Waktu terasa berjalan cepat. Hari di mana aku akan resmi dipersunting Mas William akhirnya tiba. Sudah kuusulkan untuk menikah secara sederhana saja, tapi orangtua Mas William keberatan. Mereka tetap ingin mengadakan pesta dan mengundang semua rekan bisnis, juga karyawan perusahaan.Ibu dan Bapak pun tak lupa hadir. Mereka bersikap lapang dada saat mendengar keputusanku untuk menikah lagi dengan pria lain. Berbeda dengan Bang Leon. Dia memang tetap datang berkunjung menemui Alva, tapi tak pernah sepatah kata pun terucap dari mulutnya. Dia diam seribu bahasa. Hanya berbicara pada Alva dan berusaha keras menghindari kontak mata denganku."Lusi."Aku yang tengah dirias pun sontak menoleh saat mendengar suara Ibu masuk ke ruangan ini."Kamu cantik sekali, Nak," puji Ibu dengan mata berbinar."Makasih, Bu." Aku tersenyum bahagia. "Oh, ya. Ada apa, Bu?"
Akad nikah berjalan dengan lancar meski hatiku gelisah tak karuan. Sesekali menyeka air mata yang tidak mampu terbendung. Aku takut Bang Leon nekat melakukan sesuatu jika tahu kami tetap menikah. Akan tetapi, bukankah Alva anak kandungnya? Mana mungkin dia tega melukainya, bukan?"Tenanglah."Aku menoleh saat merasakan genggaman lembut di jemari. Kami tengah berada di tengah acara resepsi dan sedang menyalami para tamu sambil sesekali berfoto. Memaksakan diri tersenyum walau hati kecil tak bisa bohong."Bagaimana aku bisa tenang? Anakku enggak ada. Apa Mas pikir aku bisa tetap tersenyum ceria?" Aku balik bertanya dingin seraya dengan cepat menyeka air mata saat melihat ada tamu kembali mendekat.Jujur, aku agak kesal dan kecewa karena Mas William dan keluarganya tetap ingin acara ini dilanjutkan. Padahal, aku sendiri tidak bisa tenang selama belum mengetahui di mana keberadaan Alva dan Bang Leon.Namun, jika dipikirkan kembali, wajar mereka ngotot melanjutkan acara. Semua sudah dipers
Bang Leon dijaga oleh tiga pria berbadan tegap dan besar. Dia yang tengah mencoba menenangkan Alva yang menangis di gendongannya pun, seketika menoleh saat mendengar suara nyaringku."Dek ...." Dia berdiri dan menatap takut padaku yang melotot tajam kepadanya.Dada ini bergemuruh hebat. Kepala dan wajah terasa memanas seperti mau meledak karena emosi ini. Dengan cepat kurebut Alva dari gendongan Bang Leon, lalu memberikannya pada Mas William yang berada di belakangku."Dek, aku—" Ucapan Bang Leon terpotong saat tamparan keras dariku mendarat tepat di pipi kanan sampai wajahnya berpaling. "Dek, ma—"Lagi. Untuk kedua kalinya, tamparan kembali kulayangkan di sebelah kiri hingga kedua pipinya itu kini memerah."Teganya Abang melakukan itu padaku!" desisku dengan mata terasa menghangat karena air mata.&n
~POV William~🍁🍁🍁Aku tahu Lusi panik dan cemas karena Alva hilang dibawa Leon. Wanita yang kini telah sah menjadi istriku itu juga sedikit marah dan kesal karena keluarga sepakat tetap melanjutkan acara pernikahan. Sejujurnya, aku tidak masalah jika ditunda. Apalah artinya uang dibandingkan kebahagiaannya.Namun, nama baik perusahaan dan Papa menjadi taruhan. Oleh karena itu, terpaksa aku mengesampingkan hal lain, yang penting pencarian terhadap Alva tetap dilakukan. Papa mengerahkan orang bayaran kepercayaannya untuk berpencar mencari Leon yang dengan sengaja membawa Alva kabur. Dia seperti itu hanya agar Lusi membatalkan niatnya untuk menikah denganku.Kekanak-kanakkan, bukan? Pria itu dulu sudah menyia-nyiakannya, tapi sekarang dia malah tidak bisa menerima kalau Lusi sudah move on.Apa Leon lupa bagaimana teganya dia menduakan Lusi dan lebih memilih wanita yang hanya memeras uangnya?Aku pun pernah berada di posisi yang sama seperti Lusi, sama-sama dikhianati oleh orang yang d
Mobil kupacu cepat menuju kediaman Papa untuk menyusul Leon yang dibawa ke sana. Sesuai permintaan Lusi tadi, walau dia marah dan kecewa, wanita itu tetap ingin masalah ini jangan diperpanjang. Apalagi sampai masuk ranah hukum. Bukan apa-apa, tapi dia memikirkan perasaan orangtuanya Leon yang sudah dia anggap seperti orangtuanya sendiri.See? Lusi masih begitu peduli dan baik walau Leon sudah berulang kali membuatnya marah dan kecewa. Apa Leon tidak bisa melihat itu? Tidak bosankah dia membuatnya menangis?Setelah mobil terparkir sempurna di halaman, bergegas aku turun saat mendengar suara lantang dan keras Papa yang sedang memarahi Leon."Jangan, Pah!" larangku dengan sedikit berteriak saat melihatnya hampir memukul wajah Leon yang sudah cukup babak belur.Semua yang ada di sini serempak menoleh termasuk kedua orangtuanya yang terlihat menunduk sedari tadi. Kasihan mereka. Karena ulah a
Pernikahan itu bak lembah penuh misteri. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Kunci keutuhan rumah tangga salah satunya saling mengerti, karena menikah itu bukan untuk saling menyamai atau merasa lebih tinggi, tapi ikhlas menerima perbedaan dan kekurangan.Pernikahan bukan saja soal cinta, tapi lebih pada sebuah komitmen. Cinta bisa hilang tergerus waktu, tapi jika kita berkomitmen untuk menjaga pernikahan, semuanya akan tetap baik-baik saja. Cinta yang hilang bisa dipupuk kembali jika kita membicarakannya dengan pasangan. Mencari solusi sama-sama, bukan mencari solusi dengan lari pada tambatan hati lain. Ibarat sebuah rumah, jika salah satu bagian dari rumah rusak, maka perbaiki. Bukan malah mengganti dengan rumah baru.Cukup lama aku menghabiskan waktu di kamar mandi. Ketika keluar, Mas William tak ada di kamar ini begitu juga Alva. Kuayunkan kaki keluar kamar dan mendapati pria tinggi itu tengah mengajak Alva berbicara di depan akuarium ikan koi. Dia men
Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Kini, pernikahanku dengan Mas William sudah menginjak hampir dua tahun. Alva juga sudah pandai bicara dan berjalan lancar bahkan berlari. Keinginan kami untuk memberikan adik pada Alva pun terwujud. Kini, dalam rahimku tumbuh janin yang usianya sekitar enam minggu.Syukurlah aku tak mengalami morning sickness yang parah seperti saat mengandung Alva dulu. Meskipun begitu, Mas William tetap begitu protektif. Dia juga menugaskan seorang wanita paruh baya untuk mengerjakan pekerjaan rumah.Tak hanya itu, kini penampilanku telah berubah drastis. Semua dres pendek sudah berganti dengan setelan gamis dan khimar setelah aku memutuskan untuk hijrah. Syukurlah Mas William juga mendukung penuh, dan selalu menyemangatiku untuk berubah menjadi lebih baik sedikit demi sedikit.Sementara, Bang Leon sendiri memilih hidup di kampung. Awalnya, dia sempat menolak dan bersikeras tinggal di kota ini. Akan tetapi, sikap keras dan tegas Bapak membuat dia akhirnya menga
"Mas," sapanya dengan senyuman manis.Indira ....Entah kenapa. Sebagai wanita yang pernah dikhianati, instingku mengatakan ini bukan pertanda baik. Mantan istri Mas William yang bahkan menolak hadir di acara pernikahan kami, kini tahu-tahu hadir kembali setelah hampir dua tahun kami menikah.Ah, semoga saja dugaan ini salah."Papa." panggilan dan pelukan Alex mengembalikan kesadaran Mas William yang sempat tertegun sejenak.Aku sangat yakin dia juga sama terkejutnya melihat kehadiran Indira yang tiba-tiba ada di hadapan kami."Aku rindu Papa. Apa Papa enggak rindu padaku, Pah?""Tentu saja papa rindu." Mas William membalas pelukannya erat seraya mengecup kepala anak berusia sekitar sembilan tahun itu. "Kamu baik-baik saja 'kan, hm?" Mas William mengurai pelukan. Menangkup lembut kedua pipi Alex yang tengah tersenyum senang."Aku baik-baik saja, Pah.""Syukurlah." Mas William kembali memeluk seraya mengusap kepalanya dengan lembut.Aku menunduk ketika Alva menarik-narik jemariku. Dari