Beranda / Romansa / KETIKA ISTRI DIMADU / PEMBANTU GRATISAN

Share

PEMBANTU GRATISAN

Penulis: Miss Andini
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-05 10:23:32

Mayang sudah terlihat cantik dalam balutan dress seatas lutut. Meski sedang hamil, Mayang masih terlihat modis, jadi begitu sedap dipandang mata. Hari ini ia akan bersiap belanja perlengkapan bayi bersama suaminya.

“Pa, aku ikut jalan-jalan, ya!” rengek Marwah saat Mayang dan Bambang sudah di samping mobil.

“Ga usah,  nanti ngrepotin lagi!” sentak Mayang langsung tanpa basa-basi. Seketika mata Marwah langsung memerah menahan tangis.

“Marwah di rumah saja ya, sama Mama,” hibur Bambang menenangkan anaknya.

“Diajak kenapa sih, Mas? Sekalian jalan-jalan,” ucap Hanum yang langsung ke luar dari rumah.

“Ga ah, nanti bikin repot,” tolak Mayang kasar. “Ayo Mas, nanti keburu siang!”

Tanpa rasa berdosa Mayang langsung masuk ke mobil yang kemudian diikuti oleh Bambang. Terlihat mobil meninggalkan Hanum dan Marwah yang mematung.

“Kenapa sih, Ma, Papa sekarang lebih sayang sama tante Mayang daripada Marwah?” tanya Marwah berurai air mata.

Hanum berjongkok. Membelai lembut rambut sang anak. Memberikan senyum termanis untuk mengurangi rasa sakit hati anaknya karena perubahan sikap sang ayah.

“Itu cuma perasaan Marwah saja!” hibur Hanum. “Papa tetep kok sayang Marwah.”

“Itu tadi, Papa lebih milih pergi sama Tante Mayang.”

Hati Hanum teriris. Marwah, anak kecil inipun harus rela berbagi kasih sayang dengan istri muda sang ayah. Tanpa ia tahu kalau Mayang itu adalah ibu tirinya.

*************

Pagi ini Mayang dilarikan ke rumah sakit. Dari semalam perutnya selalu kontraksi tak beraturan. Sesampainya di rumah sakit, Mayang langsung ditangani. Berkali-kali mengejan, tetap saja bayinya tak mau lahir padahal sudah perih mendera.

“Mas, aku minta secar saja!” pinta Mayang sudah ga kuat.

“Tapi secar itu mahal, Dek,” kilah Bambang.

“Tapi aku sudah ga kuat!” sentaknya dengan napas tersengal. “Aku sudah capek ini.”

“Tapi, Bu, masih bisa kok lahiran normal,” sahut Dokter. “Air ketuban ibu masih bagus.”

“Tapi aku sudah ga kuat, Dok!” Mayang malah melotot ke Dokter. “Sakitnya ga ketulungan.”

“Ayo dicoba sekali lagi!” paksa Dokter. “Itu sudah nongol rambutnya.”

Mau tidak mau karena terdorong rasa sakit akhirnya Mayang mendorong bayinya sekuat tenaga. Tak lama terdengar suara tangis bayi.

“Oek..oek..oek…”

“Alhamdulillah,” terdengar rasa lega di ruangan itu. Seketika rasa sakit yang mendera Mayangpun hilang.

“Bayinya laki-laki, Bu, sehat dan ganteng,” ujar Dokter membuat tangis bahagia Mayang pecah. Rasa haru menyelimuti Bambang dan Mayang.

****************

Mempunyai anak di usia dini, rupanya membebani Mayang. Tangis bayi tiap malam jelas mengganggu tidurnya.

“Dek, bangun!” Bambang menggoyang-goyang tubuh istri mudanya yang terlelap. “Itu bayinya minta ASI.”

Mayang menggeliat. Sedikit geram melihat bayi itu. “Aku capek, Mas, ngantuk.” Ia kembali tidur.

“Tapi bayinya nangis terus.”

“Suruh saja Mbak Hanum bikin susu formula dan suruh digendong sebentar, nanti juga tidur,” ucapnya datar.

Tak ingin mengganggu tidur istri mudanya, akhirnya Bambang ke kamar utama. Dengan pelan-pelan membangunkan Hanum.

“Ma, tolong bikinin susu Putra dong!” pintanya saat Hanum sudah membuka mata. “Dari tadi rewel terus.”

“Emang Mayang kemana, Mas?” tanya Hanum setengah tersadar.

“Dia tidur, katanya capek.”

Hanum menarik napas kasar. Meski terpaksa, akhirnya dia bangun daripada harus terus-terusan mendenagr suara tangisan bayi.

Setelah memberi susu, ia menimang-nimang Putra untuk bebebrapa saat hingga bayi mungil itu terlelap.

Begitulah setiap malam Hanum harus terbangun dan terjaga saat Putra rewel di malam hari. Mayang benar-benar tak mau menyentuh anaknya jika sudah lewat dari jam dua belas malam.

Belum lagi, subuh-subuh ia harus mencuci semua pakaian kotor satu rumah, termasuk popok Putra yang bersimbah kotoran bayi. Mengepel, menyapu. Selepas mengantar Marwah sekolah, ia langsung masak untuk makan siang. Sorenya ia harus masak lagi karena Bambang suka dengan masakan yang masih hangat.

Lalu bagaimana dengan Mayang? Ibu muda itu jika siang hanya sibuk mengurusi bayinya sambil rebahan nonton televisi dan bermain ponsel. Keluar kamar hanya saat makan saja. Untuk urusan melipat jemuran keringpun, semua dilakukan oleh Hanum.

Hal itu terus terulang hingga Putra berumur enam bulan. Hanum yang merasa seperti pembantu di rumah sendiri, akhirnya habis kesabaran. Ia tak pernah lagi mencucikan baju milik Mayang dan bayinya. Ia hanya mencuci bajunya sendiri, Bambang dan Marwah.

Belum lagi jika siang, ia tak pernah masak. Ia lebih sering beli lauk di luar untuknya dan Marwah makan.

“Kok baju-bajuku dan popoknya putra belum dicuci, Mbak?” sentak Mayang saat pakaiannya dan Putra menumpuk di keranjang baju kotor.

“Cuci saja sendiri,” sahut Hanum santai sembari membawa cucian bersih yang siap dijemur di depan.

Bukannya mengurusi cucian, Mayang malah beranjak ke ruang makan. Mencari makanan di atas meja makan.

“Mbak, ga masak?” sungutnya.

“Nanti sore masaknya,” sahut Hanum saat mengambil hanger.

“Tapi aku laper, Mbak.” Keluh Mayang.

“Kamu kan bisa pesan grab food,” sahut Hanum membalikkan kata-kata madunya tempo dulu.

“Awas kamu, Mbak! Aku aduin sama Mas Bambang,” umpat Mayang kesal tak dilayani.

Benar saja, sepulang kerja Mayang langsung mengadu panjang lebar dengan ditambahin bumbu penyedap api amarah kepada Bambang.

“Tahu ga Mas, aku seharian kelaperan gara-gara Mbak Hanum ga masak,” adunya. “Aku kan lagi menyusui, jadi harus banyak makan.”

“Kok kamu ga masak, Ma?” Bambang termakan curhatan istri muda.

“Aku capek, enam bulan jadi pembantu di rumah sendiri,” tukas Hanum ketus.

“Bajuku dan popok Putra juga ga dicuciin,” sambung Mayang.

“Kan kamu tahu, Mayang  habis lahiran. Jadi kamu bantu dong sediain makan buat dia dan cuci bajunya dan baju Putra!” cecar Bambang habis-habisan membuat Mayang tersenyum puas.

“Dulu, aku saat melahirkan Marwah, dari  hari pertama juga masak dan cuci baju sendiri.” Hanum menatap tajam Mayang. 

“Pasti Mayang juga bisa dong,” sindirnya. “Kan dia lebih muda, tenaganya lebih kuat dari yang tua,” imbuhnya. “Mas iya, kuat di ranjang saja tapi KO untuk urusan masak dan cuci baju.”

Seketika wajah Mayang jadi pias. Sindiran itu benar-benar menohok. Sedang Bambang, ia tak menimpali ucapan istri tuanya. Ia malah asyik menikmati sayur bayam dan ayam goreng yang dimasak Hanum.

***********

Memang sudah jadi kebiasaan, setiap tengah malam Putra pasti terbangun dan nangis kencang. Lagi-lagi Bambang yang harus bangun. Segera bapak dua anak dari istri berbeda itu menghampiri istri tua di kamar utama.

“Ma, Putra bangun tuh!” Bambang membangunkan Hanum yang kemudian membuka mata.

“Suruh Mayang saja. Dia kan ibunya,” sahut Hanum.

“Tahu sendiri, Mayang kalau sudah tidur ga mau dibangunin,” keluh Bambang.

“Aku ga mau lagi jadi baby sisternya Putra.” Hanum melanjutkan tidur. Tak peduli dengan paksaaan Bambang yang terus mengganggunya.

Karena tangis Putra makin kencang, akhirnya Bambang kembali ke kamar Mayang. Tampak istri mudanya masih terlelap tidur.

“Dek, bangun!” Dengan kasar Bambang menggoyang-goyangkan tubuh Mayang biar cepat terbangun.

“Apaan sih, Mas?” sentaknya dengan menyikut lengan suaminya.

“Ini, Putranya dari tadi nangis.”

“Bangunin Mbak Hanum saja!” titahnya kasar. “Kan biasanya dia juga yang ngurusin Putra kalau bangun.”

“Hanum ga mau,” tukasnya galak. “Buruan bangun!”

“Mas saja, ah!” sentak Mayang yang masih mau melanjutkan tidur.

“Kalau kamu ga bangun jangan harap ada uang belanja dariku!” Ancam Bambang sudah kelewat marah dengan kelakuan istri mudanya.

Dengan terpaksa. Mayang bangun dan meraih bayinya lalu menggendongnya ke dapur untuk membuat susu.

*********

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • KETIKA ISTRI DIMADU   DOA NENEK

    Marwah_gadis kecil itu menanti kedatangan sang ibu hingga magrib menjelang. Matanya selalu berlinang air mata saat wanita yang begitu ia rindukan tak jua menampakan batang hidungnya. Berulang kali ia percaya pada ucapan sang nenek jika esok ibunya akan datang sehingga ia selalu menanti di depan pintu setiap hari.“Ayo Nak, kita masuk, sudah magrib!” ajak Bu Narti.“Aku kangen Mama, Nek,” sahutnya dengan mata berembun.“Besok pasti Mamamu datang.” Lagi-lagi Bu Narti memberinya janji yang sama.“Nenek selalu bilang begitu, tapi kenapa Mama ga pernah datang?” Kali ini Marwah tak percaya dengan janji neneknya. “Nenek bohong ya?” tanyanya mulai berurai air mata.Bu Narti menatap nanar ke wajah cucunya. Wajah yang menyiratkan banyak rindu untuk sang ibu dan rasa perihnya dibuang oleh kedua orang tua. Dada perempuan tua itu bergemuruh. Sesak menyelimuti melihat pedihnya hidup

  • KETIKA ISTRI DIMADU   DUA GARIS MERAH

    Doni memarkir Brio putih tepat di depan pintu. Dengan senyun mengembang dan langkah riang, ia masuk ke dalam rumah.“Sayang,” sapanya langsung mencium kening sang istri yang sedang menyiapkan makan.“Kamu sudah pulang, Mas?” sapa Hanum dengan senyum manisnya.“Iya dong,” sahut Dobi. “Di hari ulang tahun istriku tercinta aku harus pulang cepat.”“Ah, Mas bisa saja.” Hanum mencubit manja perut suaminya yang mulai buncit karena senang masakannya.“Aku punya hadiah untuk kamu.”“Apa?” Mata Hanum mengerling, penasaran.“Tutup mata ya!” perintah Doni makin membuat Hanum penasaran.“Kadonya apa sih?” tanya Hanum dengan mata yang tertutup.Bukannya menjawab, Doni malah menutup mata sang istri dengan kain tipis. Lalu menuntunnya ke luar rumah.“Sudah siap?” tanya Doni makin membuat Hanum tak

  • KETIKA ISTRI DIMADU   PERNIKAHAN YANG BAHAGIA

    Hanum diboyong Doni ke rumah mewahnya. Rumah dua lantai itu tampak elegan dan rapi tertata. Taman di halaman depan. Tak lupa kolam renang di belakang rumah, menambah kebahagiaan Hanum sebagai ratu di rumah itu. Serta kamar utama yang indah, membuatnya menjadi wanita yang paling bahagia di dunia.“Kamu suka, Sayang?” tanya Doni tentang perasaan istrinya.“Suka banget,” sahut Hanum manja.“Besok kita pergi ke Bali,” ucap Doni membuat Hanum memicingkan mata.“Ke Bali?” tanya Hanum. “Ngapain, Mas?”“Bulan madu dong, Sayang,” sahut Doni mesra membuat Hanum merasa tersanjung karena baru kali ini ia merasakan namanya bulan madu.“Makasih ya, Sayang,” sahut Hanum memeluk erat suami barunya.Esok harinya, pengantin baru itu terbang ke Bali untuk honeymoon selama tiga hari. Mereka menghabiskan malam di hotel bintang lima. Memanjakakan mata dengan m

  • KETIKA ISTRI DIMADU   SYARAT PERNIKAHAN

    “Aku akan menikahimu dengan satu syarat,” imbuh Doni membuat Hanum penasaran.“Apa syaratnya, Mas?”“Setelah menikah, aku tak ingin tinggal bersama Marwah,” jawaban Doni membuat senyum Hanum memudar.“Tapi kan Marwah anakku, Mas,” sahut Hanum. “Darah dagingku.”“Tapi bukan darah dagingku,” timpal Doni cepat.“Aku mencintaimu tapi tidak dengan anakmu,” imbuh Doni membuat hati Hanum perih.Teganya laki-laki yang ia cintai berkata seperti itu. Menolak anaknya secara terang-terangan tanpa peduli perasaannya sebagai seorang ibu.“Cintaku padamu tak diragukan lagi. Aku akan mencintaimu sepenuh hati hingga kita menua bersama,” janji Doni sedikit puitis masih membuat Hanum terdiam.“Aku tak memaksamu untuk memilihku,” imbuhnya. “Tapi percayalah, aku akan membahagiankanmu seumur hidupmu.”Han

  • KETIKA ISTRI DIMADU   PRIA MAPAN

    Hari ini cattering Yuli mendapat kunjungan dari pabrik, tempat biasa yang memesan catteringnya. Tampak seorang laki-laki memakai jas hitam tampak sedap dipandang mata.“Kamu belum berubah ya, Don?” komentar Yuli pada kawan lamanya yang ternyata manager di pabrik tempatnya mengirim cattering.“Ya, beginilah aku,” sahutnya dengan tawa. “Bersih ya catteringmu!” pujinya.“Harus dong,” sahut Yuli. “Itu salah satu kunci awet untuk sebuah usaha makanan.”“Pinter kamu,”puji Doni lagi.“Silahkan duduk!” Yuli dan Doni duduk di sofa. “Kamu sudah punya anak berapa?”“Sampai saat ini aku belum bisa move on dari Saras,” sahut Doni mengenang masa lalu.“Serius kamu?” sahut Yuli tak percaya. “Saras sudah menikah lima tahun yang lalu lho.”“Bener, Yul,” sahut Doni mantap. “Aku

  • KETIKA ISTRI DIMADU   MULUT IPAR

    Tanggal gajian tiba. Dengan suka cita Hanum menerima amplop dari majikannya. Ia sudah ga sabar untuk membeli beberapa baju baru untuk dipakai sehari-hari di rumah. Setelah berpisah dengan Bambang belum sekalipun ia membeli baju.“Udah, gajian kan, Mbak?” todong Desi pada Hanum yang baru saja ikut duduk di meja makan.“Sudah, Des,” sahut Hanum dengan rasa lelah.“Sini, bagi duitnya untuk bayar listrik, beli beras dan lain-lain!” pinta Desi paksa.Hanum membuka tasnya. Lalu memberikan tiga ratus ribu kepada adik iparnya.“Kok, cuma tiga ratus ribu terus sih, Mbak?” sentak Desi.“Kan gajiku cuma satu juta, Des,” keluh Hanum. “Jadi aku cuma bisa ngasih segithu.”“Ini sih ga cukup untuk beli gula dan sabun!” tukas Desi emosi. “Listrik aja seratus lima puluh ribu. Beras untuk satu keluarga seratus lima puluh ribu. Belum beli sabun, rinso,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status