Share

KEJUTAN MANIS DARI ISTRI TKW
KEJUTAN MANIS DARI ISTRI TKW
Penulis: TrianaR

1. Aku tidak bodoh, Mas!

Ting!

Sebuah notifikasi masuk ke gawai Reno, notifikasi transferan dan chat dari istrinya.

[Mas, aku sudah kirim ya 3 juta untuk kebutuhan makan sehari-hari kalian]

Senyuman Reno berubah masam, melihat nominal yang dikirimkan oleh Devi.

[Kok jatahnya berkurang, sayang? Biasanya kirim 7 juta] balas Reno.

[Iya Mas, aku ada banyak keperluan disini]

Reno berusaha menelepon, tapi Devi tak menyahut.

Padahal biasanya, Devi mengirimkan uang 7 juta tiap bulan. Istrinya itu bilang, 3 juta untuk makan sehari-hari, 1 juta untuk keperluan tak terduga dan 3 juta lagi ditabung untuk pembangunan rumah. Tak sia-sia istrinya bekerja diluar negeri. Ia tak perlu susah payah lagi menjadi kuli panggul di pasar. Hanya okang-okang kaki di rumah. Menikmati jerih payah sang istri. Memang hidupnya sekarang sangat menyenangkan. Tidak seperti dulu lagi, yang harus kekurangan uang dan beras tiap hari.

[Makasih ya sayang, kamu memang istri yang terbaik. Mmuach mmuach] --balas Reno disertai emoticon cium. Ia berpura-pura agar Devi tak curiga walau hati agak dongkol.

Reno bersiul-siul santai, membuat orang-orang yang berada disekitarnya menoleh. Tak apalah 3 juta masih ada tabungan di rekening.

"Cieee, kayaknya habis dapat transferan nih dari Devi. Sini dong ibu bagi. Ibu mau beli gelang, buat dipamerin ke ibu-ibu kompleks. Habisnya mereka selalu mencibir ibu, menantu kerja di luar negeri, gak punya apa-apa. Padahal bulan kemarin ibu habis beli kalung sama cincin iya kan? Mereka aja yang gak percaya, bikin dongkol aja di hati."

Reno menoleh sekilas ke arah ibunya, kemudian tersenyum malas. "Maaf Bu, tidak bisa."

"Lho kenapa tidak bisa?"

"Devi hanya mengirimku ti--"

"Kalau kamu gak beliin, ibu akan laporkan semuanya pada Devi kalau kamu punya wanita lain!" ancam ibunya dengan raut wajah sinis. Padahal itu hanya gertakan saja.

"Iya-iya Bu, tenang dulu, nanti ya kalau aku ke ATM, aku kasih jatah buat ibu."

"Makasih ya, Ren."

"Aku juga dong, Mas. Pengen handphone baru. Handphone ini layarnya udah gak bagus nih, buram." Ristha, sang adik ikut merengek.

"Hmmm," jawab Reno malas.

Laki-laki itu berjalan ke arah motor yang terparkir di halaman rumah ibunya. Motor itu baru dibelinya seminggu yang lalu, pakai uang tabungan Devi tentu saja.

Ting!

[Mas, aku minta foto pembangunan rumah dong sampai dimana?]

Reno terbelalak kaget saat melihat chat dari istrinya.

'Tumben, tak biasanya Devi kepo dengan segala hal yang ada di rumah, kecuali menanyakan kabar Silvi,' gumam Reno dalam hatinya.

[Iya, nanti ya sayang. Mas lagi ada di luar, nanti kalau dah sampai di rumah, aku fotoin]

[Ok]

Reno tersenyum lagi, istrinya gampang sekali dibodohi. Devi memang benar-benar polos, mudah percaya sama orang sehingga mudah sekali dibohongi oleh orang-orang yang curang.

Reno menoleh ke arah samping rumah ibunya. Sudah berdiri dengan kokoh rumah ber-cat hijau pupus itu. Meskipun bagian dalamnya masih bertembok bata. Ya, baru dibagian luar saja yang sudah halus dan dicat warna hijau, bagian dalam, belakangan saja.

Reno memang sengaja membangun rumah diatas tanah orang tuanya, tak seperti permintaan dari sang istri, yang menghendaki membangun rumah di tanah kavling yang sudah ia beli waktu masih tahun pertama Devi jadi TKW di Taiwan.

Tidak, itu tidak Reno lakukan. Tanah kavling itu justru dijual. Dan uangnya digunakan untuk membangun rumah di samping rumah ibu. Tentu saja ide itu tercetus dari sang ibu, katanya ngapain jauh-jauh bangun rumahnya disini saja masih luas. Reno membenarkan ucapan ibunya. Benar, Devi juga gak bakalan nolak kalau sudah jadi bangunan yang bagus.

Ah tidak, lebih tepatnya itu trik dari Reno agar semua harta dari Devi jatuh ke tangannya. Devi istri penurut, tidak akan memberontak walaupun ia dimadu. Karena Reno paham, Devi bucin sekali padanya.

Terbayang kembali wajah Sinta, calon istri mudanya. Wanita yang akan dia nikahi minggu depan. Tentu saja, uang lamaran dan uang mahar diambil dari tabungan Devi, toh Devi tidak tahu kan?

Reno berboncengan dengan Sinta, makan di cafe langganannya.

"Hmmm, kayaknya habis dapat transferan nih," ucap Sinta. Ia tahu Reno sudah beristri, tapi dia mau saja menjadi istri mudanya. Asalkan kebutuhan dan keinginannya terpenuhi. Tak peduli uang itu dapatkan dari mana.

"Kamu tahu aja, sayang!" cetus Reno sembari menjapit hidung pesek Sinta.

"Hmmm maaas!" cebiknya lalu mereka tertawa bersama-sama.

"Mas pokoknya aku mau satu set perhiasan, gelang, cincin, kalung, anting!"

"Iya, sudah mas siapin untuk mas kawin kita nanti."

"Bener?"

"Iya dong, kamu gak usah khawatir."

"Kalau gitu aku mau uang, buat biaya ke salon, perawatan tubuh, wajah dan yang lain. Aku juga mau baju baru!"

"Iya sayang. Nanti kita ke belanja sepuasnya. Aku anterin kamu."

"Beneran ya mas?"

"Iya."

Selesai makan siang di kafe akhirnya mereka bertolak ke pusat perbelanjaan. Dengan antusias Sinta memilih baju-baju yang diinginkan. Usai memilih baju, gegas mereka menuju salon.

"Mas, kalau kita sudah menikah, kita akan tinggal dimana?" tanya Sinta seraya menggamit lengan Reno dengan manja.

"Rumahku lah sayang."

"Rumah yang dibangun Devi?"

Reno mengangguk.

"Kalau Devi pulang dan dia marah gimana?

"Dah tenang aja, dia gak bisa berbuat apa-apa. Rumah itu kan dibangun diatas tanah ibu, dia gak bakalan berani macam-macam."

Sinta tersenyum, melengkungkan bibir merah delimanya, membuat Reno gemas ingin mengecupnya.

Reno baru pulang ke rumah malam hari. Lelaki itu mengantarkan Sinta terlebih dahulu ke rumahnya. Ia bahkan tak peduli dengan Silvi, anak gadisnya yang sekarang sudah berumur enam tahun. Ya, sejak usia Silvi satu tahun, dia ditinggal pergi ibunya merantau ke luar negeri menjadi pahlawan devisa. Tapi sehari-harinya Silvi seperti tak terurus, main sendiri dan lain sebagainya. Tubuhnya begitu kurus seolah tak ada perhatian dari orang tuanya. Tapi kalau istrinya menelepon, Reno selalu beralasan kalau Silvi tak mau makan, maunya main sendiri, ia memutarbalikkan fakta agar tak disalahkan kalau selama ini dia lalai menjaga anaknya sendiri.

Saat ia tengah berbaring diatas springbed, seseorang meneleponnya. Nama Devi yang tertera di layar handphone. Tumben malam-malam Devi telepon? Apa tak dimarahi oleh majikannya?

"Halo sayang, tumben malam-malam telepon?"

"Halo Mas, huhuhu ..." Suara tangis di seberang telepon membuat Reno makin bingung.

"Kamu kenapa, Devi? Kenapa nangis?"

"Mas tolong aku"

"Iya kamu kenapa?"

"Mas, aku ditangkap polisi"

"Hah? Apa? Kok bisa? Memangnya kamu melakukan kesalahan apa sampai ditangkap polisi."

"Ceritanya panjang Mas, aku tak bisa ceritakan lewat telepon. Tolong aku sekarang, Mas!" rengeknya diseberang telepon.

"Bagaimana caranya aku menolongmu?"

"Tolong kirimi aku uang, Mas!"

"Apa?" Reno mulai bimbang, uang tabungan Devi sebenarnya akan dipakai untuk biaya pernikahannya dengan Sinta.

"Mas, kamu dengar aku? Tolong aku Mas! Ini darurat. Kalau aku ditangkap aku tak bisa bekerja lagi dan mengirimi kalian uang."

"Berapa?"

"Lima puluh juta saja Mas, untuk jaminanku bebas."

"Apaaa?" Reno makin shock mendengar nominal yang disebutkan oleh Devi. Tapi bila ia tak mentransfernya uang, bagaimana dengan nasib sang istri ke depannya? Batinnya mulai berperang antara setuju atau tidak.

"Mas, tolong aku. Huhuhu."

Suara sirine di belakang Devi terdengar makin nyaring.

"Kalau 50 juta tidak ada. Ditabungan hanya sisa 30 juta. Kan uangnya sebagian udah dipakai untuk pembangunan rumah."

"Tidak apa-apa Mas, seadanya. Yang penting ada jaminannya. Tolong aku Mas, aku mohon."

"Baiklah aku akan transfer."

"Tolong sekarang Mas, aku tak bisa menunggunya lagi."

"Iya, iya. Tolong sabar sedikit."

"Makasih Mas."

Panggilan itu terputus. Jantung Reno berdetak kencang. Pikirannya berkecamuk, bagaimana ini? Uang di rekening tersisa 32 juta saja. Kalau ditransfer dia tak bisa menggelar pernikahan dengan Sinta dan juga memenuhi permintaan ibu. Tapi mendengar tangisan Devi, ia merasa tak tega. Benar juga ucapannya kalau dia sampai ditangkap siapa yang akan menghidupi keluarganya lagi untuk hari-hari selanjutnya?

Beruntung ada kemudahan teknologi saat ini, transfer ke luar negeri begitu mudah, pakai mobile banking pun bisa. Ia mengetik sejumlah nominal yang akan dikirimkan.

[Sayang, sudah aku transfer ya] Reno segera mengirimkan SMS ke nomor istrinya sembari menghela nafas panjangnya.

Sementara di suatu tempat, Devi tengah tersenyum senang. Suara sirine yang berbunyi itu hanyalah rekaman.

"Aku tidak bodoh, Mas!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status