Share

Part 5. Dia Sepupuku

"Naomi 'kan? Anak Paman Dayat?" ucap laki-laki itu memastikan. Laki-laki bertubuh tinggi dengan dagu belah itu tersenyum manis. Nabila bahkan tak berkedip dibuatnya. 

Merasa nama dirinya dan sang ayah disebut Naomi segera menyelesaikan minumnya lalu menoleh ke asal suara. 

"Eh, Bang Faiq. Kapan balik ke Indonesia?" tanya Naomi. Tangannya terulur ke arah Faiq, lalu mencium takzim  punggung tangan saudara sepupunya itu. 

"Abang udah sebulan yang lalu balik, Na," jawab Faiq dengan nada santun. 

"Oh, iya, duduk, Bang. Kenalin ini Nabila, temen Naomi." 

Nabila sedikit tersentak lalu berusaha bersikap tenang dengan melempar senyum ke arah Faiq. Wajah rupawan Faiq mampu membuat Nabila tersihir. Laki-laki itu terlihat begitu sempurna dengan alis mata menyatu, hidung mancung, serta dagu belahnya. 

"Faiq!" ucap laki-laki itu dengan senyum manisnya. 

"Nabila," balas Nabila santun. Matanya terus menatap lekat wajah tampan di hadapannya itu. 

"Ini abang sepupu aku, Bil. Namanya Faiq Fikri. Kami biasa memanggilnya Bang Faiq." Naomi menjelaskan sambil tersenyum ke arah Nabila. 

"Abang udah makan?" Naomi kembali bertanya dan melirik ke arah Faiq. 

"Udah, Na. Abang udah dari tadi merhatiin kamu dari pojok sana takut salah orang." Faiq menunjuk posisinya sejak tadi di rumah makan ini, sebelum akhirnya memutuskan untuk mendekat ke meja di mana Naomi berada. 

"Baru dua tahun nggak ketemu masa udah lupa?" Naomi melipat dahinya. 

"Kali aja punya kembaran beda rahim. Nggak lucu kan kalau langsung sok akrab, tau-tau salah orang." Faiq nyengir kuda. Wajah tampan laki-laki itu terlihat semakin sempurna. 

"Ya, nggak pa-pa, sekalian kenalan," goda Naomi pada laki-laki yang 3 tahun lebih tua darinya itu.

"Dari dulu emang nggak pernah berubah, ya," ucap Faiq dengan tawa renyah. 

"Apanya?"

"Suka usilnya." Keduanya tertawa bersamaan. Sedang Nabila hanya tersenyum manis. Melihat keakraban antara Faiq dan Naomi membuat Nabila berpikir tentang sesuatu yang Naomi sama sekali tak pernah memikirkannya. 

"Oh, ya, Abang sekarang kerja di Rumah Sakit Medika, Na. Main-main ke rumah Abang ajak suamimu." Faiq menatap lekat wajah Naomi, bibirnya tersenyum, senyum yang hanya dirinya dan Tuhan-nya yang paham. 

Naomi hanya tersenyum kecut. Mendengar kata 'suami' saja mampu membuat ingatannya melayang pada sosok Raihan. Sosok yang kembali menoreh luka di hatinya. 

"Insya Allah, Bang. Kalau ingin berkunjung nanti Naomi kabari. Abang juga, main-main ke rumah," balas Naomi menawarkan. 

Beberapa menit mereka berbincang akrab, hingga akhirnya Faiq pamit setelah sebelumnya mengangkat telepon dari seseorang. 

Tubuh faiq semakin mengecil seiring langkahnya yang menjauh dari tempat Naomi dan Nabila berada, hingga akhirnya menghilang di ujung sana. 

"Kok, dari tadi diam aja, Bil? Tumben banget?" Naomi terkekeh. Biasanya Nabila memang lebih aktif berbicara darinya, entah kenapa kali ini perempuan itu bersikap seperti tak biasa. 

"Seriusan itu sepupumu, Na?" tanya Nabila tanpa menjawab pertanyaan Naomi dengan alis bertaut. 

"Iya, Mama bang Faiq adik Ayahku. Dari kecil juga kami selalu main bersama, bahkan 1 sekolah sampai  tamat SMA." Naomi berucap sambil mengenang masa-masa kebersamaan mereka dulu. 

"Kayak wajah-wajah cowok sebelah sana, ya, Na."

"Iya, Bil. Dari sebelah ayah Bang Faiq ada darah Arab, jadi wajar kalau wajahnya mirip-mirip orang Timur Tengah," jawab Naomi seadanya. 

Nabila terdiam beberapa saat.

"Apa kalian pernah saling mencintai, Na?" tanya Nabila akhirnya, membuat Naomi harus berusaha menahan tawanya. 

"Nggak lah, Bil. lagian masih banyak laki-laki lain, kenapa harus dengan keluarga sendiri." Naomi berusaha meyakinkan Nabila jika hubungan mereka mutlak hanya sekedar saudara sepupu yang akrab sejak kecil. 

"Jangan salah, Na. Sepupu juga boleh-boleh aja 'kan?!" Nabila masih menampakkan wajah serius. 

"Udah lah, Bil. Ngapain sih jadi ngaco gini." Naomi terkikik geli memamerkan gigi kelinci bawaan asalnya yang terlihat begitu manis. 

"Serius, Na! Dari caranya menatapmu aku yakin kalian pernah memiliki rasa lebih dari sekedar sepupu." Nabila berusaha meyakinkan sahabatnya itu. 

"Pliisss, Bil. Lagian aku udah nikah juga 'kan."

"Iya, sih, Na. Tapi terkadang kita menikah juga belum tentu akan langgeng 'kan, terkadang jodoh tak bertahan lama, Na, setelah akhirnya patah hati dan berjuang untuk kembali bahagia, lalu kemudian menemukan orang baru yang benar-benar mampu membuat kita merasakan kebahagiaan seutuhnya." Nabila barlagak bijak. 

"Ini bukan dalam dunia novel, atau kisah drama romantis seperti yang kau bayangkan, Bil. Sudahlah, aku hanya berusaha menjalani hariku tanpa luka, itu saja." Suara Naomi berubah sendu. Ada luka yang kembali terasa saat mengingat kisah cintanya yang mulai meredup, meski jauh di relung sana ia membenarkan kalimat Nabila, jika terkadang jodoh tak bertahan lama. 

Nabila tak lagi meneruskan kalimatnya. Ia cukup peka untuk sekedar menyelesaikan prasangkanya tentang Naomi dan Faiq. Lembut tangan perempuan itu mengusap bahu sahabatnya, berusaha memberi semangat agar tetap kuat dan tegar menjalani hari dengan luka yang masih menganga. 

***

Jam dinding di ruangannya menunjukkan pukul 5 sore. Naomi menghela napas panjang. Kali ini ia merasakan hal berbeda saat jam pulang kantor. Ya, biasanya jam pulang kantor menjadi waktu yang ia tunggu-tunggu untuk kembali bertemu dengan laki-laki yang dulu ia anggap terbaik baginya itu, tapi kini semua berubah. Naomi menganggap Raihan tak lebih dari sebuah luka yang hanya dengan mendengar namanya saja hatinya akan kembali terasa perih. 

Dengan malas Naomi merapikan kertas-kertas yang masih berserakan di meja kerjanya. Terdiam beberapa saat di depan layar monitor yang baru saja ia matikan. Beberapa kali ia terlihat menghela napas panjang, sebelum akhirnya bangkit dan berjalan keluar ruangan. 

Cahaya matahari semakin menguning seiring sinar terang menusuk kulit yang kian meredup. Langkah demi langkah Naomi menapaki susunan conblock yang terpasang rapi di area parkiran kantornya, menuju mobilnya yang terparkir di ujung sana. 

"Aku duluan, ya, Na," seru Nabila sambil melambaikan sebelah tangannya ke arah Naomi. Naomi pun membalas dengan hal serupa. Setelahnya mobil sedang hitam itu menghilang di telan jarak. 

Ponsel dalam tas jinjing Naomi berdering. Ia meraih ponsel di dalamnya, menatap layar datar yang tengah menyala penampakan nama Raihan sebagai penelepon. Dimasukkannya kembali ponsel itu ke dalam tas. Sudut bibir Naomi terangkat menampakkan seulas senyum luka.

"Maaf jika rasa hormat itu telah pergi! Aku tak akan menyia-nyiakan hidupku untuk menangisi luka pengkhianatanmu. Anggap saja kita hidup bersama namun berbeda alam," gumam Naomi dengan hati berdesir.

Naomi kembali menghela nafas kasar. Ia berusaha membuang luka yang masih tersisa. Setelah merasa sedikit lebih tenang, ia melajukan kendaraan roda empat miliknya keluar dari parkiran kantor menuju jalan raya. 

Terlalu sulit mengobati luka penghianatan dalam waktu sesingkat ini. Itulah yang dirasakan Naomi, Ia masih belum sanggup untuk bersikap sebiasa mungkin terhadap Raihan, meski sudut hatinya mengatakan jika Raihan masih berhak menerima tutur lembut dan sikap santun darinya. 

Dua puluh menit berlalu mobil Naomi memasuki pagar rumahnya. Di sana di garasi tepat di sebelah kanan rumah mereka mobil Raihan terparkir, pertanda laki-laki itu sudah pulang lebih awal. 

Bergegas turun setelah mobil terparkir sempurna. Berjalan masuk melewati ruang tamu langsung menuju kamarnya. Saat ini, tempat ternyaman baginya di rumah ini hanyalah kamar tidurnya, itu pun jika tidak ada Raihan di sana. Tak ada lagi kemesraan yang hadir di ruang keluarga. Semua ruangan terlihat begitu hambar, atau mungkin terlihat menyedihkan bagi Naomi. 

Sejenak Naomi mematung di depan pintu ketika mendapati Raihan tengah memainkan ponselnya di atas tempat tidur. 

"Sudah pulang?" sapa Raihan dengan senyum termanisnya, senyum yang begitu memuakkan bagi Naomi. Bergegas laki-laki itu bangkit lalu mendekat ke arah Naomi. Kedua tangannya meraih kedua bahu sang istri. 

"Abang minta maaf jika kemarin Abang lupa hari anniversary kita," ucap Raihan lembut, berusaha meluluhkan hati perempuan cantik dengan pupil mata hitam pekat di hadapannya. 

Naomi menatap lurus wajah tampan laki-laki itu. Perlahan tangannya melepaskan pegangan tangan Raihan di bahunya. 

"Baguslah, jadi aku tak perlu mengingatkanmu tentang hari pernikahan kita. Pernikahan? Ah, sepertinya aku terlalu berlebihan." Naomi terkekeh pelan. Tak ada yang lucu, sejujurnya ia tengah berusaha menghibur hatinya yang terasa menyedihkan. 

"Kau tidak berlebihan, Na. Nyatanya kita memang masih sah berstatus suami istri. Lihatlah di sana, Abang menyiapkan sesuatu yang istimewa untukmu." Rehan menunjuk sebuah bungkusan yang ia letakkan di atas nakas berdampingan dengan kue tart dengan tulisan anniversary serta jumlah tahun yang telah mereka lalui bersama, 1. 

"Semuanya aku butuhkan kemarin, bukan hari ini!" jawab Naomi dengan senyum sinis. "Dan satu lagi, maaf karena aku tak bisa memperlakukanmu persis seorang suami seperti dulu lagi," jawab Naomi dengan nada dingin. 

"Lalu, apa yang akan kau lakukan dengan pernikahan kita?" tanya Raihan dengan wajah sendu. 

Naomi tak langsung menjawab. Bibirnya tersenyum manis, bahkan sangat manis. 

"Aku lakukan ini demi membalas budi baik Mama sama Papa. Dan tentang kita, aku hanya ingin menjalaninya senyamanku saja, tanpa harus terbebani dengan laki-laki yang tak pernah bisa menghargai kehadiranku," ucap Naomi sambil melenggang masuk tanpa mempedulikan Raihan serta kue tart dan aneka hadiah yang tertata di atas nakas. Harga dirinya telalu mahal jika dibandingkan dengan semua itu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Lha w kira si nabila naksir sepupunya. Ndak blh lho msh ada hubungan darah gitu sepupuan nikah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status