"Tempat sampah?" tanyaku meradang, "Kamu jahat banget sih, Kenzy? Jahat!"
Gemetar menahan kobaran amarah di dalam dada, aku membungkuk dan membuka tutup tempat sampah. Membongkarnya, demi mendapatkan termoterku kembali. Tega Kenzy, jahat! Ya ampuuun, apa dia lupa kalau kotak P3K itu milik kami berdua? Sah, sah saja dong, kalau aku menyimpan kebutuhan pribadiku di sana? Lagipula, termometer itu kan bukan benda yang sifatnya pribadi, kan? Who knows, one day dia terjatuh dari balkon lalu membutuhkannya?
Nggak, di tempat sampah itu nggak ada benda yang bernama termometer, tentu saja. Isinya hanya sikat gigi biru yang masih bagus---entah sikat gigi siapa dan mengapa dibuang---botol bekas shampo, gumpalan tissue kering dan sar
Oooh, my God!Rasanya lebih mencekam dari pada dikejar drakula. Ya, yaaahhh, belum pernah, sih. Jangan sampai. Ya ampuuun, aku kan terlalu imut-imut dan unyu-unyu untuk diterkam drakula? Terutama darahku, terlalu manis. Iya, kan?Byuuutttzzz!Kenzy berjalan lagi, kedua tangannya menggapai-gapai di udara sambil terus memanggil namaku. Wuaaahhhh, rasanya, rasanya kakiku nggak menapak di lantai rumah lagi. Kenapa Kenzy sampai melupakan pakaiannya? Apa yang ada dalam otaknya?"Anyaaa, my wife ooohhh my love!"
Aku sedang menghabiskan roti panggang dan cokelat hangat ketika William kembali ke ruang makan setelah tadi permisi ke luar sebentar. Katanya dia lupa belum menutup pintu pagar tadi, sebelum berangkat ke kopermolen. Dia juga bercerita, kalau harus ke Kantor Pos hari ini, untuk mengirimkan beberapa paket buku ke Jerman. Sebenarnya---waktu kami saling menubruk tanpa sengaja tadi---dia sedang tergesa-gesa menuju Kantor Pos. Itulah mengapa, merasa sangat bersalah karena sudah menubrukku.Padahal, bisa jadi aku yang salah. Well, aku berlari sambil menangis, lho. Yakin seratu persen, nggak konsentrasi sama sekali. Bagaimana bisa konsentrasi, sedangkan bisa menyelamatkan diri dari terkaman Kenzy saja sudah sangat bersyukur. Eh. Kenzy? Ya ampuuun, jam berapa ini? Bagaimana keadaannya sekarang?
Gemetar, aku menekan bell pintu rumah. Tante Martinna dan Om Glend mengantarkanku sampai di belakang mobil mereka, yang berarti di sudut luar dapur kami. Mereka sempat melambaikan tangan ke arahku tadi---sebagai motivasi kalau semua akan baik-baik saja--- sebelum akhirnya aku memberanikan diri menekan bell.Diiing, diiing!'Hellooo, any home?'Dalam hati aku terus berdoa, semoga Kenzy sudah nggak mabuk lagi. Sudah mandi dan berpakaian. Hiii, aku benar-benar ngeri tadi, membayangkan … Kalau seperti itu lagi, aku harus bagaimana, coba? Kenapa dia sampai separah itu? Kenapa dia nggak sadar, itu bisa menambah kerusakan hidupnya?
Maksudnya?Nggak adil, dong! Masa aku harus mengikuti semua kemauan Kenzy sedangkan dia sendiri sama sekali nggak peduli denganku? Jangankan peduli, mungkin dia malah nggak tahu kalau aku juga punya kemauan, sama seperti dirinya. Ya, buktinya, dia nggak pernah tuh, menanyakan apa-apa padaku? Misalnya, "Anya, hari ini kamu mau apa? Di rumah aja atau ada kegiatan apa? Oh ya, kamu mau dibawain oleh-oleh apa? Buku, makanan apa souvenir?"Nggak dong, mana pernah Kenzy menanyaiku seperti itu? Sekali pun nggak pernah. Sungguh."Tapi, Ar …?" sergahku setelah menghela napas panjang, "Lo nggak tahu sih Ar, Kenzy itu separah apa?" cetusku sam
Dor, dor, dor!Ulu hatiku sakit sekali, demi melihat apa yang baru saja mereka lakukan. Nyeri, sehingga hanya sanggup menahan getaran dari dalam diri yang luar biasa. Getaran apakah itu? Aku nggak tahu, apa. Tapi yang jelas, sangat kuat dan sekarang sudah berhasil memutar tubuhku membelakangi kopermolen. Membelakangi Shopia dan dua anak manusia yang sedang dimabuk asmara. Sungguh sangat disayangkan, dua anak manusia itu bernama Kenzy dan Elize. Suami dan mantan sa ohhh nggak, tetangga dekat rumahku."Hei Sa, what is happen?" Shopia sudah berada di depanku sekarang, "Came on Girl ... Don't be cry here, please?"De swiiing!
Bukan, aku bukannya nggak senang atau bagaimana, Papa video call. Tapi masalahnya kan, aku dan Kenzy belum bicara lagi semenjak tragedi kemesraannya dengan Elize, kemarin pagi. Jangankan bicara, melihatnya pun mataku sepet. Pedih.Satu saja yang aku nggak habis pikir, kenapa haru Elize, sih? Apa nggak cukup dengan Marcella atau wanita-wanita lain di luar sana yang aku nggak kenal? Meskipun sama-sama jahat tapi nggak begitu melukai hati, bagiku. Apa Kenzy nggak tahu, kalau aku dan Elize …? Well, aku yakin, dia bukannya nggak tahu tapi nggak mau tahu. Tentu saja.Coba, bagaimana perasaannya jika melihatku jalan berdua dengan William? Jalan saja, sambil mengobrol atau tertawa bersama. Bagaimana perasaannya? Haha. Haha. Aku lupa,
Dengan segenap perasaan yang serba baru---begitu baru sehingga terasa asing---aku menyiapkan makan siang untukku sendiri. Apakah Kenzy sedang berada di luar rumah? Oh, nggak, dia di rumah, kok. Tapi kan, mulai sekarang aku nggak boleh seperti kemarin-kemarin lagi. Maksudku, nggak boleh memposisikan diri sebagai isteri Kenzy, kecuali di hadapan Papa dan Papa Snoek. That is the point, isn't that? 'So, do your best, Anyelir!'Roti selai cokelat kacang plus capcay sayur, menjadi menu pilihanku siang ini. Enaknya, membuat menu makan siang tanpa memikirkan Kenzy. At least, aku bisa bebas menentukan menu dan yaaa, seperti inilah hasilnya. Dalam sejarah kehidupanku di Leiden, belum pernah aku makan siang dengan sayuran seperti ini. Salad, capcay, pecel atau apapun itu yang bernama sayuran hanya ada di acara makan malam, sejauh in
Nggak, tentu saja nggak masalah, aku memakai pakaian Tante Vanessa, mama William. Toh, William sendiri yang meminjamkannya padaku, kan? Sungguh, sama sekali nggak menduga kalau ternyata sudah meninggal. Sempat berpikir malah, kalau dia sedang ada kepentingan di luar rumah atau semacamnya. Percayalah, pertanyaanku tadi---masalah memakai pakaian orang yang sudah meninggal---hanya serpihan kecil dari rasa terkejut dan ikut berduka cita.You can imagine lah, bagaimana Perasaanku?Aku memakai sweater, syal, kaos kaki dan juga topi itu hampir seharian penuh, lho. Sampai jam makan malam. Eh, topinya sih nggak, hanya beberapa jam saja. Oooh, my God! How could I felt so calm and comfort? Untuk jawabannya, kalau istilah yang sering digu