Share

Musyawarah Keluarga

"Assalamualaikum." Dimas membuka pintu kamar.

"Waalaikumussalam, Mas." Hanin yang tengah melipat mukena setelah shalat maghrib menjawab salam Dimas. Keningnya berkerut. Menatap heran lelaki yang sedang berjalan ke arahnya itu.

"Mas tidak jadi menginap di tempat Mama?" Hanin melempar tanya.

Dimas menggeleng. Ikut duduk di sajadah tempat Hanin duduk. Perlahan lelaki itu merebahkan tubuhnya. Tidur dipangkuan Hanin dengan tubuh meringkuk. Sebelah tangannya mengelus perut Hanin.

"Maaf." Suara Dimas gemetar saat kata itu keluar dari mulutnya. Hanin dapat merasakan air mata suaminya itu membasahi bajunya.

Wanita itu menengadah. Menahan agar air matanya tidak ikut tumpah. Kejadian siang tadi di rumah Papa Roy dan Mama Desi kembali berputar di kepalanya.

"Kau! Berhenti berbangga diri masih menyandang status seorang istri! Andai kuucapkan talak saat ini juga, kau sudah kehilangan status yang kau banggakan itu!"

"Astaghfirullahaladziim, Dimas!" Papa Roy memegang bahu Dimas. Menariknya ke ruang tamu. Berbicara empat mata.

Sementara di dapur, hening menyelimuti Hanin dan Sita. Mama Desi mendekati Hanin. Mengelus pundak menantunya itu. Mengajaknya duduk.

"Minum, Nin." Mama Desi memberikan segelas air putih.

"Terima kasih, Ma." Hanin mengambil gelas dari tangan mertuanya itu. Pelan wanita berwajah teduh itu mengelus perutnya.

Pikiran Hanin melayang entah kemana.

"Nin, kita ke depan." Tiba-tiba suara Mama Desi mengagetkan Hanin.

Hanin duduk di samping Dimas yang terlihat kacau. Sementara Sita duduk di samping Mama Desi, berhadapan dengan Dimas. Mereka duduk membentuk huruf U, sehingga Papa Roy berada di tengah-tengah mereka.

"Maksud Papa dan Mama mengumpulkan kalian kemari, karena ada suatu hal yang ingin kami konfirmasi kebenarannya." Papa Roy membuka pembicaraan. Lelaki yang rambutnya mulai beruban itu terlihat sangat berwibawa. Sisa-sisa kegagahan masa mudanya masih sangat kentara.

"Benar kau sudah mengajukan gugatan cerai terhadap istrimu, Dim?" Papa Roy tajam menatap Dimas.

"Kau mengadu pada Papa dan Mama, Nin?!" Mata Dimas bengis menatap Hanin yang terlihat berkaca.

Hanin menggeleng. Lidahnya kelu. Ini kali ketiga Dimas berbicara dengan suara tinggi padanya selama dua tahun pernikahan mereka. Pertama dan ke dua saat di dapur tadi, dan yang ke tiga baru saja terjadi.

"Jaga bicaramu, Dimas! Hanin sedang mengandung calon cucuku!" Wajah Papa Roy mengeras.

"Sita yang menelepon Mama, Dim." Mama Desi akhirnya bersuara.

Dimas menautkan kedua alisnya. Menatap Sita bingung. Dimas menggeleng. Masih tidak mengerti mengapa Sita melakukannya. Padahal jauh-jauh hari dia sudah mewanti-wanti wanita pujaannya itu agar permasalahan ini tidak bocor. Dimas sedang mempersiapkan diri menghadapi setiap tanya dari orangtuanya.

"Kalian sudah dewasa. Sudah tua lebih tepatnya. Ini permasalahan kalian, karena yang menjalaninya adalah kalian. Tetapi kalau menyangkut pernikahan dan perceraian, kau tidak bisa sembarangan, Dimas!" Papa Roy menatap anak laki-lakinya itu garang.

"Pernikahan ini bukan hanya antara kau dan Hanin! Tapi juga penyatuan antara dua keluarga." Papa Roy menarik napas panjang.

"Kau lupa bagaimana gigihnya dulu dirimu berjuang agar kami menerima Hanin, hah?!"

Dimas membisu. Membuat Papa Roy sangat gemas dengan putra semata wayangnya itu.

"Bicara, Dim. Kau laki-laki. Pantang bagi seorang laki-laki dalam keluarga kita menjadi pengecut! Jelaskan setiap tindakanmu!" Ingin rasanya Papa Roy menggebrak meja karena kesal dengan Dimas yang membatu. Namun mengingat Hanin yang tengah hamil besar. Dia mengurungkannya.

"Betul, Dimas sudah mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama, Pa." Pelan suara Dimas terdengar.

"Kenapa?"

"Dimas dan Sita bermaksud rujuk."

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Jhon
jsjsksskbbnnbnj
goodnovel comment avatar
Zifana Zifa
ceritanya bagus banget ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status