Naomi merasakan tangannya gemetaran, seiring air mata yang merembes ke luar. Ia merasa tangan itu bergerak di luar kesadarannya, dan fitnah Raihan sudah membuat emosi menguasai dirinya. Sedangkan Raihan, laki-laki itu mematung di tempat dengan wajah memerah karena tamparan Naomi. Seolah tak percaya istri periangnya itu akan berubah kasar seperti ini. "Kau sadar dengan apa yang kau perbuat Naomi? Bagaimanapun, aku masih sah berstatus suamimu." Raihan kembali bersuara. Telunjuk tangan kanannya mengarah ke wajah Naomi. Beberapa saat mata Naomi terpejam dengan dada kembang kempis. Berusaha ia kembali tersadar, agar emosi di dadanya kembali normal. "Maafkan aku," ucap Naomi penuh sesal. Ia sadar telah salah bersikap, lebih lagi kalimat Raihan benar adanya, dirinya masih sah berstatus istri dan tak selayaknya dirinya bersikap berlebihan seperti barusan. Namun tidak adil rasanya jika hanya dirinya yang berkali-kali tersakiti, dan kemungkinan Raihan akan terus seperti itu, bebas menyakiti
"Ya, Laki-laki diperbolehkan poligami dengan cara syar'i. Banyak syarat yang harus dipenuhi, sedangkan kau, kau hanya bermodal harta sama rupa saja, bahkan jika tidak aku minta kau untuk shalat, maka kau tak akan shalat. Itu belum urusan hati. Apa kau yakin sudah pantas untuk berpoligami?"Raihan merasa sudut hatinya tercubit, apa yang dikatakan Naomi benar adanya. Selama ini Naomi-lah yang begitu ketat mengingatkannya untuk memenuhi kewajibannya terhadap Sang Pencipta. "Satu lagi! Laki-laki memang diperbolehkan berpoligami, itulah mengapa aku memintamu menikahi Sena secepatnya." "Sena meminta waktu menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu, kuharap kau sabar menunggunya. Do'akan saja sidang skripsinya bulan depan lancar," ucap Raihan tanpa berpikir jika kalimatnya akan kembali menyakiti hati Naomi. Jika saja di hadapannya itu bukan manusia, Ingin rasanya Naomi meludahi wajah tanpa dosa itu. Istri mana yang sudi mendoakan kebaikan perempuan yang telah merebut suaminya? Jikapun ada,
Raihan segera memutar setir mobil Menuju Jalan Pulang. Ia tak ingin Mama dan Papanya lebih dulu sampai ke rumah mereka, khawatir akan mendapat pertanyaan yang membuatnya tersudut. Sepanjang perjalanan pulang kepala Raihan sesak memikirkan tentang Sena, Naomi, dan juga tujuan sang Mama menginap di rumah mereka. Jalanan licin serta aspal yang basah membuat sorot lampu mobil Raihan menyilaukan mata, hingga Raihan memilih memelankan kendaraannya. Laki-laki itu masih bisa berpikir jika keselamatannya jauh lebih penting dari sekedar omelan sang Mama. Akhirnya mobil Raihan memasuki gerbang rumah mereka. Tepat di sisi kiri jalan depan rumah mereka mobil Pak Beni terparkir, pertanda kedua orang tua Raihan sudah lebih dulu sampai. Raihan tak langsung turun, laki-laki itu memilih berdiam beberapa saat di dalam mobilnya untuk memikirkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan ditujukan untuknya malam ini, terlebih Papanya yang sudah tau tentang perselingkuhannya dengan Sena. Waj
"Oh, ya, kalau Papa mau pulang enggak apa-apa, minta tolong Bik Inah aja buat bawain koper Mama ke sini," ucap Mama Maya sambil melirik ke arah suaminya. Pak Beni yang sejak tadi bergeming, kini menoleh pada sang istri. "Ya sudah, Papa balik dulu. Kalau perlu apa-apa tinggal telpon Papa. Nanti Papa suruh Mang Kardi yang anter," ucap sang suami sambil beranjak. "Papa pulang dulu, Na. Titip Mamamu, kalau ada apa-apa kabari Papa," ucap laki-laki itu. Pak Beni hanya pamit pada Naomi, sedangkan pada Raihan hanya melirik sekilas. "Iya, Pa. Hati-hati di jalan." Naomi menjawab bersamaan dengan anggukan kepala. "Tolong, ya, Bik. Nanti koper saya simpan di kamar tamu." Kali ini titah perempuan paruh baya itu untuk Bik Inah. "Siap, Bu," jawab Bik Inah santun kemudian berjalan di belakang Pak Beni. Tubuh laki-laki kurus tinggi itu menghilang di balik tembok diiringi Bik Inah, berapa menit setelahnya Bik Inah datang sambil menggeret koper milik Mama Maya lalu membawanya masuk ke kamar tamu
Laki-laki itu berusaha menormalkan detak jantungnya. Berharap sang Mama tidak menaruh curiga. Hoaaaamm. Naomi tiba-tiba menguap. Tubuh lelahnya setelah melakukan perjalanan tadi siang membuat ia memiliki alasan untuk mengakhiri topik pembicaraan yang membuat dirinya merasa tak nyaman kali ini. "Ma, Bang Raihan pasti akan berusaha berlaku sebaik mungkin dan tak akan menyakiti hati Naomi," ucap Naomi, sekilas ia melirik wajah Raihan dengan bibir tersenyum meski hasilnya seperti dipaksakan. "Sekarang Mama istirahat, ya. Naomi juga sudah ngantuk, pengen tidur dulu. Besok kita lanjut lagi, ya, Ma." Naomi berusaha membujuk, hingga akhirnya Mama Maya menurut dan beranjak ke kamar tamu yang sudah dipersiapkan untuknya. Setelah pintu kamar tamu terlihat tertutup rapat, Naomi menghembuskan nafas lega. Raihan terlihat melakukan hal serupa. Keduanya merasa lega setelah Mama Maya akhirnya bersedia masuk kamar. "Pikirkan caranya bagaimana agar Mama bisa menerima perpisahan kita tanpa sakit jan
"Brisik kamu, Bil. Santai aja coba." Naomi menepuk pelan paha sahabatnya itu. "Iya, maaf. Keceplosan, Na," ucap Nabila sambil nyengir kuda. "Jadi gimana ceritanya, Na?" Nabila kembali ke topik sebelumnya, kali ini dengan suara jauh lebih pelan. "Mama semalem sempet ngasih banyak nasehat, Bil, yang intinya supaya pernikahanku dan Raihan tetap langgeng gitu." Naomi mengingat ingat kembali isi pembicaraan mereka semalam. "Tapi, kok, Ibu Maya bisa tau?" Nabila sedikit heran. Rasanya tak mungkin tiba-tiba perempuan paruh baya itu tahu tentang hubungan Naomi dan Raihan jika tak ada yang memberitahu. "Papa sudah tahu semuanya, Bil." "Tentang perselingkuhan Raihan?" tanya Nabila dengan mata membulat. Naomi mengangguk dengan wajah lesu. "Terus, terus, gimana tanggapan Pak Beni?" tanya Nabila sedikit berbisik khawatir karyawan lain yang tengah berada di tempat yang sama mendengar pembicaraan mereka. "Papa menyerahkan sepenuhnya padaku karena ini yang kedua kalinya Raihan berulah dalam 1
Naomi tersentak. Diremasnya ujung kemeja yang tengah ia kenakan, sekedar menetralisir degub jantung yang semakin berkejaran. "Apa yang Mama tau?" Naomi berusaha bersikap sebisa mungkin. Perempuan paruh baya itu beberapa kali menarik nafas dalam lalu mengeluarkannya. Wajahnya berubah Sendu seiring rasa perih yang perlahan menjalar di relung hatinya. "Mama sudah tahu apa yang dilakukan Raihan di belakangmu. Mama juga sudah tahu apa yang kau rencanakan pada Raihan." Kalimat mamanya membuat Naomi kembali tertunduk. Ada bahagia di relung sana saat melihat Mama mertuanya itu tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit jantungnya kambuh. Beberapa saat setelahnya Naomi memberanikan diri mendengarkan kepalanya, menatap lekat wajah perempuan baik itu dengan rasa iba. "Apa menurut Mama wajar, jika cinta Naomi telah hambar untuk Bang Raihan?" lirih Naomi bertanya. Detik ini ia merasakan hatinya kembali perih. Mama Maya mengalihkan pandangannya pada vas bunga kering di sudut ruangan."Jujur, Na
"Iya, Ma," jawab Naomi singkat dengan kepala tertunduk. "Apa kau akan pergi secepatnya?" tanya Mama Maya lagi. Naomi mengangguk pelan membuat hati Mama Maya berdesir hebat. "Bolehkah Mama minta sedikit lagi waktumu, Na?" Ia meminta persetujuan. Naomi mengangkat wajah, menatap lembut wajah sendu Mama mertuanya itu. Ada luka di sana, di hati seseorang yang sudah berpuluh tahun menyandang gelar ibu itu. "Katakan saja apa yang Mama inginkan dariku! Jika aku merasa sanggup, maka tak ada alasan bagiku untuk menolak." Naomi berusaha bijak. Senyum itu terbit dari bibir Mama Maya, senyum yang terlihat penuh luka, luka karena merasa gagal mendidik anak bungsunya itu. "Kau tahu apa alasan Mama melepaskanmu dan tidak memintamu untuk tetap tinggal?" Mama Maya melirik sekilas wajah Naomi, setelahnya kembali beralih menatap layar TV berukuran besar di hadapannya. Naomi hanya menggeleng pelan. Ia tak ingin menebak. Naomi lebih memilih membiarkan Mama Maya meluahkan isi hatinya. "Karena seharu