Tidak semua orang yang bekerja di dunia bawah, mau menerima permintaan Presiden. Pekerjaan menghadapi kartel narkoba Meksiko sudah sangat beresiko, salah sedikit bisa nyawa yang hilang.
Presiden menjanjikan uang pun, tidak akan ada yang mau menerimanya. Namun, hanya Aether yang mau menerima permintaan Presiden.
Alasannya mudah, Presiden menyetujui penggunaan lahan untuk kasta masyarakat pecundang. Presiden juga menjanjikan perlindungan hukum untuk masyarakat yang dia lindungi jika misi yang diberikan berhasil.
Namun, kenyataannya proyek yang Aether kepalai, gagal. Tidak ada yang mau membangun lahan tersebut, ada yang menerima tapi ternyata malah kabur, ada yang mengganggu proyeknya hingga menjadi gagal.
Aether kecewa.
Maka dari itu, Aether memutuskan bertemu dengan Presiden untuk mencari penyebab dan melanjutkan proyek yang gagal, hanya saja-
Aether menatap muak gedung tinggi. Jika dia mau berpikiran buruk, mungkin pemerintah ikut campur menggagalkan proyeknya, lalu kenapa? Bukankah mereka yang sudah menjanjikan terlebih dahulu? Bukankah sudah tanda tangan di atas materai?
Aether semakin lelah. Rasanya dia ingin istirahat dan melepas penat semua masalah ini, mungkin menghadapi kematian jauh lebih baik, daripada menghadapi orang-orang serakah yang mengaku dirinya baik.
Tiba-tiba mobil berhenti mendadak.
Aether bertanya. "Ada apa?"
"Mendadak ada yang menghalangi mobil."
Aether tersenyum. "Kita akan mati sebentar lagi."
Sopir menjadi gugup.
"Kamu lihat, senjata yang mereka keluarkan? Lahan yang kita lewati kosong dan tidak ada penduduk, itu karena kita melalui jalan tikus, bukan jalan biasa. Ah, kenapa aku tidak menyadarinya?"
"Bo- bos!"
Aether menatap dingin si sopir. "Jadi, siapa yang sudah membayar kamu?"
Sopir mengarahkan pistol ke Aether dan tersenyum, tidak ada kegugupan yang ditunjukannya tadi.
Aether mengangguk paham. Sudah biasa adanya persaingan wilayah atau kelompok. "Kamu memang cerdas."
"Saya mengikuti anda sudah lama, untuk mencapai kepercayaan itu- tidaklah mudah. Anda harusnya mengapresiasi saya dengan kematian."
"Oh." Aether menguap bosan, sejak awal dia tidak peduli dengan kematian, dia sudah siap dalam kondisi apa pun. Hanya saja, tidak menyangka akan secepat ini.
Aether mendengar suara peluru dilepaskan dan merasakan sesuatu di kepalanya dengan cepat, kedua matanya menatap sang sopir dengan tatapan sedih, tidak percaya dan marah.
Pengkhianatan tidak akan pernah bisa dia maafkan, sekarang dia sudah tidak bisa melakukan apa pun. Selesai sudah perjalanan hidup dan petualangannya selama ini.
"Tuan!"
"Mhm!"
"Tuan! Tolong bangun!"
Aether membuka mata dengan tubuh penuh keringat dan napas tersengal.
"Tuan muda, anda baik-baik saja?"
Aether menatap sekeliling ruangan. "Apakah ini neraka atau istana iblis?" Tanyanya dengan hati-hati. Ada juga orang-orang yang menggunakan jiwa musuhnya untuk dijual ke iblis.
"Anda masih mabuk? Saya sudah siapkan susu untuk anda minum."
Kepala Aether semakin pusing ketika mendengar penjelasan seorang pria yang menatap gugup dirinya dan memakai seragam pelayan. "Sial!"
"Uhm-"
Aether menoleh ke sumber suara lalu menemukan seorang wanita tertidur di atas tempat tidur.
Wanita itu duduk sambil menutupi dirinya dengan selimut dan menutup mulutnya yang menguap lebar. "Ini sudah jam berapa?"
Aether tidak percaya dengan penglihatannya, meskipun pekerjaannya kotor, dia tidak pernah menyentuh wanita lain karena- tidak semua wanita disekitarnya benar-benar bersih.
Wanita itu tersenyum simpul dan malu-malu ketika melihat Aether. "Oh, selamat pagi Aether."
Aether menaikkan salah satu alis, dia tidak salah dengar 'kan? Wanita dihadapannya sekarang menyebut nama yang tidak diketahui orang banyak.
Wanita itu merangkak untuk mendekati Aether dan bicara dengan nada serak, yang bisa dianggap seksi. "Tadi malam, sangat menyenangkan."
Aether mulai menyadari sesuatu dan bicara ke pelayan yang membangunkannya. "Di mana mantel tidurku?!" Teriaknya ketika menyadari tidak memakai pakaian di dalam selimut. Gila! Ini benar-benar gila!
Bukannya mengambilkan mantel Aether, pelayan itu menjadi panik ketika mendengar teriakan Aether. "Tu- tuan muda! Saya minta maaf telah melakukan kesalahan! Tolong ampuni saya!"
Aether melihat pria itu bukannya melaksanakan perintah, tapi malah berteriak ketakutan dan bersujud di lantai, seolah memohon pengampunan. "Apa yang kamu lakukan?" Tanyanya dengan bingung.
"Sa... saya... saya... saya..."
Aether menjadi tidak sabar dengan ucapan terbata-bata pelayan. "Ambilkan mantelku dan jangan melakukan hal yang tidak berguna!" Bentaknya.
Pelayan tetap bersujud dan memohon ampunan. "Tolong... tolong maafkan saya... jangan bunuh saya..." ucapnya dengan terbata-bata.
Aether semakin bingung dan benci dengan situasi yang dihadapinya, kenapa pelayan ini malah berlutut meminta maaf dan mengabaikan perintahnya?
Seorang pria masuk ke dalam kamar dan menatap dingin Aether. "Tuan muda, anda seorang anak Presiden. Kenapa malah melakukan hal yang tidak berguna, seperti memarahi seorang pelayan yang sedang membangunkan anda!"
Aether menyipitkan kedua mata pada pelayan yang berusia setengah baya dan mengkritik dirinya begitu datang. "Kamu- siapa?"
"Apakah sekarang anda hilang ingatan setelah bersenang-senang semalaman?" Tanya pelayan dengan tatapan meremehkan sambil melirik wanita di belakang Aether. "Saya, kepala pelayan di rumah ini. Tuan muda."
Aether tidak suka dengan tatapan kurang ajar kepala pelayan, seolah tidak bisa menghargai tuannya. "Aku hanya meminta tolong untuk diambilkan mantel tidur, lalu kenapa pelayan itu malah berlutut dan meminta maaf? Aku tidak menyuruhnya. Apakah ini salah satu ajaran dari kepala pelayan?"
Kepala pelayan menaikkan salah satu alis, bingung dengan reaksi tenang Aether. Biasanya di pagi hari, pria manja itu tidak suka dibangunkan secara paksa dan akan mulai mengomel, memaki serta menghukum para pelayan yang membangunkannya. "Tuan muda, maafkan atas ketidaksopanan pelayan muda ini, saya kira anda tidak perlu marah karena hanya bertugas membangunkan anda."
Aether menaikkan salah satu alis dan mulai menyadari sesuatu. "Hm? Kepala pelayan, berapa tahun anda sudah bekerja di tempat ini?"
"Cukup lama, Tuan muda."
"Jawab saja."
Kepala pelayan tersenyum kecut. "Saya lupa."
"Lupa ya-" Aether bangun dari tempat tidur dalam keadaan telanjang, tidak peduli dengan tatapan atau penilaian orang lain. Sekarang dirinya yakin, siapa yang dirasukinya sekarang. The Rebel Prince, anak kesayangan Presiden.
Aether memperbaiki jas kepala pelayan. "Kepala pelayan pasti sudah mempelajari karakteristik semua majikannya di rumah ini, tentu saja tidak akan membuat kesalahan yang fatal bukan?"
Arti dari perkataan Aether adalah, kamu seorang pelayan, paham dengan situasi rumah, lalu kenapa melakukan kesalahan fatal? Kesalahan fatal yang dimaksud Aether adalah melakukan hal yang paling dibenci pemilik tubuh, membangunkan di pagi hari.
Kepala pelayan sempat goyah dengan perilaku Aether yang mulai berani, dan berdehem. "Maafkan saya, jika anda merasa tersinggung. Seharusnya anda tidak lupa dengan jadwal sarapan seperti biasa bersama keluarga."
Kepala pelayan yakin, Aether tidak akan bisa membalasnya. Tuan muda yang dia kenal hanyalah memiliki otak kosong dan hanya menyukai pesta.
Aether kembali memperhatikan wajahnya di cermin satu badan setelah mandi dan berhasil mengusir wanita dan kepala pelayan tadi, tersisa pelayan muda yang takut padanya. Pelayan muda itu menuruti perintah Aether sambil menjawab pertanyaannya dengan gugup. Wajah dan kehidupan yang berbeda, namun memiliki nama dan tanggal lahir yang sama. Tuhan memang kejam. Aether kembali memperhatikan wajahnya yang sangat tampan di depan cermin dan berkata di dalam hati. Sayang sekali, wajah tampan ini digunakan untuk melakukan hal yang tidak berguna. Jika aku menjadi dia, aku akan melakukan upaya terbaik untuk menaikkan posisi. Aether dibantu memakai pakaian, awalnya sangat canggung karena selama ini memakai pakaian sendiri, namun sepertinya pelayan muda itu tidak perhatikan. Aether kembali mendengar penjelasan pelayan muda tersebut. "Anda adalah anak sah dari Presiden dan istri. Presiden merupakan menantu dari klan Kailash, dan berhasil mendapatkan kedudukan berkat klan, namun karena pemimpin kl
Pintu ruang makan dibuka, semua orang yang duduk di meja sontak menoleh, termasuk kepala pelayan yang berdiri di belakang kursi Presiden. Julia masuk dengan santai dan menyipitkan kedua mata ketika melihat letak duduk istri siri suaminya. "Aku heran, ini rumahku- dan tidak ada tempat duduk untuk aku?" Meja makan panjang dan kursi makan banyak, ada tempat untuk orang lain namun Julia hanya memikirkan posisinya sebagai istri sah. "Kenapa kamu sarapan di sini? Bukankah biasanya kamu di kamar?" Julia menaikkan salah satu alis dan hendak mengatakan sesuatu, Aether masuk ke dalam ruang makan setelah mendapat laporan dari pelayan muda dan tertawa melihat wanita cantik yang dia kenal melalui majalah. Istri sah presiden yang tidak terlalu suka dengan publikasi. "Ibu-" Julia menoleh lalu terpana melihat Aether, tubuhnya membeku sesaat dan bertanya. "Aether?" "Ada apa, bu?" tanya Aether dengan sopan. "Tidak mau sarapan di sini?" Julia menggeleng lalu memperhatikan putranya dari atas sam
Aether si anak presiden, disebut sebagai The Rebel Prince atau Pangeran Bermasalah karena selalu membuat ulah akibat dimanjakan presiden. Tidak ada yang berani mengkritik tindakan presiden yang seluruh pekerjaannya dianggap sempurna. Namun, para pendukung presiden justru mengalihkan kebencian kepada Aether dan memuji Alvin yang merupakan anak haram presiden. Sementara Aether si anak yatim piatu dan besar di masyarakat pecundang di kota belakang, disebut sebagai Pangeran Mafia. Entah kenapa dia disebut seperti itu, dan sejak kapan.Kelihatannya memang lebih mahal dan bagus sebutan pangeran bermasalah daripada pangeran mafia. Batin Aether.Julia memperhatikan Aether yang makan bubur dengan lahap. "Apakah kamu menyukai buburnya?""Ya?""Kamu tidak suka dengan bubur kan? Katanya makanan bubur itu aneh dan tidak bisa dimakan, kamu lebih suka makan daging mahal." Julia menatap cemas Aether. "Apakah ada masalah dengan pencernaan kamu?"Sepertinya Aether harus pintar mencari alasan jika ditan
Presiden menjadi bingung. Ini kali pertamanya Aether bersikap seperti itu, biasanya anak sulung hanya marah dan bersikap impulsif, melakukan hal yang tidak berguna. Tapi sekarang kenapa malah- "Jadi, Ayah lebih suka membela kepala pelayan yang tidak tahu malu?" Tanya Aether sambil melihat jam tangannya. "Ah, sudah jam segini. Aku harus pergi. Ibu." Julia menoleh dan menatap putranya dengan tersenyum. "Ada apa Putraku? Ngomong-ngomong, dari tadi Ibu melihat kamu memakai kaos tangan, apakah ada luka di tanganmu?" Aether menyeringai. "Tidak ada, hanya keisengan." Setelah menjawab pertanyaan Julia, dia mengeluarkan kartu kredit dari dalam dompetnya. Sebelum keluar kamar, dia sudah meneliti uang, debit card dan juga kredit card yang diberikan sang ayah. Pemilik tubuh sebelumnya pasti terlalu bodoh untuk membedakan debit dan kredit card. Dari perkataan pelayan, pemilik tubuh sebelumnya hanya asal memilih kartu di dompet, dan hanya beberapa kartu kredit saja yang terlihat sering dipakai.
Tidak lama muncul suara rekaman video terakhir, Aether tertawa. "Oh, ternyata yang tadi direkam." Julia bersandar di kursi dengan angkuh. "Oh- apakah Aether bisa melihat postingan media sosial tentang pangeran bermasalah?" Aether menuruti perintah ibunya. "Okey dokey." Alvin bangkit dan hendak meraih handphone di tangan Aether. Aether melepas tangan ayahnya lalu menendang perut Alvin dengan keras, setelahnya berjalan santai ke Julia. "Sepertinya Ibu yang paling paham soal media sosial. Bolehkah bantu aku?" Julia yang hendak mengambil handphone di tangan Aether, tersenyum ketika putranya tiba-tiba menarik handphone. "Dasar anak nakal!" Aether tersenyum lalu memberikan saran. "Aku sarankan memakai sarung tangan, karena handphone ini menjadi barang bukti sekarang." Presiden berteriak marah. "AETHER!" Julia menghela napas. "Ibu tidak membawa sarung tangan, jika kamu bicara lebih awal- mungkin bisa Ibu persiapkan terlebih dahulu." Aether masih menunjukkan senyumnya. "Tidak perlu kh
Aether menuruni tangga dengan santai. Hari ini dia bisa tidur nyenyak dan bangun dengan nyaman setelah mendapat perlakuan khusus dari para pelayan baru. langkah kakinya terhenti di tengah tangga ketika mendengar jeritan histeris Aida. "JANGAN BAWA PELAYANKU PERGI!" Alvin berusaha memegang adiknya, supaya tidak menyusul si pelayan sementara Danti hanya berdiri kebingungan, tidak bisa berbuat sesuatu. Aether berjalan melewati kekacauan itu. Aida menatap marah Aether. "KAKAK PUAS SEKARANG? SUDAH MENYAKITI AKU, SEKARANG MENGUSIR PELAYANKU KELUAR DARI RUMAH! AKU TIDAK AKAN MEMAAFKAN KAKAK!" Aether berjalan santai dan melambaikan tangan, tanpa menoleh ke belakang. Aida menjerit putus asa, sementara Alvin hanya menatap punggung Aether yang menjauh. "Kita mau ke mana?" "Tuan muda!" Aether menoleh lalu melihat seorang pria tua berjalan terburu-buru menghampirinya. "Oh-" "Tuan muda, saya dari tadi memanggil anda." "Ada apa?" "Ini." Aether menaikkan salah satu alis, menerima sebuah a
Wisata alam di kota belakang sangat indah, karena merupakan pulau dan pantainya bisa dinikmati sebagai liburan, hanya saja ada beberapa tempat yang sangat indah membutuhkan uang banyak untuk keamanan, sementara wisata murah hanya bisa dinikmati oleh masyarakat setempat karena banyak warga luar yang malas dengan perlakuan tidak menyenangkan. Kebanyakan yang berlibur adalah orang-orang kaya yang membawa keluarga atau selingkuhannya untuk berlibur. "Kamu tahu dari mana?" "Kami harus cepat mendapatkan informasi demi majikan, kami tidak ingin kehilangan majikan." "Apakah kamu tidak merasa direndahkan karena hal itu?" "Hal itu?" "Majikan dan tuan." "Kenapa Tuan muda bertanya? Bukankah Tuan muda yang su-" pelayan muda itu langsung menutup mulut dengan kedua tangan lalu bersujud di dekat kaki Aether. "Saya minta maaf karena sudah mengatakan hal yang tidak berguna." "Lama-lama, aku tidak suka dengan kelakuan kamu." Aether tidak suka dengan pelayan muda yang selalu merendahkan dirinya u
Dimas mengangkat pistol ke arah Aether dengan tangan kiri sementara tangan kanan diangkat supaya para anggota menahan diri untuk tidak asal tembak, sekarang kelompok mereka sedang disudutkan oleh sekelompok gangster lain, kelompok Balin yang jaya, hampir runtuh karena kehilangan ketua yang dituduh melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Indonesia. Tentu saja, sekarang para kelompok lain berani, karena pemerintah Indonesia juga turun tangan menyerang Balin. Dimas menyipitkan kedua mata dan berusaha mengingat identitas pria yang berdiri di hadapannya. Anggota lain terkejut ketika mengenali Aether. "Bukankah dia anak presiden yang dikenal sebagai pangeran bermasalah?" Dimas juga terkejut. "Kenapa?" Aether tidak lagi tersenyum bodoh atau melakukan kegiatan bodoh lainnya, dia berjalan santai dan mendekati Dimas, tanpa takut meskipun pistol diarahkan ke dirinya. "Ya, saya anak Presiden." Aether belum mau mengungkapkan identitas asli jiwa di dalam tubuhnya, tidak mungkin dia mengatak