Hanin duduk di bangku depan ruang sidang. Tangannya mengelus lembut perutnya yang membuncit. Hari ini tepat tiga puluh lima minggu usia kehamilannya.Sidang mediasi berjalan lancar. Kedua pihak dianggap sepakat untuk bercerai. Hanin memang lebih banyak diam saat di dalam, sementara Dimas menjelaskan alasan-alasan gugatan diajukan."Kak." Saldi menyapa Hanin."Sal." Lemah suara Hanin terdengar."Ini, minum dulu." Adik laki-laki Hanin menyerahkan sebotol air mineral. Dia sengaja izin sekolah hari ini untuk mendamaikan kakaknya di pengadilan. Mbok Ti tidak bisa ikut karena harus menjaga warung makan kecil-kecilan miliknya.Saldi ikut duduk di samping Hanin. Anak laki-laki berusia lima belas tahun itu mengedarkan pandangan. Matanya menyipit saat menangkap sosok Dimas, kakak iparnya seperti berjalan ke arah mereka."Sal." Hanin memegang bahu Saldi."Eh, iya, Kak?" Saldi menoleh ke arah Hanin, khawatir kakaknya itu butuh sesuatu."Kau sudah kelas tiga SMP, sebentar lagi ujian. Tidak baik se
Hanin menahan napas. Tidak menyangka, adik laki-laki yang dulu sering diganggunya itu kini sudah mulai dewasa. Atau Saldi dewasa sebelum waktunya? Sering terjadi, karena keadaan, anak menjadi lebih cepat dewasa dari pada usianya.Dimas terpana. Tidak menyangka adik iparnya yang masih berusia lima belas tahun itu mempunyai pikiran sedemikian matangnya."Saldi, Mas minta maaf. Tetapi Mas masih suami kakakmu. Jadi ….""Apakah pantas seorang suami menceraikan istrinya yang sedang hamil besar?" Saldi menatap Dimas tajam. Nalurinya sebagai anak laki-laki satu-satunya di rumah muncul begitu saja saat melihat kakaknya dizhalimi sedemikian beratnya.Dimas terdiam. Saldi benar. Pantaskah perbuatannya ini? Ragu itu kembali menggayuti. Namun melihat Sita dan Rindu di sampingnya, dia berusaha meyakinkan diri. Hidup bersama dengan Sita kembali, adalah prioritasnya kini."Langsung saja ke intinya, Mas." Sita malas berlama-lama berdebat dengan anak kecil."Nin. Aku tegaskan sekali lagi. Setelah kalia
"Assalamualaikum.""Waalaikumussalam. Loh, Ibu sama Bapak kesini tidak berkabar dulu?" Mbok Ti tampak terkejut melihat Mama Desi dan Papa Roy datang berkunjung."Ayo, ayo, masuk." Kedua mertua Hanin tersenyum ramah, mengangguk sopan pada Mbok Ti."Hanin ada, Bu?" Sejak menjadi besan, panggilan Mbok Ti sudah tidak pernah digunakan lagi oleh mereka. Walaupun awalnya sulit, karena sudah bertahun-tahun panggilan itu digunakan, lama-lama mereka terbiasa."Ada, tadi istirahat di kamar, baru selesai jalan pagi." Mbok Ti berjalan ke arah kamar Hanin."Nin, keluar sebentar. Ada Pak Roy dan Bu Desi." Mbok Ti mengetuk pintu kamar Hanin."Loh? Kapan datangnya, Bu?" Hanin bergegas keluar sambil merapikan jilbab yang baru saja dipakainya. "Barusan." Mbok Ti berjalan ke belakang untuk membuatkan minuman."Pa, Ma," sapa Hanin begitu sampai di ruang tamu."Haniiin, Mama kangen." Mama Desi langsung berdiri memeluk menantunya itu.Hanin tersenyum menyambut pelukan Mama Desi. Dia dan mertuanya memang sa
"Apa karena Non Sita adalah menantu kebanggaan Bapak dan Ibu sebelum Den Dimas menikah dengan Hanin? Sementara anakku, mungkin bagi kalian tidak ada yang bisa dibanggakan darinya." Mbok Ti menggigit bibir. Hatinya gentar sekali menghadapi mantan majikannya itu. Namun demi Hanin, apapun akan dilakukannya ."Bukan, Bu. Bukan karena itu." Papa Roy cepat membantah dugaan Mbok Ti."Sebagai orang tua, kami tidak bisa masuk terlalu dalam ke urusan rumah tangga anak kami. Karena pada akhirnya, merekalah yang akan menjalaninya." Papa Roy terdiam sejenak. Berusaha mengatur setiap kata yang akan dia sampaikan.Lengang.Hening kembali membungkus sepi di antara mereka."Bagaimanapun, Hanin sedang mengandung calon cucu kami, sedangkan Sita adalah Ibu dari Rindu. Jadi, tidak ada hal yang membuat kami berat pada salah satu pihak. Bagi kami, siapapun menantu kami, saja saja. Baik Hanin maupun Sita, keduanya ibu dari cucu kami." Papa Roy kembali berbicara setelah terdiam cukup lama."Bu …." Hanin memeg
"Mas." Sita nanar menatap Dimas yang sedang duduk di samping Hanin. Bahkan sisa derai tawa mereka masih terdengar jelas saat dia membuka pintu kamar."Sita …." Suara Dimas tercekat."Ayaaaah." Rindu berlari memeluk Dimas yang langsung menyambutnya."Tante Hanin sudah lahiran? Waaaaaah dedek bayinya ganteng seperti Ayah." Mata Rindu berbinar melihat bayi laki-laki yang berada dalam dekapan Hanin."Rindu, tunggu disini dulu jaga dedek sama Tante Hanin ya? Ibu keluar sebentar sama Ayah," ucap Sita sambil mengelus kepala putrinya.Rindu langsung mengangguk. Tentu saja dia mau. Anak kecil itu sudah sangat Rindu bercakap-cakap dengan "Tante Hanin-nya". Apalagi ada dedek ganteng yang baru saja lahir. Eh… dedeknya menguap. Rindu menyeringai. Gemas sekali dia melihatnya."Mas." Hanin memegang tangan Dimas saat lelaki itu akan melangkah ke luar mengikuti Sita."Ayo, Mas!" Sita menarik tangan Dimas. Membuat lelaki itu terjebak di tengah-tengah. Dimas memejamkan mata. Kepalanya tiba-tiba terasa s
Namun belum lama kehangatan itu mereka rasakan sebagai satu keluarga utuh, Sita datang. Mengacaukan momen yang seharusnya dapat menjadi indah."Jawab, Mas!" Sita sedikit berteriak karena Dimas terus membisu.Lengang. Lidah Dimas kelu. Tenggorokannya terasa kering. Suaranya seperti tidak mau keluar untuk menjawab tanya Sita.Sita menghentakkan kakinya kesal. Pergi begitu saja meninggalkan Dimas yang masih terpaku. Wanita itu membuka pintu dan segera menggandeng Rindu. Tanpa sempat berpamitan dengan siapapun, Rindu yang terlihat bingung, patah-patah mengikuti langkah ibunya.Lelaki itu menghembuskan napas kasar. Entah kenapa semakin lama Sita semakin membuatnya bingung. Bahkan secara sadar dia merasa, Sita mulai membenahi hatinya.Dimas sebenarnya tidak terlalu terkejut dengan kelakuan "ajaib" yang kadang dilakukan Sita. Dua tahun berpacaran dan tiga tahun membina rumah tangga membuatnya cukup mengenal bagaimana mantan istrinya itu.Sebagai anak tunggal yang lahir dari keluarga kaya, Si
Hanin mendengarkan semua percakapan Sita dan Dimas dari dalam. Pintu kamar yang tidak tertutup dengan rapat membuat suara mereka terdengar dengan jelas.Hatinya terasa sangat sakit saat mengetahui lelaki yang masih sah menjadi suaminya itu begitu takluk pada wanita lain. Takluk pada seorang wanita bergelar mantan.Hanin tersadar dari pikirannya saat bayi kecil dalam pelukannya menggeliat pelan.Wanita itu terpana. Mata kecil itu menatapnya penuh pengharapan. Hanin menghapus air matanya yang tiba-tiba mengalir. Dia tertawa dalam tangisnya. Menyadari bayi mungil itu dari tadi memperhatikannya.Sesat kemudian Hanin menunaikan kewajibannya sebagai seorang ibu. Hatinya terasa hangat saat merasakan bibir kecil itu menyentuh kulitnya, mencari sumber kehidupan. Cinta Hanin berkecambah. Sungguh. Dia telah jatuh cinta pada makluk mungil yang berada di dekapannya, bahkan sejak mereka belum pernah berjumpa.Sedotan halus di sana membuat air mata Hanin kembali mengalir. Mata kecil itu masih terus
"Sal …." Dimas langsung berdiri tegak melihat adik iparnya itu datang"Untuk apa datang kemari jika kehadiran Mas hanya membuat Kak Hanin sedih? Mau seperti apa lagi Mas menyakiti kakakku? Mas Dim ceraikan Kak Hanin saat dia sedang hamil besar. Itu membuat Kak Hanin sangat tertekan, Mas. Setiap hari kerjaannya hanya di kamar. Alhamdulillah persalinan hari ini lancar, walau sempat ada pendarahan yang cuku parah." Saldi mengepalkan tangannya.Andai dia tidak ingat kalau orang yang ada di depannya ini masih suami kakaknya. Sudah sejak tadi bogem mentah itu melayang.Lima belas tahun. Usia yang terbilang masih sangat muda. Namun karena ditempa oleh keadaan. Cara berpikir Saldi lebih cepat dewasa dari pada usianya.Dilahirkan dalam keadan tanpa Ayah, membuat dia sebagai anak laki-laki satu-satunya di rumah berusaha menggantikan peran itu. Dia betul-betul menjaga dan melindungi dua wanita yang sangat berharga dan berjasa dalam hidupnya. "Kok ngobrol di luar? Ayo ayo masuk. Kasian Hanin dit