Beranda / Romansa / KAWIN LARI / Bab 3. Teman Makan Malam

Share

Bab 3. Teman Makan Malam

Penulis: Chida
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-28 10:03:14

"Hasil MRI nya menunjukkan adanya saraf terjepit di leher, ruas C-5 dan C-6. Ini termasuk salah satu yang riskan ya, Bu. Kita ada dua solusi, keputusan saya kembalikan ke Ibu," ujar dokter Zainal, dokter senior itu.

"Apa, Dok?"

"Operasi atau—"

"Operasi? Waduh, Dok." Wajah Bu Sum seketika panik.

"Tenang dulu, Bu." Dara mengusap pundak wanita tua itu.

"Atau kita observasi, selain dengan obat, Ibu harus tetap memakai collar neck. Penyangga leher hingga waktu yang ditentukan."

"Kalau di lihat dari hasil MRI Ibu, tonjolan pada bantalan sendi hampir mengenai saraf utama," ucap Rizal.

"Bahaya?" Kali ini Dara menunjukkan wajah paniknya.

"Bahaya kalo nggak di tanggulangi dengan cepat." Rizal menahan senyumnya saat melihat wajah Dara.

"Jadi gimana Dok, baiknya?" 

"Kita observasi dulu saja ya, dengan obat dan collar neck. Satu bulan lagi kontrol, kalo masih belum ada perubahan, mau tidak mau kita ambil tindakan operasi."

"Observasi. Ok, enggak apa-apa, kan Bu?"

"Ibu mana baiknya aja, Ra. Ibu udah nggak bisa mikir."

"Tapi dengan satu syarat, Bu Sum harus benar-benar menghindari pekerjaan berat. Usahakan selalu olahraga ringan dan stretching tubuh," ucap Rizal. 

"Baik, Dok." 

"Ibu sudah dengarkan apa kata dokter tadi, istirahat dulu. Jangan kerja berat dulu, sementara kerjaannya biar Dara yang kerjakan, kan Dara juga setelah wisuda nggak langsung kerja. Jadi Ibu nggak usah khawatir," ucap Dara saat mereka sudah sampai di parkiran motor.

Terkadang hidup itu memang cuma harus di jalani, apa-apa mengenai rejeki semua sudah di atur oleh Yang Maha Kuasa. Bu Sum tersenyum, bersyukurnya dia mempunyai anak-anak yang penurut dan tidak banyak menuntut seperti Dara dan Bagas.

"Maaf ya, Dara jadi harus mengalah lagi." Bu Sum membelai wajah Dara.

"Sekarang pakai helmnya, peluk Dara erat-erat, kita cari collar neck terbaik buat Ibu, biar Ibu cepat sembuh dan nggak harus operasi."

*****

"Gimana Ibu Sum?" Isi pesan Rizal malam itu.

"Baik."

"Udah dapet collar neck-nya?"

"Sudah."

"Kamu pelit banget jawabnya." Isi pesan Rizal di sertai emot datar.

"Ibu baik, sudah enakan setelah pakai collar neck."

"Nah, gitu dong. Kamu sudah makan?" 

"Belum, baru selesai setrika baju Pak Dokter Rizal. Mungkin besok Bagas yang antar ke sana."

"Lengkap banget jawabnya."

"Tadi katanya di suruh jawab panjang-panjang." Dara mengulum senyum.

Rizal mengirimkan emoticon senyum tersipu.

"Makan dulu, nanti malah nggak ada tenaga buat besok."

"Males sih, udah malem juga."

Lama pesan itu tak kunjung di jawab oleh Rizal. Pikir Dara mungkin lelaki itu tertidur.

"Dara." Rizal kembali mengirimkan pesan untuknya. "Sekitar setengah jam lagi, ada ojek online datang antar makanan ke rumah kamu."

"Hah?"

"Jangan nggak di makan, ya. Selamat makan dan selamat malam." 

Dara terpaku, darimana Rizal tahu alamat rumahnya hingga lelaki itu bisa-bisanya mengirimkan dia makanan di saat waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam lebih.

Pintu kamar Dara terbuka, Bagas memajukan kepalanya. 

"Mbak, ada kiriman makanan," ujar Bagas. "Dari Rizal kata abang ojol nya."

"Ya ampun." Dara beranjak dari tempat tidurnya dan melangkah menuju ruang makan.

"Enak lagi ini Mbak, tau aja aku suka nasi goreng ini. Rizal siapa, Mbak?"

"Langganan laundry ibu," ucap Dara pelan takut membangunkan Bu Sum.

"Baru ya, kok baru denger namanya."

Dara hanya mengangguk sambil membuka beberapa kotak makan di hadapannya.

"Kok dia bisa tau alamat rumah kita ya, Gas."

"Loh, nggak tau. Kan Mbak Dara yang kenal."

"Iya tapi Mbak nggak pernah kasih tau kita tinggal dimana."

"Oh, mungkin dari nota laundry Mbak," tebak Bagas.

"Oh, iya juga ya. Ya sudahlah, makasih orang baik, makan Gas mumpung hangat." Dara tersenyum melihat adiknya langsung menarik kursi meja makan dan menikmati nasi goreng seafood kesukaannya.

"Bagas, besok pulang sekolah bisa bantu Mbak antar baju-baju laundry, ya?"

"Ok, Mbak. Banyak ya?"

"Ada delapan packing-an, tapi semua ke kost Paradigma. Bantu Mbak ya, karena siang Mbak harus ke kampus urus persiapan wisuda."

"Motor di tinggal ya, Mbak." Bagas kembali menyuapkan sendok terakhir nasi goreng ke mulutnya.

"Iya, nanti biar Mbak naik Trans aja."

"Ok."

"Abis makan di beresin, ya. Mbak ngantuk." 

Dara merebahkan tubuhnya, di raihnya ponsel yang tergeletak di sisi kanannya.

"Makasih kiriman makanannya, kapan-kapan gantian saya yang traktir."

Tanpa menunggu balasan dari pesan yang dia kirimkan, Dara pun terlelap karena lelahnya.

*****

Matahari semakin mencondongkan dirinya ke arah barat. Dara berjalan di bawah rindangnya pohon-pohon kampus menuju halte Trans. Sesekali rambut yang terjuntai itu pun berayun tertiup angin sore.

Motor sport itu berhenti di depannya. Dara mengerutkan keningnya, lelaki itu pun membuka helm full facenya.

"Dokter?"

"Hai." Rizal tersenyum. 

"Kok bisa di sini?"

"Bisa dong, kan ini jalan umum. Kebetulan tadi liat kamu, ya udah aku samperin. Mau pulang?"

"I—iya sih." 

"Ayo, bareng aja. Kan searah ...." Rizal menurunkan footstep. "Ayo ... aku nggak gigit kok."

"Tapi itu motornya—" Dara memperhatikan tempat duduk penumpang motor sport milik Rizal.

"Kenapa? Enggak masalah, kan? atau kamu di depan aku di belakang?" 

Rizal sudah tak tahan lagi menyembunyikan tawanya. Gadis yang baru beberapa waktu dia temui ini sungguh membuat benang kusut di kepalanya, perlahan-lahan mulai terurai.

"Terserah kamu mau duduk seperti apa, senyamannya aja, ayo."

Dara terdiam, dalam diamnya pun dia masih memikirkan bagaimana caranya dia bisa berada di atas jok yg lumayan tinggi untuknya.

"Taruh sini tangannya." Rizal menepuk pundaknya.

"Sorry," kata Dara lalu meletakkan tangannya di pundak Rizal. 

"Senyamannya," batin Dara kemudian tas yang dia bawa pun dia letakkan di tengah, diantara punggung Rizal dan tubuhnya.

"Kita makan dulu ya," ucap Rizal sebelum menutup helm wajahnya.

"Hah?"

"Kamu janji bakal traktir kan kemarin. Jadi hari ini giliran kamu yang traktir aku."

Tanpa menunggu jawaban, motor Rizal melaju dengan kecepatan tinggi memecah keramaian jalan raya sore itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (11)
goodnovel comment avatar
Umie
nah lo....Dara ditagih
goodnovel comment avatar
Indah Wirdianingsih
hah mulu dara.....hehehe
goodnovel comment avatar
Muti
menyalaaa Pak dokter
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • KAWIN LARI    62. Kecewa

    Mobil sedan berwarna hitam berhenti tepat di depan rumah kontrakan Dara. Pagi itu Bu Sum sedang menyapu halaman, sambil tersenyum Bu Sum meletakkan sapu lidi tersandar di sisi pagar."Pagi Bu Sum," sapa Teguh."Pagi, Nak Teguh.""Kinan ... sini," panggil Teguh pada gadis kecil berusia sekitar lima tahun, yang masih bersembunyi di balik pagar. "Katanya mau kenalan sama Tante Dara, ini rumahnya," ucap Teguh sambil berjongkok membujuk anak perempuannya.Bu Sumi tersenyum, ada sesak di dadanya melihat seorang anak yang masih terlalu kecil sudah harus kehilangan ibunya. Membayangkannya saja sudah sesak apalagi gadis kecil itu yang merasakan bagaimana hidup tanpa seorang ibu."Ayo masuk, Uti punya coklat di dalam. Namanya siapa?" tanya Bu Sum lembut."Ditanya namanya siapa tuh, sama Uti. Teguh meraih jari-jari mungil itu mengajaknya melangkah masuk pekarangan."Kinan," ucapnya lirih."Ayo ikut Uti, Uti punya coklat dan biskuit, Kinan mau?""Mau," jawab Kinan sambil mengangguk-angguk."Nak T

  • KAWIN LARI    61. Mencari

    Rizal melempar ponselnya ke atas ranjang, dadanya bergemuruh kesal. Bagaimana tidak dia kesal, hampir dua bulan dan dia tidak mendapatkan satu kabarpun tentang keberadaan dimana istrinya. "Ada apa sih ini sebenarnya!" BughTangannya menghantam tembok bercat putih di kamar mereka. "Arggh! Sialan, dimana kamu Ra!""Cal ... Ical, kamu kenapa?" Suara Donna dari balik pintu semakin menambah emosi Rizal."Cal ... kamu nggak kenapa-kenapa, kan? Mama dengan ada suara keras dari dalam kamar. Cal—"Rizal masih tak bersuara, dadanya bergemuruh, nafasnya menderu."Bangsat!""Cal! Mama masuk ya ...." Donna mulai khawatir, dia berulang kali berusaha membuka pintu kamar Rizal."Pa ... Pa!" panggil Donna.Hanna dan suaminya berlari tergopoh-gopoh mendengar suara Donna yang memanggil Andreas. Sementara Andreas, keluar dari kamarnya dengan wajah panik."Ada apa?""Rizal, di dalam entah kenapa. Sepertinya dia sedang marah," ujar Donna."Cal, buka pintunya," ujar Hanna berusaha selembut mungkin untuk

  • KAWIN LARI    60. Antara Senang atau Sedih

    Pintu pagar setinggi satu setengah meter itu masih terkunci. Kios tempat Bu Sum mencari rejekinya juga masih tertutup rapat padahal waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Rizal tiba di Jogja pukul 10 pagi tadi, menempuh perjalanan dari bandara ke rumah Bu Sum sekitar hampir satu setengah jam. Rizal akhirnya memutuskan untuk menemui istrinya meski larangan Donna saat itu cukup keras. Jauh di lubuk hati lelaki itu dia begitu merindukan Dara selama tiga minggu ini."Cari siapa?" tanya wanita bertubuh kurus yang kebetulan lewat. "Eh, Mas Rizal?" Dia terkejut saat mendapati pria yang berdiri lama di sana adalah Rizal."Mbak Siti? Mbak Siti, kan?""Iya, Mas," jawab Siti nampak sedikit ragu. "Mm—mbak Dara nya nggak ikut, Mas?" "Loh, Dara nggak di rumah?""Bukannya Mbak Dara di Padang?" Wajah Siti bingung."Oh, mm— begini Mbak Siti," ujar Rizal pun bingung ingin mengatakan apa. "Kalo Dara sudah datang, tolong suruh langsung hubungi Saya, karena nomer dia dan nomer Ibu nggak bisa Saya hubun

  • KAWIN LARI    59. Senyum Kemenangan

    "Selamat pagi."Synthia masuk ke ruangan yang dominan berwarna putih itu. Melengkok berjalan mendekati meja kerja Rizal."Pagi, Syn.""Aku bawain kamu sandwich dan ...." Synthia meletakkan dua cangkir berisi kopi kesukaan Rizal. “Sarapan dulu, yuk.”"Makasih, Syn." Rizal meraih roti sandwich yang sudah dibuka oleh Synthia. "Kamu bikin sendiri?"Synthia tertawa. "Ya nggak mungkin, Zal."“Sudah kutebak.” Rizal ikut tertawa."Bagaimana Dara? Sudah menghubungi kamu?" tanya Synthia penasaran."Belum, entah mau nya apa," jawab Rizal sedikit kesal. Sebersit senyuman memikat sudut bibir Synthia. Perlahan tapi pasti dia yakin, lelaki yang berada di hadapannya ini akan jatuh ke pelukannya.“Tapi mungkin aku akan ke Jogja, setelah urusan pekerjaan di rumah sakit selesai.”"Oh." Hati Synthia mencelos, tadinya dia berharap Rizal akan masa bodo akan kepergian Dara."Jadi, apa yang akan kita bahas hari ini?" tanya Rizal membuat Synthia kembali sadar dari lamunan."Untuk tempat tidur di gedung baru

  • KAWIN LARI    58. Pertemuan Yang Tak Disangka

    "Selamat bergabung." Dara menerima uluran tangan Andi seorang HRD manager tempatnya bekerja. Atas bantuan Winda, Dara diterima bekerja di hotel milik Mr. Richard."Gimana, Ra?""Makasih ya, Win ... sampaikan terimakasihku pada Mr. Richard. Kalau nggak ada kalian pasti aku akan kesusahan dapet kerjaan di sini.""Mr. Richard bilang apa sih yang enggak buat kamu," ujar Winda tertawa renyah."Jangan mulai deh," ucap Dara ikut tertawa. "Kapan ke Bandung, Win?""Nantilah, kalo kerjaan agak longgar aku juga pengin ambil cuti buat healing, kali aja bisa dapet jodoh.""Hhmm ... itu lagi.""Ra, aku tutup dulu ya. Bos besar manggil nih.""Ok, makasih ya Win ...."Baru saja Dara mengakhiri pembicaraannya, sebuah pesan masuk dari Bu Sum."Jangan lupa makan, Ra. Ibu takut maag kamu kumat lagi.""Iya, Bu. Ini Dara mau ke apotik sekalian beli obat untuk stok di rumah, Ibu mau titip apa?""Ibu nggak titip apa-apa, kamu cepat pulang ya."Tanpa membalas kembali pesan Bu Sum, Dara memasuki sebuah apotik

  • KAWIN LARI    57. Mulai dari Nol

    "Apa nggak sebaiknya kamu menghubungi suamimu, Ra?"Bu Sumi menyusun satu per satu lipatan baju Dara ke dalam lemari. Sudah satu minggu ini, anak perempuannya itu hanya berdiam menatap keluar jendela kamar."Apa kata mertuamu nanti, nggak baik, Ra. Walau bagaimanapun kamu masih berstatus istri Nak Rizal, menantu dari Pak Andreas. Sepelik apapun masalah kalian, pantang seorang istri lari dari rumah, apalagi masih tinggal di rumah mertua.""Kasih aku waktu, Bu. Biarkan aku menenangkan pikiranku dulu, kalau sekarang dibicarakan nanti malah menambah emosiku saja.""Terserah kamu kalo begitu. Cuma yang namanya masalah nggak baik kalo berlarut-larut di diamkan." Bu Sum melangkah mendekati Dara, menepuk pundak anak perempuannya. "Ibu mau telpon ke Jogja dulu. Biar loundry dibereskan semua, dan stop terima loundry untuk sementara waktu sampai Ibu pulang.""Bu," panggil Dara menghentikan langkah kaki Bu Sum yang sudah mendekati pintu."Ya?""Maafin Dara jadi merepotkan Ibu."Bu Sum hanya terse

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status