"Apa?" pekik Lisa kaget. "Apa yang kalian bicarakan? Bagaimana dia bisa tahu istrimu koma? Apa dia datang sendirian?" cecar Lisa dengan kesal. "Kenapa kamu kedengaran marah?" tanya Steven bingung. Lisa tiba-tiba menyadari kesalahannya karena terbawa emosi. "Enggak, cuma penasaran, ceritanya seperti di film." jawab Lisa setenang mungkin. "Dia membicarakan banyak hal, tentang masa lalu, kehidupan, masa depan dan hal lain. Ternyata hidup kami sama-sama rumit. Dia sedang dalam proses perceraian dengan suaminya." jelas Steven. "Bukankah itu berbahaya? Istrimu koma, dia mau bercerai. Bagaimana kalau tumbuh rasa yang tidak seharusnya di antara kalian?" tukas Lisa dengan nafas tertahan, dia tidak ingin kehilangan kendali lagi. "Iya benar, karena itu tadi aku minta dia jangan datang lagi ke rumah sakit. Aku ingin konsentrasi merawat istriku." jelas Steven. Lisa diam. "Jangan khawatir, aku tahu bagaimana harus menjaga diriku dan keluargaku." tambahnya mencoba meyakinkan Lisa. "Aku hany
Steven mencoba menenangkan pikirannya. Dia tidak habis pikir kenapa dia bisa semarah ini melihat Lisa bersama laki-laki lain, padahal Lisa bukan miliknya. Steven memutuskan untuk pergi ke kantin dan mengistirahatkan kepalanya. Betapa kagetnya dia ketika melihat Lisa sedang duduk berdua dengan Andrew. Steven terus berjalan melewati mereka. Dia berusaha mengacuhkan Lisa. Tapi Steven yang sadar Lisa sedang menatapnya tidak bisa menahan diri. Akhirnya dia membalas tatapan Lisa sebentar lalu segera membuang muka. Steven meninggalkan kantin dengan kesal setelah membeli sebotol minuman dingin. Lisa juga kesal melihat tingkah Steven. Baginya Steven sangat berlebihan. 'Daripada mikirin orang sensitif kayak gitu, mending aku konsentrasi sama yang di depanku aja.' guman Lisa dalam hati. *** Malam telah tiba. Seperti malam-malam sebelumnya, Lisa menunggu telepon dari Steven suaminya. Dia sangat ingin menanyakan keadaan anak-anaknya. Lisa begitu bersemangat setelah melihat nomor telepon S
"Boleh, nanti malam jam setengah tujuh ya." sahut Lisa dengan nada kesal. Andrew mengangguk senang. "Mau makan di restoran Our Steak di pusat kota?" tanya Andrew bersemangat. Lisa hanya mengangguk, meskipun dia tidak mengenali nama restoran yang disebutkan Andrew. "Ya udah, kalau gitu aku pulang duluan ya." sambung Andrew, lalu meninggalkan Lisa dengan hati berbunga-bunga. Tadinya melihat reaksi yang Lisa berikan selama berjalan-jalan, Andrew pikir Lisa sama sekali tidak tertarik kepadanya.Tapi siapa sangka Lisa ternyata menerima ajakannya untuk makan malam berdua di malam minggu. Sementara Lisa yang kesal segera meninggalkan tempatnya berdiri dan berjalan menuju kantin dimana para sahabatnya sudah menunggu. "Akhirnya Lisa muncul." teriak Ersa sambil memeluk Lisa. "Karena kita bertiga dapet amplop jadi malam ini kita mau traktir kesayangan kita makan malam." seru Ersa bersemangat. Lisa menggelengkan kepalanya. "Yah, nanti malam gue udah terlanjur janjian lagi sama Andrew." jawab
'Steven.' guman Lisa dalam hati. Lisa tiba-tiba kehilangan konsentrasinya. Padahal tadi dia sudah menyusun kata-kata yang paling bijak dan tidak menyakitkan untuk menolak Andrew. Tapi kini kepalanya dipenuhi rasa penasaran dengan siapa Steven datang ke restoran ini. Lisa menghembuskan nafas lega, ketika melihat Steven datang dengan Gerard abangnya dan Aulia pacar Gerard. "Lisa, gimana?" Andrew yang sedari tadi menunggu jawaban Lisa sambil menundukkan kepalanya, mengangkat kepalanya dan mencolek tangan Lisa. Lisa tersentak, dia tersadar bahwa Andrew sedang menantikan jawabannya. "Maaf Andrew, gue nggak bisa nerima tawaran lu." jawab Lisa singkat. Semua kata-kata yang sudah dia siapkan tiba-tiba menguap entah kemana. "Kenapa? Apa ada yang salah dari aku? Atau kamu suka sama orang lain?" cecar Andrew dengan wajah sedih. "Bukan, enggak ada yang salah kok sama lo. Tapi gue emang belum boleh pacaran sama bonyok* gue. Selain itu gue juga masih mau konsentrasi kuliah." jawab Lisa sekena
"Berhenti sekarang!" teriak pria yang duduk diatas motor itu. Lisa menghentikan langkahnya. Saat ini tidak ada gunanya melawan, lebih baik menuruti perintah orang itu, lalu mencoba bernegosiasi. Lisa membalikkan tubuhnya dan melihat pria itu membuka helmnya. "Ngapain kamu lari?" tanya pria itu sambil meletakkan helm di atas pahanya. "Steven?" pekik Lisa senang sekaligus kesal. "Papamu nggak jadi jemput?" tanya Steven sambil memajukan motornya lalu berhenti di samping Lisa. "Enggak tahu, sudah di telepon berkali-kali sama sekali nggak diangkat." ucap Lisa terengah-engah. "Ya udah, ini pakai helm, biar aku antar pulang." perintah Steven sambil memberikan helm. Kali ini Lisa melakukan semua perintah Steven dengan patuh. Dia tidak punya pilihan lain selain mengikuti kata-kata Steven. Lisa naik ke atas motor Steven. Begitu duduk, tangan Lisa secara otomatis memegang pinggang Steven seperti biasanya. Steven yang kaget dengan tindakan Lisa langsung melirik ke arah pinggangnya. Lisa ter
"Ayo masuk." ajak Donna. Ersa dan Lisa menggelengkan kepala karena takut. "Udah ayo cepetan!" perintah Donna sambil menarik tangan kedua sahabatnya. Donna membuka pintu depan, tapi terkunci. Dia lalu memutar ke belakang dan menemukan pintu yang terbuka. Ersa dan Lisa mengikuti sambil berusaha berlindung di balik tubuh Donna. Tanpa ragu-ragu Donna masuk ke dalam rumah diikuti Ersa dan Lisa. "Berhenti!" teriak Donna kepada seorang pria yang sedang memegang tali pinggang kulit bersiap memukuli tubuh Rebekha yang sedang melindungi seorang perempuan yang wajahnya tertutup tubuh Rebekha. "Siapa kalian? Kok berani-beraninya masuk ke rumah orang tanpa izin?" bentak pria itu. "Lo yang siapa? Seenaknya mukulin perempuan?" teriak Donna dengan berani. "Brengsek! Anak kemarin sore berani teriak ama gue? Mau gue gebukin juga lo?" ancam pria itu. "Ayo, sini kalo berani. Kita lihat siapa yang bakalan dapat gebuk!" sahut Donna sambil memasang kuda-kuda. Ersa dan Lisa mundur perlahan dan bersia
"Sebaiknya Tante berpikir matang sebelum mengambil keputusan." tegas Lisa lalu melepaskan tangannya dan segera berjalan keluar menyusul teman-temannya. Dia berharap ibu Rebekha membuka matanya dan mampu melihat kebenaran. "Ayo balik." ajak Lisa begitu sampai di teras. "Lu tadi ngapain?" tanya Ersa penasaran. Lisa tersenyum. "Ada deh." jawabnya singkat. Lalu segera mengejar Donna dan Rebekha keluar kompleks. Mereka hampir tiba di jalan raya ketika terdengar teriakan Ibu Rebekha memanggil mereka. "Tunggu! Tunggu!" teriak Ibu Rebekha sambil berlari ke arah mereka. Ersa, Donna, Rebekha dan Lisa saling berpandangan. Lisa memohon dalam hatinya agar ibu Rebekha melihat kebenaran. "Rebekha, tolong jangan tinggalin Mama sendirian." mohon perempuan berusia empat puluh lima tahun itu. Rebekha memandang ibunya dengan dingin. "Kalau begitu suruh laki-laki itu pergi. Kalau dia pergi aku baru mau pulang." sahut Rebekha. "Lalu dia harus pergi kemana? Kasihan dia. Nanti Mama akan bicara, memint
Tepat jam tujuh malam, Lisa mengetuk pintu kamar Rebekha. "Rebekha, makan yuk." ajak Lisa sambil berusaha membuka pintu tapi kamar itu terkunci. "Bek, ayo makan dulu." lanjut Lisa sambil terus mengetuk pintu kamar Rebekha. Lisa mulai cemas, dia takut Rebekha melakukan hal-hal yang akan membahayakan dirinya. Lisa langsung bernafas lega begitu mendengar Rebekha membuka kunci pintu kamarnya. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Lisa khawatir. Rebekha keluar dengan mata bengkak. "Ini pertama kalinya gue bisa tidur nyenyak tanpa rasa was-was." jawab Rebekha sambil tersenyum. "Kalo lo nggak ngebangunin gue, mungkin gue bakalan tidur sampai pagi." lanjutnya sambil meregangkan badan. Lisa tersenyum bahagia. "Nanti lanjut lagi tidurnya, sekarang makan dulu yuk." ajak Lisa. "Bukannya tadi kita udah makan, emang lo udah lapar lagi?" tanya Rebekha bingung. "Lapar ato enggak lapar lo tetap harus makan! Biar bertenaga melawan kekuatan jahat." gurau Lisa. Mereka berdua tertawa sambil berjalan menuj