"Bun, mau, ya? Alif ingin merasakan makan bareng lagi seperti dulu waktu masih ada papa."Aku membuang napas panjang. Alif benar benar ingin punya seorang ayah seperti Wildan. Anak kelas 5 SD ini masih belum paham jika aku khawatir nanti akan menjadi fitnah. Secara Pak Nadhif juga seorang single parents."Kalau Alif sama Wildan aja gimana? Kan ada Ayahnya Wildan yang jagain. Bunda pulang duluan?" Tawarku pada Alif.Anak itu cemberut."Hayolah, Bu. Sesekali. Kasian Alif. Mereka sudah mengharapkan untuk hari ini."Akhirnya aku pasrah. Kami bersama menaiki mobil Pak Nadhif. Mobilku sendiri aku tinggal dan titipkan ke Pak satpam untuk nanti aku ambil.Wajah Alif langsung berbinar. Dengan riang mereka berlari ke arah dimana mobil Pak Nadhif terparkir."Lho? Wildan kok dibelakang?""Gapapa, Tante. Tante di depan aja. Aku mau duduk sama Alif. Kita mau ngobrol seru."Astaga ... Gimana ini? "Hayo, Bu. Silahkan. Gapapa di depan aja. Anak-anak biar dibelakang."Pak Nadhif membukakan pintu mobil
Perempuan itu melepaskan genggamannya dari Elzio. Wajahnya memerah marah."Awas kamu ya, Mbak! Kamu udah bikin abang dan ibuku sengsara. Aku tak akan membiarkan kamu bebas begitu saja!"Ingatanku langsung kembali. Monika. Pantas aku merasa tak asing dengan wajahnya. Sejak menikah hanya beberapa kali bertemu itupun di tahun pertama pernikahan kami. Anak itu katanya kuliah di Bandung. Tapi, sampai aku bercerai dengan abangnya tak pernah ada kabar apapun tetang dia. Entah sudah selesai kuliah, entah sudah kerja, aku tak tahu Mas Arsen tak pernah cerita."Kamu menyalahkan saya? Lupa ya? Makannya tanya sama Abang kamu itu? Selama menikah dengan saya, apa yang sudah dia lakukan pada saya dan anak-anak? Dan sekarang kamu menyalahkan saya? Apa ga terbalik?"Wajah Monika terdiam pucat. Raut garang yang tadi di sombongkan lenyap entah kemana. Dia kira aku masih Tari yang dulu. Sorry, ye!"Saya sudah muak berurusan dengan keluarga kalian. Jangan pernah ganggu keluarga saya lagi. Jika itu terjadi
Kami pun berjalan bersisian kembali ke meja. Wildan dan Alif ternyata sudah selesai makan. Untung mereka tidak tahu kejadian tadi dibelakang. Kasian mental anakku nanti.Usai makan kami pun segera pulang. Aku sendiri memilih memesan taksi online untuk kembali ke sekolah mengambil mobil. Namun, Pak Nadhif melarang dan memaksa mengantarku kesana. Sesampainya aku dan Alif memisahkan diri, pulang dengan mobilku sendiri. Kami pun beriringan dan berpisah di persimpangan."Bunda, Alif suka sama Om Nadhif. Sebenarnya, Om Nadhif itu baik banget tau, Bun. Rajin sholat. Kalau Alif main disana. Setiap adzan kita pasti ke mesjid."Aku tersenyum sambil terus fokus menyetir."Bunda juga suka ...""Bunda juga suka? Waah, asiiik, berarti bunda mau dong menikah dengan Om Nadhif? Horeee ... Horee ... Punya ayah baru ... Hore ...!"Aku yang sedang menyetir tersentak panik. "Alif ... Alif dengarkan bunda dulu.""Ga perlu lagi Bunda. Alif sudah senang bunda akhirnya jujur. Nanti Alif akan bilang ke Wildan
"Ibu gimana Tari aja, Nak. Ibu tidak mau memaksakan. Jika Tari bersedia, ibu pun tidak akan keberatan."Aduh, dadaku tiba-tiba bergemuruh. Suara itu sangat kukenal. Pasti Pak Nadhif. "Saya minta izin untuk bicara langsung dengan Tari, Bu.""Oh, boleh boleh, sebentar Ibu panggilkan, ya."Aku bergegas masuk ke kamar begitu mendengar langkah kaki ibu mendekat."Nduk, ada Nadhif diluar. Dia mau membicarakan sesuatu padamu." Aku menoleh, dada ini benar-benar tak bisa kompromi. Debarnya makin menjadi jadi."Mau membicarakan apa, Bu?" Tanyaku hanya untuk mengulur waktu. Ibu duduk disamping lalu merangkul pundakku."Nduk, Nak Nadhif mau melamar kamu. Sekarang dia menunggu diluar untuk menanyakan langsung. Keluar lah, temui dia. Jawab sesuai dengan hati nurani kamu. Jangan karena terpaksa atau karena merasa tak enak."Aku menundukkan kepala. Lalu menghirup udara dengan rakus. Mencoba menyelami ke dalam sana. Apakah jawaban yang terlintas dalam benak ini berasa dari sana atau hanya karena ha
Aku mengangguk cepat. Bersyukur Pak Nadhif sangat bijak tidak mendesakku atau menguasai pikiran ini. Dalam jeda waktu itu aku bisa meminta petunjuk pada Allah atas jawaban yang akan kuberikan nanti. Seminggu, InsyaAllah cukup untuk aku memutuskan.***"Benar dugaanmu, Dek. Arsen masih berkeliaran di sekolah. Mas tadi sudah menghajar dan mengancam akan memenjarakan dia jika masih berani mendekati Alif atau Ammar."Mas Fatan yang baru pulang dari sekolah Alif bercerita. Diwajahnya masih terlihat emosi."Lalu? Dia gimana, Mas?""Iya, Nak. Kamu yakin dia tak akan menganggu Alif lagi?"Ibu pun cemas."InsyaAllah setelah ini dia tak akan berani lagi datang ke sekolah Alif. Fatan juga sudah meminta tolong sama security untuk tidak mengijinkan orang lain menjemput Alif kecuali Fatan dan Tari, Bu."Aku dan ibu sama sama menghela napas lega. Walau, kekhawatiran ini tak sepenuhnya hilang. Aku yakin Mas Arsen mencari celah lain agar bisa bertemu Alif. Siang ini aku sendiri yang akan menjemput Al
Ternyata kehidupan Mas Elzio sudah berubah total, sangat jauh dari apa yang aku pernah lihat. Rumah mewahnya terjual karena sang dokter kecanduan judi online. Pertunangannya dengan dokter Viola juga kandas. Siapa yang sudi menikah dengan laki-laki yang hanya akan menjadi penyakit. Yang tersisa hanya mobil miliknya yang sekarang dibawa kabur Monika.Saat ini dia tak lagi bekerja di rumah sakit lantaran sering tidak masuk dan mengabaikan pasiennya. Tak disangka, kesempatan emas untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya, malah disia-siakan begitu saja."Lalu gimana Mas El ketemu dengan Monika, Bu?" Mami Karla mengusap air matanya yang sejak dia mulai bercerita sudah basah."Mami ga tau, Nak. Perempuan itu entah dari mana asalnya. Mami malah tidak tau jika Elzio punya hubungan dengan perempuan lain setelah putus dengan Viola."Sepertinya, Monika memang sengaja mendekati Mas El untuk mendekatiku. Beruntung aku dan laki-laki itu juga tak punya hubungan apa apa lagi. S
"InsyaAllah, saya bersedia menjadi ibu sambung untuk Wildan."Ibu dan Pak Nadhif secara bersamaan mengucapkan Alhamdulillah. Raut Pak Nadhif berubah cerah. "Terimakasih, Bu Tari. Saya berjanji akan menjadi suami yang baik dan ayah yang baik juga untuk anak-anak kita nanti."Hatiku mengharu biru. Semoga ya Allah, apa yang aku putuskan hari ini adalah yang terbaik untuk dunia dan akhiratku.Tak berlama-lama, seminggu kemudian keluarga besar Pak Nadhif datang melamar secara resmi. ibunya jauh jauh datang dari Surabaya untuk berkenalan denganku. Begitu juga dengan dua kakaknya yang selama ini tak pernah diceritakan Pak Nadhif, juga ikut serta. Serta kerabat lain yang aku belum kenal."Nadhif pandai mencari istri. Kamu cantik sekali, Nak." Ibu meraup wajahku begitu aku bersalaman dengannya."Iya, Bu. Nadhif ga pernah cerita jika calon istrinya ini penulis terkenal. Aku ga perlu repot-repot minta tanda tangan deh." Timpal perempuan berhijab biru yang merupakan kakak tertua Pak Nadhif."Ibu
[Jangan bahagia dulu karena, bahagia sendiri itu ga enak. Nanti saya temenin, ya.]Tanpa sadar garis bibir terangkat. [Wildan sangat senang karena Dik Tari mau menerima kami menjadi bagian dari hidup, Adik.]Pesan kedua kembali masuk.[Jangan lupa wudhu ya, setelah itu tidur. Jangan banyak pikiran. Hari bahagia kita sebentar lagi tiba.]Aku menaruh ponsel setelah mematikan data selulernya. Pesan itu hanya kubalas dengan emoticon senyum. Perasaan kali ini sungguh berbeda. Aku merasa akan memasuki fase dimana tak ada lagi yang akan aku pikirkan, kecuali menikmati hidup yang baru dengan pasangan halal yang baru pula.***Persiapan pernikahan sudah hampir beres. Tidak besar-besaran tapi tidak juga terlalu sederhana. Karena nanti akan mengundang semua rekan rekan kerja di rumah produksi dan beberapa artis yang menjadi pemain dalam film yang akan segera tayang.Hari terus berganti. Tak terasa hari itu tiba juga. Wajahku dipoles habis habisan. Katanya harus cantik di hari istimewa. Acara ya
Divo tidak banyak bicara, tapi setiap tindakannya menunjukkan hormat. Ia membantu Ammar memperbaiki motor, membantu Tari menata taman belakang, bahkan sesekali membantu Alisa membelikan kebutuhan sekolah Nayara. Tak ada tuntutan, tak ada sikap seperti “anak yang ingin diakui.”Namun tetap saja, keberadaannya seperti mengingatkan Tari pada betapa ia tidak benar-benar mengenal seluruh sisi suaminya. Kadang, saat malam tiba, Tari masih termenung di depan kamar Nadhif, membayangkan betapa banyak yang tak sempat mereka bicarakan sebelum ajal menjemput.“Mas… kamu harusnya bicara sejak dulu…”---Sementara itu, Nayara mulai dekat dengan Divo secara alami. Tidak ada nuansa romantis. Hanya dua orang yang sama-sama kehilangan sosok ayah, saling menyembuhkan dengan cara sederhana. Duduk di beranda, ngobrol soal masa kecil, hingga berbagi kenangan tentang almarhum Nadhif dari dua sisi kehidupan yang sangat berbeda.“Dia suka kopi hitam. Pahit banget,” kata Nayara sambil tersenyum kecil.“Waktu a
Setelah kepergian Rina pagi itu, rumah terasa seperti kuburan. Sunyi. Sesekali terdengar tangisan kecil dari kamar Aleeya. Alisa diam seribu bahasa. Bahkan Ammar pun memilih duduk sendiri di beranda, memandangi langit mendung seakan mencari penjelasan dari semesta.Di dalam kamar, Tari terduduk di tepi ranjang. Di tangannya tergenggam surat tulisan tangan Selia yang tadi dibacakan Rina. Setiap baris kata terasa seperti paku yang menancap satu per satu di jantungnya. Bukan karena dia cemburu, bukan juga karena dia marah… tapi karena ia merasa seperti orang asing di kehidupan suaminya sendiri."Mas, kamu ternyata menyimpan terlalu banyak rahasia…," bisiknya.Tari merasa tidak berdaya. Ia sudah kehilangan suaminya. Tapi lebih menyakitkan lagi adalah kenyataan bahwa sosok yang ia cintai dengan sepenuh hati ternyata pernah mencintai orang lain secara diam-diam.Dan lebih dari itu: seorang anak laki-laki bernama Divo, anak dari perempuan lain, mungkin akan hadir dalam hidup mereka.---Bebe
Tari nyaris roboh, jika saja Alif tak sigap memegang bahunya. Air mata yang sedari tadi ia tahan, akhirnya tumpah. Namun bukan karena cemburu. Bukan karena dendam. Tapi karena kenyataan bahwa lelaki yang ia cintai, menyimpan luka dan rahasia begitu dalam hingga ia sendiri tak pernah diberi kesempatan untuk tahu dan mengobatinya.Malam itu, setelah semua tamu pergi, Tari duduk berhadapan dengan Dara di ruang tamu. Nayara tertidur di pelukan Aleeya—anehnya, dua gadis itu langsung akrab, seakan darah mereka memang memanggil satu sama lain.Tari menatap Dara. “Apa kamu mencintainya?”“Ya. Tapi aku tahu tempatku di mana. Aku nggak pernah menuntut apa-apa. Mas Nadhif hanya bilang, hidupnya sudah rumit. Dia ingin membesarkan anak-anaknya tanpa drama. Maka aku menjauh.”Tari terdiam. Lalu berkata pelan, “Kalau dia masih hidup, mungkin aku akan marah. Tapi sekarang, aku cuma ingin memastikan Nayara tidak kehilangan arah. Kalau dia memang darah daging Mas Nadhif… maka dia juga keluargaku.”Dara
Tujuh Hari Setelah Kepergian NadhifTari berdiri mematung di depan makam suaminya. Angin sore membawa harum tanah basah dan bunga tabur yang mulai layu. Ia belum pernah merasa sesepi ini. Meskipun rumah selalu ramai oleh anak-anak, tapi kehangatan yang biasa ia rasakan... telah menguap bersama napas terakhir suaminya.Alif mendekat dan menggandeng tangan Tari. “Bun , Ayah titip semua ke Bunda. Kami bakal bantu jagain bunda juga.”Tari tersenyum lemah. Tapi air matanya menetes lagi.“Dulu waktu bunda nikah sama Ayah kalian... Bunda pikir perjalanannya akan mulus. Tapi hidup ternyata lebih rumit. Tapi Ayah kalian... dia tetap bertahan. Walau bunda sering salah paham, marah, bahkan sempat ingin pergi... dia tetap bertahan. Dan hari ini, dia pergi dengan tetap menggenggam tanganku..."Wildan mendekat. "Bun, aku tahu bunda bukan ibu kandungku. Tapi ibu satu-satunya ibu yang pernah aku punya. Aku janji bakal terus di sini buat bunda, buat semuanya."Tari menoleh pada Wildan, lalu memeluknya
Naira duduk sambil memangku Gio yang masih polos.“Mama, kenapa semua nangis?”Naira mencium dahi putranya. “Karena Eyang pergi, Nak. Pergi ke tempat yang jauh…”**Di pemakaman, tanah merah basah oleh hujan. Langit seperti ikut berduka. Satu demi satu tangan anak-anak Nadhif menaburkan bunga, sambil menahan tangis. Tak ada yang siap kehilangan, tak ada yang pernah siap ditBaik, kita lanjutkan ke Bab 15 – Kepergian yang Tak Pernah Siap Ditinggal dari Ketika IB Mengeluh Season 3. Bab ini akan fokus pada detik-detik terakhir kehidupan Nadhif, dengan nuansa haru, penyesalan, dan perpisahan yang menyayat. Cerita akan panjang dan mengaduk emosi.---BAB 15 – Kepergian yang Tak Pernah Siap DitinggalLangit mendung sejak pagi. Awan gelap bergelayut rendah seolah tahu bahwa hari itu takkan seperti hari-hari biasanya.Di kamar belakang, suara mesin oksigen mendesing pelan. Nadhif terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat, matanya tampak cekung, dan napasnya makin berat.Tari duduk di sa
Langit mendung sejak pagi. Awan gelap bergelayut rendah seolah tahu bahwa hari itu takkan seperti hari-hari biasanya.Di kamar belakang, suara mesin oksigen mendesing pelan. Sejak pulang dari rumah sakit perawatan Nadhif dilakukan dirumah. Laki-laki itu terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat, matanya tampak cekung, dan napasnya makin berat.Tari duduk di sampingnya, menggenggam tangan suaminya yang dingin. Ada luka yang belum kering, tapi ada pula cinta yang terlalu dalam untuk diabaikan. Matanya sembab, tapi ia tak mau menangis lagi. Ia ingin kuat, setidaknya untuk hari ini."Mas...” bisiknya pelan, mengusap ubun-ubun suaminya. “Kamu janji bakal sembuh... Tapi kenapa makin lemah begini?”Nadhif membuka matanya perlahan. Suaranya nyaris tak terdengar. “Aku… capek, Dik…”Tari menahan tangisnya. “Aku tahu… Tapi jangan pergi dulu… kamu harus berjuang untuk aku, untuk anak anak kita."**Alif, Ammar, Abrar, Wildan, dan Aleeya berkumpul di luar kamar. Alisa juga datang pagi itu se
“Wildan… maaf… bunda.. salah... Bunda... terlalu keras… padamu juga Naira.”Tangis Naira meledak. Ia memeluk ibunya.Pelukan itu... akhirnya terjadi. Setelah bertahun-tahun saling menghindar, dua hati itu akhirnya bertemu.Namun di balik kehangatan itu, satu bayangan menanti: waktu Nadhif yang makin menipis… dan konflik baru yang mulai mengintai.**Di luar rumah, seseorang berdiri di balik pagar.Seorang wanita muda, mengenakan topi dan masker, menatap rumah itu tajam.Di tangannya, sebuah foto robek—foto lama Nadhif bersama seorang perempuan yang bukan Tari.Perempuan itu mengepalkan tangan. “Kamu pikir bisa hidup tenang setelah semua ini, Pak Nadhif? Kamu pikir aku akan diam?”Dia berbalik, masuk ke dalam mobil hitam yang menunggu tak jauh dari sana. Senyumnya tipis. Penuh dendam.***Keesokan harinya Nadhif diperbolehkan pulang, sembari menunggu proses transplantasi yang akan segera dilakukan.Udara pagi itu terasa ganjil. Rumah yang semalam penuh haru, kini kembali diliputi sunyi.
Malam itu terasa panjang.Gio sudah tertidur di kamar belakang bersama Wildan, tapi Naira tak bisa memejamkan mata. Ia duduk di tepi tempat tidur yang dulu ia tinggalkan dalam keadaan penuh luka. Matanya menatap langit-langit kamar yang belum pernah benar-benar berubah.Perabotan masih sama. Bau kayu tua itu pun masih ada. Yang beda hanya perasaan dalam dadanya—semuanya campur aduk. Antara lelah, bingung, dan takut.Tiba-tiba pintu kamar diketuk pelan. Naira menoleh.“Naira…” suara Tari dari balik pintu.Dengan enggan, Naira membuka. Mertuanya itu berdiri di sana, mengenakan mukena lusuh. Wajahnya pucat, seperti kurang tidur.“Ada yang mau bunda bicarakan,” ucapnya, suara datar.Naira hanya mengangguk. Mereka duduk di kursi dekat jendela, diam beberapa saat sebelum akhirnya Tari membuka suara.“bunda tahu kamu nggak senang tinggal di sini. Tapi tolong, jangan buat bunda merasa seperti orang asing di rumah ini…”Naira menghela napas. “Aku nggak berniat bikin bunda merasa seperti itu.”
“Apakah ayah mau menerima donor dari anak yang tak berguna seperti aku?" Deg.Nadhif terbelalak. Semua orang terhenyak. ---Mobil sewaan berhenti di depan pagar rumah besar yang dulu pernah menjadi ladang luka bagi Naira dan Wildan. Tak ada yang berubah. Pohon mangga di halaman depan masih berdiri kokoh, tapi Naira merasa seluruh rumah ini sudah menjadi tempat asing baginya.Wildan turun lebih dulu, membuka pintu belakang. Gio terlelap di kursi bayi. Naira memeluk anak itu, lalu memandangi rumah yang pernah ia tinggalkan.Wildan menatap istrinya. “Kamu siap?”Naira menarik napas. “Nggak juga. Tapi kita sudah sampai.”Pintu pagar terbuka. Alisa muncul dengan mata sembab.“Kak… akhirnya datang juga…” ucapnya pelan.Naira hanya mengangguk. Aleeya muncul dari balik pintu, menyusul dengan pelukan singkat yang terasa canggung. Rumah itu hening. Lalu dari dalam terdengar suara langkah tergesa.Tari berdiri di ambang pintu. Wajahnya pucat, mata sembab, dan tubuhnya lebih kurus dari terakhir