Share

5. Ada apa dengan Zaki

"Cepat kamu ganti baju Zaki dengan baju yang biasanya!" titah ibu memintaku segera mengganti baju Zaki dengan pakaian yang sudah Kumal dan bisa di bilang layaknya kain serbet.

"Iya, Bu, bentaran. Ini Rudi masih nyari gantinya. Yang kemaren kan belum sempat di cuci." Aku berada di depan keranjang pakain tempatku menyimpan baju ganti untuk Zaki. Hampir diri ini belum pernah membelikannya pakaian yang layak. Selama ini, pakaian yang di kenakan oleh Zaki adalah pemberian dari mbak Lestari, dan pakaian itu merupakan baju bekas dari anaknya. Dari pada tidak di pakai kan lebih baik di gunakan boleh Zaki. Jadi bisa mengirit uang jatah hanya sekedar untuk membeli baju untuknya. Toh Rani juga tidak akan tahu.

"Halah, kamu itu kelamaan. Mending juga kamu ganti dengan pakaian yang kemarin saja. Emang siapa juga yang mau nyuci." Ibu segera mengambil baju yang tergantung di balik daun pintu kamar ini, yang kemarin di pakai oleh Zaki. Benar juga ucapan ibu, aku juga tidak punya waktu untuk mencuci bajunya itu. Mau sekalian di loundri-kan bersama baju kami, malu juga rasanya. Karena baju dari anakku itu sudah tak berbentuk dan tak berwarna selayaknya. Ibu dan kedua saudariku yang lain memang sengaja melarang ku untuk membelikan baju baru untuk Zaki. Karena masih ada baju yang bisa di pakai untuk apa beli lagi, buang-buang duit saja, kata orang-orang yang perhatian kepada ku.

"Ya sudah, terserah ibu saja." ucapku pasrah. Aku juga hampir saja melupakan, kalau hari ini aku sudah ada janji dengan Lasmi. Aku juga harus segera bersiap. Untung saja penyewa Zaki sudah datang. Jadi aku tak perlu lagi menungguinya di rumah.

"Ini, cepat bawa anak kamu keluar. Nanti keburu kesiangan juga. Ntar dapetnya dikit lagi." Ibu segera menyerahkan Zaki yang masih tertidur pulas ke tanganku agar segera membawanya keluar dan menyerahkannya pada orang yang akan menyewanya.

Akhirnya aku bisa bernapas legah dan bisa bebas hari ini. Selama ini tetangga kanan kiri tidak ada atau lebih tepatnya belum mengetahui perihal Zaki yang sering kami sewakan pada para peminta-minta. Awalnya ide itu muncul dari ibu yang seringkali melihat peminta di pasar bahkan ada yang mendatangi rumah-rumah warga untuk meminta belas-kasihan dengan membawa anak kecil untuk lebih menarik perhatian dan simpati dari orang. Awalnya aku ragu. Namun ibu di dukung oleh kedua saudariku untuk terus menyakinkan dan membujukku, akhirnya aku luluh dan mengikuti saran dari mereka. Toh lumayan juga hasilnya. Tanpa kita bekerja dan keluar keringat uang sudah datang sendiri. Masalah makanan. Semenjak Rani pergi untuk menjadi TKW keluargaku sudah tidak mengenal yang namanya makan dengan tahu, tempe, atau ikan asin. Minimal selalu ada olahan daging, ayam, juga ikan yang tersaji di atas meja makan. Sayang-nya Zaki masih belum bisa ikut merasakan kenikmatan ini semua karena terhalang usianya, itu yang di katakan oleh ibu dan juga Mbak Lestari.

Sebagai nenek yang baik dan perhatian kepada cucunya. Ibu selalu menyisihkan dan memasakkan sendiri makanan untuk anakku. Bubur nasi di tambah sayur bayam yang tumbuh liar di pekarangan rumah kami. Kasihan kalau anak masih kecil di beri makan pake nasi. Makanya nasi sisa kemarin yang masih ada, akan di olah ibu menjadi bubur untuk makanan Zaki.

Aku bisa merasa tenang. Karena pada akhirnya, ibu yang sempat melarang dan tidak merestui pernikahanku dengan Rani. Kini beliau telah membuka hatinya untuk istri dan juga anakku.

Karena ibu juga ingin melihat ku hidup lebih bahagia lagi. Ibu menyetujui hubunganku dengan Lasmi. Karena kata ibuku laki-laki boleh menikah beberapa kali, dan tidak perlu pula untuk meminta ijin pada istri, yaitu Rani. Karena sudah dapat dipastikan Rani akan menyetujui dan mengikuti apa kataku dan juga ibuku. Karena itu juga menjadi kewajibannya sebagai seorang istri.

Belum juga kaki ini masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba saja datang lagi orang yang tadi pergi dengan membawa Zaki. Seseibu dengan dandanan yang sengaja baju dan tampilannya di buat kumal itu datang dengan wajah paniknya.

"Eh, kalian sengaja mau ngerjain saya!" makinya tiba-tiba dengan segera melepas gendongannya yang berisi Zaki-ku.

"Maksud kamu apa?" Ibu yang tiba-tiba menyembul dari balik pintu.

"Ini, lihat sendiri!" perintahnya dengan menyodorkan kembali Zaki yang masih terlelap itu, untuk aku mengambilnya kembali. "Kalian sengaja mau mengkambing hitamkan saya. Kalian kira saya orang bo**h, apa? Ini, anak ini sudah tidak bernapas. Apa kalian yang sudah tua masih belum mengerti, kalau anak ini sudah tidak ada nyawanya." lanjutnya lagi. Tapi sepertinya aku tidak mendengar apa yang barusan wanita itu katakan. Mana mungkin Zaki yang masih tertidur lelap itu di anggapnya sudah tidak bernyawa alias mati.

"Eh, Bu. Kalau ngomong jangan asal njeplak saja. Jangan ngawur dan jangan seenaknya bilang anak saya ini sudah mati." sungutku. Kalau sudah tidak mampu bayar biaya sewa Zaki. Gak usah berkilah bilang anakku ini mati. Masih banyak kok yang mau menyewa anakku ini.

"Dasar kalian orangtua yang gi*a. Kalian enak-enakan di rumah. Tapi bayi sekecil ini kalian tawarkan untuk kami sewa sebagai teman mengemis. Periksa saja sendiri kalau tidak percaya!" sungutnya sambil segera beranjak dari rumah ini. Dan benar saja keributan yang baru saja di buatnya mengundang banyak mata. Semoga saja mereka tidak benar-benar mendengar apa yang baru saja kami ributkan.

"Aduh, ada apa sih rame-rame, masih juga pagi." celetuk Eni sambil mengucek matanya yang sepertinya dia baru bangun dari tidurnya.

"Pagi kamu bilang. Tuh, lihat matahari sudah di atas ubun-ubun." sungutku kesal sekali melihat dia yang enak-enakan sedangkan aku sedang khawatir saat ini.

"Gitu saja emosi!"

"Sudah, kalian jangan ribut sendiri. Ayo, Rud, kita coba bawa anakmu ini periksa ke puskesmas." entah apa yang membuat ibuku ini tiba-tiba memintaku untuk membawa periksa putra semata wayangku ini. Biasanya saja kalau aku yang mengajaknya, justru omelan yang pasti aku dapat. Katanya hanya buang waktu dan duit saja.

"Bentar, Bu. Rudi ganti baju dulu." pintaku. Namun belum juga aku melangkah ibu sudah mencegahku.

"Kelamaan, ayo cepat sekarang juga." ucapnya sambil sedikit ada rasa khawatir yang dapat aku tangkap dari raut wajahnya. Entah kenapa aku juga merasa sedikit ada rasa khawatir di dalam sini.

"Iya, Bu. Rudi keluarkan dulu motornya."

🌺🌺🌺

"Dengan keluarga anak Zaki." panggil seorang perawat atau bidan puskesmas tempat kami membawa bayi Zaki, yang ku tahu dia yang tadi bersama seorang yang lebih tua usianya sepertinya seniornya yang menangani Zaki, putraku. Aku dan ibu sengaja menunggu di luar ruangan sementara anakku sedang di periksa oleh beberapa petugas di dalam salah satu ruangan dari gedung pukesmas ini. Lebih tepatnya ruangan KIA.

"Iya, saya ayahnya." tunjukku sambil beranjak dari salah satu kursi panjang yang berada tepat di depan ruangan Zaki dengan periksa. Entah kenapa aku merasa takut ketika raut wajah perawat tersebut menampakkan raut kesedihan.

"Silahkan masuk dulu, Pak." Aku mengikuti apa yang perawat itu perintahkan.

"Kami mohon maaf sebelumnya, Pak..."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status