Share

BAB 4

“Lisa, kamu lagi ada masalah di kampus?” tanya Pak Adhitama lembut, sambil mengemudikan minibus tua kesayangannya. Lisa yang duduk disampingnya menjawab dengan suara tidak kalah lembut.

“Enggak ada Pa.” Pak Adhitama mengangguk pelan, lalu diam.

Senyap, padahal ada dua orang di dalam minibus hijau bermerek kijang itu. Tapi setiap orang tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

Lisa menikmati keheningan ini. Setelah ayahnya meninggal, hampir setiap hari adegan ini dia mainkan di kepalanya. Bahkan setelah menikah dan memiliki anak pun, Lisa masih sangat merindukan setiap waktu yang dia habiskan bersama ayahnya. Dia belum pernah mengalami mimpi seperti ini, jadi dia ingin momen ini melekat di pikirannya. Sehingga ketika bangun nanti, dia bisa menikmati lagi kenangan ini.

***

Setibanya di depan kampus, Lisa tersenyum gelisah. Tiba-tiba dia merasa gugup seperti saat pertama kali menginjakkan kakinya di kampus ini.

Di kampus inilah dia bertemu dengan Steven, seniornya tapi dari jurusan yang berbeda. Di kampus ini pula Lisa menghabiskan masa mudanya.

Di kampus ini juga dia bermimpi suatu saat nanti akan menjadi seorang pengacara hebat atau hakim yang bijaksana atau bahkan seorang jaksa yang patriotik.

Senyum Lisa menghilang mengingat keputusannya untuk melepaskan semua mimpinya itu dan memilih menjadi ibu rumah tangga.

“Lisa, asyik nyampenya bareng.” seorang gadis tomboy dengan kemeja tipis, jeans sepinggul, sepatu olahraga dan tas ransel menghampiri Lisa.

“Donna!” teriak Lisa senang melihat salah satu dari empat sahabatnya yang sudah lebih dari sepuluh tahun tidak ditemuinya.

“Apaan sih lo? Teriak-teriak bikin budeg tau.” jawab Donna acuh.

“Yuk, si Ersa sama Rebekha udah di kantin, tadi Ersa bbm gue” sambung Donna sambil menarik tangan Lisa.

Lisa mengikuti Donna dengan perasaan dan pikiran yang campur aduk. Sesampainya di kantin Lisa terkejut melihat kedua sahabatnya yang lain.

“Lisa, lo kenapa sih nggak balas-balas bbm gw? Habis kuota?” Lisa tertawa melihat penampilan Ersa yang begitu berbeda dari penampilannya setelah berkepala tiga. Ersa menggunakan kaus biru, rok biru selutut, sepatu biru dengan hak kurang lebih 7cm dan tas selempang berwana biru.

“Halah! Malah ketawa, emang gw monyet!” sembur Ersa, kesal melihat reaksi Lisa.

“Sorry Er, gue belum ngecek HP.” sahut Lisa sambil merangkul Rebekha, sahabatnya yang paling pendiam dan paling alim diantara mereka berempat.

Mereka berempat memiliki sifat, penampilan, kebiasaan, agama, latar belakang keluarga bahkan makanan kesukaan yang sangat berseberangan. Tapi perbedaan itu membuat mereka saling melengkapi satu dengan yang lain.

Ersa yang paling judes dan paling pedas mulutnya diantara mereka tapi paling tertarik dengan dunia mode dan paling peduli dengan penampilan.

Donna yang paling tomboy dan jago bela diri. Dia membuat kelompok mereka jauh dari gangguan, bahkan senior sekalipun tidak berani menyentuh mereka.

Rebekha adalah pendengar yang baik, hatinya lembut dan sangat sabar. Dia selalu menjadi tempat mereka mencurahkan isi hati dan menceritakan rahasia, dia juga yang selalu menjadi penengah apabila mereka berkonflik.

Sedangkan Lisa, dia unggul dalam hal akademik. Setiap kali para sahabatnya kesulitan dalam pelajaran, Lisa adalah orang yang akan mereka datangi.

Di kampus mereka terkenal sebagai empat sekawan yang tidak terpisahkan. Sayangnya sebelum mereka semua wisuda, persahabatan mereka sudah mulai merenggang, dan akhirnya berakhir setelah mereka mengambil jalan hidup masing-masing.

Lisa bahkan tidak ingat bagaimana awalnya, tapi setelah Lisa berpacaran dengan Steven, hubungan persahabatan mereka mulai merenggang dan setelah Lisa memutuskan untuk menikah dengan Steven, mereka tidak pernah lagi berkomunikasi. Entah apa penyebabnya. Lisa tidak pernah tahu dan memang tidak pernah mau tahu.

Mereka berempat berjalan menuju kelas pertama hari ini, semester ini mereka mengambil mata kuliah yang sama.

Syukurnya hari ini mereka memulai dengan mata kuliah Hukum Perdata, dosen mata kuliah ini biasanya hanya akan memberikan sedikit penjelasan, lalu memberikan tugas sebelum dia keluar kelas untuk merokok, lalu masuk lagi mengumpulkan tugas dan kuliah selesai.

Plak.

Tiba-tiba sebuah botol minuman berisi air mengenai punggung Lisa. Lisa berteriak karena kesakitan lalu segera melotot ke seorang mahasiswi yang melempar botol itu.

“Maaf, gw mo lempar ke samping lo eh ga pas. Sorry banget ya.” Dengan wajah memelas mahasiswi itu memohon maaf.

Lisa berbalik lagi tanpa menjawab apa-apa, tiba-tiba dia tersadar punggungnya sangat sakit.

'Kenapa aku tidak terbangun? Kenapa aku merasakan sakit tapi tidak bangun? Apa ini efek obat tidur?' Lisa bertanya-tanya dalam hatinya.

“Bekha, cubit gw donk.” bisik Lisa pada Rebekha yang duduk di sebelah kanannya, dengan bingung Rebekha mencubitnya pelan.

“Yang kenceng!” Rebekha kembali mencubitnya kali ini lebih keras tapi tetap saja terlalu pelan bagi Lisa

“Ersa, cubit gw yang kenceng.” Akhirnya dengan enggan Lisa meminta Ersa yang duduk di sebelah kirinya

“Aduh!” seru Lisa setelah Ersa mencubitnya dengan sepenuh hati lalu tersenyum nakal.

Lisa tertegun, dia tidak terbangun

‘Ini mimpi atau kenyataan?’ Lisa yang bingung terus bertanya dalam hatinya.

‘Kalau ternyata ini bukan mimpi, bagaimana anak-anakku?’ Lisa mulai merasa panik, dia melihat dosen mereka keluar dari kelas, lalu Lisa segera menyusul keluar.

Jantung Lisa berdegup sangat kencang, telapak tangannya berkeringat, sambil terus berguman dalam hati

‘Aku harus bangun, anak-anak membutuhkanku, bangun, bangun!’ jerit Lisa dalam hati.

Lisa tahu ini tidak terasa seperti mimpi yang biasa dia rasakan, dia bingung kenapa mimpi ini terasa sangat nyata.

Donna keluar menyusul Lisa, dia melihat Lisa berjalan menuju pintu keluar kampus dengan tatapan kosong

“Wei, mau kemana lo?” Donna memukul pundak Lisa.

Lisa tersentak, dia menatap Donna, lalu mencubit Donna

“Sakit ga?”

“Gila lo ya, sakit lah!” Donna meringis sambil melotot ke arah Lisa

“Ayo masuk kelas lagi.” Lisa membelai tangan Donna yang dia cubit tadi, Donna melangkah mengikuti Lisa dengan bingung.

Lisa sama sekali tidak peduli dengan tugas diberikan dosennya. Pikirannya menerawang jauh. Dia tidak percaya dia tidak bermimpi, tapi semakin Lisa memikirkan situasinya saat ini, semakin dia yakin ini bukan mimpi biasa.

Ketika tiba saatnya mengumpulkan tugas hanya Lisa yang tidak mengumpulan. Teman-temannya tentu sangat kaget melihatnya.

“Lo kenapa sih? Lagi ada masalah di rumah?” tanya Rebekha khawatir.

Lisa menggelengkan kepalanya. “Gue lagi males mikir.” jawab Lisa.

“Lisa? Malas mikir? Pasti ada sesuatu deh. Lo lagi jatuh cinta?” Kali ini Ersa yang bertanya penuh selidik. Lisa hanya mengangkat bahunya dan tersenyum melihat ekspresi di wajah sahabat-sahabatnya.

“Ya udahlah ga usah dibahas lagi, ke taman yuk, nungguin kuliah Hukum Dagang.” ucap Donna, yang merasa hari ini memang ada sesuatu yang Lisa rahasiakan dari mereka.

Ketiga orang itu kemudian mengikuti Donna ke taman yang terletak di tengah-tengah kampus mereka.

Terlihat gerombolan mahasiswa sedang berkumpul. Sepertinya mereka sedang membahas sesuatu yang penting.

Tiba-tiba di antara kerumunan mahasiswa itu, mata Lisa tertuju pada sosok yang sangat dia kenal. Perawakannya paling menjulang dan paling bersinar diantara para mahasiswa yang ada di sekitarnya.

‘Steven!’ seru Lisa dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status