Share

PEMBANTU GRATISAN

Mayang sudah terlihat cantik dalam balutan dress seatas lutut. Meski sedang hamil, Mayang masih terlihat modis, jadi begitu sedap dipandang mata. Hari ini ia akan bersiap belanja perlengkapan bayi bersama suaminya.

“Pa, aku ikut jalan-jalan, ya!” rengek Marwah saat Mayang dan Bambang sudah di samping mobil.

“Ga usah,  nanti ngrepotin lagi!” sentak Mayang langsung tanpa basa-basi. Seketika mata Marwah langsung memerah menahan tangis.

“Marwah di rumah saja ya, sama Mama,” hibur Bambang menenangkan anaknya.

“Diajak kenapa sih, Mas? Sekalian jalan-jalan,” ucap Hanum yang langsung ke luar dari rumah.

“Ga ah, nanti bikin repot,” tolak Mayang kasar. “Ayo Mas, nanti keburu siang!”

Tanpa rasa berdosa Mayang langsung masuk ke mobil yang kemudian diikuti oleh Bambang. Terlihat mobil meninggalkan Hanum dan Marwah yang mematung.

“Kenapa sih, Ma, Papa sekarang lebih sayang sama tante Mayang daripada Marwah?” tanya Marwah berurai air mata.

Hanum berjongkok. Membelai lembut rambut sang anak. Memberikan senyum termanis untuk mengurangi rasa sakit hati anaknya karena perubahan sikap sang ayah.

“Itu cuma perasaan Marwah saja!” hibur Hanum. “Papa tetep kok sayang Marwah.”

“Itu tadi, Papa lebih milih pergi sama Tante Mayang.”

Hati Hanum teriris. Marwah, anak kecil inipun harus rela berbagi kasih sayang dengan istri muda sang ayah. Tanpa ia tahu kalau Mayang itu adalah ibu tirinya.

*************

Pagi ini Mayang dilarikan ke rumah sakit. Dari semalam perutnya selalu kontraksi tak beraturan. Sesampainya di rumah sakit, Mayang langsung ditangani. Berkali-kali mengejan, tetap saja bayinya tak mau lahir padahal sudah perih mendera.

“Mas, aku minta secar saja!” pinta Mayang sudah ga kuat.

“Tapi secar itu mahal, Dek,” kilah Bambang.

“Tapi aku sudah ga kuat!” sentaknya dengan napas tersengal. “Aku sudah capek ini.”

“Tapi, Bu, masih bisa kok lahiran normal,” sahut Dokter. “Air ketuban ibu masih bagus.”

“Tapi aku sudah ga kuat, Dok!” Mayang malah melotot ke Dokter. “Sakitnya ga ketulungan.”

“Ayo dicoba sekali lagi!” paksa Dokter. “Itu sudah nongol rambutnya.”

Mau tidak mau karena terdorong rasa sakit akhirnya Mayang mendorong bayinya sekuat tenaga. Tak lama terdengar suara tangis bayi.

“Oek..oek..oek…”

“Alhamdulillah,” terdengar rasa lega di ruangan itu. Seketika rasa sakit yang mendera Mayangpun hilang.

“Bayinya laki-laki, Bu, sehat dan ganteng,” ujar Dokter membuat tangis bahagia Mayang pecah. Rasa haru menyelimuti Bambang dan Mayang.

****************

Mempunyai anak di usia dini, rupanya membebani Mayang. Tangis bayi tiap malam jelas mengganggu tidurnya.

“Dek, bangun!” Bambang menggoyang-goyang tubuh istri mudanya yang terlelap. “Itu bayinya minta ASI.”

Mayang menggeliat. Sedikit geram melihat bayi itu. “Aku capek, Mas, ngantuk.” Ia kembali tidur.

“Tapi bayinya nangis terus.”

“Suruh saja Mbak Hanum bikin susu formula dan suruh digendong sebentar, nanti juga tidur,” ucapnya datar.

Tak ingin mengganggu tidur istri mudanya, akhirnya Bambang ke kamar utama. Dengan pelan-pelan membangunkan Hanum.

“Ma, tolong bikinin susu Putra dong!” pintanya saat Hanum sudah membuka mata. “Dari tadi rewel terus.”

“Emang Mayang kemana, Mas?” tanya Hanum setengah tersadar.

“Dia tidur, katanya capek.”

Hanum menarik napas kasar. Meski terpaksa, akhirnya dia bangun daripada harus terus-terusan mendenagr suara tangisan bayi.

Setelah memberi susu, ia menimang-nimang Putra untuk bebebrapa saat hingga bayi mungil itu terlelap.

Begitulah setiap malam Hanum harus terbangun dan terjaga saat Putra rewel di malam hari. Mayang benar-benar tak mau menyentuh anaknya jika sudah lewat dari jam dua belas malam.

Belum lagi, subuh-subuh ia harus mencuci semua pakaian kotor satu rumah, termasuk popok Putra yang bersimbah kotoran bayi. Mengepel, menyapu. Selepas mengantar Marwah sekolah, ia langsung masak untuk makan siang. Sorenya ia harus masak lagi karena Bambang suka dengan masakan yang masih hangat.

Lalu bagaimana dengan Mayang? Ibu muda itu jika siang hanya sibuk mengurusi bayinya sambil rebahan nonton televisi dan bermain ponsel. Keluar kamar hanya saat makan saja. Untuk urusan melipat jemuran keringpun, semua dilakukan oleh Hanum.

Hal itu terus terulang hingga Putra berumur enam bulan. Hanum yang merasa seperti pembantu di rumah sendiri, akhirnya habis kesabaran. Ia tak pernah lagi mencucikan baju milik Mayang dan bayinya. Ia hanya mencuci bajunya sendiri, Bambang dan Marwah.

Belum lagi jika siang, ia tak pernah masak. Ia lebih sering beli lauk di luar untuknya dan Marwah makan.

“Kok baju-bajuku dan popoknya putra belum dicuci, Mbak?” sentak Mayang saat pakaiannya dan Putra menumpuk di keranjang baju kotor.

“Cuci saja sendiri,” sahut Hanum santai sembari membawa cucian bersih yang siap dijemur di depan.

Bukannya mengurusi cucian, Mayang malah beranjak ke ruang makan. Mencari makanan di atas meja makan.

“Mbak, ga masak?” sungutnya.

“Nanti sore masaknya,” sahut Hanum saat mengambil hanger.

“Tapi aku laper, Mbak.” Keluh Mayang.

“Kamu kan bisa pesan grab food,” sahut Hanum membalikkan kata-kata madunya tempo dulu.

“Awas kamu, Mbak! Aku aduin sama Mas Bambang,” umpat Mayang kesal tak dilayani.

Benar saja, sepulang kerja Mayang langsung mengadu panjang lebar dengan ditambahin bumbu penyedap api amarah kepada Bambang.

“Tahu ga Mas, aku seharian kelaperan gara-gara Mbak Hanum ga masak,” adunya. “Aku kan lagi menyusui, jadi harus banyak makan.”

“Kok kamu ga masak, Ma?” Bambang termakan curhatan istri muda.

“Aku capek, enam bulan jadi pembantu di rumah sendiri,” tukas Hanum ketus.

“Bajuku dan popok Putra juga ga dicuciin,” sambung Mayang.

“Kan kamu tahu, Mayang  habis lahiran. Jadi kamu bantu dong sediain makan buat dia dan cuci bajunya dan baju Putra!” cecar Bambang habis-habisan membuat Mayang tersenyum puas.

“Dulu, aku saat melahirkan Marwah, dari  hari pertama juga masak dan cuci baju sendiri.” Hanum menatap tajam Mayang. 

“Pasti Mayang juga bisa dong,” sindirnya. “Kan dia lebih muda, tenaganya lebih kuat dari yang tua,” imbuhnya. “Mas iya, kuat di ranjang saja tapi KO untuk urusan masak dan cuci baju.”

Seketika wajah Mayang jadi pias. Sindiran itu benar-benar menohok. Sedang Bambang, ia tak menimpali ucapan istri tuanya. Ia malah asyik menikmati sayur bayam dan ayam goreng yang dimasak Hanum.

***********

Memang sudah jadi kebiasaan, setiap tengah malam Putra pasti terbangun dan nangis kencang. Lagi-lagi Bambang yang harus bangun. Segera bapak dua anak dari istri berbeda itu menghampiri istri tua di kamar utama.

“Ma, Putra bangun tuh!” Bambang membangunkan Hanum yang kemudian membuka mata.

“Suruh Mayang saja. Dia kan ibunya,” sahut Hanum.

“Tahu sendiri, Mayang kalau sudah tidur ga mau dibangunin,” keluh Bambang.

“Aku ga mau lagi jadi baby sisternya Putra.” Hanum melanjutkan tidur. Tak peduli dengan paksaaan Bambang yang terus mengganggunya.

Karena tangis Putra makin kencang, akhirnya Bambang kembali ke kamar Mayang. Tampak istri mudanya masih terlelap tidur.

“Dek, bangun!” Dengan kasar Bambang menggoyang-goyangkan tubuh Mayang biar cepat terbangun.

“Apaan sih, Mas?” sentaknya dengan menyikut lengan suaminya.

“Ini, Putranya dari tadi nangis.”

“Bangunin Mbak Hanum saja!” titahnya kasar. “Kan biasanya dia juga yang ngurusin Putra kalau bangun.”

“Hanum ga mau,” tukasnya galak. “Buruan bangun!”

“Mas saja, ah!” sentak Mayang yang masih mau melanjutkan tidur.

“Kalau kamu ga bangun jangan harap ada uang belanja dariku!” Ancam Bambang sudah kelewat marah dengan kelakuan istri mudanya.

Dengan terpaksa. Mayang bangun dan meraih bayinya lalu menggendongnya ke dapur untuk membuat susu.

*********

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status