Share

Ancaman Talak Dari Dimas

"Buat apa bawa-bawa lauk segala, Nin? Mau pamer kamu pintar masak?" Sita melihat tidak suka pada kantong yang dibawa Hanin.

Hanin tersenyum. Mengambil wadah dan segera memindahkan lauk ayam yang dibawanya.

"Ya wajar sih, kalau kamu pintar masak. Ibumu dulu kan pembantu di sini, pasti bakatnya menurun. Ups." Sita pura-pura menutup mulutnya.

Hanin tidak menanggapi omongan Sita. Malas saja dia berdebat dengan mantan istri suaminya itu.

"Hanin, cobain. Ini kue Sita bawa tadi waktu ke sini." Mama Desi masuk lagi ke dapur sambil mencomot kue di piring.

"Iya, Ma. Sita tidak pandai masak seperti Hanin. Jadi tadi di jalan beli." Nada suara Sita dibuat sedemikian rupa. Terdengar manja dan renyah di telinga.

Mama Desi tertawa. Bergegas pergi lagi, tadi ada barang yang hendak diambilnya.

"Setiap wanita itu istimewa, Ta. Allah itu Maha Adil. Kau cantik dan mempunyai karir yang sukses, tapi tidak bisa memasak. Aku yang bisa memasak tapi biasa-biasa saja." Cepat Hanin menanggapi perkataan Sita.

"Kita sudah diberikan oleh Allah kekurangan dan kelebihan masing-masing. Tergantung bagaimana cara kita mensyukuri apa yang kita punya," sambungnya.

"Bersyukur untuk setiap hal yang kita miliki, tanpa iri dengan milik orang lain, itulah yang membuat kita istimewa." Hanin mengelus perutnya. Janin di dalam sana mulai bergerak pelan.

"Tetap saja tidak bisa disamakan, Nin. Aku wanita bermartabat, sementara kau hanya anak seorang pembantu yang kebetulan mendapat kesempat …."

"Martabat seorang wanita tidak dilihat dari apakah dia pintar memasak, seberapa cantik wajahnya atau pun sebagus apa karirnya. Tidak, tidak dilihat dari semua itu. Martabat seorang wanita dilihat dari seberapa pandai dia menjaga kehormatannya." Cepat saja Hanin memotong ucapan Sita.

"Sayangnya. Dengan segala kesempurnaan yang kau miliki. Kau bukan perempuan terhormat, Ta. Kau tidak pantas mendapat sebutan wanita bermartabat." Merah padam wajah Sita mendengar setiap kalimat Hanin.

"Apakah pantas seorang wanita yang katanya bermartabat menginginkan suami orang?" Hanin maju mendekati Sita.

"Kau tidak lebih dari seorang pencuri, Ta. Pencuri hina yang penuh dosa, karena menginginkan yang bukan haknya!"

"HANIN! Jaga ucapanmu!" Suara bentakan Dimas terdengar. Mengejutkan Hanin dan Sita.

Sita tersenyum tipis menatap Hanin.

"Apa yang salah dari ucapanku, Mas?" Mata Hanin berkaca.

"Wanita yang kau katakan pencuri itu ibu dari anakku!" Dimas menekan suaranya agar tidak terdengar sampai ke ruang tamu.

"Lalu aku? Apa aku bukan ibu dari anakmu?" Hanin menggigit bibir. Susah payah dia menahan air matanya agar tidak terjatuh.

Dimas mengusap wajahnya kasar.

"Nin, tolong, mengertilah. Jangan buat aku mengatakan hal yang sebenarnya tidak ingin kukatakan." Dimas memegang pundak Hanin.

"Apa yang harus kumengerti, Mas? Seharusnya wanita itu yang kau beri pengertian! Apakah sesuatu hal yang dapat dibanggakan bisa menghancurkan rumah tangga orang lain? Dia tidak lebih dari seorang wanita Mu-ra-han!"

"HANIN!"

"Dimas!" Mama Desi berteriak. Tadi dia bergegas kembali saat mendengar ada keributan.

"Kau! Berhenti berbangga diri masih menyandang status seorang istri! Andai kuucapkan talak saat ini juga, kau sudah kehilangan status yang kau banggakan itu!"

"Astaghfirullahaladziim, Dimas!" Papa Roy memegang bahu Dimas. Menariknya ke ruang tamu. Berbicara empat mata.

Sementara Hanin terpaku menatap Sita yang tersenyum lebar. Wanita itu, sungguh bukan tandingannya. Bahkan dengan tanpa bersuara pun, dia bisa memenangkan hati Dimas.

Hanin menunduk. Berusaha menata perasaannya. Menyesapi kekalahannya.

Inilah batasnya. Inilah akhirnya. Lelah itu bermuara. Hanin memutuskan menyerah.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
tau diri jugalah kau sedikit hanin. koq suka banget menghinakan dirimu sendiri. klu kayak gini kau seperti sampah jadinya. klu orang udah g cinta g usah dipaksa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status