Share

Part 6. Lelah

Raihan mematung di tempat. Saat ini tak ada yang bisa dirinya lakukan selain bersabar, bersabar atas perubahan sikap Naomi terhadapnya. 

Naomi melanjutkan langkahnya lalu meletakkan tas miliknya di rak khusus, lalu mendekat ke arah lemari, mengambil beberapa potong pakaian dari dalamnya kemudian berlalu ke kamar mandi tanpa mempedulikan Raihan yang masih menatapnya dengan tatapan sendu. 

Raihan duduk di sisi ranjang dengan kedua tangan menangkup di wajahnya. Kepalanya penuh sesak dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di hadapannya. 

Di dalam kamar mandi, Naomi sengaja menyalakan kran air meski di dalam bak mandi air sudah hampir penuh. 

Beberapa saat Naomi hanya mematung di depan cermin lebar dekat wastafel. Ditatapnya pantulan wajah cantik miliknya dengan perasaan luka bercampur kecewa. 

"Apa aku terlalu buruk untuk bisa mendapatkan cinta yang tulus dari laki-laki bergelar suami?" gumam Naomi pelan. Sesak di dadanya semakin menggumpal seiring mata yang mulai menghangat. 

Kedua tangannya mengepal erat, menciptakan buku-buku tangan yang memutih. Ini adalah detik di mana ia merasakan kecewa yang paling dahsyat, kecewa pada orang terdekat di hidupnya. 

Perlahan diusapnya wajah kasar, lalu menarik nafas dalam. Sekuat tenaga ia tahan air mata yang berusaha meleleh ke luar, meski pada akhirnya bulir bening itu lolos dari pertahanannya. 

"Aku lelah berpura-pura kuat, pura-pura bahagia, Aku lelah berpura-pura baik-baik saja," bisiknya pelan dengan kedua tangan menangkup di wajah, berusaha menghalau bulir bening yang bersesakan ke luar. 

Dada yang masih tertutup pakaian lengkap itu terlihat kembang kempis karena sesak yang ia tumpahkan lewat air mata. Namun itu tak berlangsung lama, sekuat tenaga Naomi berusaha menghentikan tangisnya karena khawatir wajah cantiknya akan berubah sebab jika terlalu banyak air mata yang tumpah. 

Setelah sedikit lebih tenang, ia mulai membersihkan diri. Menghujani tubuhnya dengan air hangat, berharap lelah hati dan tubuhnya beranjak dalam waktu bersamaan.

Sepuluh menit lamanya Naomi berada di kamar mandi, selama itu pula Raihan setia menunggu di luar. Laki-laki itu masih ingin bertukar cerita lebih banyak lagi pada istrinya itu, persis seperti biasanya, namun sayangnya Naomi yang ia kenal sekarang tampak jauh berbeda, hingga Raihan merasa asing dibuatnya. 

Naomi ke luar dengan pakaian lengkap, bahkan kerudung instan kini melekat di kepalanya. Perempuan itu menganggap Raihan seolah tidaklah halal melihat auratnya. 

Hati Raihan tercubit. Dua hari mendapati sikap Naomi yang berubah bak langit dan bumi dari biasanya membuat laki-laki itu merasa semakin tak nyaman. Perlahan ia merasakan ada sesuatu yang hilang dari hidupnya, kepercayaan. 

"Kau anggap apa aku, Na? Sampai-sampai di kamar pun kau gunakan pakaian lengkap?" Raihan bertanya sambil menatap ke arah Naomi yang tengah menaruh handuk bekas pakai miliknya di rak dekat pintu kamar mandi. 

Naomi bergeming. Enggan rasanya untuk menjawab pertanyaan laki-laki itu, namun hatinya merasa tergelitik. 

"Suatu saat mungkin kau memang bukan lagi mahramku, dan aku ingin melatihnya dari sekarang," jawab Naomi enteng. 

Raihan menatap lekat pada istrinya itu. Hatinya berdesir hebat. 

"Jangan terlalu dipikirkan. Oh, ya, apa kau sudah merencanakan pernikahanmu dengan perempuan itu? Atau mungkin kalian sudah menikah diam-diam di belakangku?" Nada bicara Naomi dibuatnya setenang mungkin, meski gemuruh di dadanya mampu membuat sesak. 

Raihan seketika menunduk. Ia menyadari jika dirinya kini tak berharga lagi di mata Naomi, hingga perempuan itu dengan mudah melepaskannya untuk menikah lagi dengan perempuan lain. Sikap yang Raihan anggap berbanding terbalik dengan perempuan  pada umumnya. 

"Rencananya besok aku akan membicarakannya dengan Sena," jawab Raihan dengan hati-hati. 

"Lakukan segera! Setelahnya kirimkan foto pernikahan kalian padaku agar aku percaya jika kau tak lagi berzin*h dengan perempuan itu."

Raihan tersentak mendengar kalimat terakhir Naomi. Laki-laki itu menatap Naomi dengan alis bertaut. 

"Jangan memandangku serendah itu!" ucapnya bernada tak suka. 

Naomi tersenyum sinis. Kali ini matanya menatap rendah laki-laki sok suci hadapannya itu. 

"Apa yang dilakukan dua manusia dewasa yang saling mencintai tanpa hadirnya mahram? Tak usah berlagak sok suci karena itu hanya akan membuatku bertambah muak melihatmu." Kalimat itu terdengar pelan, namun penuh penekanan, membuat Raihan bungkam.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rahayu Rahayu
Loh tadi dikantor Naomi memelintir rambutnya yg hitam pekat, tapi di rumah dia berhijab ? ini maksudnya apa ya ??
goodnovel comment avatar
Nisr Emiria
diluar Naomi mengurai rambut, di dalam rumah memakai jilbab. hmmmmm
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status