan Menteng,  Jakarta Pusat.  Lokasi yang strategis di dekat dengan perkantoran membuat harga rumah di situ bikin geleng-geleng kepala saking mahalnya.

Dulu aja sewaktu kami membelinya, harganya dua puluh lima milyar, itu delapan tahun yang lalu. Kalau sekarang mungkin sangat mahal, karena untuk permeter perseginya saja sudah di harga satu jutaan.

Jadi tidak mengherankan kalau Vera menginginkan rumah itu, karena rumah itu mahal dan terletak di lokasi yang sangat strategis di pusat kota Jakarta.

Kami tinggal di rumah Menteng kurang lebih cuma setahun, setelah ayahku meninggal kami akhirnya pindah ke rumah di Pondok Indah, yang kami tempati sekarang. 

Selama tidak kami tempati, rumah Menteng hanya dijaga oleh pak Sofyan dan isterinya bik Sumi. Mereka memang kami suruh tinggal di rumah itu untuk menjaga dan merawat rumah tersebut agar tidak kotor dan rusak. Biasanya aku mampir ke rumah itu tiap awal bulan, pada saat pak Sofyan dan bik Sumi gajian. Selebihnya kadang-kadang kalau kebetulan lewat di daerah itu, aku mampir sebentar.

Rumah yang kami tinggali sekarang ini dekat sekali dengan rumah ibu, sekitar 150 meter jaraknya atau hanya berkelang satu rumah saja dari rumah ibu. Tadinya aku mengajak Vera untuk tinggal di rumah ibu setelah ayahku meninggal, tapi sepertinya Vera keberatan. 

Akupun mengikuti keinginannya untuk tidak tinggal serumah dengan ibu, karena aku juga banyak mendengar cerita mertua yang tidak akur dengan menantunya, aku tidak mau itu terjadi kepada dua orang wanita yang aku cintai.

Akhirnya aku dan Vera sepakat untuk membeli rumah pak Anwar tetangga Ibu.

Pak Anwar mau pindah ke Jogja karena pindah tugas, kebetulan sekali beliau mau menjual rumahnya. Beliau juga berencana menetap di Jogja karena mereka memang berasal dari Jogja dan anak bungsunya pun kuliah di sana. Akhirnya setelah cocok dengan harganya, kamipun membeli rumah pak Anwar tersebut.

Aku membeli rumah di dekat Ibu agar bisa menjaga mengawasi Ibu dan Zaza, adikku yang saat masih kuliah di jurusan Hubungan Internasional di salah satu universitas swasta yang ada di Jakarta Selatan, tidak begitu jauh dari Pondok Indah.

Seperti halnya diriku, adikku ini otaknya memang sangat encer, sebenarnya Zaza mendapatkan jalur undangan di dua universitas negeri di kota Bandung dan Yogyakarta. 

Akan tetapi Ia tidak mengambilnya, dengan alasan tidak mau berpisah dengan Ibu. Ayah yang pada saat itu masih hidup juga tidak memperbolehkan Zaza untuk kost di luar kota, mengingat kehidupan anak kost lebih banyak yang melenceng ke pergaulan bebas.

Sebenarnya nggak heran sih kenapa Zaza sangat pintar, karena ia sangat tekun dan rajin belajar. Teman-teman seumurannya sudah banyak yang berpacaran, pergi dengan teman prianya. Tidak halnya dengan adikku, walaupun Ia cantik dan pintar tetapi Ia tidak mau berpacaran. Saat kutanyakan apakah Ia punya teman dekat pria? Ia mengatakan kalau Ia belum memikirkan tentang itu. Ia ingin kuliah dulu, setelah itu baru memikirkan masalah jodoh.

" Mas Farid… iiihh… kok malah melamun sih, ntar  kesambet lho" tepukan Vera di pundakku membuyarkan lamunanku. 

Segera kutepis tangan Vera di pundakku, aku tidak mau ada fitnah, karena status kami bukan lagi suami isteri. 

" Dasar perempuan tidak tahu malu, bisa-bisanya kamu masih meminta harta gono-gini. Seharusnya kamu itu di penjara bersama dengan selingkuhan kamu itu. Kamu itu perempuan murahan, berselingkuh padahal susah punya suami dan dua orang anak. Dasar perempuan 'gatal' dan tidak punya harga diri…" Ibu tiba-tiba langsung menyerang Vera dengan kata-kata yang sangat kasar.

" Bu… sudahlah bu… malu dilihat orang, ibu jangan memarahi Vera lagi, toh sekarang ia bukan menantu ibu lagi," ujarku mengingatkan ibu, karena ini masih di ruang sidang

Bukannya kemarahan Ibu menjadi reda, malah sepertinya Ibu semakin emosi karena melihat Vera bersikap biasa saja setelah dimaki-maki Ibu dengan kata-kata kasar tadi. Sambil menenteng tas brandednya, Vera acuh saja melihat Ibu marah.

"Jangan halangi Ibu, emang sudah sepantasnya perempuan jalang ini mendapatkan kata-kata kasar seperti itu. Harusnya Ia dipenjara atau dirajam sampai mati, itu hukuman yang pantas untuk perempuan ini," Ibu berkata sambil mengarahkan jari telunjuknya ke kening Vera.

" Aku mohon Bu… malu dilihat orang, apalagi kita masih di ruang sidang. Ayo kita segera pulang bu… aku takut penyakit jantung ibu akan kambuh kalau ibu terus marah-marah seperti ini," bujukku agar Ibu mau pulang.

Ibu kemudian berjalan mengikuti aku, pada saat bersitatap dengan Vera, Ibu mengangkat tangan kanannya untuk menampar Vera. Beruntung aku segera menangkap tangan Ibu.

Aku tidak mau ibu mendapatkan masalah, kalau sampai Ibu menampar Vera dan kemudian Vera tidak terima, lantas melaporkan Ibu ke pihak yang berwajib bisa-bisa Ibu masuk penjara dengan tuduhan melakukan tindakan penganiayaan.

" Aku capek bu… ayolah kita pulang… aku mau segera beristirahat," ajakku lagi kepada Ibu

Segera kugandeng tangan Ibu untuk keluar dari ruang sidang yang saat ini hanya tersisa beberapa orang saja di dalamnya. Kami bergegas berjalan ke parkiran untuk mengambil mobil.

Seharusnya Ibu tidak usah ikut ke parkiran, karena jarak parkiran dan ruang sidang sidang lumayan jauh. Aku tahu pasti Ibu capek karena akan berjalan cukup jauh. Harusnya aku yang mengambil mobil sementara Ibu menunggu di depan ruang sidang. 

Akan tetapi setelah melihat kejadian Ibu yang akan menampar barusan, aku tidak akan meninggalkan Ibu sendirian. Takutnya Ibu kembali ke ruang sidang dan menyerang Vera lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status