Share

Dia siapa?

Mata tak pernah benar-benar melihat apa yang terlihat. Ada ruang buta yang membuat cerita menjadi susah dimengerti. Sebuah kisah akan menjadi misteri di kemudian.

***

Memasuki ruang tengah, Mala merasakan udara menjadi sangat dingin. Kotanya memang diapit gunung yang tentunya akan terasa dingin. Namun, dingin yang ini berbeda. Seperti udara yang mengikat di situ-situ saja.

Ada dua kamar saling bersisian; kamarnya dan kamar ibunya. Ironi, ibunya dan Mala hanya terpisah tembok, tetapi jarak antara keduanya sangat jauh. Terbersit untuk menemui ibunya terlebih dahulu. Namun, diurungkannya. Masih ada waktu.

Mala melanjutkan langkahnya ke ruang depan, ada kamar almarhum kakeknya. Sekarang, pasti ditempati Tante Ratna. Mala mengetuk pelan pintu kamar depan. Tidak ada sahutan. Dicobanya sekali lagi dan masih senyap dari dalam.

"Tante Ratna. Ini aku, Mala. Boleh masuk?"

Tetap tak ada sahutan. Perlahan Mala membuka pintu kamar. Lagi, udara dingin menyapa Mala. Kali ini, bulu-bulu halus di lengan tegak berdiri. Salah satu tangan mengusap kasar lengan yang terasa sangat dingin.

"Permisi.... Tante Ratna...?"

Kamar almarhum kakeknya gelap. Aroma apak menguat, menandakan kamar itu belum pernah terjamah lagi dan belum pernah mendapat udara baru; jendela tidak pernah dibuka. Mala menekan sakelar lampu dan beruntung bohlam lampu masih berpijar.

Kosong, tak ada siapa pun. Belum ada kehidupan di kamar kakeknya. Mala keluar kamar dengan perasaan tak nyaman dan langkah yang lebar. Tersisa dua kamar dan menduga-duga di mana tantenya tidur.

Kini Mala berdiri di antara dua kamar. Di kamar ibunya adalah suatu kemungkinan benar. Ibunya dan Tante Ratna adalah saudara kandung yang  terpisahkan puluhan tahun. Tentunya kebersamaan adalah yang paling dipilih, salah satunya, tidur sekamar.

Baru akan mengetuk kamar ibunya, Mala tiba-tiba ragu. Ibunya tidak suka aroma bunga menyengat dan sedap malam semakin malam semakin beraroma. Ibunya juga terdengar resah akan kehadiran adiknya. Jadi, hampir mustahil jika keduanya sekamar.

Tersisa kamar Mala. Seketika Mala merasa tidak nyaman. Akan tetapi hanya itu satu-satunya kamar yang tersisa sebagai kemungkinan terakhir.

Mala gelisah. Alasanya, ia tak suka jika kamarnya itu yang dijadikan kamar tamu. Ia belum benar-benar pergi dari rumah ini dan kamar itu masih adalah kamarnya. Alasan lainnya adalah ia hanya gelisah saja, tanpa tahu tepatnya kenapa, dan itu aneh bagi seorang Mala yang taktis dalam berpikir.

Di depan kamarnya sendiri, Mala untuk pertama kalinya harus mengetuk pintu.

Namun, belum sempat Mala mengetuk, pintu kamarnya terbuka. Seorang gadis kecil, mungkin berusia tiga belas atau empat belas tahun, berdiri dengan senyum manis terkembang. Tubuhnya tinggi kurus untuk anak seusianya. Rambutnya di kepang satu, wajahnya kecil dengan bola mata yang sendu dan ditutupi poni. Sekilas, gadis kecil itu mengingatkan Mala akan dirinya saat masih duduk di bangku akhir sekolah dasar.

"Hai. Aku mau meletakkan vas ini." Mala mengangkat sedikit vas berisi bunga sedap malam. Senyumnya terukir otomatis sebagai bentuk keramahan yang diajarkan sang kakek.

Si gadis kecil tersenyum sangat manis. Dalam kesederhanaannya, Mala bisa melihat kalau gadis kecil itu sangat cantik. Si gadis kecil tak menjawab apa-apa, ia juga seperti tak berniat untuk mengambil vas bunga dari Mala. Gadis kecil itu hanya meminggirkan tubuhnya dan membentangkan pintu lebih lebar. Isyarat bagi Mala masuk saja.

Mala pun melangkah masuk. Sesuatu seperti menghantam dadanya, halus, tetapi terasa. Tidak tahu apa, karena tidak ada apa-apa atau siapa pun yang sedang menyerang fisiknya. Mala mengedarkan pandangan dengan bingung.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya si gadis kecil.

Mala menoleh menatap si gadis kecil dan tersenyum. Sakit di dadanya, hilang dalam sekejap. "Gak pa-pa. Ini diletakkan di mana?"

Berubah. Mala baru sadar jika tatanan kamarnya sudah berubah. Tempat tidur sudah bergeser mepet ke tembok antara kamarnya dan kamar ibunya. Meja belajar di sebelahnya. Nakas menggantikan posisi meja belajar. Meja kecil itu ada tepat di bawah jendela.

"Kenapa dirubah?" Mala meletakkan vas bunga sedap malam di meja belajar. Ia tak menyembunyikan nada kesalnya pada si gadis kecil, walaupun pastinya yang melakukan perombakan adalah Tante Ratna.

"Agar aku dekat dengan kakakku."

Mala tercenung menatap vas yang baru diletakkannya. Ada yang salah dengan kalimat si gadis kecil. Mala berbalik dan menatap tajam si gadis kecil. "Kakak? Siapa?"

Senyum tak pernah lepas dari bibir si gadis kecil dan Mala baru menyadari, bahwa senyum si gadis kecil menyimpan kemisteriusan.

"Yani. Aryani."

Kedua bola mata Mala menonjol dan hampir keluar dari kelopaknya. Ada yang salah dan memang salah. Namun, apa yang salah adalah bagian dari sedikit kebenaran yang muncul.

***

Mala dan Bu Lis, bersama-sama memasang seprai baru di tempat tidur almarhum kakek Mala. Tempat tidur kuno dengan empat tiang besi, sebagai penyangga selambu. Di bagian kepala dan kaki ada semacam pagar besi dengan hiasan bunga teratai di tengah-tengahnya.

Mala kecil hampir tidak pernah berlama-lama di kamar kakeknya. Ia masuk hanya saat membutuhkan sang kakek untuk hal-hal tidak penting. Ada tamu, ada pos, PR yang susah, dan lain-lain yang pokoknya Mala butuh, tapi tak membuatnya harus diam lama di kamar sang kakek.

Ada meja marmer segi enam di sudut kamar, ditemani kursi coklat dengan tinggi yang sama. Didekatnya ada lemari buku, berwarna gelap. Mala sering mendapati kakeknya duduk sembari menulis atau membaca.

Lemari pakaian ada di sisi lain, dekat dengan pintu. Cermin bundar di bagian pintu luar lemari, tepat mereflesikan bagian kepala tempat tidur. Mala berpikir untuk merubah posisi lemari. Ia merasa tidak nyaman jika tidur harus mendapati pantulannya di cermin.

Mala dan Bu Lis kini duduk di tepi tempat tidur sembari memasang sarung bantal dan guling. Bunyi khas ranjang besi ketika kena beban tubuh, terasa ngilu di telinga Mala.

"Bagaimana bisa?" tanya Mala. Kebingungan masih menguasai dirinya sejak ia bertemu si gadis kecil. "Dan Mama tidak mau ke luar kamar sama sekali?" Mala menatap Bu Lis, tidak percaya.

Ibunya tidak keluar kamar sudah lima hari, terhitung sejak si gadis kecil datang. Ibunya hampir tidak makan andai tidak didesak Bu Lis. Dia bahkan tidak mandi, karena tidak ada kamar mandi di dalam kamar. Buang air kecil dilakukan di dalam kamar dengan baskom plastik dan untungnya sang ibu tidak buang air besar, Mala tidak bisa membayangkan jika itu pun dilakukan di dalam kamar.

Mala terhenyak. Banyak pikiran dan adanya kejutan, membuatnya lupa mengunjungi ibunya. Mala meletakkan guling yang belum sepenuhnya terbungkus sarung.

"Saya ke kamar Mama dulu ya, Bu Lis."

Mala melangkah cepat keluar dari kamar kakeknya, meninggalkan Bu Lis yang melongo karena ditinggal sendirian. Kesunyian seketika menjadi sangat menakutkan. Tercium aroma bunga sedap malam dan bulu tengkuknya meremang. Tidak peduli jika ia belum selesai memasang sarung bantal dan guling, Bu Lis melesat keluar dari kamar.

Melewati ruang tengah, Bu Lis mendapati Mala berdiri mematung di depan kamar Ibu Aryani. Tubuh Mala begitu kaku, ada yang menahannya mendekati pintu kamar. Bu Lis perlahan meneruskan langkahnya dengan masih menatap punggung Mala dan mencoba menerka apa yang ada di hadapan Mala. Dia tak mau ikut campur untuk hal-hal lain yang membuatnya kehilangan nalar.

Tepat setelah melewati tubuh Mala, Bu Lis melihat si gadis kecil berdiri di pintu kamar Ibu Aryani. Wajah si gadis kecil tersungging senyum lebar. Namun, Bu Lis justru merasa ngeri. Tiba-tiba si gadis melirik tepat ke arah Bu Lis.

Bagai disengat lebah. Bu Lis terperangah. Segera ia menunduk dan setengah berlari melanjutkan langkahnya menuju belakang rumah, di mana kamarnya berada. Sejak kedatangannya, mata si gadis kecil selalu membuat tubuh Bu Lis serasa meriang; memang menyeramkan.

***

Mala dan si gadis kecil saling menatap. Mala dengan ekspresi kaku dan si gadis kecil dengan ekspresi santai. Bibir Mala terkatup rapat, sedangkan si gadis kecil justru tersenyum teramat manis.

"Aku mau masuk." Mala akhirnya bersuara. Nadanya terdengar berat, seolah ada kata-kata lain yang tertinggal, tetapi tak kuasa keluar.

"Ayo. Aku juga," jawab si gadis kecil.

Jangan! Mama takut sama kamu. Mala menahan, tetapi hanya dalam hati. "Aku ingin bicara berdua saja dengan Mama. Sudah lama, kami tidak bertemu."

"Aku juga." Kali ini si gadis kecil menarik kepangnya ke depan dan ia memainkan ujung rambutnya, seolah begitu caranya mempermainkan takdir hidup yang aneh dan tidak logika.

"Lalu..., kenapa dari tadi berdiri saja di depan kamar Mama?"

"Aku sudah mengetuk dan memanggilnya. Tapi...." Si gadis kecil memutar sedikit tubuhnya dan menatap pintu kamar Aryani. "Sepertinya dia..., takut. Apakah kamu juga takut?" Kini si gadis kecil menatap Mala dengan tatapan tajam.

Kedua kelopak mata Mala berkedut. Ia sedang bertahan agar tak terlihat lemah. Namun, semakin lama berhadapan dengan di gadis kecil, ia pun mulai gentar.

Tawa kecil yang seharusnya lucu, terdengar tidak sama sekali lucu saat keluar dari bibir mungil si gadis kecil. Ia berjalan perlahan mendekati Mala. Tiba-tiba kedua tangannya yang kurus memegangi pergelangan tangan kanan Mala.

Sempat tubuh Mala jengkit. Tangan si gadis kecil sedingin es. Akan tetapi bukan hanya itu, dinginnya tangan si gadis kecil bahkan menembus daging dan terasa hingga tulang.

"Akan ada banyak kematian."

Mala melotot. Kata-kata itu benar-benar mengerikan karena keluar dengan dinginnya dari mulut si gadis kecil. Sesuatu terasa menyetrum isi kepala Mala. Sontak Mala memegangi kepalanya dan memejamkan mata. Ada kilasan bayangan....

***

Jabar duduk diam di ruang tamu. Asap rokok kretek terus-menerus keluar dari bibirnya yang dinaungi kumis tipis; membuatnya terlihat bersahaja. Ia seperti melamun, tetapi tidak. Indranya menangkap jerit tangis dari arah kamar utama, tepat di sebelahnya. Masih ada barang-barang yang dibanting. Rupanya tak cukup, memecahkan banyak barang di ruang tamu.

Tiba-tiba pintu kamar utama terbuka, seorang wanita dengan ikat rambut yang berantakan, muncul dengan menarik koper kulit ukuran besar. Wajahnya sayu dan terlihat lelah, tetapi tenaganya ternyata masih ada banyak.

"Aku pulang. Aku pulang. Malam ini juga!" jeritnya di hadapan Jabar. Ia berdiri tegak, membiarkan kopernya jatuh. Matanya merah nyalang mengerikan. Sungguh kontras, karena wajahnya masih terlihat ayu.

Aryani muda muncul dari arah ruang tengah. Sedari tadi ia duduk di meja makan, menyimak saja pertengkaran kedua orang tuanya. Mendengar ibunya hendak pergi, Aryani tidak terima.

"Bu?"

Wanita yang disapa Ibu menoleh. "Yani, bawa baju-bajumu. Ikut Ibu."

"Apa-apaan kamu ini?" sela Jabar. "Masuk kamar kamu, Yan."

"Apanya yang apa-apaan? Kamu yang apa-apaan? Kamu mau buat aku mati. Iya, 'kan?"

"Jangan ngomong sembarangan!" Jabar mematikan sisa rokoknya ke asbak dengan kasar. Ia berdiri dan mengambil koper. Namun, istrinya menahan koper yang hendak dibawa masuk Jabar.

"Aku mau pergi! Aku gak mau mati! Aku gak mau jadi tumbal!"

Jabar menghentakkan tangannya, menyebabkan istrinya sedikit terhuyung. Aryani bergegas menghampiri ibunya dan memeluknya.

"Tidak ada yang pergi! Tidak ada yang mati! Tidak ada yang jadi tumbal!" ucap kasar Jabar.

"Wanitamu itu dukun!" jerit istrinya.

***

Mala terduduk di lantai. Ia mengerjapkan matanya berulang kali. Mencoba menetralisir keadaan dirinya sendiri yang baru saja mengalami hal yang absurd.

Sakit kepalanya hilang dengan cepat, berbarengan dengan hilangnya si gadis kecil.

Perlahan, Mala berdiri dan mendekati kamar ibunya. Ia mengetuk. "Ma.... Mama, ini Mala. Buka pintunya ya, Ma."

Tak ada sahutan dari dalam. Mala merapatkan telinganya ke daun pintu, mencoba bisa mendengarkan sesuatu, walaupun hanya samar.

"Ma.... Tidak ada siapa-siapa. Hanya Mala."

Terdengar gerakan samar. Mala bisa merasakan ada gesekan halus di pintu. Mala yakin itu ibunya.

Aryani merapatkan tubuhnya juga ke pintu, untuk meyakinkan diri sendiri bahwa hanya ada putrinya di balik pintu. Mala merendahkan suaranya, tetapi dengan tekanan agar ibunya percaya. "Tante Ratna sudah pergi."

***

Rambut panjang Aryani berantakan, kusut, juga berminyak. Aroma keringat yang asin, juga bau pesing, semerbak memenuhi seisi kamar. Sebenarnya Mala mual. Ia tak kuat dengan aroma kamar ibunya, tetapi demi melihat keadaan Aryani, Mala melemahkan indra penciumannya.

Mala memeluk ibunya dengan sayang dan itu adalah sayang yang sesungguhnya, juga pelukan tulus untuk pertama kalinya. Ada yang meledak di dalam hati Mala, sesuatu yang lama dipendamnya untuk Aryani; kerinduan akan sosok ibu.

Air mata keduanya mengalir ditemani sedu-sedan dengan makna berbeda. Aryani menangis syukur karena putrinya cepat pulang. Ia sudah sangat ketakutan. Tubuhnya bergetar bukan hanya karena menangis, tetapi juga ketakutan yang belum juga hilang.

Sedangkan Mala menangis karena sedih melihat keadaan ibunya. Sedih merasakan bagaimana tubuh ibunya gemetar dalam pelukannya. Mala menyalahkan dirinya sendiri, telah abai begitu lama untuk sang ibu.

Mala melepaskan pelukannya dan berniat menuntun Aryani ke tempat tidur. Aryani tak mau beranjak. Tatapannya tajam terarah ke daun pintu yang terbuka. "Tutup! Cepat tutup pintunya! Cepat!"

Demi agar Aryani tidak semakin panik, bergegas Mala menutup pintu. Saat memegang gagang pintu, Mala mengernyit, ada rasa panas. Mala melepaskan tangannya dan meniup lembut jemarinya. Terasa embusan angin dari sisi kirinya, Mala menoleh.

Pintu kamar Mala terbuka perlahan dengan bunyi decit yang membuat ngilu. Mala tidak tahu sejak kapan pintunya kekurangan minyak di bagian engsel. Seingat Mala, terakhir pulang tahun lalu, pintu kamarnya baik-baik saja.

Pintu itu hanya terbuka sedikit. Hanya seperti celah kecil untuk mengintip. Mala sedikit menyipit agar bisa melihat apa yang ada di dalam kamar dan bertanya-tanya sendiri kenapa pintu dibuka tapi tak ada yang keluar.

 Gelap. Lampu ruang tengah yang hanya bohlam kecil dan hanya memberi sinar kuning yang redup, amat tidak membantu. Sedap malam menguar kuat dari dalam kamar itu. Kini terdengar seperti ada yang tertawa kecil. Membuat Mala risih.

"Dia takut, ya? Hehehe...." Suara si gadis kecil berbisik dari balik pintu. Perlahan, kepalanya terjulur. Hanya setengah saja dengan posisi sedikit miring. Membuat rambutnya yang tak dikepang, menjuntai bak tirai. Dari semuanya, sebelah mata yang menatap tajam dan setengah bibir yang tertarik ke atas, justru terlihat mengerikan bagi Mala. Serupa seringai setan.

Tawa si gadis kecil tak berhenti. Tidak nyaring, lirih saja. Seperti sayup-sayup, tapi terasa sangat jelas, tidak hanya di telinga, tetapi suara itu masuk hingga ke dalam pikiran Mala.

Brak.

Tubuh Mala ditarik masuk dan pintu ditutup dengan bantingan keras oleh Aryani. Matanya yang melotot dan tubuh masih gemetaran, Aryani kemudian mendorong tubuh Mala ke arah tempat tidur dan mendudukkan putrinya di tepi ranjang. Wajahnya panik melihat Mala yang terdiam. Ditepuknya lembut pipi Mala.

"Mala...Mala..., bangun, Nak." Berulang-ulang Aryani menyebut nama putrinya dengan air mata yang terus mengalir. Akhirnya, Aryani menampar pipi Mala, hanya agar Mala memberi respon dan berhasil.

Kedua mata Mala mengerjap beberapa kali. Mala tak memegang pipinya, dia justru memegang dadanya yang terasa sakit tiba-tiba.

"Kenapa, Mala?" tanya Aryani sembari ikut memegang dada Mala. "Apanya yang sakit?"

Mala menggeleng. Sakit di dadanya sudah mereda. "Gak pa-pa, Ma."

Mala meremas lembut kedua jemari Aryani, berharap kekhawatiran dan ketakutan ibunya mereda. Dirangkulnya pundak sang ibu dengan sayang. Sembari mengamati seisi kamar Aryani yang dirasanya berubah sejak terakhir dirinya masuk.

Dulu, ranjang Aryani mepet ke tembok batas antar kamar, sedangkan di kamar Mala, ranjangnya menjauh dari tembok batas. Kini posisi terbalik. Ranjang Aryani menjauh dari tembok batas dan ranjang Mala justru mepet ke tembok batas.

Mamanya menjauhi kamarnya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status