Share

6. Kehilangan mesin uang

"Kami mohon maaf sebelumnya, Pak. Anak bapak sudah tidak dapat terselamatkan. Sepertinya Anak ini sudah beberapa waktu yang lalu meninggalnya. Apa anda atau ibunya tidak ada yang mengetahuinya kalau anak anda ini telah tiada?" ucapan dari seorang petugas medis dengan menatap selidik pada ku juga ibuku. Tentu saja aku sangat kaget dengan berita yang baru saja di sampaikan petugas perempuan tersebut. Bagaimana mungkin sakit panas yang semalam bisa sampai membuat nyawa dari anak semata wayangku ini melayang. Sedari pagi sebelum ia ikut penyewanya dia baik-baik saja. Dan waktu aku beri minum obat seperti biasanya juga dia menurut saja. Tidak mungkin juga karena telat makan. Karena aku kesiangan dan ibuku juga lupa untuk membuatkan makanan untuknya. Hanya air gula sebagai pengganjal sebelum Zaki aku beri minum obat agar dia tidak rewel pada waktu ikut penyewanya.

"Ba--bagaimana mungkin anak saya bisa meninggal, Sus? Anak saya ini hanya sakit panas saja kemarin." Aku mencoba menjelaskan bagaimana awalnya Zaki bisa sampai tidak bangun-bangun dari tidur lelapnya hingga kami membawanya ke puskesmas ini dan ternyata petugas medis yang menanganinya menyatakan putra kecilku ini telah tak bernyawa.

"Maaf, Pak. Tapi sepertinya memang anak bapak ini sudah meninggal. Bapak bisa lihat sendiri jenazahnya. Putra bapak sudah sangat pucat, bahkan bibirnya sudah mulai kebiruan dan juga suhu badannya sudah berada di bawah dan sudah terasa dingin badannya itu."

Aku, sudah pasti kondisiku sangat bingung untuk saat ini. Bagaimana jika Rani menayangkan putranya tersebut. Apa yang harus aku jelaskan alasan kematian dari putra kami ini. Ini adalah cobaan dalam rumah tangga kami. Ini juga bukan salahku yang menjaganya. Ini semua sudah takdir dan kehendak yang di-Atas.

"Rud, bagaimana ini. Bagaimana kalau Rani menanyakan anaknya?" Ibu sama gelisanya dengan diri ini.

"Sudahlah, Bu. Kita hadapi dan kita jelaskan saja apa yang terjadi. Toh ini memang takdir. Ini juga bukan kesalahan kita. Ibu tidak perlu khawatir. Nanti juga ibu akan dapat cucu lagi dari aku dan Lasmi." ujarku untuk menghibur kegalauan dan ketakutan ibuku itu.

Akhirnya aku dan juga ibu membawa Zaki pulang kembali. Kami segera mempersiapkan acara untuk pemakaman putra kecilku ini. Semua tetangga juga sudah mulai berdatangan kerumah kami, rumah ibuku lebih tepatnya. Semua mengucapkan belasungkawa kepada kami atas kepergian Zaki. Syukurlah, aku bisa tenang dan juga lega. Ternyata keramaian kecil yang tadi sempat terjadi, ternyata tidak sepenuhnya para tetanggaku ini menaruh curiga. Buktinya mereka tidak ada yang bertanya perihal penyebab kematian dari Zaki. Jika ada yang melontarkan pertanyaan, aku jawab saja jika Zaki mengalami demam tinggi dan sempat mengalami kejang sebelum akhirnya dia meninggal. Sudah dipastikan mereka akan menerima penjelasan dariku ini. Karena biasanya anak seusia Zaki pasti sedang aktif-aktifnya.

Tepat siang hari. Acara pemakaman Zaki telah selesai. Aku tidak ada niatan untuk mengabari Rani juga orangtuanya yang berada di kampung. Biar mereka tahu sendiri seiring berjalannya waktu. Aku juga sempat menghubungi Lasmi, namun karena terkendala sesuatu ia tidak dapat menemaniku yang saat ini sedang dirundung duka.

🌺🌺🌺

Satu Minggu setelah kepergian Zaki. Tenyata kepergian Zaki yang terlalu cepat sangat berdampak buruk pada keluargaku. Tak ada lagi pemasukan dari yang biasanya dihasilkan oleh anakku itu setiap harinya. Pun dengan Rani yang tak kunjung mengirimkan uangnya kepadaku. Biasanya kami yang setiap hari bisa makan enak. Sekarang harus bisa berdamai dengan keadaan. Hanya tahu tempe lauk yang menemani dan tersaji di meja makan kami. Aku tidak mungkin bisa bekerja sembarangan dan juga sudah hampir tiga tahunan ini aku memang lebih sering menghabiskan waktuku di pemancingan dan juga di tempat tongkronganku tanpa capek ikut memikirkan kebutuhan rumah dan lainnya karena ada Rani yang selalu memenuhi kebutuhan kami di tambah lagi dengan Zaki yang juga bisa menghasilkan dari jasa sewa bayi yang kami tawarkan pada para peminta-minta yang membutuhkan jasanya.

Baru juga beberapa hari tanpa dia, hidupku sudah kacau seperti ini. Ibu juga sudah tidak lagi menyajikan kopi dan pisang goreng seperti biasanya. Raut wajahnya selalu masam jika berada di depanku. Alasannya gula dan bahan dapur yang lain telah habis. Uang juga habis. Bagaimana tidak habis. Saat uang berlimpah, tak pernah terlintas di pikiran kami untuk sekedar menyisihkan atau menabung. Yang kami pikir hanya karena masih ada Rani dan juga Zaki yang akan menjamin semua kebutuhan dan keperluan kami.

Semakin hari semakin kacau perekonomian keluargaku. Mulai dari Lasmi yang marah-marah karena setiap menagih apa yang pernah aku janjikan padanya, selalu aku berusaha untuk mencari alasan. Hingga pada suatu pagi Eni menyarankan agar kami mau untuk menggadaikan surat-surat motor kami. Tidak hanya motorku saja, melainkan juga motor Eni yamg yang alasannya karena terdesak untuk membayar biaya kuliahnya. Benar saja, karena sudah hampir masuk bulan kedua Rani tidak pernah lagi menunaikan kewajibannya untuk mengirimi kami uang lagi. Setiap kali ingin mengumpat padanya, setiap kali pula hati ini was-was apa yang kemungkinan terjadi padanya. Karena banyak kasus di luaran sana. Banyak TKW yang meninggal di tangan majikannya bahkan ada yang sampai berurusan dengan kepolisian. Semoga saja hal itu tidak sampai menimpah Rani, Istriku.

Aku tidak kepikiran untuk menggadaikan surat-surat berharga seperti yang di sarankan oleh Eni. Setelah aku pikir-pikir akhirnya aku dan juga ibu menyetujui usulan Eni tersebut. Semoga saja Rani segera di sadarkan untuk kembali mengirimi suaminya ini uang. Sehingga kami bisa kembali menebus surat-surat yang akan kami gadai ini, karena rencanaku esok hari baru segera ku bawa surat-surat motor ketempat seperti yang di tunjukkan oleh Eni.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status